33 Sikap Ghuluw Di Dalam Takfir (PASAL KEDUA #5) KETIGA: - TopicsExpress



          

33 Sikap Ghuluw Di Dalam Takfir (PASAL KEDUA #5) KETIGA: Sebab-Sebab Takfier Sebab syar’iy menurut ulama ushul adalah: (Sifat yang dhahir lagi baku yang mana hukum terbukti ada dengannya dikarenakan syari’at mengaitkan hukum dengannya)[1] atau ia adalah (suatu yang yang mesti karena keberadaannya adanya musabbab (apa yang disebabkan) dan mesti karena ketidak adaannya tidak adanya musabbab) atau ia itu adalah (menjadikan sifat yang dhahir lagi baku sebagai manath (alasan) untuk adanya hukum, yaitu mengharuskan adanya).[2] Dan dengan ungkapan lain adalah apa yang dijadikan oleh syari’at ini sebagai tanda terhadap apa yang disebabkannya serta mengaitkan keberadaan musabbab dan ketidakadaannya terhadapnya. Oleh sebab itu para ulama mengatakan bahwa hukum itu berputar bersama ‘illat-nya (alasannya) saat ada dan saat tidak ada. ‘Illat dan sebab itu adalah sama menurut mayoritas ahli ushul, dikatakan di dalam Maraqi As Su’uud: ومع علة ترادف السبب والفرق بعضهم إليه ذهب Dan bersama ‘illat yang sama dengan sebab dan sebagian berpendapat membedakannya[3] Dan dikarenakan iman menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah itu adalah terdiri dari tiga rukun; yaitu keyakinan, ucapan dan amalan, maka sesungguhnya sebab kekafiran itu adalah seperti itu juga, yaitu ada ucapan yang mukaffir, atau perbuatan mukaffir (dan masuk di dalamnya sikap meninggalkan yang mukaffir) atau keraguan atau keyakina yang mukaffir. Ibnu Hazm rahimahullah (456 H) berkata tentang definisi kekafiran: (Ia di dalam dien ini adalah sifat orang yang mengingkari sesuatu yang telah Allah ta’ala fardlukan untuk iman kepadanya setelah tegak hujjah terhadapnya dengan sampainya kebenaran kepadanya, dengan hatinya tanpa lisannya, atau dengan lisannya tanpa hatinya, atau dengan kedua-duanya secara bersamaan atau melakukan suatu amalan yang mana telah datang penegasan bahwa hal itu mengeluarkannya dengan sebab itu dari nama iman) selesai dari Al Ihkam Fi Ushulil Ahkam 1/45. Tajuddien As Subki (771 H) berkata: (Takfier adalah hukum syar’iy yang sebabnya adalah pengingkaran rububiyyah atau wahdaniyyah atau kerasulan, atau ucapan atau perbuatan yang mana syari’at telah menghukuminya bahwa itu adalah kekafiran walaupun dia itu bukan mengingkari). Selesai dari Fatawa As Subki 2/586. Asy Syarbiniy Asy Syafi’i (977 H) berkata di dalam Mughnil Muhtaj: (Kemurtaddan adalah pemutusan Islam secara total dengan niat, atau ucapan atau perbuatan, sama saja dia mengucapkannya dalam rangka bercanda atau pembangkangan atau keyakinan). Selesai 4/133. Manshur Al Bahuti Al Hanbali (1051 H) berkata: (Orang murtad itu secara bahasa adalah orang yang kembali. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: وَلا تَرْتَدُّوا عَلَى أَدْبَارِكُمْ فَتَنْقَلِبُوا خَاسِرِينَ (٢١) “dan janganlah kamu lari kebelakang (karena takut kepada musuh), Maka kamu menjadi orang-orang yang merugi.” (Al Maidah: 21) Dan sedangkan secara syari’at maka ia itu adalah orang yang kafir setelah dia muslim, baik dengan ucapan atau keyakinan atau keraguan atau perbuatan). Selesai dari Kasyful Qinaa’ ‘An Matnil Iqnaa 6/136. Dan ucapan para ‘ulama di dalam hal ini adalah sangat banyak. Dan di dalam itu semua dijelaskan bahwa sebab kekafiran atau kemurtaddan itu adalah sebagaimana yang telah kami jelaskan: Bisa berupa ucapan yang mukaffir atau perbuatan yang mukaffir atau keyakinan atau keraguan yang mukaffir. Ini adalah sebab-sebab kekafiran secara umum. Adapun sebab-sebab takfier