10 Keanehan Para Pro-Maulid untuk menunjukkan kekeliruan - TopicsExpress



          

10 Keanehan Para Pro-Maulid untuk menunjukkan kekeliruan pembelaan terhadap acara maulid Nabi yang selama ini tersebar di tengah kaum muslimin. Ditambah pula, tulisan ini menjawab beberapa syubhat (kerancuan) yang disuarakan oleh para pendukung maulid.Berikut keanehan para pendukung maulid, 3 di antaranya yang kami sebutkan kali ini: 1- Katanya mencintai Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, namun beribadah tanpa perintah Nabi. Kita selaku umat Islam diperintahkan untuk mencintai Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- sebagaimana disebutkan dalam ayat berikut ini, قُلْ إِنْ كَانَ آَبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ “Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya”. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At Taubah: 24). Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Jika semua hal-hal tadi lebih dicintai daripada Allah dan Rasul-Nya, serta berjihad di jalan Allah, maka tunggulah musibah dan malapetaka yang akan menimpa kalian.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 7: 164). Ancaman keras inilah yang menunjukkan bahwa mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari makhluk lainnya adalah wajib. Bahkan mencintai Rasul lebih diutamakan dari mencintai diri sendiri sebagaimana firman Allah Ta’ala, النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ “Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri.” (QS. Al Ahzab: 6). Padahal kata para ulama mencintai Nabi adalah dengan menghidupkan sunnahnya yang diperintahkan. Kata Syaikh Prof. Dr. ‘Abdurrahman As Sudais, Imam Masjidil Haram, إحياء سنته حقيقة حبه “Menghidupkan ajaran Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- adalah hakekat mencintai beliau.” (Khutbah Jum’at di Masjidil Haram, 13 Rabi’ul Awwal 1434 H) Sedangkan perayaan maulid tidak ada dalil perintah untuk menghidupkannya, lantas mereka mengikuti ajaran Nabi siapa? Apakah mereka punya Nabi selain Rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam-? Atau Imam, Kyai, Ustadz mereka memiliki ajaran selevel Rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam-?[1] 2- Menanyakan mana dalil yang mengharamkan maulid secara khusus. Padahal seharusnya yang ditanyakan adalah mana dalil yang memerintahkan untuk merayakan maulid atau mengekspresikan cinta Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dengan maulid? Karena kaedahnya tentu berbeda antara masalah ibadah dan masalah muamalah atau adat (non-ibadah). Kalau dalam masalah ibadah, hukum asalnya adalah haram sampai ada dalil yang memerintahkan. Untuk masalah muamalat atau adat, berlaku hukum sebaliknya. Hukum asal dalam perkara non-ibadah adalah boleh sampai ada dalil yang memerintahkan. Ulama Syafi’i memiliki kaedah, اَلْأَصْلَ فِي اَلْعِبَادَةِ اَلتَّوَقُّف “Hukum asal ibadah adalah tawaqquf (diam sampai datang dalil)” Perkataan di atas disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (5: 43). Ibnu Hajar adalah di antara ulama besar Syafi’i yang jadi rujukan. Perkataan Ibnu Hajar tersebut menunjukkan bahwa jika tidak ada dalil, maka suatu amalan tidak boleh dilakukan. Itu artinya asal ibadah adalah haram sampai ada dalil yang memerintahkan. Di tempat lain, Ibnu Hajar rahimahullah juga berkata, أَنَّ التَّقْرِير فِي الْعِبَادَة إِنَّمَا يُؤْخَذ عَنْ تَوْقِيف “Penetapan ibadah diambil dari tawqif (adanya dalil)” (Fathul Bari, 2: 80). Ibnu Daqiq Al ‘Ied, salah seorang ulama besar Syafi’i juga berkata, لِأَنَّ الْغَالِبَ عَلَى الْعِبَادَاتِ التَّعَبُّدُ ، وَمَأْخَذُهَا التَّوْقِيفُ “Umumnya ibadah adalah ta’abbud (beribadah pada Allah). Dan patokannya adalah dengan melihat dalil”. Kaedah ini beliau sebutkan dalam kitab Ihkamul Ahkam Syarh ‘Umdatil Ahkam. Ibnu Taimiyah lebih memperjelas kaedah antara ibadah dan non-ibadah. Beliau rahimahullah berkata, إنَّ الْأَصْلَ فِي الْعِبَادَاتِ التَّوْقِيفُ فَلَا يُشْرَعُ مِنْهَا إلَّا مَا شَرَعَهُ اللَّهُ تَعَالَى . وَإِلَّا دَخَلْنَا فِي مَعْنَى قَوْلِهِ : { أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ } . وَالْعَادَاتُ الْأَصْلُ فِيهَا الْعَفْوُ فَلَا يَحْظُرُ مِنْهَا إلَّا مَا حَرَّمَهُ وَإِلَّا دَخَلْنَا فِي مَعْنَى قَوْلِهِ : { قُلْ أَرَأَيْتُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ لَكُمْ مِنْ رِزْقٍ فَجَعَلْتُمْ مِنْهُ حَرَامًا وَحَلَالًا } وَلِهَذَا ذَمَّ اللَّهُ الْمُشْرِكِينَ الَّذِينَ شَرَعُوا مِنْ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ وَحَرَّمُوا مَا لَمْ يُحَرِّمْهُ “Hukum asal ibadah adalah tawqifiyah (dilaksanakan jika ada dalil). Ibadah tidaklah diperintahkan sampai ada perintah dari Allah. Jika tidak, maka termasuk dalam firman Allah (yang artinya), “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS. Asy Syura: 21). Sedangkan perkara adat (non-ibadah), hukum asalnya adalah dimaafkan, maka tidaklah ada larangan untuk dilakukan sampai datang dalil larangan. Jika tidak, maka termasuk dalam firman Allah (yang artinya), “Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku tentang rezki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal” (QS. Yunus: 59). Oleh karena itu, Allah mencela orang-orang musyrik yang membuat syari’at yang tidak diizinkan oleh Allah dan mengharamkan yang tidak diharamkan. (Majmu’ Al Fatawa, 29: 17). Atau mungkin Maulid bukan ibadah? Lantas