SANG PROFESOR Oleh: Kang Drajat Jembatan gantung membentang - TopicsExpress



          

SANG PROFESOR Oleh: Kang Drajat Jembatan gantung membentang menghubungkan dusun Simpar pojokan Desa Lengkong, pedusunan yang sangat religius. Dulunya. Sekarang sudah tidak ada bedanya dengan dusun-dusun di desa lengkong itu. Religiusitas adalah entitas masyarakat yang mendiami pojok wetan desa Lengkong itu, setelah religiusitas masyarakatnya tidak seperti dulu kini Simpar sudah tidak mempunyai penanda lagi. Jaman dulu Murawi Masih kecil setiap lebaran selalu diajak bapaknya mengunjungi kerabatnya yang berada di pedusunan Simpar, entah mengapa rasa kekerabatan itupun ikut hilang. Simpar dulu terkenal dengan kosidahnya, simpar dusun yang sunyi tetapi menyimpan beragam potensi. Jaman dulu ada yang sudah menjadi anggota dewan di DPRD Banjarnegara dari Ka`bah dan Golkar . Jembatan gantung melintas diatas sungai pekacangan baru saja di bangun, Murawi menjadi tertarik ingin melihat bentangan sling yang menghubungkan dua dukuh Guruh dan Simpar. Murawi berayun-ayun menatap ke bawah derasnya air sungai Pekacangan, batas pandangan antara ujung tepian alas jembitan dengan laju arus air membuat ia merasa jembatan itu berlari kencang dan membawanya ke dunia kenangan yang ia miliki. Murawi pernah menjadi warga pedusunan itu bahkan pernah menjadikan klub sepak bola dusun itu mengarak piala kepala desa saat tujuhbelasan, Murawi pernah mencoba peruntungan menikah kembali setelah luka-luka bernanah pecahan beling rumah tangganya mongering. Dengan sepenuh kesadaran ia menikahi wanita pedusunan Simpar itu karena desakan kebutuhan kasih sayang dirinya maupun anak-anaknya yang masih-kecil-kecil. Rangkean sejarah hidup yang telah membentuk sikap dan pilihan hidupnya. Murawi setelah terlukai atao dilukai dua wanita yang dicintainya ia kini mencoba menjadi “sang sunyi” ia menjadi sang elang, ia matikan segala harapan dan kebutuhan cinta dan kasih sayang. Arus air sungai membawa semakin dalam lorong waktu masa lalunya. Murawi bertemu Parmin wajahnya bersih dengan jidat berkilat, dasi dan jas setelan merek hugoss sepatu hitam buatan Itali, sejenak ia benar-benar pangling tapi Murawi yakin bila ia adalah Marmin atao parmin. Ia begitu hapal detail wajah dan semua gerak geriknya karena Murawi dulu bertentangga, rumah Parmin berada di sebelah barat rumah Muningah istrinya yang dulu ditunggu-tunggu dari Taiwan pulang-pulang membawa suami. Rumahnya di dusun Simpar grumbul Golok tidak jauh dari sungai Pekacangan. Murawi sangat paham betul Parmin, tapi mengapa ia sekarang jadi begitu sempurna sebagai laki-laki, gagah, perlente dan sukses. “Mas, permisi, apa sampean Mas Parmin dari Golok” Tanya Murawi “Kamu kan pak guru yang menikah sama mbokayune Sahid?” balas pemuda perlente itu “Iya, benar kan mas Parmin?” lanjut Murawi semakin yakin kalo yang sedang diajak bicara adalah mantan tetangganya dari grumbul Golok dusun Simpar itu. “Benar mas Guru, saya Parmin, ada yang membuat sampean heran?” Murawi agak kikuk dengan pertanyaan lawan bicaranya, ia baru sadar bila cara memandangnya mungkin menyinggung atao membuat lawan bicaranya tidak berkenan. Murawi mencoba memperbaiki sikap dan menjaga pandangan matanya. Sejenak ia diam membayangkan saat Parmin dahulu ketika sedang mengalami gangguan jiwa, berjalan dari pertelon Yinah mengurut jalan beraspal menuju kearah barat dengan diam dan diam, kadang ia berhenti