Dear Dylan Stephanie Zen part 5 Target 21 - TopicsExpress



          

Dear Dylan Stephanie Zen part 5 Target 21 like #jacob_black “Waooowww!” Aku menoleh mendengar suara kagum itu, dan mendapati Grace berdiri di belakangku sambil mencomoti kentang goreng dari kantong kertas berlogo McDonald. “Gila, Lice, lo cantik bangeeeetttt,” katanya lagi, kali ini sambil menggeleng-geleng tak percaya. “Sudah kubilang begitu!” Kak Rana tersenyum lebar sambil bertepuk tangan lagi. “Nah, Alice, that dress is now officially yours. For free!” “Hah?!” Aku melongo. Kalau tadi aku masih kaget karena melihat penampilanku di kaca yang berubah bak peserta The Swan yang dioperasi plastik habis-habisan, sekarang aku lebih kaget lagi. Gaun ini... Kak Rana ngasih gaun ini... gratis? “Wow! Thanks, Kak!” seru Grace, nyolong start karena melihatku yang speechless. “Sama-sama. Oya, ntar jangan lupa bilang Julia, lagi ada new arrival nih di sini. Aku belum sempat kabarin dia sendiri soalnya, oke?” “Sipp!” Grace mengacungkan jempolnya, menyebabkan sepotong kentang goreng jatuh di lantai karena ia melepaskan jepitan antara jempol dan telunjuknya pada kentang itu. “Tapi... tapi... Kak Rana, aku nggak boleh dong terima gaun gratis begini... Aku...” “Oya, sampai lupa! Stileto sama jepit rambutnya juga gratis! Hehe...” “Kak Ranaaa...” Aku sekarang mulai terdengar kayak anak kecil merengek. Gila aja kalau ini semua beneran gratis! Matahari bisa terbit di selatan besok pagi! “Aku nggak bisa gitu aja dapat semua ini tanpa melakukan apa-apa...” Kak Rana tergelak, lalu mengibaskan tangannya. “Of course kamu harus melakukan sesuatu, Alice.” GLEK! Ini sih jauh lebih parah dibanding membayar bill! Asal tahu aja nih ya, kalau di majalah ada produk Run & Ran, biasanya ada tulisan begini: Dress by Run & Ran, price upon request. Nah, untuk butik yang nggak biasa mencantumkan harga produknya di majalah (mungkin karena takut pembacanya tersedak lalu mati begitu membaca harganya atau apa, aku nggak tahu), aku pasti harus melakukan hal yang “berat” kalau benar-benar mau dapat barang gratis. “Mmm... apa?” tanyaku ketar-ketir. “Nanti pas di red carpet bakal ada fashion police-nya, kan?” Aku mengangguk. “Nah, yang perlu kamu lakukan cuma... kalau mereka tanya di mana kamu dapat gaun, sepatu, dan aksesori, kamu cuma perlu bilang kamu beli di Run & Ran, oke?” Aku mengerjap. “Hah? Itu doang?” ceplosku. “That’s all,” yakin Kak Rana. “Promosi adalah kunci sukses bisnis!” “Tapi masa cuma dengan bilang begitu, aku bisa dapat gaun...” “Hei, don’t be silly!” Kak Rana menggoyang-goyangkan jari telunjuknya di depan mukaku. “Memangnya kamu nggak tahu berapa banyak orang yang menonton MTV awards? Nah, seharusnya malah kami harus membayar kamu lagi kalau minta dipromosikan di red carpet! Gaun dan yang lain-lain itu belum apa-apa!” Aku mengangguk dengan wajah bego. Memang sih, kalau dipikir-pikir, biaya promosi di acara sekelas MTV Awards pasti naujubile mahalnya. Dan memang lebih menguntungkan buat Run & Ran kalau mereka “cuma” perlu membayarku dengan gaun, stileto, dan jepit rambut ini untuk mempromosikan mereka di acara itu. Tapi