(1, bersambung) Rakyat Indonesia dan Pembebasannya - TopicsExpress



          

(1, bersambung) Rakyat Indonesia dan Pembebasannya BAB I Indonesia Dalam Sistem Kapitalis Dunia Umat manusia mempunyai sejarah yang panjang selama ribuan tahun. Dari sejarah yang panjang tersebut terdapat ciri-ciri pokok dan pola-pola umum untuk memahami dan melihat perkembangan manusia dan moif-motif yang menyebabkan kemajuan peradaban manusia. Setiap tahap dan pola masyarakat yang ada di bumi ini, termasuk masyarakat Indonesia harus dilihat dari perkembangan cara-cara manusia memenuhi kebutuhan hidupnya. Bagaimana manusia menghidupi dirinya akan menentukan posisi dan kepentingannya dalam masyarakat, karena itu dapat ditentukan bahwa kepemilikan dari alat-alat/sarana-sarana produksi merupakan akar, sebab, asal muasal dari motif-motif penindasan atau pembebasan umat manusia. Sejarah manusia berkembang melalui tahap-tahap perkembangan sejarah masyarakatnya. Kapitalisme merupakan suatu tahap masyarakat produksi komoditi (barang dagangan) yang maju dan melimpah. Dan, dalam masyarakat kapitalisme, pemegang modal menentukan prinsip-prinsip kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Kekayaan sumber daya alam, teknologi dan sumber daya manusia yang ada dibumi sebetulnya cukup menghidupi seluruh umat manusia. Tapi, dibawah hubungan masyarakat kapitalisme, semua syarat-syarat kehidupan yang adil dan sejahtera bagi umat manusia di bumi dirampas untuk kenikmatan sekelompok golongan yang minoritas. Sejarah ekspansi (perluasan) kapitalisme di Indonesia masuk berbarengan dengan kolonialisme dan imperialisme. Perkembangan tersebut menyebakan tidak tuntasnya proses penaklukan feodalisme (lokal) ke dalam sistem masyarakat yang lebih maju. Sisa-sisa kultur feodalisme tetap bertahan dan hidup untuk dimanfaatkan oleh kepentingan kelas dominan masyarakat yang lebih maju. Proses penetrasi, akumulasi dan penyerapan masyarakat Indonesia dalam kapitalisme dunia, secara ekstrim, dilakukan melalui pemaksaan-pemaksaan dan persekongkolan dengan penguasa elit Indonesia di lingkungan militer dan birokrasi. Proses integrasi masyarakat Indonesia yang kaya sumber tenaga kerja dan sumber-sumber alam ke dalam sistem kapitalisme dunia diawali dengan tumbangnya pemerintahan koalisi konstitusional dibawah pemerintahan presiden Sukarno. Tumbangnya suatu koalisi pimpinan Sukarno merupakan suatu syarat-syarat politik yang tidak terhindarkan dari strategi imperialisme untuk memusnahkan kekuatan-kekuatan politik masyarakat Indonesia yang menolak corak masyarakat kapitalis sebagai dasar dalam hubungan sosial masyarakat. Dengan tumbangnya pemerintahan koalisi pimpinan Sukarno, dipasangkanlah rantai kapitalisme keleher masyarakat Indonesia. Babak eksploitasi (penghisapan) kapitalisme tersebut dilakukan dengan memanipulasi dan mengebiri alat-alat politik demokrasi yang ada seperti Parlemen, pemilu dan lima paket UU politik. Tapi, pada substansinya, ABRI/TNI lah yang mengontrol semua ruang politik masyarakat dengan menciptakan suatu negara yang berwatak militeris-kapitalis. Militeris dalam mekanisme kontrol dan mempertahankan kekuasaan politik. Kapitalis dalam arti kepentingan-kepentingan yang dibelanya. Dengan syarat-syarat ekonomi politik tersebut dimulai lah suatu akumulasi modal dengan cara-cara primitif atas masyarakat Indonesia. Kaum buruh dan kekayaan alam diekploitasi sehabis-habisnya dengan brutal untuk mengembang