Maryamah Karpov (Part 7-8) by. Andrea Hirata Mozaik - TopicsExpress



          

Maryamah Karpov (Part 7-8) by. Andrea Hirata Mozaik 7 Sinting Tapi Pinter MENJELANG pulang ke tanah air, madu itu masih berlinang-linang. Farewel party! Undangan bertubi-tubi. Dan aku mulai berpikir, mungkin adat satu bangsa dapat dinilai wataknya melalui farewel party. Orang-orang dari daratan China memang sangat menghargai tamu, dan persahabatan sungguh mulia bagi mereka. Acara perpisahan bagi yang telah menyelesaikan studi tahun ini dipersiapkan dengan saksama. Panitia dibentuk. Tak kurang tiga orang bertugas melulu hanya mengurusi undangan. Merekalah Eugene Wong, Heidy Ling, dan Hawking Kong. Undangan dicetak dan diantar secara pribadi. Andrea sahabatku, kami akan senang sekali jika kau bersedia datang, datang ya, pasti menyenangkan, begitu kata Heidy Ling dengan kalimat selembut terigu sembari menyerahkan undangan yang mewah itu. Aku datang. Deborah, Oh, dan beberapa gadis muda dari universitas lain yang tak kukenal—kuduga dari Shanghai sebab semlohai bukan maui— rupanya telah bertindak selaku penerima tamu. Sangat anggun dan tampak betul telah berdandan dengan serius sejak sore tadi. Pakaian mereka bergaya putri China dalam film Dinasti H an, rapat membalut dari mata kaki sampai leher. Hidangan juga tak sembarang, berupa-rupa resep aneh. Berhari-hari mereka menyiapkannya. Acara berlangsung khidmat Setiap orang berdiri untuk bercerita. Maka acara perpisahan mereka mirip dengan acara perkenalan waktu kami baru berjumpa dulu, dan semuanya tertib, syahdu, sentimental. Mereka bersyukur karena telah menyelesaikan sekolah. Semuanya menyatakan betapa berartinya pengalaman persahabatan kami selama di Paris, sungguh berat akan berpisah, dan semoga kita bisa bersaudara sampai ajal menjemput. Namun, tak tampak mahasiswa Taiwan. Mereka punya farewel party sendiri. Selain sangat menghargai tamu, orang-orang ini rupanya juga menghargai sejarah. Berbeda dengan undangan The Yankees-, mahasiswa negeri Paman Sara. Ditempel sekenanya di dinding pengumuman: Party! Party! Party! Townsends place, 10 PM till drop! Virginia Sue Town send menyambutku di pintu apartemennya dan nyaris tak berpakaian. Acara berlangsung cepat dan tak ada bersedih-sedih. Tak ada yang membicarakan soal berharganya persahabatan atau soal ajal menjemput. Dalam farewel mereka, semua orang menjadi pragmatis. Yang banyak terlompat hanya kata-kata girang sebab akan segera minggat dari Paris. Aku bisa mati bosan di sini! jerit Townsend. Bobby Cash malah terang-terangan memaki Sorbon-ne karena profesorprofesor di sana telah menindasnya habis-habisan. Lalu mereka sibuk membicarakan rencana backpacking, bersukacita sejadi-jadinya sebelum nanti terjerat lagi rutinitas dunia kerja. Mahasiswa Jerman lebih sistematis. Undangan dikirim lewat e-mail dan SMS. Sesuai nature-nya., mereka selalu efektif dan fokus pada tujuan, dan tujuanfarewel party mereka hanya satu: mabuk. Acara belum mulai, beberapa orang sudah mabuk. Christian Diedrich dan Marcus Holdvessel bahkan datang sudah dalam keadaan sepertiga tak sadar. Rupanya mereka telah melakukan semacam pemanasan sejak dari apartemen masing-masing. The Brits, orang-orang Ingris itu, dan mahasiswa Belanda serupa. Tak ada sendu-sendu. Musik berdentum-dentum. Jika orang-orang China menekankan pada farewel maka The Brits dan Belanda menekankan pada party. Acara perpisahan orang Indonesia, Amerika Latin, dan India serupa dan amat dramatis. Acara belum dimulai, MVRC Manooj sudah meratap-ratap seperti orang mati bini. Beberapa mahasiswa Indonesia berpisah dengan mengadakan pengajian. Para senior pun tampil. Acara dimulai dengan ceramah oleh para senior itu—biasanya ada orang tua yang didatangkan dari kantor kedutaan—ngaji, lalu petuah, khotbah, nasihat, membaca deklamasi sambil tersedak-sedak. ngaji lagi, dan ditutup dengan ceramah lagi, oleh senior lagi. Tak jarang penceramah diterbangkan khusus dari Tanah Air. Tak lupa kencleng5 untuk dana konsumsi pengajian