kenapa capek-capek merayakannya kalau bukan maksud ibadah? Bukankah merayakan maulid untuk menunjukkan cinta Rasul, maka tentu pahala yang ingin diraih? Sehingga tidak tepat dan terasa aneh jika dalam masalah Maulid, ada yang berujar, “Kan tidak ada dalil yang melarang? Gitu saja kok repot …”. Maka cukup kami sanggah bahwa hadits ‘Aisyah sudah sebagai dalilnya yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718). Murid Imam Nawawi, Ibnu ‘Atthor rahimahullah menjelaskan mengenai hadits ini, “Para ulama menganggap perbuatan bid’ah yang tidak pernah diajarkan dalam Islam yang direkayasa oleh orang yang tidak berilmu, di mana amalan tersebut adalah sesuatu yang tidak ada landasan (alias: tidak berdalil), maka sudah sepantasnya hal ini diingkari. Pelaku bid’ah cukup disanggah dengan hadits yang shahih dan tegas ini karena perbuatan bid’ah itu mencacati ibadah.” (Lihat Syarh Al Arba’in An Nawawiyah atau dikenal pula dengan ‘Mukhtashor An Nawawi’, hal. 72) 3- Pendukung maulid berkata bahwa maulid adalah bid’ah hasanah karena menganggap bid’ah itu ada dua, yaitu ada bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah. Namun ketika ditanya, apa yang dimaksud bid’ah sayyi’ah, mereka sulit menyebutkan contohnya. Karena semua ibadah yang tanpa tuntunan dikategorikan oleh mereka sebagai hasanah. Padahal ulama Syafi’i seperti Ibnul ‘Atthor, murid Imam Nawawi telah mengategorikan beberapa bid’ah yang dikatakan hasanah oleh mereka sebagai bid’ah yang tercela. Ibnu ‘Atthor ketika menjelaskan hadits yang dibawakan oleh gurunya, Imam Nawawi dalam Al Arba’in An Nawawiyah, yaitu hadits nomor 5 dari ‘Aisyah tentang bid’ah, beliau berkata, “Di antara perbuatan bid’ah tersebut adalah shalat Raghaib[2] dan shalat pada malam nishfu Sya’ban, juga membaca surat Al An’am pada raka’at satu raka’at pada malam ke-27 dari bulan Ramadhan karena orang awam menyangka bahwa surat Al An’am turun sekaligus pada malam tersebut, begitu pula menambah bacaan shalawat pada iqomah.” (Lihat Syarh Al Arba’in An Nawawiyah atau dikenal pula dengan ‘Mukhtashor An Nawawi’, hal. 72) Hadits ‘Aisyah yang dimaksudkan di atas adalah, مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ “Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718). Dalam riwayat lain disebutkan, مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718). Mereka seakan-akan menutup mata dari hadits ini padahal hadits ini disebutkan oleh Imam Nawawi dalam Al Arba’in An Nawawiyah. Dan Imam Nawawi sendiri mengatakan, وَهَذَا الْحَدِيث قَاعِدَة عَظِيمَة مِنْ قَوَاعِد الْإِسْلَام ، وَهُوَ مِنْ جَوَامِع كَلِمه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّهُ صَرِيح فِي رَدّ كُلّ الْبِدَع وَالْمُخْتَرَعَات “Hadits ini adalah kaedah yang amat penting dari kaedah Islam dan merupakan kalimat yang singkat namun sarat makna dari Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hadits ini tegas mengatakan membantah setiap perbuatan bid’ah yang tidak ada tuntunannnya.” (Syarh Shahih Muslim, 12: 16). Perkataan Imam Nawawi di atas dibawakan pula oleh muridnya, Ibnu ‘Atthor dalam Syarh Al Arba’in An Nawawiyah. Supaya lebih jelas apa yang dimaksudkan bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah, lihat perkataan Imam Nawawi ketika membagi bid’ah menjadi lima, فَمِنْ الْوَاجِبَة : نَظْم أَدِلَّة الْمُتَكَلِّمِينَ لِلرَّدِّ عَلَى الْمَلَاحِدَة وَالْمُبْتَدِعِينَ وَشِبْه ذَلِكَ . وَمِنْ الْمَنْدُوبَة : تَصْنِيف كُتُب الْعِلْم ، وَبِنَاء الْمَدَارِس وَالرُّبُط وَغَيْر ذَلِكَ . وَمِنْ الْمُبَاح : التَّبَسُّط فِي أَلْوَان الْأَطْعِمَة وَغَيْر ذَلِكَ . وَالْحَرَام وَالْمَكْرُوه ظَاهِرَانِ “Di antara bid’ah yang wajib adalah menyusun tulisan untuk membantah ahli kalam, juga membantah ahli bid’ah dan golongan yang menyimpang lainnya. Contoh bid’ah yang sunnah adalah menyusun buku-buku berisi ilmu dan membangun sekolah dan pos pertahanan untuk menjaga musuh atau semacam itu. Bid’ah yang mubah adalah seperti mengecek warna dari makanan dan semacamnya. Sedangkan bid’ah yang haram dan makruh, maka sudah jelas.” (Syarh Shahih Muslim, 6: 155). Sebelum membawa perkataan di atas, Imam Nawawi berbicara tentang hadits, كُلّ بِدْعَة ضَلَالَة “Setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim no. 867). Setelah itu, beliau berkata, هَذَا عَامّ مَخْصُوص ، وَالْمُرَاد غَالِب الْبِدَع . قَالَ أَهْل اللُّغَة : هِيَ كُلّ شَيْء عُمِلَ عَلَى غَيْر مِثَال سَابِق “Hadits tersebut adalah umum namun maksudnya adalah khusus, yaitu secara umum bid’ah itu tercela. Sebagaimana pakar bahasa mendefinisikan bid’ah sebagai ‘segala sesuatu yang diamalkan tanpa ada contoh sebelumnya’.” (Syarh Shahih Muslim, 6: 154) Di tempat lain, beliau menerangkan mengenai hadits setiap bid’ah adalah sesat, وَأَنَّ الْمُرَاد بِهِ الْمُحْدَثَات الْبَاطِلَة وَالْبِدَع الْمَذْمُومَة “Yang dimaksud hadits tersebut adalah perkara batil yang dibuat-buat dan bid’ah yang tercela” (Syarh Shahih Muslim, 7: 104). Jika kita meninjau perkataan Imam Nawawi, itu bukan berarti setiap yang baru dan dianggap baik itu bisa diterima. Karena setiap yang baru yang tidak ada contoh sebelumnya bisa termasuk bid’ah hasanah, bisa jadi pula termasuk bid’ah sayyi’ah. Yang termasuk bid’ah hasanah jika ada maslahat, walau tidak ada dalilnya. Seperti yang Imam Nawawi contohkan yaitu membangun madrasah dan membantah ahli kalam. Sedangkan yang menyelisihi ajaran Rasul, itulah yang