Untuk menemani malam Minggu ini, bagaimana kalau aku posting 2 - TopicsExpress



          

Untuk menemani malam Minggu ini, bagaimana kalau aku posting 2 buah cerita? Salah satunya buatanku sendiri. :) Cerita pertama. Yang kedua nanti 2 jam lagi ya? :D Ada Yang Hilang Karya: Anissa Trisdianty Post By: Yukki Source: cerpenmu 22 November 2006 Semuanya berakhir hari ini. Penantian buta itu terhempas begitu saja sore tadi, entah keberanian darimana yang membuatku mampu mengucap selamat tinggal dan semua yang kurasakan. Padahal jika kupikir ulang, bagaimana aku bisa mengucapkan selamat tinggal kepada orang yang selama ini tidak pernah menjadi milikku ? Tapi sudahlah, aku yakin ini bukan sesuatu yang salah, karena bukankah selama inipun aku sudah cukup lelah, tiap saat terus mengalah, ya kan ? Apapun yang terjadi besok, aku harus mampu membawa senyum, althought it just a pretend. Biar sajalah, cukup bantal, guling dan setumpuk kertas di kamarku yang memahami, bahwa hatiku tak lagi bertepi. Kututup diary-ku. Malam ini, tidak seperti malam-malam sebelumnya, ada duka yang bergelayut mesra di pinggir hatiku, ada duka yang tak terbayangkan sebelumnya. Tiba-tiba dadaku sesak, apa yang terlewati kembali teringat dan menari-nari di angan, mempermainkanku dan seakan menyuruhku untuk megingkari apa yang sudah menjadi keputusan. Air bening itu kembali mengalir, menyusupi kelopok mataku yang lelah. Kucoba berdiri terbalik, kutaruh kepalaku di bawah dan kakiku diatas, persis seperti saran Vic Chou pada Sanchai di film Meteor Garden, tapi nihil…air bening itu tetap mengalir. Kuputuskan keluar dari kamarku yang pengap, kupandangi meja makan, dapur, ruang tv, semua sepi. Aku baru sadar, ternyata ketika kesedihan bercumbu dengan kesunyian, mereka hanya mampu melahirkan satu hal yaitu Keputusasaan. Kembali kumasuki kamar yang pengap, kucoba memejamkan mata. Uh gak bisa ! Pukul sepuluh lewat, handphoneku berdering… “ Halo !” sautku lemah. Tidak ada suara, diseberang sana sunyi, tapi tiba-tiba mengalun sebuah lagu yang baru kudengar satu dua kali. Aku hanya bisa terdiam melihat kau pergi, dari sisiku, dari sampingku… Tinggalkan Aku seakan semuanya,…yang pernah terjadi, tak lagi kau rasa… Jantungku berdebar, tiba-tiba adrenalinku melonjak naik, kepalaku pusing, ada sesuatu yang ingin segera keluar dari mulutku, tapi semua tertahan seiring bait-bait lagu yang begitu menampar. Hanya satu orang yang mampu melakukan ini, cuma satu orang yang kukenal punya kebiasaan sebegini unik, ya…dia, cuma dia. Tak pernah sedikitpun Aku bayangkan, betapa hebatnya cinta yang kau tanamkan… Hingga waktu beranjak pergi, kau mampu hancurkan hatiku… Ada yang hilang dari perasaaanku, yang terlanjur sudah kuberikan padamu… Hancur ? siapa yang hatinya lebih hancur, dia atau Aku ? siapa yang lebih terluka, dia atau aku? Air bening itu benar-benar memaksa keluar, aku benar-benar gak kuat, tangisku pecah, semuanya benar-benar di luar dugaan. Ironisnya aku tetap duduk terpaku mendengar apa yang dia mau, hingga…KLIK, telepon terputus. Aku diam sesaat, apa yang harus kulakukan, malam