bulan depan. Dalam farewel Indonesia, setiap orang riba-riba menjadi filosofis. Sementara farewel party mahasiswa Yahudi, dengan organisasi, sistem familia, dan fraternity mereka yang sangat rapi itu, tak mengundang siapa pun selain orang Yahudi. Usai berbagai farewel party, aku kembali mengunjungi karya arsitektur yang paling kukagumi di Eropa: karya-karya An-thoni GaudL Hebat bukan buatan pria itu, meski sinting tapi pintar. Dari Barcelona aku melenggang ke Alhambra di selatan SpanyoL Aku kembali terpesona oleh bangunan-bangunan Masjid bernuansa Parsi dengan selera Eropa. Kaligrafi dan relief nan indah. Bahkan gereja-gereja kental dengan nuansa arsitektur Islam. Hari di Alhambra kuakhiri dengan sebuah candle light dinner dengan beberapa sahabat: orang Spanyol. Dari Barcelona aku naik bus Eurolines ke Holland. Ini adalah perjalanan naik bus paling jauh yang pernah kutempuh. Hampir 23 jam karena melintasi dua negara, Prancis dan Belgia. Di Rotterdam aku hinggap di sebuah kafe dan mencicipi kue terigu berbedak-bedak gula halus. Kue kaum menak Poppertjes, disuguhkan bersama teh Ouan Tim Special Edition berbau daun salam—yang pada bungkusnya tertulis propaganda the delicate aroma will linger gently in your tongue. Ritual teh yang amat civilized itu kunikmati pada satu sore nan syahdu di kafe yang menghadap langsung ke Laut Utara. Burungburung camar hinggap di tali-temali layar, menjerit-jerit manja diteriaki nelayan sahabat mereka. Yacht berbaris rapi, terantuk-antuk malas menciumi bibir kanal karena ditingkah ombak-ombak jinak. Warna bianglala memantul di atas permukaan laut yang diuapkan matahari sore: marun, biru, dan Jingga. Angin semilir, tak terperikan rasanya. Inilah hidup, Kawan, lembut sampai ke ujungujung lidah, dan bukan main teh Quan Yim Special Edition, encok di persendian sirna, perasaan jadi bahagia. Mereka yang selalu mengumpat life sucks, pastilah belum pernah merasakan kue terigu Poppertjes dan teh Ouan Tim Special Edition beraroma daun salam. Dari Rotterdam aku ke Amsterdam, ingin melihat satu pemandangan terakhir sebelum minggat dari Eropa, yaitu lukisan Mghtwatch karya Rembrandt di Rijksmuscum. Beberapa kali aku telah berencana ke Rijksmuseum, tapi baru kali ini terlaksana. Di depan Nightwatch yang sebesar dinding sekolah, aku terpana. Lukisan itu mengisap dan melemparkanku ke masa medieval. Begitu dahsyat manusia dapat mencapai kreativitas seni. Maka pada momen itu, di haribaan Mghtwatch, setelah malang melintang di negeri orang, setelah semua yang kualami dalam hidup ini, kudefinisikan kembali tiga orang seniman kesayanganku: Anthoni Gaudi, Rembrandt, dan Rhoma Irama. Dengan kereta yang serbanyaman, dilayani lembaga yang menjunjung tinggi martabat manusia, dari Rijksmu-seum aku berangkat ke Bandara Schiphol. Melalui jendela kereta aku melihat rumah-rumah tipikal warga urban Belanda: rapi, teratur, berbentuk kotak dengan jendela kaca bening besar di muka sehingga orang dari luar rumah dapat melihat seluruh tiving room—dan apa yang terjadi dalamnya: orang bergurau, membuka pintu kulkas, atau duduk nonton televisi. Ornamen-ornamen lucu didesakkan di antara pot-pot bunga yang umumnya berwarna semarak di halaman yang sempit Lalu ada anjing, beranda yang juga sempit, dan windchvne (kliningan angin). Aku teringat, pemandangan inilah yang kali pertama terhunjam dalam benakku waktu kali pertama kuinjakkan kaki di Eropa tiga tahun lalu. Waktu itu Famke Somers yang menjemputku dan sepupuku Arai, rajin menjelaskan suasana kiri kanan kereta. Sepintas saja melihat rumah-rumah itu, aku mafhum bahwa Eropa, bagi orang kampung sepertiku, akan sangat menyenangkan, jika ditinggali tidak terlalu lama. Namun tak dapat dipungkiri, dari lingkungan sosial semacam itu, aku telah belajar banyak sekali, antara lain belajar toleransi. Di Eropa, untuk kali pertama aku mendapati diriku terpojok di sudut peradaban sebagai minoritas dan sungguh pahit keadaan ini. Sepanjang hidup di Tanah Air, demografiku adalah representasi