Mengenal Allah, Mengenal Diri (2) Dalam tulisan sebelumnya, saya - TopicsExpress



          

Mengenal Allah, Mengenal Diri (2) Dalam tulisan sebelumnya, saya mencoba untuk memberikan penekanan mengenai pentingnya kita mengenal Allah terlebih dahulu sebelum kita berusaha untuk mengenal diri kita. Hal ini penting karena apabila kita belum mengenal Allah dengan baik, maka dalam diri kita masih dipenuhi oleh (spirit) kedagingan. Sehingga diri kita diombang-ambingkan oleh gelombang nafsu, ambisi, amarah, harga diri yang tinggi, dan juga dosa-dosa. Simaklah kata-kata Ayub yang bijak: “Bagaimana manusia benar dihadapan Allah? Dan bagaimana orang yang dilahirkan perempuan itu bersih? Sesungguhnya, bulanpun tidak terang, dan bintang-bintangpun tak cerah dimataNya, lebih-lebih manusia yang adalah berenga, anak manusia adalah ulat.” (Ayb. 15:14-16) Kata-kata yang keluar dari mulut Ayub ini adalah hasil pergulatannya mengenai kebenaran akan siapa manusia sesungguhnya, dan siapa Allah (setelah ia berdebat dengan para sahabatnya dalam penderitaan). Daud dalam Mazmur 103 mengatakan tentang siapa itu manusia: “…sebab Dia sendiri tahu apa kita, Dia ingat bahwa kita ini debu. Adapun manusia hari-harinya seperti rumput, seperti bunga di padang, demikianlah ia berbunga; apabila angina melintasinya, maka tak ada lagi ia, dan tempatnya tak mengenalnya lagi…“ Baik Daud maupun Ayub sadar benar siapa itu manusia, siapa Allah dan seberapa benar manusia itu didepan Allah. Ayub memberikan penekanan yang baik: “Masakan manusia benar dihadapan Allah? Jikalau ia ingin berperkara dengan Allah, satu dari seribu kali ia tak dapat membantahNya” (Ayb.9: 2-3) Manusia tidaklah benar dihadapan Allah, hatinya penuh dengan pemberontakan, seperti yang dikatakan oleh Yesaya. Fulton Sheen mengatakan, jiwa manusia itu seperti kuda liar. Namun, yang terjadi adalah Allah yang penuh kasih itu mengasihi manusia yang berdosa melebihi para malaikatNya (yang jatuh). Manusia dibenarkan, melalui darahNya yang tertumpah di salib. Manusia tak mampu membenarkan diri sendiri di hadapan Allah. Kitab Amsal mengingatkan, bahwa orang benar jatuh tujuh kali setiap harinya … Tak jemu-jemunya, Allah memperbarui perjanjianNya dengan manusia yang selalu melanggarnya, mulai dari Adam dan Hawa, Nuh, Abraham, Musa, Daud, hingga Yesus Kristus. Perjanjian Baru yang diperbarui oleh Kristus inilah yang menjadi kegenapan dari semua Perjanjian yang pernah dilakukan oleh Allah sepenjang sejarah manusia. Inilah yang disebut sebagai Sejarah Keselamatan Manusia (Salvation History of Human Being). Bukankah dengan ini menjadi jelas bagi kita, bahwa manusia yang selalu memberontak dan cenderung untuk menjauh dari Allah tetap berusaha untuk diraih oleh Allah? Memang, Allah menghendaki manusia bebas untuk mengikutiNya. Allah takkan mencetak atau memprogram manusia agar patuh padaNya. Inilah satu sifat utama dari Allah, atau kedigdayaan Allah, yaitu kebebasan. (dengan segala resiko Ia juga akan kehilangan manusia yang tak mau berbalik padaNya). Dalam Alkitab kita melihat Allah berjalan-jalan keliling. Atau, di atas langit adalah rumahNya dan bumi adalah tumpuan kakiNya. Itulah gambaran akan kebebasan dan sekaligus kebesaran Allah. Dalam kebebasan itu, hendaknya manusia ingat siapa dirinya (yang cenderung