biakkan induk-induk imperialis Jepang, Amerika, Korea Selatan, Inggris, Taiwan, Hongkong, Jerman, dll. Konspirasi-konspirasi antar imperialis seperti APEC, NAFTA, AFTA, European Union (EU) diciptakan untuk semakin merangsang penghisapan dan mengoptimalkan perbudakan sebuah masyarakat di suatu bangsa untuk kepentingan perusahaan multi-nasional. Masyarakat Indonesia di bawah rejim orde baru, kaum buruh khususnya, terserap kedalam arus bah globalisasi kapital. Semua kongsi-kongsi perdagangan antar bangsa tersebut pada prinsipnya adalah salah satu jalan sistem Kapitalisme untuk membagi-bagikan pasar buruh murah dan sumberdaya alam agar terhindar dari krisis dan tetap mempertahankan hegemoni politik mereka. Kompromi-kompromi di antara pemegang kapital multi nasional dalam berbagai kongsi perdagangan regional adalah salah satu cara agar rivalitas akumulasi modal tidak meledak menjadi perang fisik terbuka dengan menggunakan operasi perang seperti PD I dan PD II. Desakan-desakan imperialis pun tidak kuasa ditahan oleh banyak bangsa-bangsa Dunia Ketiga. Kebijakan perdagangan pemerintah di manapun termasuk Indonesia lalu disesuaikan dengan paket deregulasi ekonomi sebagaimana tampak dengan dikeluarkannya peraturan yang membolehkan modal asing melakukan investasi 100% pada tahun 1994. Paket-paket deregulasi dan perundangan merupakan mega proyek dari Bank Dunia untuk mengintegrasikan dunia dalam hegemoni neoliberalisme. Jumlah investasi asing yang masuk ke Indonesia terus meningkat, seperti yang tergambar dari tabel di bawah ini: JUMLAH INVESTASI ASING DI INDONESIA (MILIAR $) Negara 1990 1991 1992 Inggris 58 536 966 Hongkong 993 278 1.054 Jepang 2.241 929 1.390 Singapura 264 346 439 Korea Selatan 723 301 617 Taiwan 618 1.057 559 Negara lain 3.853 5.331 5.155 Total 8.750 8.778 10.180 BAB II Asal-usul Kapitalisme di Indonesia Indonesia adalah negeri yang strategis, yang memiliki syarat‑syarat untuk menjadi negeri yang makmur dan sejahtera; luas tanah dan laut, kekayaan alam, serta jumlah tenaga kerjanya melimpah (86.000.000 tenaga kerja). Letak geografisnya menguntungkan; terletak di antara dua benua (Asia dan Australia), serta diapit dua samudera, (Samudra Hindia dan Pasifik, pusat pertumbuhan ekonomi menjelang dan di abad ke 21 nantinya). Kebudayaannya kaya, beragam, dan bila berpapasan dengan kebudayaan rakyat negeri lain, bisa memberi syarat‑syarat bagi tumbuhnya masyarakat yang dinamik dan kuat. Indonesia berpotensi membentuk kebudayaan rakyat dunia, satu‑satunya kebudayaan yang layak dikembangkan. Tiada alasan masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang miskin, tidak adil, dan berkebudayaan cupet (parokial). Masyarakat Feodal yang Lebih Mirip Masyarakat Penyakap (Tenancy) Dalam sejarahnya, masyarakat Indonesia, pernah hidup dalam sistem feodal yang unik. Kami menyebutnya masyarakat penyakap. Masyarakat tersebut berkembang sebelum kapitalisme dicangkokkan oleh kolonialisme ke negeri ini. Karenanya belum dikenal pula industri modern, kapital finans, bank‑bank, organisasi administrasi modern, jaringan jalan tranportasi, komunikasi modern dan sebagainya. Ciri‑ciri masyarakat Nusantara saat itu: perekonomian penyakapan, yang berbasis pada produksi pertanian, diorganisir dengan alat‑alat produksi sederhana, sehingga hasilnya terbatas untuk keperluan sendiri, sedikit untuk dipertukarkan, dan sebagian untuk upeti penguasa pusat (raja) melalui administratornya (lurah, wedana dan bupati), yang memperoleh tunjangan berupa sepetak tanah tak lebih dari 3 ha. Selain upeti, rakyat juga dikenakan penghisapan tambahan berupa kerja bagi negara-kerajaan dan bagi administratornya. Tanah adalah milik Dewa/Tuhan, dan raja adalah utusan Dewa/Tuhan yang berhak atas penguasaan dan pemilikan tanah tersebut, dan dibagi‑bagi berupa petak-petak kepada sikep‑sikep, dan digilir pada kerik-kerik (calon sikep‑sikep), bujang‑bujang (belum berkeluarga) dan numpang-numpang (penduduk dari desa lain) (istilahnya beragam di beberapa tempat). Karenanya, penggarap tak dapat menggarap tanah secara luas. Teknologi rendah dengan tanpa mobilisasi pekerja besar‑besaran di tanah garapan, merupakan penyebab rendahnya hasil produksi. Hingga kini, sisanya masih ada: untuk menggarap tanah 0,5 ha saja diperlukan tenaga tambahan selain dirinya atau keluarganya. Sistim giliran ini tidaklah bermakna ada keadilan dalam pemilikan tanah. Prakteknya, tanah dibagi secara diskriminatif: banyak yang hanya digilir pada keluarga dan kerabat dekat. Pemuda dan kaum perempuan mendapat giliran yang lambat atau tanah yang tidak subur serta irigasinya buruk. (Sistim giliran inilah basis bagi terbentuknya budaya njilat ke atas, nginjek ke bawah.) Tekanan jumlah penduduk dibarengi dengan pemetakan-pemetakan tanah kecil menyulitkan adanya pemilikan tanah secara luas baik oleh penggarap maupun segelintir bangsawan. Jika pun ada mobilisasi tenaga kerja besar‑besaran, tujuannya hanya kerja paksa untuk proyek mercusuar negara‑kerajaan, layaknya di Mesir. Dengan begitu, kata bangsawan di sini bukanlah dalam pengertian bangsawan Eropa, Tiongkok, atau para‑pemilik hacienda (koloni perkebunan feodal) seperti di Amerika Latin atau Filipina. Teknologi rendah, hubungan sosial yang menindas‑‑pemilikan petak‑petak tanah sempit, dan ketiadaan bangsawan yang memiliki tanah luas‑‑dan tekanan penduduk menyebabkan sulitnya para bangsawan bertransformasi menjadi borjuis/kapitalis di landasan teknologi maju. Karenanya, gagal merangsang berkembangnya industri. Pembukaan bandar‑bandar dan pertukaran luar negeri adalah basis bagi tumbuhnya cikal bakal borjuis pesisir dengan syah bandar dan saudagar, calo-calo, serta tengkulak‑tengkulaknya. Namun melalui pajak pelabuhan yang disentralisir ketat oleh negara/kerajaan, kemudahan itu malah diarahkan bagi pertumbuhan teknologi‑demi‑kerajaan demi proyek-proyek mercusuar dan peperangan. Kepentingan kekuasaan itu yang kemudian menumpas cikal bakal masyarakat borjuis pantai yang pioner. Penghisapan ekonomi dan penindasan politik ini telah membuat kaum tani memberontak melawan kekuasaan raja dan para bangsawan. Baik di masa kerajaan Mataram I (abad VIII‑IX), dan jauh sebelumnya, yakni masa Kerajaan Kediri (awal abad XI‑XIII)‑‑pemberontakan kaum tani yang dimanipulir Ken Arok‑‑serta pemberontakan‑pemberontakan kaum tani lainnya. Kemunculan gerakan‑gerakan perlawanan pada setiap jaman harus dipandang sebagai lompatan kualitatif dari tenaga‑tenaga produktif yang terus berkembang maju (progressive) berhadapan dengan hubungan‑hubungan sosial yang dimapankan (conservative). Merkantilisme, Kolonialisme/Imperialisme dan Pencangkokan Kapitalisme Embrio kapitalisme mulai bersentuhan dengan masyarakat di Nusantara di awal abad ke‑15 melalui merkantilisme Eropa. Perkembangan teknologi perkapalan di Eropa Selatan, memberi basis bagi embrio kolonialisme/imperialisme dan