tetap aja aku merasa nggak enak. Maksudku... bilang ke orang lain kalau kamu pakai produk berlabel Run & Ran saja sudah kebanggaan tersendiri. Confidence injection bangetlah pokoknya. Tapi aku sekarang malah dapat keuntungan dobel: udah dapat produk gratis, bakal jadi pede pula karena penampilan oke. Lucu aja sih rasanya. Dan ini semua karena aku pacar Dylan? “Deal, Alice?” tanya Kak Rana sambil mengulurkan tangannya. Aku menyambut uluran tangan itu. “Deal.” Yah, satu lagi keuntungan punya pacar seleb, hihi... * * * “Huaahh... gila, gue nggak bakal makan di situ lagi deh! Tobat!” Grace ngedumel sambil mengelus-elus perutnya dengan wajah meringis. “Baru kali ini gue mencri-mencri di mal!” Aku cekikikan. Tadi setelah dari Run & Ran, Grace menyeretku ke restoran yang menyediakan menu masakan Sunda. Dia pesan ikan bakar bumbu ekstrapedas dengan gaya yang sangat meyakinkan, tapi begitu mulai makan, dia mendesis-desis kepedasan, sampai banjir keringat! Ternyata tukang masak di restoran itu benar-benar menuruti deskripsi “ekstrapedas” yang diberikan Grace! Grace bilang, pasti ada lebih dari sepuluh cabe di sambal ikan bakarnya! Tapi emang dasar rakus, dia nekat menghabiskan pesanannya itu, walaupun mulutnya sudah berasap kayak lokomotif Hogwarts Express. Akibatnya dia menghabiskan hampir satu jam berikutnya di toilet mal, mengucurkan semua isi perutnya yang bergolak akibat sambal ekstrapedas itu. “Makanya, lain kali nggak usah sok gaya pesan yang ekstrapedas! Lo kan belum tahu level pedas di resto itu kayak apa! Bisa aja yang pedasnya sedang ternyata udah sesuai sama selera lo.” “Lice, lo prihatin dikit kek temen lo lagi kesusahan begini! Jangan malah ngomelin dong! Aduuuhh... perut gue masih melilit nih...” Grace meringis sambil mengusap-usap perutnya lagi. Kami terus berjalan melintasi tempat parkir menuju tempat mobil Grace diparkir, berniat pulang karena udah kecapekan plus Grace nggak sanggup lagi jalan-jalan dengan perut jungkir-balik. “Eh eh eh... kenapa nih?” tanya Grace begitu kami sampai di sebelah mobilnya. “Kenapa? Lo mau balik ke toilet lagi?” tanyaku khawatir. Kalau iya, berarti ini sudah ketujuh kalinya Grace masuk toilet dalam satu jam terakhir. Sudah masuk tingkat mengkhawatirkan nih, harus dibawa ke rumah sakit, kalau nggak dia bakal dehidrasi! “Nggak, nggak. Nih, lihat nih!” Grace menunjuk mobilnya, dekat pintu kursi pengemudi, dan aku langsung menyadari apa yang dia tunjuk itu. Mobil Grace adalah lungsuran dari Kak Julia, Toyota Kijang LGX keluaran tahun 2003, yang masih dalam kondisi mulus. Tapi sekarang, di dekat pintu pengemudi, ada bekas sesuatu yang dicabut. Masih ada sisa-sisa lem menempel di sana, dan aku nggak perlu menebak-nebak apa tadinya yang menempel di situ: tulisan KIJANG beserta gambar kepala Kijang yang pasti ada di tiap mobil bertipe ini. “Hah? Kok bisa gini?” tanyaku bingung. “Gila, yang kayak begini bisa dicuri orang juga?” Grace berdecak, lalu dia mengelilingi mobilnya, memeriksa kalau-kalau ada yang hilang lagi, tapi ternyata semua masih lengkap kecuali tulisan KIJANG itu. “Tadi waktu kita turun, tulisannya masih ada, kan?” tanyaku