mayoritas. Aku seorang Islam, maka aku mayoritas. Keluargaku keluarga miskin, karena itu aku juga mayoritas. Aku mayoritas karena begitu banyak hal, misalnya aku orang Indonesia asli, berbadan pendek, hetero, sering ditipu politisi, menyenangi lagu dangdut, dan berwajah orang kebanyakan. Dengan mentalitas semacam itulah aku dibesarkan. Namun di Eropa, aku terkejut melihat cara orang melihatku, dan yang pertama mereka lihat adalah warna kulitku, lalu mereka memandangku, dan yang mereka pandang adalah asal muasalku, caraku berbicara, apa yang kumakan, apa yang kusembah, dan apa yang seolah akan kuambil dari mereka. Seluruh pandangan padaku untuk satu tujuan: menilaiku. Kereta meluncur deras. Sebagian kehidupan di Eropa akan kurindukan, sebagian ingin kulupakan. Jika ada hal yang pahit tak ingin kubicarakan. Kereta sampai. Aku mendongakkan kepala dari stasiun underground Schiphol, lalu langsung check in untuk terbang. Senin. Setelah hampir tujuh belas jam terbang dan transit di Changi, Singapura, untuk kali kelima belas sejak pukul tujuh semalam, dengan wajah sesegar kembang sepatu yang baru disiram, meski waktu itu pukul empat pagi buta, pramugari nan bohai Anke Molenaar kembali menawariku. Some more coffee, Sir? Ia lalu meraih cangkirku lewat satu gerakan yang terpuji Teko ia tunggingkan secara amat berwibawa dan terpuji pula. Ia membungkuk dalam batas yang diizinkan oleh rok mininya, sekian sentimeternya, telah ia perhitungkan dengan teliti. Aku menatap Anke lembut dan dengan sekuat tenaga berusaha mengesankan diri sebagai orang berperadaban tinggi yang sudah terbiasa menumpang pesawat ke luar negeri. Jambul kurapikan, air muka kuatur. Kami pun beradu pandang, dan aku bertanya kepada Yang Mahatinggi: berapa banyakkah Ia telah menurunkan perempuan peraga pelampung yang berdaya kejut listrik voltase tinggi macam ini di muka bumi ini? Gadis Belanda itu berialu meninggalkan senyum yang telah ia latih tiga bulan di Meskapai KLM, senyum yang bermakna: dasar orang udik! Saat pesawat hampir mendarat, aku melirik ke luar jendela pesawat. Nun di bawah sana terhamparlah Jakarta: centang-perenang kelabu karena asap polusi, tercecer-ce-cerke sana kemari, kalang kabut. Aku tersedak dan tersentak sadar, kopi yang dituangkan Nona Molenaar nan bohai tadi adalah linangan madu terakhir hidupku. Mozaik 8 Sumbu Kompor dari Jakarta, Tahu! KELUAR dari anjungan internasional Bandara Soekarno Hatta, aku ke terminal pemberangkatan dalam negeri dan di sana beberapa pria sangar menyongsongku dengan sikap ingin merebut tas-tasku. Beringas, bermata liar. Sungguh berbeda dari tingkah laku Anke Molenaar. Manusia melimpah ruah. Peak season, warga Tionghoa sibuk mudik untuk ritual tahunan sembahyang kubur. Aku gugup sewaktu didekati seorang pria yang tersenyum baik, bajunya bersih, rapi, gaya rambut belah samping, dan lebih mirip guru Pendidikan Moral Pancasila di sebuah SD Inpres—tapi aku tahu bahwa dia itu bajingan. Ia menawariku tiket dengan harga empat kali lipat lebih mahal. Itu pun tinggal satu tiket. Aku pasrah saja karena aku rindu ingin bertemu ibuku, Arai, dan terutama, ayahku. Tapi ternyata aku harus mengalah pada Kim Lian, orang Hokian. Katanya ia sudah tak sembahyang kubur dua tahun, karena itu, menurutnya, usaha bekledingnya di Indramayu megap-megap. Aku tak sampai hati. Terima kasih, Ikal, ujarnya terharu sembari ingin menyembahku. “Jangan cemas, besok ada kapal berangkat. ******* Pulang kampung dari Jawa bagi orang Melayu dari Pulau Belitung, bisa berarti menjebak diri dalam satu situasi semacam fat accompli—yakni dipaksa memilih pilihan yang runyam, pilihan yang sesungguhnya tak rela. Aku membayangkan sengsara perjalanan, belasan jam terombang-ambing di kapal yang sesak. Tapi aku harus segera pulang karena aku rindu pada ayahku. Di Tanjung Priok kulihat manusia bergelombang-gelombang di depan loket Seorang calo berpidato di depanku bahwa jika tak membeli tiket darinya—dengan harga hampir delapan kali lipat lebih mahal—maka mustahil dapat