yang diberlakukan di dalam hukum-hukum dunia, maka ia itu terbatas pada perbuatan yang mukaffir atau ucapan yang mukaffir saja. Dan telah kami jelaskan bahwa di antara perbuatan dan ucapan itu ada yang merupakan kekafiran dengan sendirinya yang mengeluarkan dari Islam, tanpa dikaitkan dengan keyakinan yang rusak atau juhud atau istihlal di dalam kitab kami (Imtaa’un Nadhr Fi Kasyfi Syubuhat Murjiatil ‘Ashr) dan di dalamnya kami berbicara panjang lebar, maka silahkan rujuk karena ia adalah tempatnya. Syari’at ini telah membatasi takfier terhadap hal itu saja di dalam hukum-hukum dunia, karena keyakinan dan keraguan itu adalah tidak nampak dan tidak baku di dalam hukum dunia, oleh sebab itu Allah tidak mengaitkan hukum-hukum dunia terhadapnya dan tidak menjadikannya sebagai sebab takfier di dalamnya, namun itu adalah urusan Allah yang mengetahui apa yang tersembunyi, jadi ia adalah sebab kekafiran di akhirat yang tidak ada kaitannya dengan hukum-hukum dunia. Oleh sebab itu orang yang menyembunyikan kekafiran dan tidak menampakkannya dan ia malah menampakkan ajaran-ajaran Islam, maka ia itu adalah orang munafiq yang di dunia diperlakukan sebagai orang muslim, dan sedangkan di akhirat maka Allah yang akan menghisabnya atas kekafiran yang disembunyikannya, sehingga akhir jalannya adalah di tingkatan neraka yang paling dasar. Dan telah lalu ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah di dalam Ash Sharimul Maslul 177-178: (Dan secara umum, barangsiapa mengatakan atau melakukan suatu yang merupakan kekafiran, maka dia itu kafir dengan sebab itu walaupun tidak ada maksud untuk kafir, karena tidak ada seorangpun yang bermaksud untuk kafir kecualia apa yang Allah kehendaki). Jadi sebab takfier itu dibatasi pada ucapan dan perbuatan yang mukaffir, karena itulah yang dianggap di dalam hukum dunia, dan tidak ada kaitan dengan sebab yang tersembunyi, karena ia tidak ada hubungannya dengan hukum dunia. Dan hal yang hampir sama dengan ini di dalam Ash Sharim Al Maslul hal 370. Dan telah lalu pembicaraan tentang penjelasan ucapan Syaikhul Islam (walaupun tidak ada maksud untuk kafir), dan itu dikarenakan syari’at ini telah mengaitkan hukum dengan sebabnya, (sehingga bila sebab ini ada, syurutnya terpenuhi serta mawani’nya tidak ada, maka secara pasti hukumnya ada juga), (karena hukum itu tidak pernah meleset dari sebabnya secara syari’at, baik orang yang melakukan sebab itu memaksudkan terjadinya hukum padanya ataupun tidak, justeru hukum itu sudah melekat walaupun dia tidak memaksudkannya),[4] (Di mana orang mukallaf tidak memiliki hak untuk melepaskan ikatan yang mana syari’at telah mengaitkan hukum dengan sebabnya) dan iapun tidak akan bisa, walaupun dia melakukan angan-angan yang melangit. Dan atas dasar ini, seandainya orang mukallaf mendatangkan suatu sebab kekafiran yang nyata, baik itu ucapan atau perbuatan yang mukaffir, serta syurutnya terpenuhi lagi mawani’nya tidak ada, maka dia itu kafir, walaupun dia mengklaim bahwa ia tidak bermaksud keluar dari agama Islam, karena hal ini tidak dimaksud oleh seorangpun kecuali apa yang Allah kehendaki. Termasuk orang-orang Nasrani, seandainya kita tanyakan kepada mereka apakah kalian bermaksud kafir dengan ucapan kalian bahwa Al Masih itu adalah anak Allah? Tentu mereka menjawab tidak dan mengingkarinya. CATATAN SEPUTAR SEBAB-SEBAB TAKFIER Ketahuilah bahwa orang mukallaf seandainya mendatangkan suatu sebab kekafiran yang nyata, sedangkan syurutnya terpenuhi dan mawani’nya tidak ada, maka dia itu kafir. Dan tidak mesti dia itu menggabungkan