ini siapa yang bisa kumintai sarannya, lagipula siapa yang benar-benar peduli padaku. Aku benar-benar sendiri malam ini, benar-benar sendiri. Mataku terasa berat, aku merasa seperti terbang entah kemana, sampai akhirnya satu suara khas membuatku terjaga, “ Naaaay, shalat subuh, udah setengah tujuh tuh !” —————- Ruang kelas XII SOS 2… Suasana kelas dingin, Aku masuk bersama seraut wajah yang jauh dari rencanaku semalam. Aku ingin tersenyum cerah, tapi hatiku marah. Kutatap bangkunya, masih kosong. Saat duduk, semua mata memandangku aneh, kemana aku yang begitu heboh ? ada apa dengan pagi ini ? “ Naya, lo kenapa ?” Yuza menyapaku dengan wajah teduhnya. Aku cuma mampu menggeleng, “ Gue baek – baek aja kok !”. “ Yakin ?” kejarnya, aku cuma mengangguk lemah. Aku terus diam terpaku , sampai sekelebat aroma yang ku kenal melintas di depanku. Seketika aku menoleh, kulihat dia acak-acakan, ada yang disembunyikannya dibalik mata itu, bukan…bukan mata yang menghitam karena menangis, tapi sesuatu yang pergi, persis seperti bait lagu semalam, Ada yang hilang dari perasaaanku, yang terlanjur sudah kuberikan padamu… Aku berbalik, tidak…aku gak boleh peduli terhadapnya, terhadap mata yang menghitam itu, terhadap sesuatu yang pergi itu, keputusan tetap keputusan, gak mungkin harus menjilat ludah yang sudah terlanjur terbuang. “ Sekarang buka buku kalian halaman 345, pelajari lima menit, setelah itu ibu akan adakan kuis !” suara Bu Tuti membuyarkan lamunanku. Halo…masalah sering datang disaat yang gak tepat, kenapa Bu Tuti harus ngadain kuis disaat otakku gak bisa mencerna dengan baik sih ? Yuza menatapku lekat, kayaknya dia ngerti apa yang lagi aku rasain “ Sabar ya Nay, masalah emang suka dateng gak tepat waktu !” ucapnya lembut. Aku tersenyum, benar-benar tersenyum, ternyata aku gak sendirian. —————- Ruang tamu, pukul 19.15 Mataku terpaku menatap sebuah benda yang tersimpan dipojok ruang tamu. Pesawat berwarna biru disamping boneka Spongebob itu seolah memanggil-manggilku untuk meraihnya. Membujukku untuk menekan-nekan tombolnya, dan mendengar suaranya ! ” Halo !”, itu saja! Cukup menjadi petunjuk untukku, bahwa ia baik-baik saja. Tapi ah, untuk alasan apa ? bukankah kemarin semuanya sudah berakhir, bukankah aku sudah menetapkan keputusan, lalu mengapa masih seperti ini ? alasan apa yang bisa meloloskanku dari dosa? Walau aku hanya ingin memastikan ia baik-baik saja, memastikan bahwa aku ada. Sinyal itu berdengung satu dua, Ah…ada ragu yang menyeruak, kuletakkan gagang telepon di tempat semula, Ya Allah, kenapa aku ini…? Aku menuju meja makan, saat kubuka tudung saji, ada sepiring martabak telur favoritku. Aku ingin ambil satu, tapi selera makanku tidak begitu memburu, gak seperti biasanya, kalau ada martabak, gak aku ijinin satu orangpun nyentuh selain aku. “ Kok tumben gak selera ngeliat martabak, Nay ?” tanya mama yang tiba-tiba udah ada di belakangku. Aku menggendikkan bahu, lalu ngeloyor pergi. “ Kalo ada masalah mbok ya cerita Nay, berbagi sama mama !” ucapan mama pelan. Aku tersenyum, seketika Aku berbalik, kulihat senyum tulus