tiket dari loket resmi. “Lihatlah antrean itu, tak kan berkurang sampai malam nanti. Ia bersungut tak acuh dengan nada yang amat terlatih. Pria ini meramu bujukan, simpati, sikap bersahabat, desakan, ancaman, sedikit tak butuh, dan fait accompli menjadi satu komposisi yang membuatku terkagum-kagum. Manusia yang dididik lingkungan keras untuk mengepulkan asap dapur akan menjadi kawakan tiada banding Dipenuhi perasaan muak, aku bertransaksi dengannya, kelu. Setelah ditunggu sejak pagi, tengah hari, melalui corong megafon, penumpang diminta naik ke kapal. Kapal itu adalah kapal besar Lawit yang berlayar ke Kalimantan tapi akan mampir di Pulau kecil Belitong. Di bawah terik matahari ribuan manusia antre menaiki tangga kapal. Para petugas susah payah mengatur antrean seperti menertibkan ternak. Kadang melengking makian tak pantas dari petugas yang lelah. Orang Melayu, luar biasa, jika bepergian, tradisi mereka adalah membawa barang dalam jumlah tak kira-kira. Sehingga muncul istilah di antara mereka sendiri: seberat bangkit. Akibatnya antrean makin repot. Setiap anggota badan dipakai untuk menenteng, memikul, memanggul, menjunjung, atau merengkuh sebanyak mungkin bawaan. Maka tak jarang seseorang ditambati sampai lima kardus besar tak tahu berisi apa. Meskipun isi kardus itu hanya sumbu kompor dan dengan mudah didapat di Belitong, kalau Kawan berani memberi gambaran logis, mereka tak terima. Jangan sembarang bicara, ya, ini sumbu kompor dari Jakarta, tahu! Lepas dari pemeriksaan terakhir di pintu kapal, ratusan orang semburat mencari tempat-tempat kosong. Sayangnya, para penumpang yang lebih dulu masuk telah menjelma menjadi makhluk teritorial, mirip kawanan hyena di Padang Masa Mara. Mereka mengklaim areanya sendiri. Dengan seringai tak bersahabat, mereka menghalau siapa pun yang mendekat. Sebagian menyekat zonanya dengan tumpukan kardus dan berupa-rupa penghalang Tikar digelar di lokasi yang tak seharusnya untuk penumpang: di atas palka, seantero geladak, di haluan, di dek-dek di jalur menuju sekoci, dan di bawah-bawah tangga. Kursi-kursi panjang telah dikuasai sebagai tempat tidur atau tempat menumpuk tas-tas besar. Ibu-ibu yang harus melindungi anak-anaknya dari angin, bergelamparan di lorong-lorong pengap. Kaum ibu ini tak berdaya sebab kurang cepat ketika tadi ribuan manusia dengan garang mencari tempat yang nyaman. Mereka, ibu-ibu dan anak-anak kecil itu, telentang berjejer di depan WC, seperti jemuran pedak, kusut masai bermandi keringat. Pria-pria muda yang lebih dulu naik ke dipan-dipan barak asyik main gaple, menghirup mi instan dari gelas plastik, dan main gitar. Jakarta telah merabunkan nurani orang-orang kampung itu yang tahun lalu ketika baru tiba dari udik masih sangat lugu. Cukup setahun, cukup setahun saja, Jakarta bisa saja membuat orang jadi durjana. Mereka tak mengacuhkan ibu-ibu dan anakanaknya yang menghirup bau pesing WC sampai seluruh isi perut mau melompat, demi, semuanya demi, dua puluh empat jam kemudahan di atas Kapal Lawit Sungguh dahsyat pengaruh ibu kota. Ibu-ibu dan anak-anaknya itu lalu dilangkahi oleh para pedagang nasi bungkus hampir basi yang berteriakteriak tak keruan melawan suara mesin diesel raksasa kapal, mengalahkan lagu Teluk Bayur dari pengeras suara di sudut-sudut ruang, dan menyaingi lolong tangis bayi-bayi yang tak berhenti dikipasi. Aku mengurungkan niat mencari tempat kosong di dalam barak karena memang tak ada celah lagi. Aku ber-susah payah melewati gerombolan orang, akhirnya kulihat sedikit ruang dekat cerobong asap. Di atas lantai baja yang panas aku duduk. Mataku berair menahan bau solar, bau asap pekat yang bercampur dengan aroma parfum murah-an, dan aroma baju-baru norak yang dibeli di kaki lima Cililitan yang dipakai gadis-gadis Melayu dan Tionghoa di sekelilingku. Kepalaku berputar. Air liurku asin menahan muntah. Kapal belum berangkat, aku sudah mabuk, kelu, kelu bukan buatan.
Posted on: Fri, 15 Nov 2013 09:32:09 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015