PENGARUH ARISTOTELES DALAM ARGUMEN MENGAITKAN ANTARA HUKUM MENJADI - TopicsExpress



          

PENGARUH ARISTOTELES DALAM ARGUMEN MENGAITKAN ANTARA HUKUM MENJADI PNS DENGAN PEMERINTAHAN THOGHUT Di sini tidak hendak dibahas hukum menjadi PNS. Tetapi hanya membahas kesalahan argumentasi yang mengaitkan PNS dengan pemerintahan thoghut. Kesalahannya terletak pada: 1) cara berpikir; dan 2) kesimpulan. Dari sisi cara berpikir, untuk menghukumi bahwa setiap PNS adalah thoghut, merupakan cara berpikir yang menggunakan logika mantiq. Logika adalah sebuah teknik berpikir yang dicetuskan oleh Aristoteles. Logika adalah suatu pengumpulan informasi-informasi yang satu dengan informasi yang lain untuk menghasilkan suatu kesimpulan (natijah). Masing-masing informasi ini sering disebut dengan premis. Premis yang pertama kadang-kadang disebut dengan premis mayor sedangkan premis yang kedua disebut premis minor. Contoh: Premis pertama menyatakan bahwa pensil itu terbuat dari kayu. Premis kedua menyatakan bahwa kayu itu bisa terbakar. Jadi kesimpulannya, pensil bisa terbakar. Contoh lain: premis pertama menyatakan bahwa semua hewan akan mati. Kemudian premis kedua menyatakan bahwa anjing adalah hewan. Kesimpulannya (natijah-nya) adalah, bahwa anjing akan mati. Contoh yang lain: Amerika adalah negeri kapitalis. Penjajahan adalah metode baku negeri kapitalis untuk memperbesar negerinya. Kesimpulannya, Amerika adalah penjajah. Sebagai salah satu cara berpikir, sah-sah saja logika digunakan. Tetapi jika digunakan sebagai asas berpikir, maka logika ini akan bersifat merusak. Logika akan menjadi sebuah asas berpikir, jika setiap pemikiran selalu didapatkan menggunakan logika. Padahal, logika itu hanyalah salah satu cara berpikir, bukan asas berpikir. Asas berpikir yang benar adalah berpikir rasional. Berpikir rasional adalah mengambil kesimpulan berdasarkan fakta terindera, akal dan indera yang sehat, yang dikaitkan dengan informasi awal. Contoh: Gambaran ini terlihat dari penjelasan Allah kepada Malaikat, ketika mereka memprotes Allah SWT terhadap penciptaan Adam. Menurut mereka, manusia hanya akan menimbulkan kerusuhan di muka bumi. Allah kemudian membantah seraya menyatakan: “Aku Maha Tahu tentang apa yang kamu tidak tahu.” Allah pun kemudian membuktikan pernyataan-Nya: “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama semuanya, kemudian mengajukannya kepada Malaikat seraya berfirman: ‘Beritahukanlah kepada-Ku nama-nama mereka semuanya jika kamu benar (dengan tuduhan kamu, bahwa kamu lebih tahu).” Mereka menjawab: ‘Maha Suci Engkau, kami tidak mempunyai ilmu sedikit pun, kecuali apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui lagi Bijaksana.’ Dia berfirman: ‘Wahai Adam, sampaikanlah kepada mereka nama-nama mereka semua.’ Apabila Adam selesai menyebutkan kepada mereka nama-nama semuanya itu, Dia berfirman: ‘Bukankah Aku telah beritahukan kepada kamu, bahwa Aku Maha Tahu perkara gaib di langit dan di bumi, serta Maha Tahu apa yang kamu kemukakan dan apa yang kamu sembunyikan.” (QS. Al Baqarah: 31-33). Ayat di atas, dengan jelas membuktikan, bahwa malaikat tidak bisa membuat kesimpulan mengenai realitas (objek) yang ditunjukkan oleh Allah, sedangkan Adam dapat melakukannya setelah Adam diberi informasi oleh Allah, sedangkan malaikat tidak diberi informasi terlebih dahulu oleh Allah. Dengan demikian jelas, bahwa tidak ada satu pun manusia