mama disela-sela kunyahan martabak, ingin rasanya aku menghambur dalam peluknya, tapi gengsi…aku udah tujuh belas tahun, masa gak bisa nyelesein masalah sendiri sih. “ Mbak gak papa kok ma, lagi gak selera aja, jarang-jarang kan mama bisa nikmatin martabak tanpa harus berantem dulu sama mbak !” cuma itu yang mampu kuucapkan, lalu aku benar-benar pergi, bukan ke kamar, tapi Danny ya…rumah Danny tujuanku kini. —————- Koridor SMA Merah Putih, pukul 10.15 Dia gak masuk hari ini, tadi Rai bilang kalo dia sakit. Sakit apa ya ? Aku khawatir dia kenapa-napa, tapi gimana caranya tau kalau dia baik-baik aja, telpon ? Ah, kenapa itu selalu jadi pilihan awal ? Apa gak ada cara lain ya ? Hatiku sibuk mencari cara, padahal sebelum insiden sore itu, aku gak perlu cari alasan untuk sekedar nanya kabarnya. Langkahku masih lurus menyusuri koridor Merah Putih yang ramai, sampai akhirnya terhenti ketika satu suara memanggilku, “ Nay, bisa ngomong sebentar gak ?” tiba-tiba Haris datang tergopoh-gopoh. “ Kalau cuma mau bilang gue jahat, mending gak usah !” ucapku berlalu. “ Enggak…please, sebentar aja !” kejarnya sambil terus membuntuti langkahku. Napasku tertahan sesaat, aku gak berani ngebayangin apa yang bakal Haris omongin kali ini, kemarin dia udah cukup bikin aku nangis seharian, gara-gara dia bilang aku jahat. “ Ini soal Idan, dia gak masuk ya hari ini ? “ “ mmm…terus kenapa ? mau bilang semua gara-gara gue, iya ?” air mataku tertahan. “ gak juga sih, tapi iya juga !” “ Udah deh, sebenernya lo mau kasih tau gue gak dia sakit apa ? kata Rai cuma sakit kepala biasa, masa sampe gak masuk ?” aku mulai emosi “ Yah Nay…Nay, kalo cuma sakit kepala mah, paramex di warung banyak. Tapi kalo yang sakit ati, mau nyari obat kemana ?” Aku tercenung, kepalaku pening, kenapa jadi aku yang sakit kepala nih ? Everything too crowded, semuanya tiba-tiba menyergapku, menjadikan aku tersangka utama atas kasus ini, hah…sayangnya dalam kasus ini aku gak punya pengacara, aku gak punya orang yang bisa belain aku, seperti mereka-mereka yang mampu belain dia dan mojokin aku abis-abisan ! Apa makhluk ini gak sadar kalau aku bener-bener butuh kesendirian, setidaknya untuk saat ini. “ Dan dia sampe mau ngungsi segala, ya…lo tenang aja, dia gak akan pergi jauh, paling kerumah Andi atau ujung-ujungnya ya rumah gue !” lanjutnya Alamak, tenang katanya ? Sumpah kali ini Haris bener-bener bikin semua engsel tubuhku seakan lepas. Siapa yang tenang kalau begini, ( halo pembaca…siapapun gak akan tenang denger orang yang paling berarti sakit hati, kan ! ). “ Gue pening ris, bilang aja sama Idan, cepet sembuh aja gitu !” parah, cuma itu yang mampu keluar dari mulutku, dari sekian banyak yang ingin kusampaikan padanya. “ Akhirnya gue sadar satu hal Nay, lo gak cuma jahat, tapi JAHAT BANGET !” kalimat itu yang kudengar dari Haris, sebelum akhirnya dia pergi ninggalin aku begitu saja. ———— Rumah Danny, pukul 20.23 Rumah Danny sunyi, cuma suara tv dan mp3 yang sahut menyahut. Danny memandangku lekat-lekat menunggu apa yang akan kukatakan malam ini, tapi aku hanya diam sambil memainkan