KETIKA ENGINEER & SCIENTIST BICARA LAILATUL QADR ~ SUASANA - TopicsExpress



          

KETIKA ENGINEER & SCIENTIST BICARA LAILATUL QADR ~ SUASANA maghrib, Selasa 23/7, di Wisma Kodel, lantai 11 Kuningan Jakarta sangat gayeng. Saya sedang berada di kantor Sugeng Sarjadi Syndicate, berbuka bersama dengan sejumlah tokoh yang mumpuni di bidangnya. Diantaranya adalah Dr Mahmoud Farazandeh, Doktor Teknik Sipil yang juga duta besar Iran di Indonesia; Dr Ninok Leksono, wartawan senior yang juga Astronom; Dr Ichsanuddin Noorsy, ekonom; dan Sugeng Sarjadi, pengamat sosial politik sebagai tuan rumah. Sambil berbuka makanan khas Iran yang dibawa oleh Sang Ambassador, kami berbincang-bincang soal Ramadan dan Lailatul Qadr. Suasana unik itu sangat terasa, karena kami semua bukan ustadz tapi membahas soal Ramadan dan Lailatul Qadr untuk tayangan televisi. Sehingga, setelah kami memperkenalkan background masing-masing, sambil tertawa Dr Mahmoud berkata: ‘’Jadi, kita sekarang mau membahas Al Qur’an dan bulan suci Ramadan? Hmm, menarik juga ya, berbicara soal agama dalam sudut pandang ilmuwan ekonomi, pakar astronomi, insinyur nuklir, dan ahli bangunan, apalagi host-nya berlatar belakang sosial politik.’’ Kami semua pun tertawa. Saya yang mendapat giliran bicara pertama dalam Talkshow itu ditanya seputar background masalahnya. Apa hubungan antara turunnya Al Qur’an dan bulan suci Ramadan. Dan bagaimana kondisinya saat Al Qur’an itu diwahyukan kepada Nabi Muhammad di gua Hira’. Perintah berpuasa Ramadan ini memang sangat erat kaitannya dengan turunnya wahyu Al Qur’an. Bahkan, turunnya kitab suci itu menjadi penyebab utama perintah berpuasa di bulan Ramadan, sebagaimana difirmankan Allah dalam QS. 2: 185. Yakni, agar umat Islam mengkajinya dalam keadaan berpuasa. Hati dan jiwa yang suci akan lebih efektif menyerap hikmah-hikmah yang terkandung di dalam firman-firman Allah itu. Efektivitas terhadap pembelajaran Al Qur’an itulah yang menjadi latar belakangnya. Hanya orang-orang yang berpuasa dengan baik sajalah yang jiwanya bakal matching dengan frekuensi Al Qur’an. Dan karenanya, di akhir-akhir Ramadan Allah menjanjikan akan menurunkan para malaikat untuk melimpahkan hikmah kehidupan kepada orang-orang yang sukses menjalani puasanya. Itulah saat-saat yang kita kenal sebagai Lailatul Qadr. Sebuah malam yang memiliki kualitas lebih baik dari seribu bulan, yang pernah turun kepada Rasulullah saat beliau berkhalwat di gua Hira’. Soal kualitas itu menarik perhatian Dr Ichsanuddin Noorsy. Bahwa, peradaban manusia ini harus menuju ke kualitas yang semakin tinggi. Bukan sekedar kuantitas yang bisa menjebak. Atau, dalam sudut pandang ekonomi, bukanlah materialnya, melainkan substansi kemanfaatannya. Bulan Ramadan adalah bulan peningkatan kualitas. Bukan mengejar kepuasan terhadap kuantitas. Makan sedikit tapi berkualitas, tidur sedikit pun harus berkualitas. Dan semua ibadah yang kita jalankan selama Ramadan harus mengacu kepada kualitas, kualitas dan kualitas. Itulah sebabnya, Lailatul Qadr dimaknai sebagai malam seribu bulan. Yakni, waktu yang secara kuantitas hanya berdurasi satu malam, tetapi memiliki kualitas seribu bulan alias lebih dari delapan puluh tahun. Sama dengan usia manusia yang paripurna. Yang sudah mengalami perjalanan hidup komplet, dan merasakan ‘asam-garam’-nya dunia. Dengan adanya Lailatul Qadr, umat Islam diajari untuk berjuang mengejar kualitas. Berpuasa dan beribadah sebanyak-banyaknya, untuk memperoleh kualitas yang berlipat ribuan kali. Sebagai seorang Astronom, Dr Ninok Leksono menangkap ibadah puasa dan Lailatul Qadr dalam rentang alam semesta. Bahwa, manusia ini sebenarnya tak lebih adalah debu-debu bintang antar-galaksi yang mewujud di planet Bumi. Sehingga secara material sebenarnya tak memiliki makna apa-apa. Tetapi manusia akan menjadi makhluk yang bermakna ketika ia bisa