bersandar di drum minyak tanah warung pertelon menuju Tribuana, ia tokoh yang sangat diam karena tidak bisa diajak bicara tidak konek dengan lingkungan, Cuma kadang-kadang kalo ada godaan anak-anak kecil “ atret min…” maka dengan seketika tanpa bicara ia akan memposisikan kedua tangannya di depan dada lalu ia memutar-mutar tangannya itu sambil bibirnya ia getarkan bersuara “ mberrrrrrrrrrrrrrrrrrr” konsistensi gerak dan diamnya Parmin sering menjadi idiom guyon komunitas pinggir ndalan desa Lengkong yang bermarkas di plataran depan rumah Mbah Jirno bila ada yang sedang diam tanpa kreasi…”ayo min…atret…” murawi sebenarnya mau nanya tapi bingung kalo-kalo pertanyaanya tidak berkenan, tapi setidaknya ia sudah semakin yakin bila yang sedang diajak bicara adalah Parmin tetangganya dulu. Kini ia menjadi bingung sebab seingatnya Parmin sudah meninggal lama, bahkan sebelum Murawi meninggalkan grumbul Golok, terus kenapa ia sekarang masih ada dan pakean yang disandangnya benar-benar seperti bumi dan langit perbedaannya dengan saat dulu, Parmin dulu memake baju pramuka lusuh dengan celana kumal dan memake sabuk “plingping gedang” wajahnya kotor dan matanya kosong bahkan mati. Kenapa ia sekarang begitu perlente, apa dulu bukan Parmin yang dikubur lalu ia sembuh dari sakit jiwa terus meranto ke Jakarta dan menjadi orang sukses, ataokah ia yang sedang bermimpi. “Sampean mesti bingung ya?” pertanyaan Parmin membuyarkan lamunan Murawi “Jujur kalo boleh tau, selama ini kamu kemana?” Tanya Murawi “Ndak Kemana-mana.” Jawab Parmin pendek “La rumahmu kan sudah dibongkar, terus kamu tinggal dimana?” “He…he…aku tinggal di template Gusti Alloh.” jawab Parmin menambah bingungnya Murawi “Maksudnya?” “Aku hidup dalam pikiranmu…..” jawab Parmin lenyap ditelan “umpal” Kali Kacangan. Jleg…Murawi tersadar, ternyata ia tadi sedang melayang menjelajah pikiran dan kenangan hidupnya, ia memang pernah membayangkan ande saja ada nobel untuk kesetiaan ia akan mengusulkan Parmin mendapat hadiah nobel untuk kesetiaan, ia begitu setia dengan kebingungannya, ia bingung mengapa radioa bisa berbunyi dan ketia ia mencoba memperbaiki radioanya ternyata ia bisa membongkar tapi tidak bisa memasang lagi dan ahirnya radio itu konsisten tidak berbunyi lagi, dan Parmin pun menjadi lebih konsisten dan setia dengan kebingungannya sampe membawanya menjadi gila, dalam kegilaannyapun ia tetap setia dengan kebingunagannya sehinyya ia betah diam seperti sedang memikirkan mengapa radionya tidak lagi berbunyi..ia bayangkan Parmin menjadi anaknya orang kaya terus diobati kebingungannya itu hingga ndak sampe menjadi gila pasti Parmin dapat seperti professor..murawi membayangkan professor maha gurunya yang rata-rata diam seperti Parmin, Ia tinggal di tempate Gusti Alloh, berarti pikirannya adalah milik Gusti Alloh, sejak pertemuan imajinernya dengan Parmin sang Profesor dari Golok Murawi bertekad akan menggunakan pikiran dan akalnya yang “paringane” Gusti Alloh dengan sebaik-baiknya. Tidak akan lagi diisi dengan pikiran negative, buktinya Parmin saja bisa jadi perlente dalam pikirannya, artinya benar kata filusuf Yunani… “cognito ergo sum”….aku berfikir maka aku ada… pertemuan imajiner dengan Parmin telah menambah satu tingkat perubahan dalam hidupnya, Murawi kini tak pernah lagi dendam dengan wanita yang pernah menistakannya, pikirannya tak pernah lagi bernegatif ria…
Posted on: Thu, 25 Jul 2013 04:06:29 +0000

© 2015