Aceh Dalam Sejarah ( yusdi yacob - TopicsExpress



          

Aceh Dalam Sejarah ( yusdi yacob ) Pada zaman Aceh berjaya Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam, Aceh merupakan negeri yang amat kaya dan makmur. Menurut seorang penjelajah asal Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh di zaman tersebut, kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat Minangkabau. Kekuasaan Aceh pula meliputi hingga Perak. Kesultanan Aceh telah menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan di dunia Barat pada abad ke-16, termasuk Inggris, Ottoman, dan Belanda. Kesultanan Aceh terlibat perebutan kekuasaan yang berkepanjangan sejak awal abad ke-16, pertama dengan , lalu sejak abad ke-18 dengan Britania Raya (Inggris) dan Belanda. Pada akhir abad ke-18, Aceh terpaksa menyerahkan wilayahnya di Kedah dan Pulau Pinang di Semenanjung Melayu kepada Britania Raya. Pada tahun 1824, Persetujuan Britania-Belanda ditandatangani, di mana Britania menyerahkan wilayahnya di kepada Belanda. Pihak Britania mengklaim bahwa Aceh adalah koloni mereka, meskipun hal ini tidak benar. Pada tahun 1871, Britania membiarkan Belanda untuk menjajah Aceh, kemungkinan untuk mencegah Perancis dari mendapatkan kekuasaan di kawasan tersebut. Sultan Aceh 1496-1528 Sultan Ali Mughayat Syah. Ayahanda daripada: 1528-1537 Sultan Salahuddin. Kakanda daripada : 1537-1568 Sultan Alauddin al Qahhar.Ayahanda daripada: 1568-1575 Sultan Husain Ali Riayat Syah. Ayahanda daripada: 1575 Sultan Muda 1575-1576 Sultan Sri Alam. ananda daripada Alauddin al Qahhar 1576-1577 Sultan Zainal Abidin 1576-1577. Cucu daripada Alauddin al Qahhar 1577-1589 Sultan Alauddin Mansur Syah Ibni Almarhum Sultan Mansur Syah I (Sultan Perak 1549-1577. Kakanda Sultan Ahmad Tajuddin Syah, Sultan Perak 1589-1596 Sultan Buyong 1596-1604 Sultan Alauddin Riayat Syah Sayyid al-Mukammil. Sultan Ali Mughayat Syah dan Ayahanda daripada: 1604-1607 Sultan Ali Riayat syah 1590-1627 Desember 1636 Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam. Cucu (dari anak perempuan) Sultan Alauddin Riayat Syah 1636-1641 Iskandar Thani Alauddin Mughayat Syah. Anak Sultan Pahang, Ahmad Syah II 1641-1675 Sri Ratu Safiatuddin Tajul Alam. Putri Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam dan janda Sultan Iskandar Thani, Alauddin Mughayat Syah 1675-1678 Sri Ratu Naqiatuddin Nurul Alam untuk Pimpinan di Tanoeh Daya 1726 Sultan Jauhar ul Alam Aminuddin 1726-1727 Sultan Syamsul Alam 1727-1735 Sultan Alauddin Ahmad Syah 1735-1760 Sultan Alauddin Johan Syah 1750-1781 Sultan Mahmud Syah 1764-1785 Sultan Badruddin 1775-1781 Sultan Sulaiman Syah 1781-1795 Alauddin Muhammad Daud Syah 1795-1815 dan 1818-1824 Sultan Alauddin Jauhar ul Alam 1815-1818 Sultan Syarif Saif ul Alam 1824-1838 Sultan Muhammad Syah 1857-1870 Sultan Mansur Syah 870-1874 Sultan Mahmud Syah 1874-1903 Sultan Muhammad Daud Syah Perang Aceh dimulai sejak Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873 setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik, namun tidak berhasil merebut wilayah yang besar. Perang kembali berkobar pada tahun 1883, namun lagi-lagi gagal, dan pada 1892 dan 1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh. Dr. Snouck Hurgronje, seorang ahli Islam dari Universitas Leiden yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, kemudian memberikan saran kepada Belanda agar serangan mereka diarahkan kepada para ulama, bukan kepada sultan. Saran ini ternyata berhasil. Pada tahun 1898, J.B. van Heutsz dinyatakan sebagai gubernur Aceh, dan bersama letnannya, Hendricus Colijn, merebut sebagian besar Aceh. Sultan M. Dawud akhirnya meyerahkan diri kepada Belanda pada tahun 1903 setelah dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda. Kesultanan Aceh akhirnya jatuh seluruhnya pada tahun 1904. Saat itu, hampir seluruh Aceh telah direbut Belanda. Salah satu catatan penting pada Perang Aceh adalah tewasnya empat jenderal Belanda, yaitu Mayor Jenderal J.H.R Kohler, Mayor Jenderal J.L.J.H. Pel, Demmeni dan Jenderal J.J.K. De Moulin. Tewasnya empat jenderal Belanda merupakan peristiwa satu-satunya yang pernah dialami Belanda dalam sejarah perjalanan kerajaan tersebut dalam menyerang wilayah lainnya. Bangkitnya nasionalisme