kapitalisme, terlebih seusai berhasil menjatuhkan monarki absolut. Tapi, pertumbuhan ini dimulai dalam bentuk paling primitif dan sederhana. Daerah operasinya terbatas di daerah pesisir dan kota besar, seperti Malaka dan Banten. Bentuk komoditinya bertumpu pada komoditi pertanian dan perkebunan, seperti tanaman keras atau rempah-rempah. Komoditi ini adalah kebutuhan pokok utama untuk industri farmasi di Eropa. Tahun 1469 adalah tahun kedatangan ekspedisi mencari daerah baru yang dipimpin Vasco da Gama (Portugis). Tujuannya mencari rempah‑rempah yang akan dijual kembali di Eropa. Kemudian menyusul penjelajah Spanyol masuk ke Nusantara di tahun 1512. Penjelajah Belanda baru datang ke Nusantara tahun 1596, dengan mendaratnya Cornelis de Houtman di Banten. Selanjutnya didirikanlah kongsi dagang VOC (Verenidge Oost Indische Compagnie) tahun 1602. Dalam waktu singkat, kapital dagang Belanda menguasai Nusantara. Banten dikuasai, sehingga Belanda dapat mengontrol pintu barat Nusantara, dan Makasar dikuasai agar mereka bisa mengontrol wilayah timurnya. Di Jawa, kekuasaan raja‑raja feodal dapat mereka runtuhkan, dan menjadikan mereka antek kolonialisnya, dan keharusan membayar contingent (pajak natura). Kekuasaan Belanda ini terinterupsi 4 tahun dengan berkuasanya kolonialisme Inggris sampai tahun 1813. Kolonialisme Inggris masa Raffles, adalah tonggak penting hilangnya konsep pemilikan tanah oleh kerajaan. Dalam konsep Inggris, tanah bukan milik Tuhan yang diwakilkan pada raja, tapi milik negara. Karenanya, pemilik dan penggarap tanah harus membayar landrente (pajak tanah)‑‑pajak ini mengharuskan sistim monetasi (keuangan) dalam masyarakat yang masih terkebelakang sistim monetasinya, sehingga memberi kesempatan tumbuhnya renten dan ijon. Pengganti Raffles, Daendles, Gubernur Kolonial Belanda, meneruskan kebijaksanaan itu. Wilayah Nusantara jatuh lagi ke tangan Belanda. Politik mereka dijalankan dengan tetap mempertahankan kapitalisme kolonial yang primitif; bahkan tahun 1830-1870 pemerintah Belanda menyelenggarakan tanam paksa (cultuurstelsel). Hal ini dikarenakan kebangkrutan kas mereka, yang selama ini dihabiskan untuk menumpas perlawanan‑pelawanan rakyat di Nusantara dan perang pemisahan Belgia, dan korupsi. Ciri‑ciri tanam paksa tersebut berupa:Kaum tani diwajibkan menanam tanaman yang laku di pasaran Eropa, seperti tebu, kopi, teh, nila, kapas, rosela, dan tembakau; kaum tani wajib menyerahkan hasilnya kepada pemerintah kolonial dengan harga yang telah ditentukan oleh Pemerintah Belanda;Perubahan (baca:penghancuran) sistim pengairan sawah dan palawija,Mobilisasi kuda, kerbau dan sapi untuk pembajakan dan pengangkutan,Optimalisasi pelabuhan, termasuk pelabuhan alam,Pendirian pabrik‑pabrik di lingkungan pedesaan, pabrik gula dan karung goni,Kerja paksa atau rodi atau corvee labour untuk pemerintah,Pembebanan berbagai macam pajak. Hindia Belanda, Ajang Kolonialisme/Imperialis Pada pertengahan abad 19, terjadi perubahan di Negeri Belanda, yaitu menguatnya kaum kapital dagang swasta‑‑seusai mentransformasikan monarki absolut menjadi monarki parlementer dalam sistim kapitalisme‑‑dan terjadi pula perubahan di Nusantara/ Hindia Belanda. Akumulasi kapital yang dimiliki kapitalis dagang ini memberi basis perluasan ekspansi modalnya di Hindia Belanda, menuntut peran kekuasaan modalnya lebih besar daripada negara. Logika modal seperti itu wajar, agar bisa mulus bertransformasi menjadi