lebih dari satu sebab kekafiran agar dikafirkan, akan tetapi berbilangnya sebab kekafiran adalah menjadikan kekafiran dia itu berlapis-lapis, di mana sesungguhnya kekafiran itu berlapis-lapis sebagaimana iman itu bertingkat-tingkat. Lihat dalam hal ini pasal Maratibul Mukallafin Fid Daril Akhirah Wa Thabaqatuha dari Kitab Thariqul Hijratain karya Ibnul Qayyim, dan ini dibuktikan dengan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala: إِنَّمَا النَّسِيءُ زِيَادَةٌ فِي الْكُفْرِ “Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan Haram itu adalah menambah kekafiran.” (At Taubah: 37) Pengundur-unduran bulan haram itu adalah sebab kekafiran yang menambah kekafiran-kekafiran orang kafir Quraisy. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: الأعْرَابُ أَشَدُّ كُفْرًا وَنِفَاقًا “Orang-orang Arab Badwi itu, lebih sangat kekafiran dan kemunafikannya,” (At Taubah: 97) Di dalamnya ada penjelasan bahwa sebagian kekafiran itu adalah lebih dasyat dari sebagian yang lainnya, dan ini sangat nampak. Maka barangsiapa yang menggabungkan berbagai sebab kekafiran, di mana dia murtad dengan meninggalkan ikrar dua kalimah syahadat dan shalat, di samping itu juga dia mencela dienullah, menghina Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berniat jahat terhadapnya serta berupaya memeranginya, seperti Abdullah Ibnu Sa’ad Ibnu Abu Sarh dan Abdullah Ibnu Khathal serta yang lainnya dari kalangan yang kisahnya disebutkan oleh Syaikhul Islam di dalam Ash Sharimul Maslul, maka tidak diragukan lagi bahwa kekafiran dan kemurtaddannya itu adalah lebih dasyat daripada orang-orang yang telah dikafirkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan satu sebab kekafiran saja, seperti orang-orang yang memperolok-olok para sahabat di perang Tabuk, dan seperti orang-orang yang murtad karena sebab menolak dari membayar zakat saja tanpa menolak dari shalat atau rukun-rukun islam yang lainnya. Dan ringkasnya bahwa pemberian alasan hukum kafir dengan lebih dari satu ‘illat atau satu sebab adalah bukan syarat bagi pengkafiran, namun hal itu hanyalah menambah point kekafiran baginya. Sebagaimana pengharaman itu kadang diberikan alasan baginya dengan dua alasan untuk menguatkan pengharamnnya, sebagaimana dalam pengharaman menikahi puteri tiri, bila ia itu diharamkan dengan sebab sesusuan di samping dia itu anak tiri, dan untuk hal itu para ulama berdalil dengan hadits Ummu Habibah di dalam Ash Shahihain bahwa ia berkata keada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya kami membicarakan bahwa engkau akan menikahi Darrah puteri Ummu Salamah,” maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: (إنها لو لم تكن ربيبتي في حجري لما حلت لي ، لأنها بنت أخي من الرضاعة ، أرضعتني وأبا سلمة ثويبة مولاة أبي لهب ). “Sesungguhnya dia itu andaikata bukan anak tiri saya yang ada di dalam asuhan saya, maka tetap dia itu tidak halal bagi saya, karena ia itu adalah puteri saudara saya dari susuan, saya dan Abu Salamah disusukan oleh Tsuwaibah budak milik Abu Lahab.” Dan Imam Ahmad mengatakan di dalam sesuatu yang pengharamannya sangat dasyat: (Ini seperti daging bangkai babi) beliau katakana itu dalam rangka mempertebal nilai keharaman dan menguatkannya, dan seperti penguatan pembunuhan orang yang membunuh, dan murtad serta berzina secara muhshan…. dan begitu seterusnya…. Dan dalam hal ini adalah kekafiran para thaghut hukum di zaman ini, di mana kekafiran mereka itu adalah kekafiran yang berlapis-lapis, karena mereka itu telah mengumpulkan berbagai sebab kekafiran sehingga mereka itu telah keluar