memastikan. “Masih. Gue ingat banget kok. Pasti diambil orang waktu kita belanja di dalam tadi.” Wajah Grace sekarang serius banget, nggak kelihatan bahwa sepuluh menit lalu dia merintih-rintih karena harus bolak-balik ke toilet. “Kita cari sekuriti?” tawarku, dan secara kebetulan dua satpam lewat, berboncengan sepeda motor. Aku menghentikan mereka, dan menjelaskan apa yang terjadi pada mobil Grace. “Gimana ini?” tanyaku galak pada kedua satpam itu setelah selesai bercerita. “Padahal kami bayar uang parkir di sini, tapi kenapa mobil teman saya jadi begini?” Entah kenapa aku tiba-tiba merasa marah. Kedua satpam itu saling memandang, mungkin mereka bingung anak SMA macam aku bisa galak begini. “Bapak-bapak dari tadi berpatroli di tempat parkir ini, kan?” tanyaku lagi, dan kedua satpam itu mengangguk. “Tapi kok bisa mobil teman saya jadi begini ya? Bapak-bapak lalai melaksanakan tugas?” Waow, sekarang aku malah menghakimi mereka? “Begini, Mbak,” kata salah satu satpam, “sebaiknya Mbak lapor ke kantor saja.” “Terus, kalau saya lapor ke kantor, apa kantor kalian mau mengagnti kerugian yang kami alami?” sudutku. Kedua satpam itu nggak menjawab. “Lice, udah nggak papa, biarin aja...” Grace menggandeng lenganku, berusaha menenangkan. Lucu juga sebenarnya, mobilnya yang dirusak, tapi yang ngomel malah aku. “Nggak bisa gitu, Grace. Ini bukan masalah sepele macam ganti rugi. Ini masalah keamanan, yang sudah kita bayar, tapi nggak kita dapatkan!” jelasku, lalu menoleh lagi pada kedua satpam itu. “Kami nggak akan kembali ke mal ini lagi! Mal ini nggak aman! Isinya doang bonafid, keamanannya masih bagus di Tanah Abang!” Kedua satpam itu terlongong bengong, dan aku langsung masuk ke mobil, diikuti Grace. Nggak sampai lima menit, kami sudah keluar dari tempat parkir itu, dan melaju di jalan raya. “Gila, lo nggak takut sama satpam itu tadi?” tanya Grace. “Lho, buat apa takut? Kita nggak salah kok. Memang bener temapt ini yang nggak aman. Sori, ya, Grace, gara-gara nemenin gue ke sini, mobil lo jadi dirusak...” “Ah, udah, lupain aja. Lagian kan gue yang ngajak lo ke sini, jadi lo sama sekali nggak salah. Malahan gue kagum banget sama lo, berani nantangin satpam-satpam tadi. Emang seharusnya keamanan tempat parkir jadi tanggung jawab mereka, kan?” Grace mengendalikan setirnya dengan santai. Aku terdiam, dan berpikir. Kenapa sekarang barang macam tulisan KIJANG begitu saja sampai dicuri, ya? Kalau yang diambil velg atau tape mobil mungkin masih masuk akal, tapi ini...? Apa ada orang yang tingkat ekonominya begitu parah, sampai harus mencuri barang seperti itu supaya bisa dijual dan dapat uang untuk makan? Tapi sekali lagi, kalau memang itu alasannya, kenapa nggak mencongkel velg atau apa? Tulisan KIJANG begitu harganya berapa, coba? Aku mengembuskan napasku di kaca jendela mobil. Kasihan banget orang yang sampai harus mencuri begitu... Apa dia nggak punya pekerjaan, yang berarti nggak punya penghasilan? Memang, kesejahteraan masyarakat di Indonesia ini payah banget. Lapangan kerja nggak cukup, ada pekerjaan pun penghasilan belum tentu mencukupi, gimana bisa hidup? Padahal sekarang