kuah baso yang tersisa. Simpan saja…rasa dihatimu, sudah lupakan hasratku… “ Ah…lagu begini gak usah di denger !” tangan Danny refleks memencet tombol stop, aku melongo. “ Lo sakit ya Nay ?” “ Sakit banget, kepala gue pening !” “ Bukan itu !” “ Gila maksud lo ?” Danny menggeleng, tapi sejenak dia mengangguk ragu “ Ya semacem itu, mendekati “ Mungkin Danny benar, ya…ada kemungkinan aku depresi, alah…itu cuma politik Danny buat nakut-nakutin aku, sumpah aku masih normal, normal banget malah. “ Idanious Kronis, stadium IV , lo inget Apradita Arrahmi, yang di Cintapuccino ? lo senasib sama dia, cuma bedanya, dia berani menghadapi kenyataan, sedang lo..” Danny berhenti sampai di situ, mungkin menangkap aura negatif dari wajahku. “ Sedang gue takut …” kalimatku menggantung, entahlah kenapa sekarang aku jadi senang menggantungkan kalimat. “ Dasar…” Danny ikut-ikutan menggantung kalimat. “ Dasar apa ?” kejarku “ Dasar Negara Pancasila !” sahutku dan Danny bersamaan. Sejenak tawa meledak, Danny menatapku iba, “ Gue bener-bener keilangan lo Nay, semangat lo, semuanya !” Kupaksa berikan sepotong senyum di bibir, Aku gak boleh bikin orang-orang terdekatku merasa kehilangan. Hey, bukannya aku pantang di kasihani, bukannya selama ini semua tangis cuma ada di belakang punggungku, bukannya tangis hanya ada di kamar mandi, di depan bak air dan kawan-kawannya ? Aku bangkit, kalau terus-terusan di sini, Danny bakal bikin aku jadi cengeng. “ Gue balik Dan, basonya lo aja yang bayar, dompet gue ketinggalan !” “ Dasar lo, lagi sedih masih sempet-sempetnya meres gue, ya udah pulang sana !” Aku nyengir, Danny melempar kulit rambutan dan mengenai kepalaku. “Dan, secepatnya gue balik kaya Naya yang dulu !” ucapku dalam hati. ———— Ruang kelas XII SOS 2, pukul 12.05 Gemetar kupegang kertas kuis Bu Tuti, perlahan-lahan kutatap angka yang tertera di sana. Mulanya kulihat angka lurus seperti tongkat, dibelakangnya menyertai sebuah angka bundar, kututup kembali kertas itu, sepuluh ? gak mungkin ? sebego-begonya gue, masa cuma dapat sepuluh. Aku mengintip lagi, napasku langsung lega ketika kulihat ada garis melintang ditengah tongkat tersebut, hah…tujuh puluh, PAS-lah, selalu pas-pasan. “ Dapet berapa ?” tiba-tiba Yuza sudah berdiri di belakangku. “ Tujuh Puluh, pas-lah !” jawabku lesu. Handphoneku bergetar, satu pesan masuk. Dadaku berdebar, sudah berapa hari ini handphoneku pensiun, sepi, gak ada sekedar sms atau telephon, dan hari ini, satu pesan hadir setelah sekian hari yang sunyi. Klo blh aq ju2r, aq lbih sneng km ninggalin aq dri dlu… Sender : +628881304774 11 : 56 24/ 11/2006 Jantungku seakan copot membacanya, Danny…! ———— Anyer Beach, pukul 17.00 Laut begitu tenang, semburat orange sudah mulai menyapu langit yang biru. Air bening itu terus saja mengalir, hatiku yang sebelumnya tak bertepi, kini malah hancur sama sekali, ini gara-gara sms siang tadi, semua ruang pertahananku hancur seketika. Sunset tinggal beberapa menit, persis seperti yang ada dalam mimpiku, cuma yang beda, di kenyataannya aku hanya sendiri, tidak bersamanya. “ Ini kenyataan…” gumamku