dari dien ini dari berbagai pintu, seperti pembuatan undang-undang, berhukum dengan selain hukum Allah, mengikuti dien selain islam yang berupa sistim-sistim kafir lagi bid’ah yang mereka anut seperti demokrasi dan yang lainnya, tawalli kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani, membantu saudara-saudara mereka yang murtad dari kalangan para thaghut berbagai Negara terhadap kaum mujahidin muwahhidin, membuka berbagai pintu perolok-olokan terhadap dien dan memberikan izin bagi media-media massanya, baik yang bisa dilihat atau yang bisa didengar maupun yang bisa dibaca, serta kekafiran-kekafiran lainnya yang sangat banyak. ***** [1] Lihat Al Wadlih Fi Ushulil Fiqhi Karya Muhammad Sulaiman Al Asyqar hal 31. [2] Lihat Irsyadul Fuhul karya Asy Syaukani hal 24. manath adalah dari naath asy syaiu bila mengaitkannya atau menggantungkannya, seperti Dzatu Anwath, dan manath ini digunakan untuk ‘illat atau sebab karena hokum digantungkan kepadanya. [3] Lihat Mudzakkirah Fi ‘Ilmil Ushul karya Asy Syinqithi hal 42. dan orang yang membedakan di antara keduanya tidak menyelisihi bahwa masing-masing dari ‘illat dan sebab itu adalah tanda terhadap hukum atau bahwa masing-masing dari keduanya dibangun hukum di atasnya dan dikaitkan dengannya saat ada dan tidak ada, jadi dalam hal itu ‘illat dan sebab adalah sama, namun orang yang membedakan di antara keduanya hanyalah dalam hikmah pengaitan antara apa yang mana hukum dikaitkan dengannya, bila hikmah dan munasabah di dalam pengaitan ini adalah diketahui lagi bisa dicerna oleh akal kita maka ia itu adalah ‘illat dan sebab, dan bila tergolong hal yang tidak bisa dicerna oleh akal kita maka ia adalah sebab saja dan tidak dinamakan ‘illat. Safar menurut mereka adalah ‘illat dan sebab bagi qashar shalat, sedangkan tergelincir matahari adalah sebab dan bukan ‘illat bagi kewajiban shalat Dhuhur, jadi setiap ‘illat adalah sebab, namun tidak setiap sebab adalah ‘illat menurut para ‘ulama yang membedakan, dari sisi ini saja. Di sisi lain sebagian ‘ulama membagi ‘illat menjadi ‘illat yang sempurna dan ‘illat yang tidak sempurna. ‘illat yang sempurna adalah yang memestikan hukum dan hukum itu berputar bersamanya saat ia ada dan tidak ada, di mana bila ‘illat ini ada maka hukum pasti ada dan tidak mungkin meleset darinya, sehingga atas dasar ini maka masuk di dalam lafadh ‘illat itu keterpenuhan syurut dan tidak adanya mawani’. Adapun ‘illat yang tidak sempurna, maka ia itu yang menuntut hukum, akan tetapi tergantung kepada keterpenuhan syurut dan tidak adanya mawani’, dan ini dinamakan sebab oleh orang yang membagi menjadi seperti itu. ‘Illat yang pertama adalah yang mana hukum tidak mungkin meleset darinya, sedangkan yang kedua adalah yang mungkin terpeleset karena adanya penghalang atau tidak terpenuhinya syarat. Jadi masalahnya hanyalah isthilah saja karena mengikuti kaitan ‘illat atau sebab dengan syurut dan mawani’. Dan lihat Al Fatawa 21/204. [4] Lihat Ushulul Fiqh karya Abdul Wahhab Khalaf hal 18, dan para ulama memberikan contoh hal itu dengan orang yang menthalaq isterinya dengan thalaq raj’iy, maka ia berhak rujuk, walaupun dia mengatakan saat melafalkan thalaq (tidak ada rujuk bagi saya) atau dengan orang yang safar di bulan Ramadlan, bahwa ia boleh berbuka, baik dia bermaksud adanya kebolehan berbuka maupun tidak, dan seterusnya. Jadi hukum itu seperti yang telah lalu adalah berputar bersama ‘illat dan sebabnya saat ada dan tidak ada. min_njm
Posted on: Thu, 05 Sep 2013 23:21:26 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015