API KRISTUS SUDAH MENYALA. BUKAN SELARAS (BACA DAMAI), TETAPI - TopicsExpress



          

API KRISTUS SUDAH MENYALA. BUKAN SELARAS (BACA DAMAI), TETAPI SEMANGAT ALLAH: "AKU DATANG UNTUK MELEMPARKAN API KE BUMI DAN BETAPAKAH AKU HARAPKAN, API ITU TELAH MENYALA! (Surat Gembala untuk tgl 17-18 Agustus 2013) Saudara-saudari yang dimerdekakan oleh kebangkitan Kristus, Ungkapan “Shallom!”, “Damai!”, “Assalamualaikum!” praktis menjadi cara kita saling menyapa di dalam perjumpaan awal dan akhir di dalam hidup kita sehari-hari. Kita biasa mengatakan demikian ini dengan semangat doa, “Semoga Damai Sejahtera atau Keselamatan Allah turun atas di diri Anda!” Enak didengar dan sekaligus menimbulkan rasa sejuk, bukan? Siapa sih yang tidak mau merasakan damai atau tidak mau bahwa cekcok terus terjadi? Marilah kita kritisi terlebih dahulu sebelum kita mengyahatinya lagi secara lebih yakin, bukan hanya di antara kita yang seiman, tetapi juga di dalam konteks moto bangsa Indonesia, “Bhineka Tunggal Ika” dengan “NKRI” kita ini. Dalam bahasa “Iman” --- yaitu relasi timbal-balik antara Allah dengan kita manusia --- kata-kata di atas sungguh-sungguh menjadi visi-misi setiap agama (Yahudi, Kristen, Islam, sebagai agama wahyu; maupun agama-agama yang bertumbuh-berkembang dari kerinduan tulus untuk mencari kesempurnaan hidup seperti Konghucu, Budha, Hindu, dlsb.). Di dalam visi-misi Yesus tentang Kerajaan Allah, suasana damai, sejahtera atau selamat, adalah yang mesti kita mohon dan kita wujudnyatakan di antara kita, bahkan untuk seluruh semesta alam. Setiap agama kita harapkan sungguh-sungguh menjadi “...Rahmatan lil’Alamin” (= rahmat untuk alam semesta dengan seluruh isinya). Bukan hanya monopoli saudara-saudari muslim-muslimat yang wajib mewujudnyatakan, tetapi semua penganut agama. Amin! Amin! Amin! *** Di antara kita bangsa Indonesia pernah, dan masih kuat ada, bahwa ungkapan damai yang artinya juga selaras menjadi falsafah hidup sehari-hari, khususnya di antara orang-orang Jawa, yang coraknya lebih kuat dihidupi secara horizontal, yaitu antar sesama warga di dalam suasana feodalistis. “Anggota masyarakat tidak boleh melawan para pemimpin; yang muda atau lebih muda umurnya harus berperilaku sopan, menghormati para orang tua atau yang dituakan; tidak boleh melawan dengan mengatakan, ‘Tidak!’, melainkan ‘Ya dan ya!’; di dalam rapat-rapat dan bahkan pada tingkat ‘permusyawarahan untuk pengambilan kesepakatan’ (sila ke-4) tingkat tinggi seperti Rapat DPR-MPR yang masih kita ingat ialah kata ‘Setujuuuu...!”; dlsb. Keselarasan atau damai palsu yang demikian ini sudah 15 tahun kita reformasi dengan niat untuk memaknai secara tulus, asli sesuai dengan hakekatnya, yaitu melalui praktek demokratisasi. Hasilnya? Sudah banyak yang kita capai, meskipun ada yang “kebablasen” (= kelewatan). Dan bahkan tidak sabar dan tidak yakin bahwa antara sesama warga semangat liberty, egality and fraternity (dari semangat revolusi Perancis, lebih dari 200 tahun yang lalu) dapat kita wujudnyatakan di bumi Indonesia yang jauh lebih majemuk dari Perancis sendiri. Namun, juga banyak yang mengalami kebingungan, saat “keberadaban” (baca: sopan-santun) dikorbankan demi peluapkan hasrat untuk berdemokrasi yang menggebu-gebu. *** Saudara-saudari di dalam Yesus-Kristus, Dalam terang kehidupan Yesus sejarah, praktek-praktek seperti di atas, yaitu keselarasan antar warga masyarakat --- khususnya masyarakat Yahudi --- amat sangat dijaga dan dijamin oleh hukum-hukum Taurat. Bukan hanya oleh 10 Perintah Allah saja. Karena pada zaman Yesus ada pelipatgandaan Hukum Taurat menjadi 613 butir, di mana ada 248 perintah dan 365 larangan. (Lih. perda-perda yang dirumuskan selama masa reformasi, yang juga