apa-apa mahal. Makanan, tempat tinggal, pakaian, uang sekolah, BBM, tarif Rumah Sakit, semuanya nggak ada yang murah... Tapi gimana kalau ini bukan pencurian biasa seperti yang kupikirkan? Bisa saja ada motif lain, kan? “Kami nggak akan kembali ke mal ini lagi. Mal ini nggak aman! Isinya doang bonafid, keamanannya masih bagus Tanah Abang!” Kata-kataku di tempat parkir tadi seperti bergaung kembali di telingaku. Gimana kalau ada orang yang sengaja melakukan ini, supaya pengunjung mal tadi merasa nggak aman, dan akhirnya jumlah pengunjung yang datang berkurang? Developer mal saingan, mungkin? Kalau pengunjung merasa mal itu nggak aman, dia akan mencari tempat belanja lainnya, bukan? Bisa saja alternatifnya mal atau pusat perbelanjaan lain yang ada di dekat mal tadi, yang dirasa lebih aman? Wah, benar juga. Developer mal saingan bisa dengan gampang membayar orang untuk melakukan hal itu. Dan nggak masalah apa yang dicuri dari pengunjung mal, yang penting menimbulkan kesan mal tersebut nggak aman. Aduh, kalau pikiranku itu benar, negeri ini sudah benar-benar kacau. Persaingan bisnisnya aja sudah nggak sehat begini... “Hoi! Ngelamun!” Grace menepuk bahuku keras-keras. “Mikirin apa sih, bo?” Aku menceritakan pada Grace soal pikiranku tadi, dan dia bengong. “Hei, akhir-akhir ini lo jadi dewasa, ya?” “Maksudnya?” tanyaku nggak paham. “Ya lo jadi suka mikir gitu. Ingat karya tulis lo, temanya juga „berat‟, kan?” Aku terdiam. Benar juga apa kata Grace, aku jadi suka mikir begini... Karya tulisku itu... padahal baru tadi siang dikumpulkan, tapi setelah semua kejadian di Run & Ran dan tempat parkir tadi, rasanya sudah lama sekali. “Haha, kok diam, Lice? Nggak papa kali, malah bagus lo bisa mikir sampai sejauh itu. Gue lihat, lo malah kayaknya peduli banget sama negara, ya?” Aku mengedikkan bahu. “Yah, kalau bukan kita yang peduli, siapa lagi?” “Iya juga sih...” Aku mengembuskan napasku ke kaca jendela sekali lagi. MTV AWARDS (YANG KACAU-BALAU) BANG BUDY melongokkan kepala dari pintu ruang kerjanya. “Dylan, tolong ke sini sebentar.” Gue menoleh pada Dovan dan Dudy, yang memandang gue dengan pandangan ingin tahu, lalu bangun dari kursi dan beranjak menuju ruangan Bang Budy. “Ntar gue ceritain,” kata gue pada mereka. Dovan dan Dudy mengangguk. “Ini soal masalah yang kita bicarakan waktu itu,” kata Bang Budy setelah gue masuk ke ruangannya dan menutup pintu. Rupanya kali ini Bang Budy nggak mirip ayam mau bertelur lagi, suaranya sudah terdengar tegas dan galak seperti biasa. “Ya, aku tahu. Soal Excuse.” “Betul.” Bang Budy mengangguk-angguk. “Kemarin Pak Leo menelepon lagi, dan dia... sudah mengajukan satu ide tentang kenapa kamu dan vokalis Excuse itu... ngomongngomong namanya Yopie, bisa berantem.” Gue mengangguk dengan tampang jengah. Semoga skenarionya nggak terlalu gila, dan semoga semua ini cepat berlalu. Rasanya gila sekali waktu gue mengambil keputusan untuk menuruti perintah Pak Leo. Tapi mau gimana lagi, gue nggak diberikan pilihan lain. “Nanti, kita akan mengarang seolah-olah Yopie... mengganggu Alice.” “WHAT?!” Gue refleks berdiri dari kursi, sampai kursi yang gue