menampilkan kualitas dirinya sebagai hamba Tuhan yang bermanfaat dalam rentang kehidupannya yang cuma sebentar. Sangat sebentar jika dibandingkan dengan usia alam semesta yang sudah belasan miliar tahun, sementara usia kita hanya berkisar puluhan tahun. Dalam konteks inilah, Lailatul Qadr menjadi sangat penting dan berrnilai tinggi. Karena bisa menjadi faktor yang melipatgandakan kualitas seorang manusia. Dimana, seharinya atau semalamnya bisa bernilai lebih dari seribu bulan atau lebih dari 80 tahun. Bisa dibayangkan, jika seseorang terus menerus mendapatkan Lailatul Qadr di setiap Ramadan, usianya yang secara kuantitas hanya puluhan tahun itu menjadi bernilai ribuan tahun. Itulah yang terjadi pada rasulullah Muhammad SAW. Meskipun beliau sudah wafat dalam usia 63 tahun, tetapi kualitas dan kemanfaatannya masih terus mengalir sampai kini, ribuan tahun sesudah beliau tiada. Dr Mahmoud pun lantas menambahkan, bahwa istilah shaum yang bermakna puasa itu sebenarnya memiliki arti dasar taste the death alias ‘mencicipi kematian’. Oleh karena itu, orang yang sedang berpuasa harus bisa mematikan segala keburukan yang ada di dalam dirinya. Dan mengganti dengan kebiasaan baik untuk mencapai kualitas yang berlipat kali lebih tinggi, setelah berpuasa. Puasa Ramadan adalah upaya untuk bangkit kembali dari kematian, dan memulai hidup baru dengan kualitas yang lebih tinggi. Dan itu hanya akan terjadi pada orang-orang yang bisa bertemu dengan Lailatul Qadr. Malam yang penuh dengan hikmah, yang diperolehnya dengan perjuangan sepenuh hati selama bulan Ramadan. Bukan puasa yang sekedar memperoleh lapar dan dahaga, disebabkan cara menjalaninya yang asal-asalan. Asal menggugurkan kewajiban. Asal tidak makan dan tidak minum. Asal tidak batal selama fajar sampai tenggelamnya matahari. Dan sebagainya. Mencicipi kematian adalah memadamkan ego yang tinggi terhadap kepentingan yang bersifat duniawi, dan menghidupkan semangat menyongsong kehidupan yang lebih berkualitas secara spiritual. Hanya orang-orang yang berpuasa dengan cara inilah yang bakal bertemu dengan Lailatul Qadr, sehingga dia akan berubah menjadi manusia baru yang mengubah orientasi hidupnya dari yang sekedar duniawi menjadi ukhrawi. Di akhir talkshow, saya menambahkan lebih jauh, Rasulullah memang pernah bersabda bahwa orang yang cerdas adalah orang yang selalu ingat bahwa dirinya sedang menuju pada kematian. Karena, ‘yang pasti’ dalam hidup ini sebenarnya hanyalah kematian. Selebihnya, urusan duniawi ini tidak ada yang pasti. Oleh sebab itu, adalah sebuah keterjebakan yang sangat fatal jika kita hanya berpikir soal duniawi dan melupakan yang ukhrawi. Mengejar yang dekat melupakan yang jauh. Memburu yang relative, meninggalkan yang substantive. Hidup kita hanya akan berputar-putar mengejar kuantitas untuk memenuhi keserakahan hawa nafsu, dan tiba-tiba usia kita yang pendek ini sudah hampir habis. Yang menurut istilah Al Qur’an: terlena oleh kemegahan duniawi, dan tiba-tiba sudah berada di tepi liang kuburnya sendiri. QS. At Takatsur (102): 1-5, ‘’Bermegah-megahan telah melalaikanmu. Sampai kamu (menjelang) masuk ke liang kubur. Jangan begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibatnya). (Sekali lagi) jangan begitu, (karena) kelak kamu akan mengetahuinya. (Sekali-kali) Jangan begitu, (sungguh) kamu akan mengetahuinya dengan (sepenuh) keyakinan…’’ Allah dan Rasul-Nya sudah mengingatkan kita jauh hari-hari, untuk menyiapkan diri sebaik-baiknya. Mudah-mudahan Ramadan ini kita bisa menjadi jauh lebih baik dari sebelumnya, untuk menyongsong masa depan dengan kualitas ukhrawi yang lebih tinggi. Amiin. Wallahu a’lam bissawab. (NB: Serial Tafakur Ramadan ini ditulis untuk koran Kaltim Post – Grup Jawa Pos. Dan diunggah di FB untuk memberi manfaat lebih luas.)
Posted on: Tue, 30 Jul 2013 01:05:07 +0000

Recently Viewed Topics




© 2015