termasuk bid’ah sayyi’ah (yang jelek). Yang menyelisihi ajaran Rasul dan termasuk bid’ah sayyi’ah seperti yang disebutkan oleh Ibnu ‘Atthor di atas, yaitu shalat Raghaib dan membaca shalawat saat iqomah. Ini berarti tidak seenaknya saja kita memasukkan suatu amalan yang kita anggap baik dalam bid’ah hasanah. Namun mesti melihat kecocokan dengan ajaran Rasul walau tidak diajarkan oleh beliau sebelumnya, tetapi hal itu sudah termasuk dalam dalil umum atau pertimbangan maslahat mursalah. Penafsiran bid’ah hasanah sangat baik jika merujuk pada perkataan Imam Syafi’i. Beliau rahimahullah pernah berkata, والمحدثات ضربان : ما أُحدِثَ مما يُخالف كتاباً ، أو سنةً ، أو أثراً ، أو إجماعاً ، فهذه البدعة الضلال ، وما أُحدِث مِنَ الخير ، لا خِلافَ فيه لواحدٍ مِنْ هذا ، وهذه محدثة غيرُ مذمومة “Perkara yang muhdats (yang baru) itu ada dua macam, yaitu perkara yang dibuat-buat dan menyelisihi Al Qur’an, As Sunnah, atsar (sahabat) dan ijma’, maka ini termasuk bid’ah dholalah (yang sesat). Sedangkan perkara yang masih dalam kebaikan yang tidak menyelisihi dalil-dalil tadi, maka itu bukanlah perkara baru (bid’ah) yang tercela”. (Dikeluarkan oleh Al Baihaqi dalam Manaqib Asy Syafi’i 1: 468-469. Riwayat ini shahih sebagaimana kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam tahqiq beliau terhadap Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 131.) Lihatlah apa yang dimaksud bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah (yang tercela) menurut versi Imam Syafi’i -semoga Allah merahmati beliau-. Yang tercela atau termasuk bid’ah sayyi’ah adalah jika menyelisihi dalil Al Qur’an, As Sunnah, atsar dan ijma’ (kesepakatan para ulama). Dan jelas perayaan maulid tidak memiliki dalil sama sekali, sehingga perayaan tersebut bukan termasuk hasanah, namun termasuk bid’ah sayyi’ah atau tercela. Adapun mengumpulkan Al Qur’an, membukukan hadits, menyusun buku-buku agama, membangun madrasah, ini bukan termasuk bid’ah tercela karena semuanya tercakup dalam maslahat mursalah. Mengenai maslahat mursalat ini diterangkan oleh Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah, di mana beliau rahimahullah berkata “Setiap perkara yang faktor pendorong untuk melakukannya di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu ada dan mengandung suatu maslahat, namun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukannya, maka ketahuilah bahwa perkara tersebut bukanlah maslahat. Namun, apabila faktor tersebut baru muncul setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan hal itu bukanlah maksiat, maka perkara tersebut adalah maslahat.“ (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2: 101-103) Contoh penerapan kaedah Syaikhul Islam di atas adalah adzan ketika shalat ‘ied. Apakah faktor pendorong untuk melakukan adzan pada zaman beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ada? Jawabannya: Ada (yaitu beribadah kepada Allah). Namun, hal ini tidak dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam padahal ada faktor pendorong dan tidak ada penghalang. Pada zaman beliau ketika melakukan shalat ‘ied tidak ada adzan maupun iqomah. Oleh karena itu, adzan ketika itu adalah bid’ah dan meninggalkannya adalah sunnah. Begitu pula hal ini kita terapkan pada kasus mengumpulkan Al Qur’an. Adakah faktor penghalang tatkala itu? Jawabannya: Ada. Karena pada saat itu wahyu masih terus turun dan masih terjadi perubahan hukum. Jadi, sangat sulit Al Qur’an dikumpulkan ketika itu karena adanya faktor penghalang ini. Namun, faktor penghalang ini hilang setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena wahyu dan hukum sudah sempurna dan paten. Jadi, mengumpulkan Al Qur’an pada saat itu adalah suatu maslahat. Silakan analogikan kaedah Ibnu Taimiyah di atas untuk perayaan maulid Nabi. Apakah ada faktor pendorong untuk mengekspresikan cinta nabi saat itu dengan maulid? Tentu ada. Apakah ada faktor penghalang? Tidak ada, artinya para sahabat ketika itu bisa melaksanakannya. Sehingga jika hal tersebut dilakukan oleh orang sesudahnya, maka itu bukan maslahat, tetapi termasuk bid’ah. Para ulama telah berkata mengenai suatu amalan yang tidak pernah diajarkan sebelumnya oleh para sahabat, لَوْ كَانَ خَيرْاً لَسَبَقُوْنَا إِلَيْهِ “Seandainya amalan tersebut (perayaan maulid) baik, tentu mereka (para sahabat dan tabi’in) sudah mendahului kita untuk melakukannya.” Sebagaimana perkataan disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsir surat Al Ahqof ayat 11. Hanya Allah yang memberi taufik. Tulisan di atas masih berlanjut pada tujuh keanehan lainnya, insya Allah. Baca pula: Kumpulan Artikel Seputar Maulid Nabi. rumaysho [1] Kalau mau menghidupkan ajaran Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- adalah lakukan amalan sunnah beliau yang ada dalilnya. Seperti keterangan Syaikh Muktar Asy Syinqithi -semoga Allah senantiasa menjaga beliau dalam kebaikan- dalam muhadhoroh di Masjid Nabawi (12/3/1434 H) bahwa Maulid Nabi yang ada dalilnya adalah dengan menjelaskan puasa Senin, karena bertepatan dengan hari lahir beliau. Memang benar apa yang beliau katakan bahwa puasa Senin bertepatan dengan hari lahir Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Abu Qotadah Al Anshori radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya mengenai puasa pada hari Senin, lantas beliau menjawab, ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ وَيَوْمٌ بُعِثْتُ أَوْ أُنْزِلَ عَلَىَّ فِيهِ “Hari tersebut adalah hari aku dilahirkan, hari aku diutus atau diturunkannya wahyu untukku.” (HR. Muslim no. 1162) Catatan: Sebagian beralasan dengan puasa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari Senin, karena pada hari tersebut adalah hari kelahirannya. Ini berarti hari kelahiran boleh dirayakan. Sanggahan: Bagaimana mungkin dalil di atas menjadi dalil untuk merayakan hari kelahiran beliau[?] Ini sungguh tidak tepat dalam berdalil. Lihatlah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melaksanakan puasa pada tanggal kelahirannya yaitu tanggal 12 Rabiul Awwal, dan itu kalau benar pada tanggal tersebut beliau lahir. Karena dalam masalah tanggal kelahiran beliau masih terdapat perselisihan. Yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan adalah puasa pada hari Senin bukan pada 12 Rabiul Awwal[!] Seharusnya kalau mau mengenang hari kelahiran Nabi dengan dalil di atas, maka perayaan Maulid harus setiap pekan bukan setiap tahun. [2] Shalat Raghaib atau biasa juga disebut dengan shalat Rajab adalah shalat yang dilakukan di malam Jum’at pertama bulan Rajab antara shalat Maghrib dan Isya. Di siang harinya sebelum pelaksanaan shalat Raghaib (hari kamis pertama bulan Rajab) dianjurkan untuk melaksanakan puasa sunnah. Jumlah raka’at shalat Raghaib adalah 12 raka’at. Di setiap raka’at dianjurkan membaca Al Fatihah sekali, surat Al Qadr 3 kali, surat Al Ikhlash 12 kali. Kemudian setelah pelaksanaan shalat tersebut dianjurkan untuk membaca shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebanyak 70 kali. Ath Thurthusi mengatakan, ”Tidak ada satu riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melakukan shalat ini. Shalat ini juga tidak pernah dilakukan oleh para sahabat radhiyallahu ’anhum, para tabi’in, dan salafush sholeh –semoga rahmat Allah pada mereka-.” (Al Hawadits wal Bida’, hal. 122. Dinukil dari Al Bida’ Al Hawliyah, 242) Setelah kita melihat tiga keanehan sebelumnya, saat ini kita akan melanjutkan dua point lainnya. Juga akan disertakan beberapa kerancuan dan sanggahannya. Allahumma yassir wa a’in.4- Mengaku bermadzhab Syafi’i, namun anehnya tidak pernah menunjukkan secara tegas kalau Imam Syafi’i memperingati maulid Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Yang ada adalah Imam Syafi’i memerintahkan kita untuk mentaati dan mengikuti ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam walau hal itu tidak disebutkan dalam Al Qur’an Al Karim. Dalam kitab Ar Risalah, Imam Asy Syafi’i berkata, وما سن رسول الله فيما ليس لله فيه حكم فبحكم الله سنة “Apa yang disunnahkan oleh Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang tidak ada hukumnya dalam Al Qur’an, maka ajaran beliau pun berdasarkan hukum Allah sudah menjadi ajaran bagi kita” (Ar Risalah, hal. 151). Jika Imam Syafi’i saja memerintahkan untuk mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka jelas ia tidak mungkin berbuat suatu amalan yang tidak ada tuntunannya, yang tidak pernah diajarkan oleh Rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan para sahabatnya. Imam Syafi’i itu dipuji karena kecerdasannya. Sebagaimana perkataan berikut, قال أبو عبيد: ما رأيت أحدا أعقل من الشافعي، وكذا قال يونس بن عبدالاعلى، حتى إنه قال: لو جمعت أمة لوسعهم عقله “Abu ‘Ubaid berkata: Aku tidaklah pernah melihat seorang pun yang lebih cerdas dari Imam Syafi’i. Begitu pula disebutkan oleh Yunus bin ‘Abdul A’la, sampai-sampai ia berkata, “Jika umat itu dikumpulkan, maka tentu masih hebat kecerdasan Imam Syafi’i” (Siyar A’lamin Nubala karya Imam Adz Dzahabi, 10: 15). Adapun perkataan Imam Syafi’i yang dinukil sebagai berikut, من جمع لمولد النبى صلى الله عليه وسلم اخوانا وتهياء لهم طعاما وعملا حسانا بعثه الله يوم القيامة مع الصديقين والشهداء والصالحين “Barangsiapa yang mengumpulkan orang untuk melaksanakan perayaan Maulid Nabi karena kecintaan pada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- secara berjama’ah dengan menyediakan makanan dan berlaku baik, niscaya Allah bangkitkan di hari kiamat beserta para ahli kebenaran, syuhada dan para shalihin.” Yang menukil perkataan di atas tidak menyebutkan sumber rujukannya atau merujuk ke kitab induk Imam Syafi’i.[1] Karena yang kami temukan adalah perkataan tersebut dinisbatkan pada Al Imam Al Yafi Al Yumna sebagaimana dinukil dari kitab Roudhotuth Tholibin, وقال الامام اليافعي اليمنى: من جمع لمولد النبي (ص) إخوانا وهيأ طعاما وأخلى مكانا وعمل إحسانا وصار سببا لقراءة مولد الرسول بعثه الله يوم القيامة مع الصديقين والشهداء والصالحين ويكون في جنات النعيم. “Al Imam Al Yafi Al Yumna berkata: Barangsiapa berkumpul untuk acara Maulid Nabi karena kecintaan pada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dengan berjama’ah dan menyediakan makanan dan tempat, juga berlaku baik, niscaya karena sebab ini, Allah akan bangkitkan di hari kiamat bersama para shiddiqin, syuhada dan para shalihin, dan akan berada di surga yang penuh kenikmatan.” (Roudhotuth Tholibin, 3: 415). Kalau mau menukil perkataan Imam Syafi’i secara langsung, buktikanlah perkataan beliau dari kitab beliau, bukan dari kitab turunan hasil karya ulama lainnya. Kami sangat menanti jawaban jika ada yang bisa menukil tentang anjuran perayaan Maulid dari kitab Imam Syafi’i Al Umm atau dari kitab Ar Risalah. Taruhlah kalau Imam Syafi’i mengadakan maulid Nabi, apa itu