duduki nyaris terjengkang ke belakang. “Iya. Harus ada alasan kenapa kamu meninju Yopie, kan? Nggak mungkin kalau kalian tiba-tiba aja berantem tanpa sebab.” “Nggak, nggak...” Gue menggeleng. “Pokoknya nggak! Aku nggak mau Alice dibawabawa dalam skenario sinting ini.” “Tapi, Lan... nggak ada ide lainnya...” “Ohh, pasti ada!” Gue jadi emosi. “Misalnya... dia mengatai Skillful band cengeng atau apa, dan aku bisa langsung menonjoknya. Atau dia menghina aku, dan aku lepas kontrol.” “Tapi itu terlalu negatif...” “Memangnya menonjok orang itu positif?” serang gue. “Bukannya gitu...” Bang Budy menghela napas. “Tapi kalau alasan kalian berkelahi karena kamu membela Alice kan kesannya... kamu ada di posisi yang benar. Kamu akan terlihat gentle, sayang sama pacarmu, melindungi dia.” “Kalau aku melindungi dia, itu berarti aku nggak membawa-bawa dia dalam ide gila kayak gini!” Gue meninju meja Bang Budy. Damn, sakit juga! “Apa sih yang ada di otak Pak Leo? Kalau dia mau cari orang yang harus dikorbankan, aku aja! Nggak usah bawa-bawa Alice!” “Tapi kalau kamu menonjok Yopie dengan alasan dia menghina kamu dan kamu lepas kontrol, akan terkesan kamu orang yang high-temper.” “Terus kenapa? Toh nantinya image aku bakal jelek juga di depan orang! Sekalian aja jelek banget!” Bang Budy nggak menjawab lagi, dia menatap gue dengan gelisah. Gue tahu, dia juga pasti bingung gara-gara semua ide sinting Pak Leo ini, tapi gue yang harus jadi boneka pelakunya, bukan dia. Harusnya gue yang terlihat lebih bingung... “Apa... si Yopie itu suadh tahu soal skenario ini?” tanya gue setelah beberapa saat ruangan senyap. “Ya, dia udah tahu. Dia setuju apa pun skenarionya.” Jelas aja! Toh dia kepingin bandnya ngetop! Dasar artis karbitan! “Dylan, tolong... Kamu bisa bicara sama Alice, dia pasti nggak keberatan membantu kamu...” Iya, dianya nggak keberatan, gue yang keberatan! “Nggak. Sori, aku nggak bisa kalau skenarionya kayak gitu, Bang.” Dan gue meninggalkan ruang Bang Budy, juga melewati Dudy dan Dovan yang siap menginterogasi di depan sana, tanpa mengatakan apa-apa. Pertama masalah pernikahan Tora, sekarang masalah ini. Kalau ada masalah satu lagi, kayaknya gue bakal mati. M-A-T-I. * * * Sumpaahh, gue bengong sebengong-bengongnya waktu ngeliat penampilan Alice! Gilaaa... dia cantik BANGET! Harusnya gue sering-sering ajak dia ke acara begini ya, biar gue bisa lihat dia dandan? Wah, cewek gue top abis lah pokoknya! Dan untung juga gue udah minta izin sama Bang Budy supaya gue dibolehin pinjam mobil plus sopir manajemen untuk malam ini (tahu sendiri kan kalaug ue nggak bisa, dan nggak suka, nyetir mobil?). Kalau nggak, rusak deh dandanan Alice! Masa udah dandan cantik-cantik begitu, gue tega ngajak dia boncengan naik motor? Toh Dudy, Dovan, Ernest, dan Rey pada berangkat naik mobil sendiri-sendiri dan mobil ini nganggur, ya gue pake aja. Memang ya, cewek kalau sehari-hari tampil apa adanya, begitu dandan kelihatan cantik banget... Inilah kenapa gue suka punya pacar dari kalangan nonseleb. Secara, kalau seleb kan tiap hari make-up-nya tebal punya, jadi kalau special occassion gini juga penampilannya