yang dapat mengambil kesimpulan tanpa mempunyai informasi awal. Jadi, ada empat unsur untuk terbentuknya sebuah pemikiran, yaitu (1) Akal atau otak yang sehat, (2) Indera yang sehat, (3) Objek atau fakta terindera, dan (4) Informasi awal. Inilah yang dimaksud dengan berpikir rasional. Konsep berpikir inilah yang seharusnya menjadi asas berpikir, bukannya logika. Sebab, yang dibutuhkan dari berpikir adalah kesimpulannya, yaitu haruslah kesimpulan yang benar; bukan kesimpulan yang salah (tidak benar). Tetapi, jika logika menjadi asasnya, maka kesimpulan yang didapat tidak akan melulu benar; akan ada kemungkinan salah dalam pengambilan kesimpulan. Padahal, benar salahnya, itu tergantung premis-premis yang dibangun. Jika premisnya benar, maka kesimpulannya BISA JADI akan benar; tetapi tidak melulu benar. Bahkan premis yang benar pun tidak menjamin kesimpulannya benar. Contoh: Alquran diturunkan dalam bahasa Arab. Bahasa Arab adalah sesuatu yang baru. Sesuatu yang baru adalah makhluk. Kesimpulannya, Alquran adalah makhluk. Alquran adalah makhluk? Ini kesimpulan yang salah. Padahal, premis yang digunakan untuk membangun kesimpulannya benar. Nah, di sinilah kesalahan logika mulai terlihat. Yaitu bahwa premis yang benar, belum tentu akan menghasilkan kesimpulan yang benar. Karena itu, logika selayaknya tidak digunakan sebagai asas dalam berpikir. Dalam konteks hukum PNS, yang terjadi adalah kesalahan pengambilan kesimpulan, sebagai akibat dari kesalahan premis yang dibangunnya. Kesimpulan yang diambil adalah “PNS itu bagian dari thoghut”. Premis pertama menyatakan bahwa pemerintah Indonesia adalah pemerintah thoghut. Premis kedua menyatakan bahwa PNS adalah orang yang bekerja di lembaga pemerintahan. Kesimpulannya, menjadi PNS adalah menjadi bagian dari thogut. Kesimpulan ini adalah kesimpulan yang salah. Sebab, realitasnya thoghut adalah orang yang berhukum dengan hukum selain hukum Allah. Sementara itu, tidak setiap PNS berhukum dengan hukum Allah. Ada PNS yang aktivitas atau amalnya sama sekali bukan untuk berhukum kepada thoghut. Contoh lain adalah sebagai berikut. Anak yang mendapat ranking satu, adalah anak yang pintar. Kesimpulan ini salah. Mengapa? Sebab, bertentangan dengan fakta (realitas). Untuk menjadi rangking satu, tidak melulu harus pintar. Mencontek, kerja sama dengan teman, menyuap guru, juga bisa mengantarkan seorang anak menjadi ranking satu. Maka, yang benar adalah anak yang pintar tidak harus rangking satu. Lihatlah, betapa banyak anak-anak yang rangkingnya tidak pernah mendapat satu, ternyata juga bisa pintar dalam berbagai hal. Contoh lainnya lagi: Pemerintahan demokrasi, bukanlah pemerintahan diktator. Kesimpulan ini salah. Mengapa? Ya, jelas saja salah. Sebab, pemerintahan sistem negara khilafah itu bukan demokrasi, tetapi juga tidak diktator. Di sisi lain, Indonesia itu mengaku sebagai negara demokrasi, tetapi jika ada pihak-pihak yang berbeda pandangan, selalu dituduh teroris atau mengancam keutuhan NKRI. Ini adalah tindakan-tindakan diktatorisme. Ini jika kita menggunakan logika. Yaitu kesimpulan yang salah sebagai akibat dari premis-premis yang salah. Padahal, seandainya kita mau menggunakan metode rasional dalam menghukumi PNS, tentu akan beda kesimpulan. Mengapa? Sebab, metode rasional mengharus kita untuk menyandarkan pada fakta PNS dan informasi awal (dalil syara’); bukan mengaitkan informasi satu dengan yang