langsung jadi dalil? Dari mana ini dikatakan jadi dalil? Karena perkataan Imam jika menyelisihi ajaran Rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, mana yang mesti didahulukan? Sedangkan para sahabat saja tidak pernah mengekspresikan cinta mereka dengan maulid Nabi, padahal mereka adalah orang yang dekat dengan Nabi. Lantas bagaimana lagi dengan orang di bawah sahabat? Imam Syafi’i sendiri berkata, إِذَا صَحَّ الْحَدِيثُ فَهُوَ مَذْهَبِي وَإِذَا صَحَّ الْحَدِيْثُ فَاضْرِبُوا بِقَوْلِي الْحَائِطَ “Kalau ada hadits shahih, maka itulah madzhabku, dan kalau ada hadits shahih maka campakkanlah pendapatku ke (balik) tembok.” (Siyar A’lamin Nubala, 10: 35) Imam Syafi’i menerangkan dalam kitab Ar Risalah dengan membawakan ayat berikut terlebih dahulu, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa’: 59). Kata Imam Syafi’i, maksud ulil amri dalam ayat tersebut adalah para ulama yang sejalan dengan ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu setelah itu beliau berkata, فأموا أن يطيعوا أولى الأمر الذين أمرهم رسول الله , لا طاعة مطلقا بل طاعة مستثناة,فيما لهم وعليهم فقال: فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ يعني إن اختلفتم في شيء “Orang beriman diperintahkan untuk mentaati ulil amri (para ulama) namun ketaatan tersebut ketika sejalan dengan ajaran Rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Ketataan pada para ulama bukanlah ketaatan secara mutlak, namun ketaatan jika sejalan dengan perintah Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Jadi yang diikuti adalah kebaikan mereka, bukan yang keliru. Karena Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Jika kalian berselisih dalam suatu pendapat, maka kembalikanlah kepada Allah …” Maksud ayat ini adalah ketika kalian berselisih dalam (segala) sesuatu. (Ar Risalah, hal. 145-146). Pernyataan Imam Syafi’i di atas berarti bahwa perkataan seorang ulama, kyai, ustadz, atau seorang imam bisa diikuti jika sejalan dengan ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika menyelisihi, maka jelas tidak boleh diikuti. Taruhlah jika benar perkataan Imam Syafi’i, itu keliru karena menyelisihi dalil. Kekeliruan seorang ulama tidaklah boleh diikuti. Sulaiman At Taimi mengatakan, لَوْ أَخَذْتَ بِرُخْصَةِ كُلِّ عَالِمٍ اِجْتَمَعَ فِيْكَ الشَّرُّ كُلُّهُ “Seandainya engkau mengambil setiap ketergelinciran ulama, maka pasti akan terkumpul padamu kejelekan.” Setelah mengemukakan perkataan ini, Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan, ”Ini adalah ijma’ (kesepakatan) para ulama, saya tidak mengetahui adanya perselisihan dalam hal ini.” (Lihat Kasyful Jaani, Muhammad At Tiijani, hal. 96, Asy Syamilah) Kami pun masih belum percaya kalau Imam Syafi’i benar-benar menganjurkan perayaan maulid karena beliau adalah orang yang benar-benar mengikuti sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Imam Syafi’i sendiri berkata, كُلُّ حَدِيثٍ عَنِ النَّبِيِّ فَهُوَ قَوْلِي وَإِنْ لَمْ تَسْمَعُوهُ مِنيِّ “Setiap hadits yang diucapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka itulah pendapatku meski kalian tak mendengarnya dariku.” (Tarikh Dimasyq, 51: 389) 5- Maulid dilakukan dengan membaca shalawat dan shiroh Rasul. Anehnya, kenapa cuma mau setahun dilakukan? Bahkan setiap daerah punya tata cara sendiri untuk merayakan maulid Nabi. Ada yang sampai membuat festival selama sebulan dan saling berkunjung satu dan lainnya. Ada pula dengan memperbanyak sedekah. Padahal tidak ada dalil yang mengkhususkan ibadah semacam ini pada bulan Rabi’ul Awwal. Sebagian berdalil untuk mendukung maulid dengan ayat, إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya” (QS. Al Ahzab: 56). Kalau dilihat secara tekstual, tidak ada nyambungnya antara perintah merayakan maulid dan ayat ini. Bukti tidak nyambungnya, kita bandingkan dengan perkataan pakar tafsir tentang ayat tersebut. Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Maksud ayat adalah: Allah Ta’ala mengabarkan kepada para hamba-Nya tentang kedudukan mulia hamba dan Nabi-Nya (yaitu Muhammad -shallallahu ‘alaihi wa sallam-) di kedudukan tinggi nan mulia. Allah memuji Nabi-Nya di hadapan para malaikat yang didekatkan. Para malaikat pun bershalawat padanya. Kemudian Allah perintahkan pada makhluk di muka bumi untuk bershalawat dan mengucapkan salam pada beliau supaya menunjukkan berbagai pujian untuk beliau baik dari makhluk di langit (di atas), maupun di muka bumi (di bawah).” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim karya Ibnu Katsir, 11: 210) Namun mereka membuat alasan bahwa karena dalam acara maulid terdapat ritual shalawatan. Sanggahannya, emangnya shalawat cuma bisa diterapkan pada maulid Nabi? Mana dalilnya? Kita diperintahkan shalawat itu setiap saat. Jika dikhususkan pada waktu tertentu, tanpa ada dalil, itu jelas mengada-ada. Ini beberapa dalil yang menunjukkan bahwa kita diperintahkan bershalawat setiap saat, bukan hanya saat mauludan. كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا دَخَلَ الْمَسْجِدَ صَلَّى عَلَى مُحَمَّدٍ وَسَلَّمَ وَقَالَ « رَبِّ اغْفِرْ لِى ذُنُوبِى وَافْتَحْ لِى أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ » “Biasanya, ketika Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam masuk ke dalam masjid beliau bershalawat kemudian mengucapkan: rabbighfirli dzunubi waftahli abwaaba rahmatik (Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku, dan bukalah untukku pintu-pintu Rahmat-Mu)” (HR. Tirmidzi, 314. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Begitu pula sama halnya dengan keluar masjid, ada dalil tentang hal tersebut. Ketika tasyahud, kita pun diperintahkan untuk bershalawat sebagaimana disebutkan dalam hadits, سَمِعَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- رَجُلاً يَدْعُو فِى صَلاَتِهِ لَمْ يُمَجِّدِ اللَّهَ تَعَالَى وَلَمْ يُصَلِّ عَلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « عَجِلَ هَذَا ». ثُمَّ دَعَاهُ فَقَالَ لَهُ أَوْ لِغَيْرِهِ « إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَبْدَأْ بِتَحْمِيدِ رَبِّهِ جَلَّ وَعَزَّ وَالثَّنَاءِ عَلَيْهِ ثُمَّ يُصَلِّى عَلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- ثُمَّ يَدْعُو بَعْدُ بِمَا شَاءَ ». “Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mendengar seorang lelaki yang berdoa dalam shalatnya tanpa mengagungkan Allah dan tanpa bershalawat. Beliau pun berkata, ‘Orang ini terlalu tergesa-gesa’. Rasulullah lalu memanggil lelaki tersebut lalu menasehatinya, ‘Jika salah seorang diantara kalian berdoa mulailah dengan mengagungkanlah Allah, lalu memuji Allah, kemudian bershalawatlah, barulah setelah itu berdoa apa yang ia inginkan‘” (HR. Abu Daud no. 1481. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Ketika disebut nama Rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam- saja kita diperintahkan bershalawat, اَلْبَخِيْلُ مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ “Orang pelit itu adalah orang yang ketika disebut namaku ia enggan bershalawat” (HR. Tirmidzi no. 3546, ia berkata hadits tersebut hasan shahih gharib). Demikian halnya sehabis mendengar adzan, إِذَا سَمِعْتُمُ الْمُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ثُمَّ صَلُّوا عَلَىَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَىَّ صَلاَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا “Jika kalian mendengarkan muadzin mengumandangkan adzan, ucapkanlah apa yang ia ucapkan. Kemudian bershalawatlah kepadaku. Karena setiap seseorang bershalawat kepadaku, Allah akan bershalawat kepadanya 10 kali” (HR. Muslim, no. 384) Ketika dzikir pagi, kita juga diperintahkan bershalawat 10 kali, مَنْ صَلَّى عَلَيَّ حِيْنَ يُصْبِحُ عَشْرًا وَحِيْنَ يُمْسِي عَشْرًا أَدْركَتْهُ شَفَاعَتِي يَوْمَ القِيَامَةِ “Barangsiapa bershalawat untukku sepuluh kali di pagi dan petang hari, maka ia akan mendapatkan syafa’atku di hari kiamat nanti.” (HR. Thobroni melalui dua isnad, keduanya jayyid. Lihat Majma’ Az Zawaid 10: 120 dan Shahih At Targhib wa At Tarhib 1: 273, no. 656). Bukan hanya dzikir pagi, dzikir petang pun demikian sebagaimana tertera dalam hadits ini. Bahkan setiap ingin memanjatkan do’a kita pun memanjatkan shalawat terlebih dahulu. Dalilnya adalah dalil shalawat saat tasyahud karena di awalnya diawali dengan memuji Allah terlebih dahulu. Di hari Jum’at pun demikian, seorang muslim diperintahkan memperbanyak shalawat. Dari Abu Umamah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أَكْثِرُوا عَلَىَّ مِنَ الصَّلاَةِ فِى كُلِّ يَوْمِ جُمُعَةٍ فَإِنَّ صَلاَةَ أُمَّتِى تُعْرَضُ عَلَىَّ فِى كُلِّ يَوْمِ جُمُعَةٍ ، فَمَنْ كَانَ أَكْثَرَهُمْ عَلَىَّ صَلاَةً كَانَ أَقْرَبَهُمْ مِنِّى مَنْزِلَةً “Perbanyaklah shalawat kepadaku pada setiap Jum’at. Karena shalawat umatku akan diperlihatkan padaku pada setiap Jum’at. Barangsiapa yang banyak bershalawat kepadaku, dialah yang paling dekat denganku pada hari kiamat nanti.” (HR. Baihaqi dalam Sunan Al Kubro. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan ligoirihi –yaitu hasan dilihat dari jalur lainnya-. Lihat Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 1673). Jadi kalau mengatakan bahwa orang yang tidak merayakan maulid dituduh pelit bershalawat, maka itu keliru. Justru yang dilakukan pro-maulid pada setiap maulid saja, menunjukkan kekeliruannya. Atau mungkin ia lakukan pada setiap pekan saat acara shalawatan versi dia, ini juga menunjukkan pelitnya. Karena setiap muslim dalam sehari saja bisa bershalawat lebih dari sepuluh kali. Yang para ulama contohkan, mereka itu mengkaji hadits-hadits Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, di dalamnya berisi shiroh beliau. Setiap hari mereka rajin mengkaji hadits dari kitab shahihain (Bukhari-Muslim), kitab sunan yang empat dan juga kitab musnad. Jadi baca siroh Nabi kita yang mulia bukan hanya setahun sekali, bukan hanya saat perayaan mauludan di Rabi’ul Awwal. Kalau ritual untuk merayakannya berbeda-beda, tidak ada standar, maka bagaimana mungkin suatu ibadah dalam Islam bisa dikata seperti ini? Padahal dalam shalat dan puasa saja kita sudah diajarkan tata caranya, begitu pula dalam ibadah tahunan seperti ibadah haji. Seharusnya dalam moment penting seperti maulid, juga harus ada petunjuk bagaimana merayakannya. Karena ajaran Islam itu sudah diterangkan dengan terang benderang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, قَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لاَ يَزِيغُ عَنْهَا بَعْدِى إِلاَّ هَالِكٌ “Sungguh saya telah meninggalkan kalian di atas petunjuk yang sangat terang malamnya seperti waktu siangnya tidaklah menyimpang darinya setelahku kecuali orang yang binasa” (HR. Ibnu Majah no. 43 dan Ahmad 4: 126. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Bagaimana mencari petunjuk untuk merayakannya, perayaannya pun tidak ada dalilnya. Karena Islam hanya mengenal dua hari raya besar yaitu Idul Fithri dan Idul Adha. Anas bin Malik mengatakan, كَانَ لِأَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ يَوْمَانِ فِي كُلِّ سَنَةٍ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَلَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ قَالَ كَانَ لَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ أَبْدَلَكُمْ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الْأَضْحَى “Orang-orang Jahiliyah dahulu memiliki dua hari (hari Nairuz dan Mihrojan) di setiap tahun yang mereka senang-senang ketika itu. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau mengatakan, ‘Dulu kalian memiliki dua hari untuk senang-senang di dalamnya. Sekarang Allah telah menggantikan bagi kalian dua hari yang lebih baik yaitu hari Idul Fithri dan Idul Adha.’” (HR. An Nasa-i no. 1556. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih) Masih tersisa lima keanehan yang akan dikupas keesokan hari di Rumaysho, insya Allah. Wallahul muwaffiq. Di antara yang menjadi keanehan dalam perayaan maulid Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam penetapan tanggal perayaan Maulid Nabi. Hal tersebut masih terdapat perselisihan. Tanggal 12 Rabi’ul Awwal ternyata lebih dikata tepat sebagai tanggal kematian beliau, bukan hari lahirnya. Ini di antara keanehan yang akan dikupas dalam bahasan Rumasyho kali ini. 6- Merayakan maulid pada tanggal yang sebenarnya diperselisihkan oleh para ulama. Buktinya ada kaum muslimin yang merayakan maulid pada tanggal 10 Rabiul Awwal. Mayoritas lainnya merayakan pada tanggal 12. Hari kelahiran Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- adalah hari Senin. Dari Abu Qotadah Al Anshori radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya mengenai puasa pada hari Senin, lantas beliau menjawab, ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ وَيَوْمٌ بُعِثْتُ أَوْ أُنْزِلَ عَلَىَّ فِيهِ “Hari tersebut adalah hari aku dilahirkan, hari aku diutus atau diturunkannya wahyu untukku.” (HR. Muslim no. 1162) Sedangkan tahun kelahirannya adalah pada tahun Gajah. Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’ad berkata, لا خلاف أنه ولد صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بجوف مكّة ، وأن مولده كان عامَ الفيل . “Tidak ada khilaf di antara para ulama bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lahir di kota Mekkah. Dan kelahirannya adalah di tahun gajah.” Sedangkan mengenai tanggal dan bulan lahirnya Nabi kita -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, hal ini masih diperselisihkan. Ada pendapat yang mengatakan bahwa beliau lahir tanggal 8 Rabi’ul Awwal, seperti pendapat Ibnu Hazm. Ada pula yang mengatakan tanggal 10 Rabi’ul Awwal. Dan yang masyhur menurut jumhur (mayoritas) ulama adalah pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal. Selain itu ada yang mengatakan, beliau dilahirkan pada bulan Ramadhan, ada pula yang mengatakan pada bulan Shafar. Sedangkan ahli hisab dan falak meneliti bahwa hari Senin, hari lahir beliau bertepatan dengan 9 Rabi’ul Awwal. Dan inilah yang dinilai lebih tepat. Jika kita meneliti lebih jauh, ternyata yang pas dengan tanggal 12 Rabi’ul Awwal adalah hari kematian Nabi ­-shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Meski mengenai kapan beliau meninggal pun masih diperselisihkan tanggalnya. Namun jumhur ulama, beliau meninggal dunia pada tanggal 12 dari bulan Rabi’ul Awwal, dan inilah yang dinilai lebih tepat.[1] Jika demikian, yang mau diperingati pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal apakah kematian beliau?! Wallahul musta’an. Perselisihan di atas juga menunjukkan bahwa perayaan mauludan tidaklah begitu urgent, karena seandainya itu ingin diperingati, maka seharusnya ada konsensus para ulama yang menetapkan tanggal pasti perayaannya biar umat tidak berselisih sebagaimana jelas untuk Idul Fithri tanggal 1 Syawal dan Idul Adha pada tanggal 10 Dzulhijjah. 7- Sahabat dan Istri Nabi tentu orang-orang yang lebih mencintai Nabi, apalagi mereka bertemu dan berjumpa dengan beliau secara langsung. Namun tidak ada satu bukti pun yang menunjukkan kalau mereka tadi mengagungkan dan mencintai nabi dengan merayakan maulid. Ada yang berujar: Sahabat dan istri Nabi merayakan Maulid Nabi dengan jalan banyak membaca shalawat kepada beliau dan mengamalkan ajaran yang beliau bawa. Sanggahan: Apa memang para sahabat dan istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bershalawat untuk merayakan Ultah Nabi? Siapa yang bilang seperti ini? Mana bukti dalil dan sejarahnya. Mereka memang bershalawat apalagi pada waktu yang diperintahkan seperti telah dijelaskan di atas. Kalau mengajarkan amalan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, itu benar, namun itu bukan dalam rangka berpapasan dengan Mauludan. Namun karena ingin menjalankan perintah, قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ “Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran: 31). Jadi amalkan perintah dan petunjuk Rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, itu hakikat cinta sebenarnya. 