nggak special. Yang ada dandanannya makin menor, dempulnya makin tebal! Kalau Alice sih, wahh... lain deh pokoknya! Gue juga suka banget bajunya, warnanya antara campuran hijau dan biru gitu (apa sih istilahnya untuk warna ini???), dan modelnya juga nggak berlebihan, tapi pas banget buat dia. Terus bunga di rambutnya itu... gue sempat mengira asli, sebelum Alice bilang itu cuma bunga tiruan. Nah, gue agak malu mengakui, tapi gue bener-bener nggak bisa melepaskan pandangan gue dari dia sejak gue jemput di rumahnya. Bahkan sekarang di dalam mobil yang gelap dan dalam perjalanan menuju lokasi MTV Awards pun, gue memandangi dia tanpa henti. “Kamu cantik banget malam ini,” kata gue akhirnya. Heran, ngomong kayak begini saja kok susah banget ya? Alice menoleh, dan tersenyum kecil. “Makasih.” Dan tiba-tiba saja, gue sudah mencium pipinya. Alice tersenyum lagi. “Oya,” gue memulai obrolan, teringat permintaan Mama, “Mama minta kamu jadi penerima tamu di pestanya Tora sama Mbak Vita.” “Penerima tamu?” “Iya, cewek-ceweknya kurang satu, katanya.” “Ohh... ya udah, nggak papa, aku mau.” “Trims, Say.” Gue menggenggam tangannya. “By the way, nanti kalau diajak rapat iniitu, jangan mau, ya?” “Lho, kenapa memangnya?” “Nanti kamu ikutan stres. Mama sama tante-tanteku itu kalau udah berdebat, aduh... kacau banget lah!” Alice tertawa, membuatnya terlihat semakin cantik. “Nggak, kamu tenang aja. Yang segitu aja sih nggak bakal bikin aku stres.” “Bener nih? Padahal Tora sendiri aja sampai nggak tahan lho. Tiap ada rapat panitia di rumah, dia langsung ngabur.” “Ke mana?” “Ikut Papa, mancing di kolam pemancingan.” “Papamu juga... ngabur?” tanyanya dengan mata membulat besar. “Haha,” gue tertawa. “Begitulah.” “Terus, Mbak Vita gimana?” “Ya mencak-mencak di rumah. Tapi dia nggak mungkin ikut ngabur juga, kan? Dia harus tetap ikut rapat, menjaga supaya Mama dan para tanteku nggak seenaknya bikin konsep buat pernikahannya.” Lagi-lagi Alice tertawa. Aduh, gue seneng banget kalau ada di dekat dia, rasanya semua capek dan bete hilang. Rasanya semua masalah hilang... Ah nggak, ada satu masalah yang belum hilang. Masalah Yopie Excuse si artis karbitan itu, dan Pak Leo sang pemilik recording label yang sinting. Mungkinkah gue harus menceritakan semua itu sama Alice sekarang? “Eh... Say, ada sesuatu yang mau aku omongin sama kamu...” “Ya?” “Gini... Mmm... Beberapa waktu lalu Bang Budy minta aku ngasih tahu kamu sesuatu...” “Sesuatu? Oke. Apa?” “Mmmm...” Gue mulai gelisah, dan malah mengubah-ubah posisi duduk. Gue nggak pernah nyangka ngomong soal ini ke Alice bisa sebegini susahnya. “Apa mau ada tur panjang? Sangaaaattt... panjang? Lebih dari tiga bulan? Bang Budy takut dianggap „merampas‟ kamu dari aku gara-gara jadwal tur itu?” tanya Alice dengan wajah penasaran. “Itu...” Gue tertawa mendengar dugaan Alice. DIa ini lucu banget! “Nggg... itu...” Hell, susah banget sih ngomongnya?! Pantas waktu itu Bang Budy gayanya kayak ayam mau bertelor! Jangan-jangan sekarang gaya gue kayak gitu juga? “Bener, ya?” Kok gue jadi nggak tega ngomongnya? “Ehh... iya sih... itu. Mau ada tur panjang...,” akhirnya gue