memberontak) dan selalu waspada untuk selalu bisa menyadari segala ambisi, nafsu, dan keinginan. Musti kita ingat bahwa manusia memang memiliki kebutuhan dasariah yang harus dipenuhi. Namun, kebutuhan itu bukanlah keinginan, apalagi nafsu dan ambisi. Kebutuhan (needs) sangat berbeda dengan nafsu (desire), apabila dalam hati kita gagal membedakan hal ini, kita dengan mudah kehilangan kontrol diri. Kita musti waspada dan seharusnya introspeksi, apakah selama ini kita telah hidup digerakkan akan kebutuhan-kebutuhan dasar, yang semestinya mengarah pada rasa syukur dan memuliakan Tuhan? Atau, tiap hari kita sibuk mengisi kehidupan kita dengan berbagai bentuk keinginan, ambisi yang tak beraturan, yang sebenarya semakin menjauhkan diri kita pada Allah? Apabila yang pertama yang dominan di dalam diri kita, maka tiap harinya kita akan dipenuhi oleh damai sejahtera dan sukacita. Dan energi kita terarah untuk mencintai Allah dan sesama kita. Namun, apabila yang kedua yang dominan, maka batin kita terasa gelap. Diri kita dipenuhi oleh impuls-impuls dan keinginan yang semakin tak teruaskan, hingga beratlah kita untuk mengasihi sesama, apalagi mengasihi Allah. Bila yang pertama diri kita dipenuhi semangat berbagi, maka yang kedua dipenuhi oleh pola hidup selfishness , cinta diri berlebihan atau kehidupan yang narsistik… Marilah, selagi masih ada waktu sedini mungkin kita musti mengenal siapa diri kita yang sesungguhnya dengan berusaha lagi mengenal lebih dekat siapa Allah. Kita telah diajak untuk berada lebih dekat dengan Allah melalui Sang Putera yang telah menganggap kita sebagai sahabat-sahabatNya. Kita tak lagi dianggap hamba, melainkan sahabat untuk diberitakan cara cara agar kita selamat melalui FirmanNya. Karena itu sepanjang waktu kita musti menjadi pelaku Firman, dan bukan sekedar pendengar atau pengkonsumsi Firman belaka, yang takkan pernah mengkokohkan kaki kita untuk berpijak dan melangkah menuju KerajaanNya kelak. Kata-kata indah yang keluar dalam ceramah atau khotbah akan sia-sia apabila kita tak benar-benar melaksanakannya. Firman Allah memang enak didengar, namun sulit untuk dilaksanakan. Barangsiapa sekedar menjadi puas setelah mendengar Firman Tuhan dan tak melaksanakan, ia sesungguhnya hanya mencari penghiburan rohani dan pembenaran semu bagi dirinya. Namun, apabila dia tersentuh, tersengat, seperti yang dialami oleh Daud ketika tertohok oleh perkataan nabi Nathan, barulah ia mengerti dan akan melaksanakan Firman itu. Firman itu lebih tajam dari pedang bermata dua manapun. Jadi, apabila Firman itu tak menusuk hati kita dan menimbulkan “goresan” mendalam, maka Firman itu akan sia-sia, seperti yang diceritakan oleh Yesus mengenai Penabur benih. Firman itu bisa mental, digondol iblis, atau tertindih oleh nafsu dan ambisi kita. Atau, ia bisa tumbuh subur hingga berbuah. Marilah kita ingat selalu peringatan Daud dalam Mazmur 103 agar kita bisa mencapai apa yang kita harapkan sebagai umat beriman: “Tetapi kasih setia Tuhan dari selama-lamanya sampai selama-lamanya atas orang-orang yang takut akan Dia, dan keadilanNya bagi anak cucu, bagi orang-orang yang berpegang pada perjanjianNya dan, yang ingat untuk melakukan titahNya.”
Posted on: Sun, 21 Jul 2013 09:40:01 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015