8- Berdalil bahwa ia merayakan maulid dalam rangka cinta nabi, namun ketika ditanya malah beralasan karena maulid dilakukan oleh kyai atau ustadznya. Itu mah tandanya cinta kyai dan ustadz, bukan cinta Nabi. Jika mereka berdalil bahwa semua kyai dan ustadz di negeri kita turut melaksanakan maulid, maka jawabannya: Ketahuilah saudaraku -semoga Allah selalu memberi taufik padamu-, mayoritas ulama tidak mau menggunakan amalan penduduk Madinah (di masa Imam Malik) –tempat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berhijrah- sebagai dalil dalam beragama. Mereka menganggap bahwa amalan penduduk Madinah bukanlah sandaran hukum dalam beragama tetapi yang menjadi sandaran hukum adalah ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu bagaimana mungkin kita berdalil dengan kebiasaan sebagian negeri muslim yang tidak memiliki keutamaan sama sekali dibanding dengan kota Nabawi Madinah?! (Disarikan dari Iqtidho’ Shirothil Mustaqim, 2: 89 dan Al Bid’ah wa Atsaruha Asy Syai’ fil Ummah, Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali, 49-50, Darul Hijroh) Perlu diperhatikan pula, tersebarnya suatu perkara atau banyaknya pengikut bukan dasar bahwa perkara yang dilakukan adalah benar. Bahkan apabila kita mengikuti kebanyakan manusia maka mereka akan menyesatkan kita dari jalan Allah dan ini berarti kebenaran itu bukanlah diukur dari banyaknya orang yang melakukannya. Perhatikanlah firman Allah Ta’ala, وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (QS. Al An’am: 116) 9- Di tanah kelahiran Nabi tidak merayakan maulid, namun anehnya negeri yang jauh dari tempat tersebut malah merayakannya. Jika Maulid Nabi memang amalan baik atau termasuk sunnah, maka tentu dari negeri Saudi dimulainya perayaan tersebut. Namun yang ada perayaan tersebut sebenarnya perayaan orang Syi’ah, merekalah yang mempeloporinya pertama kali. Al Maqriziy, seorang pakar sejarah mengatakan, “Para khalifah Fatimiyyun memiliki banyak perayaan sepanjang tahun. Ada perayaan tahun baru, hari ‘Asyura, maulid (hari kelahiran) Nabi, maulid Ali bin Abi Thalib, maulid Hasan dan Husain, maulid Fatimah al Zahra, maulid khalifah yang sedang berkuasa, perayaan malam pertama bulan Rajab, perayaan malam pertengahan bulan Rajab, perayaan malam pertama bulan Sya’ban, perayaan malam pertengahan bulan Rajab, perayaan malam pertama bulan Ramadhan, perayaan malam penutup Ramadhan, perayaan ‘Idul Fithri, perayaan ‘Idul Adha, perayaan ‘Idul Ghadir, perayaan musim dingin dan musim panas, perayaan malam Al Kholij, hari Nauruz (Tahun Baru Persia), hari Al Ghottos, hari Milad (Natal), hari Al Khomisul ‘Adas (3 hari sebelum paskah), dan hari Rukubaat.” (Al Mawa’izh wal I’tibar bi Dzikril Khutoti wal Atsar, 1/490. Dinukil dari Al Maulid, hal. 20 dan Al Bida’ Al Hawliyah, hal. 145-146) Asy Syaikh Bakhit Al Muti’iy, mufti negeri Mesir dalam kitabnya Ahsanul Kalam (hal. 44) mengatakan bahwa yang pertama kali mengadakan enam perayaan maulid yaitu: perayaan Maulid (hari kelahiran) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maulid ‘Ali, maulid Fatimah, maulid Al Hasan, maulid Al Husain –radhiyallahu ‘anhum- dan maulid khalifah yang berkuasa saat itu yaitu Al Mu’izh Lidinillah (keturunan ‘Ubaidillah dari dinasti Fatimiyyun) pada tahun 362 H. Dan dinasti Fatimiyyun sendiri sebenarnya bukan muslim. Al Qodhi Al Baqillaniy menulis kitab khusus untuk membantah Fatimiyyun yang beliau namakan “Kasyful Asror wa Hatkul Astar (Menyingkap rahasia dan mengoyak tirai)”. Dalam kitab tersebut, beliau membuka kedok Fatimiyyun dengan mengatakan, “Mereka adalah suatu kaum yang menampakkan pemahaman Rafidhah (Syi’ah) dan menyembunyikan kekufuran semata.” Ibnu Taimiyah sampai mengatakan dalam Majmu’ Fatawa-nya, “Bani Fatimiyyun adalah di antara manusia yang paling fasik (banyak bermaksiat) dan paling kufur.” 10- Cuma bisa mencap bahwa orang yang melarang peringatan Maulid adalah Wahabi karena tidak punya alasan lainnya. Ada yang berkomentar: Iya, saat ini Makkah dan Madinah dikuasai faham wahabi yg memang tidak mau mengadakan Maulid Nabi yg baik ini, kaum wahabi di sana lebih suka mengadakan Maulid muhammad bin abdul wahhab an-najdi selama seminggu penuh, juga adanya haul Utsaimin tokoh yg mereka agung-agung kan. Yang tahu keadaan Saudi adalah yang tinggal di Saudi. Orang di negeri kita yang asal menuduh, tanpa ajukan bukti, maka pernyataan di atas hanya HOAX (alias: bualan). Karena yang ada adalah bukan Maulid Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab namun pengadaan seminar dan pameran buku. Juga, yang ada hanyalah tugu yang menunjukkan bahwa di situ adalah markaz Dakwah Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin dan bukan tugu peringatan, apalagi sampai mengatakan Wahabi merayakan haul Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin. Ini justru fitnah yang menunjukkan kebencian mereka terhadap dakwah tauhid di tanah Arab. Dan yang jelas mereka memang sudah benci terhadap dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab karena sejak dari pesantren, mereka sudah didoktrin Wahabi itu sesat. Padahal yang didakwahkan Syaikh Ibnu Wahab adalah dakwah untuk kembali kepada akidah Islam dan kembali kepada ajaran Rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Prinsip beliau adalah berpegang teguh pada dalil. Silakan lihat ulasan beliau dalam berbagai karyanya di antaranya dalam Kitab Tauhid, Qowa’idul Arba’ dan lainnya, tidak pernah beliau berkata kecuali dengan dalil dari Al Qur’an dan hadits. Hanya Allah yang memberi taufik dan membuka hati untuk menerima kebenaran.
Posted on: Sun, 30 Jun 2013 22:03:48 +0000

© 2015