berbohong. “Seberapa lama?” “Mmm... tiga puluh kota.” Yeah, satu kebohongan pasti akan berlanjut dengan kebohongan lainnya. “Berarti... sekitar dua bulan?” tanya Alice. Ada sedikit kecewa yang bisa gue baca di matanya. Oh sugar-honey-ice-tea, kalau mendengar masalah kayak tur panjang gitu aja dia kecewa, bakal seperti apa reaksinya kalau tahu pacarnya diminta menonjok vokalis band baru yang sedang cari popularitas, dan dia harus ikut andil dalam masalah itu? “Yah... sekitar itu.” Alice mengangguk, dan menatap ke luar jendela. Kami sudah semakin dekat dengan JHCC sekarang, yang berarti seharusnya kami mulai siap-siap untuk turun di red carpet, tapi wajah Alice berubah jadi murung, dan itu gara-gara gue. “Aku... nanti kalau ada jeda, aku balik ke Jakarta. Dengan biaya sendiri,” kata gue, berusaha menenangkan dia. Gila, kebohongan ini masih berlanjut, dan gue bahkan belum jujur soal masalah Excuse itu ke Alice! “Nggak usah. Aku nggak papa kok,” Alice memandang gue dan tersenyum. “Tahun lalu juga ada tur tiga puluh kota, kan? Dan waktu kamu balik, aku belum punya pacar baru, kan? So... I will be alright.” GLEK! Apa maksudnya tahun lalu saat gue balik tur tiag puluh kota dia belum punya pacar baru?! Apa dia berniat melakukannya tahun ini? Cari pacar baru??? “Hahaha...” Alice tiba-tiba meledak tertawa. “Aku cuma bercandaaaaa! Mukamu udah kayak muka Bang Budy kalau kalian dapat flight delay tuh! Hahaha...” Fiuuhh... ternyata dia cuma bercanda? Syukurlah. Bayangan Alice bakal cari pacar baru selama gue tur panjang ternyata sanggup bikin gue parno sendiri. Well, it means I don’t wanna lose her, doesn’t it? * * * Kayaknya tahun lalu waktu gue datang ke MTV Awards, suasananya nggak seheboh ini deh. Dan tentu saja, wartawannya dulu juga nggak sebanyak ini. Gue tadi nyaris jatuh kesandung begitu turun dari mobil karena disambut sejuta kilatan blitz yang minta ampun silaunya. Gila, apa di dunia ini nggak ada alat yang bisa mengautr tingkat kesilauan blitz kamera? “Dylan, Dylan! Alice!” Wartawan-wartawan itu berebut-rebutan memanggil, dan ketika gue memberanikan diri menoleh menghadap blitz-blitz sialan itu, mereka langsung menjepret sebanyak-banyaknya. Nah, salah mereka sendiri kalau nanti semua foto gue adalah dengan mata terpejam. Blitz-nya gilal-gilaan, man! Tapi untunglah, gue nggak beneran jatuh kesandung gara-gara semua blitz sialan itu. Gue sukses menggandeng Alice sampai bagian tengah red carpet, tempat board-board dengan tulisan MTV Awards dipasang,d I mana kami harus berhenti dan berpose untuk difoto. Lumayan, seenggaknya kali ini lensa kameranya nggak persis berada di depan hidung gue. Ada kemungkinan mereka akan dapat beberapa foto gue dengan mata terbuka. Alice, lucunya, kelihatan lebih bete daripada gue. Dia tersenyum, tapi gue tahu dalam hati dia pasti mengomel gara-gara semua blitz itu. Tapi at least kan dia bakal punya foto-foto cantik dari red carpet session ini. Ternyata di tempat yang terang benderang gini dia kelihatan lebih manis daripada di mobil tadi... “Yihuu, Dylan „Skillful‟!” Next
Posted on: Thu, 12 Sep 2013 10:52:50 +0000

Trending Topics




© 2015