kapitalis industri‑‑swasta, mengerosi monopoli negara lebih cepat. Namun, monopoli negara ini tidak berarti state qua state, negara demi negara, atau negara menciptakan kelas, karena logika modal menyatakan bahwa negara adalah alat kaum modal‑-cepat atau lambat, kaum kapital akan mengerosi campur tangan negara, terutama untuk monopoli produksi, perdagangan dan keuangan. Perubahan syarat‑syarat kapitalisme ini pun menuntut perubahan dalam metode penghisapan dan sistem politiknya: dari politik dagang kolonial yang monopolistik ke politik kapital dagang‑industri yang bersifat persaingan bebas, sebagai akibat tuntutan swastanisasi oleh kelas borjuis yang baru berkembang. Metode penghisapan baru yang lebih modern ini, menuntut tersedianya tenaga produktif yang lebih modern‑‑tanah jarahan yang lebih luas (yaitu Sumatera), perubahan dan pembangunan sistim irigasi yang lebih modern, tenaga kerja yang lebih banyak, terampil, dan lebih bisa menyesuaikan diri dengan hubungan produksi pengupahan; bahkan perubahan dalam suprastruktur, seperti hukum poenale sanctie (Sangsi penjara bagi buruh yang kabur atau melepas kontraknya sebelum masa kontrknya selesai), birokrasi, bahasa, pendidikan, bacaan dan terbitan Di sinilah awal kelahiran kaum buruh di Hindia Belanda yang berkesadaran baru pula. Ciri‑cirinya: Munculnya kaum buruh upahan dengan sistem kerja industri kapitalis di tanah jajahan,Bertebarannya pabrik‑pabrik, terutama pabrik gula, karung goni tekstil, kelapa sawit dan tembakau‑‑yang dimiliki kapitalis swasta Belanda dan bangsa Eropa lainnya‑‑dan belakangan minyak serta barang galian;Perubahan dan pembangunan sistim pengairan baru;Mobilisasi tenaga kerja dalam selubung transmigrasi;Dikikisnya basis produksi feodal (penyakapan);Lahirnya lembaga‑lembaga pendidikan modern;Lahirnya sistim yuridis baru yang belum sepenuhnya mengemban ideologi liberal;Alat propagandanya‑‑manipulasi humanisme kaum sosial‑demokrat kanan‑‑politik etis (politik balas budi). Di masa kapitalisme, kaum buruh upahan dengan produksi yang dihasilkannya‑‑pengolahan tanah, perubahan sistim irigasi, penggunaan kerbau, sapi dan kuda sebagai alat bajak dan alat angkut tambahan, mesin, pabrik, kapal laut, roda, kereta api, bangunan pabrik, jembatan dll., yang bermuara menjadi barang dagangan‑‑plus kesadaran dan tindakan politiknya‑‑kesadaran membaca, berorganisasi, kursus, rapat, demonstrasi, pertemuan umum, persatuan, forum, debat, polemik, perpecahan, pengrahasiaan, dan akhirnya pemberontakan, revolusi‑‑adalah tenaga‑tenaga produktif yang terus melimpah. Itulah wajah cara produksi kapitalis yang bersifat menghisap/menindas di Hindia Belanda, dan sedang mengalami perlawanan. Kemudian‑‑setelah sukses mengikis monopoli negara atau memperlancar swastanisasi, ekspor kapital‑‑kapitalisme berkembang lebih jauh ke tahap imperialisme. Artinya, kapitalisme dalam momen tertentu telah menghilangkan kontradiksi di negeri asalnya, namun kontradiksi kelas kemudian jadi meluas‑‑ke tanah jajahan‑‑dan kompleks. Itulah tanda dari konsekuensi hubungan sosial produksi kapitalis yang memiliki potensi mendapatkan perlawanan dari rakyat tanah jajahan dan rakyat yang sadar di negeri asalnya. Tanda‑tanda berkembangnya kapitalisme ke imperialisme di tanah jajahan yaitu: Pemusatan produksi dan modal berkembang pesat, hingga menciptakan monopoli-monopoli yang berperan menentukan dalam kehidupan ekonomi;Paduan kapital bank dan industri. Di