tersusupi oleh hukum-hukum agama, baik islam maupun kristen, yang kita kenal dengan istilah “syariat”). Apakah Yesus menyelaraskan diri di dalam suasana legal-formalistis seperti itu? Kita menemukan jawaban “Ya” dan “Tidak”. Ya, ketika sebagai Anak Maria dan Yoseph Dia telah belajar “taat” kepada Hukum Taurat: dengan menghormati dan mengikuti bimbingan orang tua, Dia dipersembahkan kepada Yahwe di Bait Allah, disunat, berziarah setiap tahun ke Yerusalem, sebagaimana orang-orang sezamannya Dia biasa pergi ke Sinagoga pada hari Sabat, merayakan Paskah Yahudi, dlsb. Tetapi Dia pun sempat mengagetkan BundaNya ketika telah mencapai umur 12 tahun dan asyik berada di lingkungan Bait Allah dan setelah 3 hari ditemukan oleh mereka, lalu mengatakan, "Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?" (Luk 2: 49). Untuk itulah Yesus tidak hanya berhenti dengan menjadi orang sezamanNya, yang secara konvensional taat-setia mengikuti secara detail apa saja yang diatur oleh hukum-hukum Taurat. Dia mengajak kepada kita untuk bersikap dan bertindak tegas, “Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat” (Mat 5: 37). Sewaktu Yesus benar-benar tampil di depan umum (forum publik) dan melakukan reformasi, maka banyaklah orang sebangsaNya yang “kebakaran jenggot” alias “kecewa, marah, jengkel, menolak, dslb.” yang memuncak dengan membunuhNya. Kayafas, Imam Besar/Agung pada waktu itu, membuat pernyataan tegas, "Kamu tidak tahu apa-apa, dan kamu tidak insaf, bahwa lebih berguna bagimu, jika satu orang mati untuk bangsa kita dari pada seluruh bangsa kita ini binasa" (Yoh 11: 49-50). Di dalam konteks seperti ini Yesus mengatakan, "Aku datang untuk melemparkan api ke bumi dan betapakah Aku harapkan, api itu telah menyala! Aku harus menerima baptisan, dan betapakah susahnya hati-Ku, sebelum hal itu berlangsung! Kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas bumi? Bukan, kata-Ku kepadamu, bukan damai, melainkan pertentangan. Karena mulai dari sekarang akan ada pertentangan antara lima orang di dalam satu rumah, tiga melawan dua dan dua melawan tiga. Mereka akan saling bertentangan, ayah melawan anaknya laki-laki dan anak laki-laki melawan ayahnya, ibu melawan anaknya perempuan, dan anak perempuan melawan ibunya, ibu mertua melawan menantunya perempuan dan menantu perempuan melawan ibu mertuanya" (Luk 12: 49-53). *** Yesus dalam hal ini sangat “fundamentalistis”, yaitu lebih mengutamakan kehendak Allah BapaNya di Sorga daripada kehendakNya sendiri. Menjelang sengsara dan wafatNya, Yesus berdoa di taman Getsemani, "Ya Abba, ya Bapa, tidak ada yang mustahil bagi-Mu, ambillah cawan ini dari pada-Ku, tetapi janganlah apa yang Aku kehendaki, melainkan apa yang Engkau kehendaki" (Mrk 14: 35). Api semacam inilah yang Ia kehendaki menyala di antara kita, di dalam hati kita, di antara umat beriman yang percaya dan ingin benar mengikuti contoh-teladanNya. Bukan semangat kompromistis terhadap keselarasan sosial, bukan hanya taat kepada orang tua. Buka damai yang diberikan oleh dunia, tetapi yang sungguh berasal dari Allah. Damai yang berisi Cintakasih, yang mengatasi segala kepentingan diri, golongan atau kelompoknya sendiri. Tetapi lebih jauh bahwa keselarasan, damai, sejahtera, keselamatan adalah sungguh-sungguh yang berasal dari Allah Bapa yang dianugerahkan kepada kita semua dan kita bagi-bagikan kepada semua orang, kepada seluruh alam semesta dengan segala isinya. Damai yang tidak mengenal pilih-kasih, yang adalah uncondtional Love. Selamat merayakan hari Kemerdekaan Negara Republik Indonesia, yang kita cintai. Sekali merdeka, tetap merdeka. P.Hadrianus Wardjito SCJ
Posted on: Mon, 26 Aug 2013 10:11:59 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015