Sentuhan Kasih Sayang (Dicuplik dari Buku “Menyemai Kreator - TopicsExpress



          

Sentuhan Kasih Sayang (Dicuplik dari Buku “Menyemai Kreator Peradaban”) Sewaktu belajar di madrasah, saya pernah bertanya kepada guru yang biasa mengajar di kelas. Sang guru berusaha menjawab pertanyaan saya. Tiba-tiba matanya berkaca-kaca. Ia sadar, penjelasannya kurang memuaskan saya. Ia mengakui tak mampu memberikan pemahaman lebih baik dari itu. Esoknya, dengan penuh kasih ia gandeng tangan saya menghadap kepala madrasah yang dipandang lebih senior dan lebih mumpuni. Sang kepala sekolah juga ternyata tak mampu menjawab secara memuaskan. Mereka berdua pun memohon maaf. Pelupuk mereka sembab oleh air mata. Saya benar-benar bertemia kasih atas upaya tulus mereka. Saya pun melanjutkan belajar dari satu pesantren ke pesantren yang lain. Pertanyaan saya satu per satu kian terjawab. Makin lama makin luas dan dalam. Sepulang dari pesantren dan saya pulang kampung, dua guru madrasah itu mendatangi saya. Mereka masih ingat pada pertanyaan yang saya ajukan bertahun-tahun silam itu. Kini giliran mereka minta saya menjelaskan jawabannya. Mereka mengangguk-angguk dan berterima kasih kepada saya. “Sekarang, masihkan ada sosok guru seperti itu?” tanya Kiai Sahal Mahfudh, menutup cerita masa belajarnya dulu kepada rombongan Mendikbud saat bersilaturahmi untuk membahas Kurikulum 2013 awal tahun ini. Ketua Umum MUI Pusat ini sejatinya mengajak kita becermin. Satu sisi, betapa pendidik itu perlu bertanggung jawab penuh terhadap perkemangan anak didik. Di sisi lain –mafhum mukhafafah-nya – betapa kecintaan pengajar terhadap anak didik ini mulai pudar. Kini, kata Kiai Sahal, guru kebanyakan mulai beriorientasi materi. Baik materi dalam arti transfer informasi dan pengetahuan sesuai kurikulum bagi muridnya maupun materi dalam arti transfer gaji dan tunjangan bagi dirinya. Dalam konteks pertama, proses endidikan bergeser jadi sekadar pengjaran. Dalam konteks kedua, guru yang mesti “digugu” dan “ditiru” menjadi sekadar profesi yang berbasis sertifikasi. Pandangan kiai yang menjabat anggota Badan Pembia Pendidikan Nasional (BPPN) semasa Mendikbud Wardiman Djojonegoro itu mewaili kerisauan banyak orang. Bukan hanya di Tanah Air. Profesor Svi Shaviro dari University of California juga meninjau ulang situasi pendidikan di Barat, terutama di Amerika. Ia menyaksikan sekolah-seolah yang bersaing keras satu sama lain demi mencapai kualifikasi tertinggi sesuai dengan alat ukur yang ditetapkan pemerintah; ruang-ruang kelas yang mirip pabrik untuk memproduksi sumber daya manusia yang akan dijual di pasar tenaga kerja; guru-guru yang sibuk mempersiapkan, melaksanakan, dan memeriksa hasil tes yang makin lama makin canggih; para siswa yang mengerahkan perhatiannya untuk lulus dalam tes-tes itu dengan ukuran kelulusan yang makin lama makin berat; orangtua yang memberikan “belajarlah yang rajin, jadilah orang yang bijak bestari.” (Losing Heart: 2006). Intinya, guru tak lagi mendidik, ia hanya mengajar. Murid tak lagi tumbuh, ia hanya menambah ilmu. Dari sekolah keluarlah orang-orang yang mengubah kearifan menjadi informasi, masyarakat menjadi pasar, agama menjadi komoditas, politik menjadi rekayasa, dan kesetiawakanan menjadi nepotisme. Hal itu terjadi karena pendidikan telah kehilangan jiwa, dilepaskan dari esensinya. Education worthy of the name is essentially education of character, kata Martin Buber. Hasil belajar mengajar adalah pengetahuan, hasil pendidikan adalah karakter. Yang pertama adalah agar anak didik lulus ujian sekolah, yang kedua agar mereka lulus ujian kehidupan. Keprihatinan itu pula yang kami rasakan sehingga perlu merumuskan kurikulum 2013. Arahnya adalah peningkatan kompetensi yang utuh antara pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), dan sikap (attitude). Tiga ini harus dimiliki peserta didik. Ukuran keberhasilan peserta didik dapat dilihat dari pertambahan pengetahuannya, peninkatan keterampilannya, dan kemuliaan kepribadiannya. Di sinilah guru berperan besar. Kualitas guru wajib ditingkatkan. Selain penguasaan akademis, hal-hal nonakademis juga perlu dikuasai guru. Paling tidak, dalam sertifikasi seorang guru harus memiliki kompetensi pedagogik, akademik (keilmuan), sosial, dan kepribadian atau kepemimpinan. Dengan terus menyempurnakan kompetensi-kompetensi tersebut diharapkan guru bisa berperan sebagai role model (pengemban ketaladanan). Pendidikan dengan cara memberi teladan terbukti jauh lebih berkesan dan membekas dalam diri peserta didik. Lisanul hal afsahu min lisanil maqal. Pakar pendidikan menyebutnya learning by doing (mengajar dengan tindakan) dan learning by example (mengajar dengan contoh). Itulah makna lain dari kearifan lokal tentang guru itu digugu dan ditiru. Pemikirannya layak digugu dan perilakunya layak ditiru. Dari cerita Kiai Sahal terbersit teladan tentang kerendahan hati, tanggung jawab, dan belajar tiada henti. Menjadi guru bukan berarti tahu segalanya. Tak perlu berupaya dirinya tampak pintar di depan murid, tapi berupaya mengantar murid lebih pintar dari dirinya. Jumat barokah untuk kita semua. Tks (*) Renungan dari Bapak Mendikbud
Posted on: Mon, 11 Nov 2013 11:36:29 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015