lain. Oleh karena itu, untuk mengambil kesimpulan terkait dengan hukum menjadi PNS, maka caranya adalah dengan memahami fakta (realita) PNS itu sendiri, lalu kaitkan dengan dalil-dalil syara’ yang ada. Realitanya, PNS adalah suatu hubungan muamalah. Hubungan muamalah sangat terikat dengan akad. Dalam fiqih, sebuah akad hanya akan terjadi jika memenuhi rukun-rukun akad (aqidain/dua orang yang berakad, ma’qud ‘alaih/hal yang diakadkan, dan sighat akad/redaksi akad). Oleh karena itu, membahas hukum PNS, tidak boleh meninggalkan tentang persoalan akad ini. Sebab, PNS itu sendiri hakikatnya merupakan perwujudan dari akad. Maka sungguh sangat tragis (menyedihkan) jika membahas hukum PNS kok tidak dikaitkan dengan pembahasan soal akad, tetapi malah dikaitkan dengan pemerintahan thogut (yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan PNS). Nah, di sinilah pendalaman terhadap fakta terjadi, yaitu fakta dari “PNS sebagai sebuah akad”, yang dikaitkan dengan konsep akad dalam Islam. Pendalaman terhadap fakta akan terjadi lagi, ketika membahas hakikat PNS dari sisi amalnya (aktivitasnya). Maka di sini nanti akan dikenal ada PNS yang berstatus sebagai hakim (penguasa) dan ada PNS yang berstatus sebagai muwazhzhafin (pegawai). Demikian hal itu harus dipahami, lalu kaitkan dengan informasi awal, yaitu dalil syara’. Maka, didapatkan sebuah kesimpulan, apakah menjadi PNS itu halal atau haram. Jika halal, apakah semua PNS itu halal; dan jika haram, apakah semua PNS itu haram. Maka akan bisa dipilah dan dipilih, tidak pukul rata. Sebab, fakta yang berbeda memang harus diperlakukan dan dihukumi berbeda. Fakta yang berbeda kok dihukumi sama, itu namanya ceroboh alias ngawur. Inilah hasil dari berpikir rasional; bukannya logika (mantiq). Namun demikian, menurut saya sendiri sebaiknya orang yang memperjuangkan syariat Islam (entah itu aktivis HT, aktivis JAT, atau yang lainnya) sebaiknya tidak menjadi PNS, sekalipun hukumnya boleh menjadi PNS. Dulu Syaikh Taqiyuddin pernah bekerja di beberapa bagian di pemerintahan Yordania. Menjadi qadhi, sekretaris qadhi, dan pengajar. Namun setelah peristiwa yang terjadi antara beliau dengan Raja Abdullah, beliau pun mengundurkan diri dari pekerjaan beliau di pemerintahan dan berkata, Sesungguhnya orang-orang seperti saya sebaiknya tidak bekerja untuk melaksanakan tugas apa pun dari sebuah pemerintahan.” Lihat dalam biografi Taqiyuddin An-Nabhani yang ditulis Ustadz Ihsan Samarah. Peristiwa itu terjadi ketika Syaikh Taqiyuddin An Nabhani dipanggil Raja Abdullah (Raja Yordania), dan beliau ditanya, Apakah Anda akan menolong dan melindungi orang yg kami tolong dan lindungi, dan apakah Anda juga akan memusuhi orang kami musuhi, ya syaikh? Maka Syaikh Taqiyuddin An Nabhani pun berkata kepada dirinya sendiri, Jika aku lemah menyampaikan kebenaran hari ini, lalu apa yang akan aku ucapkan kepada orang-orang sesudahku nanti? Lalu beliau pun berdiri dan berkata kepada Raja Abdullah, Aku telah berjanji kepada Allah, bahwa aku akan menolong dan melindungi agama Allah dan akan memusuhi orang-orang yang memusuhi agama Allah. Dan aku sangat membenci sikap nifaq dan orang-orang munafik. Sejak saat itu beliau menyatakan Sesungguhnya orang-orang seperti saya sebaiknya tidak bekerja untuk melaksanakan tugas apa pun dari sebuah pemerintahan.”
Posted on: Tue, 19 Nov 2013 02:03:24 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015