atas kapital finans ini dikembangkan oligarki finans;Ekspor kapital memperoleh arti penting yang luar biasa‑‑berbeda dengan ekspor barang dagangan (komoditi);Pembentukan serikat‑serikat kapitalis monopoli internasional yang membagi dunia di kalangan mereka sendir;,Pembagian wilayah atas seluruh dunia di antara negara‑negara kapitalis dalam tahap tertentu sudah diselesaikan. Di atas syarat‑syarat tersebut, justru gerakan rakyat menunjukkan elannya dalam praktek revolusi sejak akhir abad 19 hingga saat ini. Artinya, terbukti bagaimana gerakan rakyat, sebagai lompatan kualitatif dari tenaga‑tenaga produktif, terjadi pada tahap imperialisme. Perkembangan kapitalisme, persaingan bebas ke kapitalisme monopoli akhirnya menunjukan bahwa kaum borjuasi selain berhadapan dengan kaum buruh dalam negeri, juga berhadapan dengan seluruh rakyat di tanah‑tanah jajahannya. Ia pun menunjukkan tentang perjuangan yang dipimpin kaum buruh pada masa imperialisme. BAB III Zaman Pergerakan dan Perjuangan Pemebebasan Nasional Realitas obyektif di atas merupakan syarat material bagi sistim kapitalis dapat berkembang dalam masyarakat Hindia Belanda, sehingga memungkinkan munculnya kesadaran rakyat. Revolusi di Cina di bawah Sun Yat Sen, kebangkitan kaum terpelajar Turki, dan Revolusi Rusia (Oktober 1917) memberi pengaruh pada kesadaran kaum terpelajar negeri jajahan. Pergerakan nasional modern Indonesia diawali dengan kemunculan serikat buruh. Salah satunya, yaitu ISDV yang didirikan pada tahun 1914, secara sistematis mengajarkan pengetahuan progresif kepada para aktivis buruh dan menjadi senjata material dalam perjuangan pembebasan. Sementara organisasi‑organisasi lain semacam SI (Sarekat Islam), BO (Boedi Oetomo) dan lain‑lain, juga turut meramaikan perkembangan kesadaran baru rakyat. Pada tanggal 23 Mei, 1920, berdirilah untuk pertama kalinya di Asia, sebuah partai kaum radikal, yakni Perserikatan Komunist Hindia (PKI). Partai ini lahir, ketika mperialisme di tanah jajahannya telah melahirkan kaum buruh, dan sekaligus di dalam masyarakat yang masih mempertahankan sisa‑sisa feodal. Perjuangan pembebasan dalam menentang imperialisme mencapai puncaknya pada pemberontakan nasional 1926/1927 yang berakhir dengan kekalahan. Sekitar 13.000 pejuang dibuang ke Boven Digul oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Salah satu sebabnya adalah ketidakmampuan kaum radikal dalam mengkonsolidasikan kekuatan‑kekuatan potensial rakyat, yaitu kaum buruh, kaum tani, dan kaum tertindas lainnya. Sehingga kekuatan kaum radikal sendiri tidak cukup kuat untuk menghadapi aparat militer Pemerintah Kolonial. Dengan demikian, kekalahan perlawanan 1926/1927, adalah kekalahan gerakan pada umumnya. Namun, sejarah perjuangan ternyata bergerak maju. Kekalahan gerakan pembebasan nasional tidak serta‑merta menyurutkan perjuangan. Pada tahun 1927-929 berdiri Partai Nasional Indonesia (PNI) di bawah pimpinan Ir. Sukarno. PNI berwatak kerakyatan dan garis massa. Sisa‑sisa kaum progresif yang masih hidup lalu bergabung dengan PNI, sebagai alat perlawanan terhadap kolonialisme. Dukungan yang luas atas PNI membuat penguasa harus mengirim para aktivis PNI ke penjara, termasuk Sukarno. Aktivitas revolusioner yang dilakukan oleh kaum radikal tetap dilanjutkan dengan gerakan bawah tanah. Di bawah kondisi yang represif, terbitan dan pertemuan gelap lainnya terus dijalankan. Ketika fasisme mulai merambah Eropa dan