SANG GUBERNUR Bagian I Kereta api malam mengular di kejauhan, - TopicsExpress



          

SANG GUBERNUR Bagian I Kereta api malam mengular di kejauhan, seperti seekor luwe yang tengah berjalan. Jika saja di tiap gerbongnya tidak ada lampu, kereta itu tidak akan terlihat. Deru mesinnya hanya terdengar lamat-lamat. Jika siang, suara mesinnya bahkan tidak terdengar sama sekali. Kalah oleh gemuruh suara mesin truk yang tengah menanjak membawa barang-barang mewah dari Kota S dan ketika turun muatannya berganti singkong, kelapa atau apa saja yang ada di gunung. Sudah pukul dua dinihari, pikir Tarno sambil menahan kantuk. Kereta dari Jakarta yang tadi dilihatnya merupakan kereta pertama setelah Barjo- bapaknya, tidur di sudut gubuk. Sudah seminggu Tarno bermalam di gubuk di tengah perkebunan cengkeh ini sehingga ia mulai hafal dengan beberapa penanda waktu secara alami, termasuk kebiasaan burung hantu yang tengah menanti rembulan di pohon sengon, di atas gubuk. Sebentar lagi burung itu pasti akan pulang ke sarangnya di daerah lembah. Langit sangat cerah tanpa awan. Hanya jutaan bintang yang tampak memenuhi angkasa. Cahayanya lumayan terang, jatuh di atas daun-daun cengkeh. Tarno bersyukur hujan jadi tidak turun. Padahal tadi sore saat berangkat ke sini, mendung menggayut hendak pecah seperti perempuan hamil tua. Jika hari hujan Tarno sedih karena tidak bisa melihat apa-apa kecuali pohon-pohon cengkeh yang basah. Tarno menghela nafas. Liburan masih seminggu lagi. Itu artinya masih seminggu lagi ia tinggal di gunung. Menjaga perkebunan cengkeh milik Pakde Diro yang tengah berbuah. Saat ini sebagian buahnya sudah mulai matang sehingga harus dijaga agar tidak dipanen orang. Buah cengkeh yang matang berwarna kuning kemerahan. Setelah dipetik dan dijemur, buah cengkeh akan berubah menjadi hitam. Tarno punya satu kantong plastik cengkeh yang ia simpan di rumah. Cengkeh itu hasil dari menjaga kebun selama seminggu. Pakde Diro membayar kerja mereka dengan cengkeh yang jatuh dari pohon. Setiap pagi sebelum pulang, Tarno dan bapaknya mengelilingi kebun mencari cengkeh yang jatuh. Berapapun yang didapat, itulah bayarannya. Tarno sebenarnya sudah jenuh setiap pagi pulang jalan kaki ke Kota S lalu sorenya kembali ke sini. Jarak dari rumah ke kebun ini sebenarnya tidak terlalu jauh, sekitar tujuh kilometer. Tetapi karena jalan naik-turun setiap hari, rasanya sangat cape. Kakinya pegal. Tarno merasakan betis dan pahanya mengeras. Tetapi Tarno juga tidak tega membiarkan bapak sendirian menjaga kebun ini. Bapak butuh kawan mengobrol untuk menghilangkan jenuh. Kebetulan juga sedang liburan sekolah sehingga tidak ada alasan bagi Tarno untuk menolak ajakan bapak. Lagipula pekerjaan ini hanya dijalani setahun sekali, yakni hanya pada saat musim cengkeh saja. Bapak mau menerima tawaran Pakde Diro karena saat musim cengkeh pesanan jahitan sepi. Orang-orang lebih suka membeli pakaian jadi. Di samping harganya lebih murah, motifnya juga lebih beragam. Dari segi waktu membeli pakaian jadi, juga lebih praktis karena bisa langsung dipakai. Jika menjahitkan pakaian ke bapak waktunya bisa sampai tiga hari. Lampu uplik dari minyak tanah dengan sumbu yang sangat kecil- satu-satunya alat penerangan di gubuk itu, bergoyang-goyang tertiup angin. Menjelang pagi angin bertiup semakin kencang. Membawa hawa dingin. Tarno duduk bersila di atas amben dekat tubuh bapak yang tengah meringkuk sambil mendekur. Tarno tidak berani membangunkan bapak. Saat ini giliran bapak berjaga setelah tidur dari sore. Ketika rasa kantuk yang datang menyerang tak lagi bisa dibendung, Tarno pun tertidur sambil duduk, tanpa membangunkan bapaknya. *** Kota Kecamatan S di awal tahun 80-an lebih tak lebih dari sebuah desa di kaki gunung yang hanya ramai pada waktu-waktu tertentu. Geliat ekonominya ditopang hasil tanaman cengkeh yang tengah booming. Setiap pasaran, hari Rabu dan Sabtu, orang-orang turun dari gunung dengan membawa uang yang ditaruhnya dalam tas kresek. Mereka membeli apa saja, termasuk furnitur, perhiasan, TV dan kulkas. Padahal aliran listrik belum sampai ke daerah pegunungan. Para pedagang di Kota S, kebanyakan Cina dan Arab, sangat senang karena orang-orang dari gunung itu tidak pernah menawar harga barang yang diinginkannya. Bahkan, bila perlu si pemilik toko disuruh mengambil dan menghitung sendiri uang pembayarannya. Setelah musim cengkeh berakhir, orang-orang dari gunung kembali membanjiri Kota S. Kali ini sambil membawa apa saja yang baru sebulan kemarin dibelinya. Mereka menjual kembali barang-barang yang mungkin belum sempat dipakai, dengan harga loak. Haji Salim, pedagang furnitur paling besar di Kota S, sangat senang membeli barang-barang furnitur loakan itu. Setelah dipelitur, furnitur itupun menjadi baru lagi dan siap dipasarkan pada musim cengkeh berikutnya. Tentu saja harga jualnya sesuai harga barang baru. Tidak sekali dua kali, pembelinya orang yang kemarin menjualnya. Begitulah roda ekonomi di Kota S berputar....
Posted on: Sat, 16 Nov 2013 00:26:46 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015