lirih, “ Kenyataan seringnya cuma menyakitkan !” gumamku lagi. “ Tapi kenyataan itu lo sendiri yang bikin !” suara Danny tiba-tiba sudah menemaniku. “ Ngapain lo kesini ? “ tanyaku sambil menghapus titik air yang masih menggantung di pelupuk mata. “ Harusnya gue yang nanya, ngapain lo di sini ? lari dari kenyataan ?” tanyanya tajam. Aku kaget, Danny gak pernah bertanya setajam itu . “ Nay, liat ! “ ucapnya sambil menunjuk ombak yang berdebur kecil. “ Semua ini begitu indah untuk lo tangisin, hidup lo, harapan lo, mimpi lo, Tuhan udah kasih lo banyak kebahagiaan, apa lagi Nay ?” lanjutnya. Aku menutup wajahku dengan ke dua tangan, tangisku tumpah lagi, “ Lo gak ngerti apa yang gue rasain !” ucapku lirih. “ Terlalu mendramatisir, bentar lagi pasti lo bakal bilang, Dan…gue udah lima tahun gini, bullshit, lo itu bener-bener nyebelin sekarang !”. Dadaku sesak, oh…aku baru sadar ternyata aku jadi sebegitu nyebelinnya, sampai-sampai Danny, Ah…dadaku semakin sesak. “ Itu kenyataanya Dan !” duh kenapa itu yang keluar dari mulutku sih ?. Danny menyeringai sinis, “ Apa sih yang lo tau tentang kenyataan, kalo lo sendiri lari dari dia ? Mau lo apa sih Nay ? Pertanyaan itu yang bakal gue tanya kalo gue jadi Idan !” Aku menggeleng lemah, “ Gue cuma mau dia seneng !” “ Ah…selalu, selalu itu, bullshit Nay, lo itu gak pengin bikin dia seneng, lo cuma bikin dia susah kalo begini caranya, lo itu cuma gak rela ngeliat kebahagiannya akhir-akhir ini, lo itu egois Nay, egois…” “ Dan !” suaraku meninggi bersama emosi. Aku dan Danny saling tatap, mataku nanar, kutangkap setetes air bening mengalir di sela matanya yang menatapku tajam. “ Gue sayang banget sama dia Dan, lo bener, dia udah bahagia, kenapa harus gue hancurin kebahagiaannya ya ?” suaraku melirih “ Maafin gue, gue cuma gak mau ngeliat lo sedih terus, gue cuma gak mau ngeliat semangat lo ilang Nay. “ desahnya pelan, ringan sekali, sampai angin pantai mampu menerbangkan pergi. “ Pulang yuk Dan, gue udah lega sekarang, lega banget Dan, kata-kata lo, udah ngasih jawaban apa yang harus gue lakuin” ucapku sambil menggandeng tangannya pulang. Mobil Danny melaju kencang, meninggalkan semua kehampaanku, kupandangi bibir pantai, laut masih tenang, dan hatiku pun harus segera seperti laut. “ Nay, butuh dokter gak ? “ “ Untuk ?” “ Ngamputasi Idanious lo, atau perlu gue cariin Mr. Right, biar cepet-cepet lupa sama Idan, ya…sesama wanita, gue cukup ngerti kebutuhan lo !” Aku nyengir, diamputasi juga percuma, Idanious udah stadium IV, dan bagian yang terinfeksi bukan lagi tangan, kaki atau otak, tapi hati. “ Gak perlu, justru gue pengin nikmatin, sampai kapan sih Idanious ini bakal bertahan ?” Biar bagaimanapun, Idan sudah membuat hidupku yang tadinya hanya hitam dan putih, menjadi penuh warna, ada biru, merah muda, pokoknya semuanya. Biar saja dia jadi memory terindah, dan rasa itu, biar saja bertahan sampai nantinya ada yang mampu mengganti. “ Si Trinaldo oke juga tuh Nay, lumayan buat serep !” “ Sialan…..”
Posted on: Sat, 23 Nov 2013 10:06:01 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015