Asia, konsistensi perjuangan pembebasan tetap terjaga terus-menerus. Kaum radikal kembali mengkonsolidasikan kekuatan‑kekuatan rakyat dengan membentuk Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) di bawah pimpinan Amir Sjarifudin. Pada tahun 1939 Gerindo bersama-sama Parindra dan PSII membangun suatu front bersama untuk menghadapi fasisme. Front tersebut bernama Gabungan Politik Indonesia (GAPI). Dengan GAPI kaum radikal berharap dapat menggunakan perjuangan anti‑fasisme sekaligus perjuangan anti‑ kolonialisme. Perang Dunia Kedua Adalah Perang Kaum Imperialis. Pada tahun 1939, Perang Dunia II meletus ketika Jerman di bawah Hitler menyerbu Polandia. Jepang lalu menyerbu Hindia Belanda dan mengusir kekuasaan Belanda, digantikan dengan pemerintahan administrasi militer. Kerja paksa (romusha) diberlakukan untuk membangun infrastruktur perang, seperti pelabuhan, jalan raya, dan lapangan udara tanpa diupah. Serikat buruh dan partai politik dilarang. Yang diperbolehkan berdiri hanya organisasi boneka buatan pemerintah militer Jepang seperti Peta, Keibodan dan lain sebaginya. Sebab‑sebab dari timbulnya PD II adalah persaingan di antara negara‑negara imperialis untuk memperebutkan pasar dan sumber bahan baku. Siapapun yang menang maka kemenangannya adalah tetap atas nama imperialisme. Walaupun kaum radikal mengalami jatuh-bangun dalam perjuangannya, namun garis perjuangan anti fasis tetap dipertahankan. Kaum radikal dengan melalui organisasi‑organisasi pergerakan bawah tanah mulai membentuk Gerakan Anti‑fasis (Geraf), Gerakan Indonesia Merdeka (Gerindom), dan sebagainya. Amir Sjarifudin, sebagai orang yang paling konsisten anti‑fasisme ditangkap dan dipenjarakan pada tahun 1943. Di lain pihak, sebagian besar kaum priyayi justru tidak mengambil praktek politik konfrontatif terhadap fasisme Jepang. Kompromi, konsesi, dan kolaborasi terhadap fasis Jepang menjadi bagian dari politik elit kaum feodal. Sementara kaum demokrat‑liberal terpaksa harus menjalankan taktik politik kooperasi dengan pemerintahan militer Jepang. Revolusi Agustus 1945 Pada tanggal 17 Agustus, 1945, Sukarno‑Hatta, yang masih ragu‑ragu, berhasil dipaksa oleh kaum muda untuk memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia. Kemerdekaan dimungkinkan karena adanya kevakuman kekuasaan. Kevakuman kekuasaan tersebut disebabkan kekalahan Jepang dalam PD II, sementara pasukan sekutu belum datang. Momentum kekosongan kekuasaan negara ini yang membuat proklamasi dapat dibacakan, berkat inisiatif dan keberanian dari kaum muda. Proklamasi pada tahun 1945, juga didasari pada patriotisme bahwa kemerdekaan tidaklah boleh sebagai pemberian dari Jepang atau hadiah dari Sekutu, tapi berkat kepemimpinan dari para pejuang Indonesia. Revolusi pembebasan nasional tahun 1945 ternyata gagal menghasilkan demokrasi yang sejati bagi rakyat. Situasi revolusioner mencapai anti‑klimaksnya. Hal ini hanya melicinkan jalan menuju persetujuan KMB (Konferensi Meja Bundar) pada 2 November, 1949. Dengan adanya persetujuan KMB, imperialisme Belanda memperoleh konsesi di lapangan ekonomi, politik, militer, dan kebudayaan. Revolusi Agustus 45 yang adalah berwatak revolusi borjuis demokratik, hanya berhasil sebagai revolusi pembebasan nasional (yakni berhasil mendirikan Republik Indonesia), namun gagal mendirikan pemerintahan kerakyatan.
Posted on: Wed, 06 Nov 2013 19:45:02 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015