Sementara pada masa kekuasaan Belanda, bangsa Aceh mulai mengadakan kerjasama dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia dan terlibat dalam berbagai gerakan nasionalis dan politik. Aceh kian hari kian terlibat dalam gerakan nasionalis Indonesia Saat Volksraad (parlemen) dibentuk, Teuku Nyak Arif terpilih sebagai wakil pertama dari Aceh. (Nyak Arif lalu dilantik sebagai gubernur Aceh oleh gubernur pertama, Moehammad Hasan). Saat Jepang mulai mengobarkan perang untuk mengusir kolonialis Eropa dari tokoh-tokoh pejuang Aceh mengirim utusan ke pemimpin perang Jepang untuk membantu usaha mengusir Belanda dari Aceh. Negosiasi dimulai di tahun 1940. Setelah beberapa rencana pendaratan dibatalkan, akhirnya pada 9 Februari 1942 kekuatan militer Jepang mendarat di wilayah Ujong Batee, Aceh Besar. Kedatangan mereka disambut oleh tokoh-tokoh pejuang Aceh dan masyarakat umum. Masuknya Jepang ke Aceh membuat Belanda terusir secara permanen dari tanah Aceh. Awalnya Jepang bersikap baik dan hormat kepada masyarakat dan tokoh-tokoh Aceh, dan menghormati kepercayaan dan adat istiadat Aceh yang bernafaskan Islam. Rakyat pun tidak segan untuk membantu dan ikut serta dalam program-program pembangunan Jepang. Namun ketika keadaan sudah membaik, pelecehan terhadap masyarakat Aceh khususnya kaum perempuan mulai dilakukan oleh personil tentara Jepang. Rakyat Aceh yang beragama Islam pun mulai diperintahkan untuk membungkuk ke arah matahari terbit di waktu pagi, sebuah perilaku yang sangat bertentangan dengan akidah Islam. Karena itu pecahlah perlawanan rakyat Aceh terhadap Jepang di seluruh daerah Aceh. contoh yang paling terkenal adalah perlawanan yang dipimpin oleh Teungku Abdul Jalil, seorang ulama dari daerah Bayu, dekat Lhokseumawe. Sejak tahun 1976, organisasi pembebasan bernama Gerakan Aceh Merdeka (GAM) telah berusaha untuk memisahkan Aceh dari Indonesia melalui upaya militer. Pada 15 Agustus 2005, GAM dan pemerintah Indonesia akhirnya menandatangani persetujuan damai sehingga mengakhiri konflik antara kedua pihak yang telah berlangsung selama hampir 30 tahun. Pada 26 Desember 2004, sebuah gempa bumi besar menyebabkan tsunami yang melanda sebagian besar pesisir barat Aceh, termasuk Banda Aceh, dan menyebabkan kematian ratusan ribu jiwa. Di samping itu, telah muncul aspirasi dari beberapa wilayah ACEH, khususnya di bagian barat, selatan dan pedalaman untuk memisahkan diri dari ACEH dan membentuk provinis-provinsi baru Provinsi ACEH terdiri dari 10 suku asli, yaitu Suku Aceh, Suku Gayo, Suku Alas, Suku Aneuk Jamee, Suku Melayu Tamiang, Suku Kluet, Suku Devayan, Suku Sigulai, Suku Haloban dan Suku Julu. Suku Aceh tersebar terutama di Kota Sabang, Kota Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie, Bireuen, Aceh Utara, Kota Lhokseumawe, Kota Langsa, Aceh Timur, Aceh Tamiang, Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, dan Aceh Selatan. Di samping itu banyak pula keturunan bangsa asing di tanah Aceh, bangsa Arab dan India dikenal erat hubungannya pasca penyebaran Agama Islam di tanah Aceh. Bangsa Arab yang datang ke Aceh banyak yang berasal dari provinsi Hadramaut (Negeri Yaman), dibuktikan dengan marga-marga mereka Al Aydrus, Al Habsyi, Al Attas, Al Kathiri, Badjubier, Sungkar, Bawazier dan lain lain, yang semuanya merupakan marga marga bangsa Arab asal Yaman. Mereka datang sebagai ulama dan berdagang. Saat ini banyak dari mereka yang sudah kawin campur dengan penduduk asli Aceh, dan menghilangkan nama marganya. Sedangkan bangsa India kebanyakan dari Gujarat dan Tamil. Dapat dibuktikan dengan penampilan wajah bangsa Aceh, serta variasi makanan (kari), dan juga warisan kebudayaan Hindu tua (nama nama desa yang diambil dari bahasa India contoh: Indra Puri). Keturunan dapat ditemukan tersebar di seluruh Aceh. Karena letak geografis yang berdekatan maka keturunan cukup dominan di Aceh. Pedagang pedagang Tiongkok juga pernah memiliki hubungan yang erat dengan bangsa Aceh, dibuktikan dengan kedatangan Laksamana asal Tiongkok Cheng Ho, yang pernah singgah dan menghadiahi Aceh dengan sebuah lonceng besar, yang sekarang dikenal dengan nama Lonceng Cakra Donya, tersimpan di Banda Aceh. Semenjak saat itu hubungan dagang antara Aceh dan Tiongkok cukup mesra, dan pelaut pelaut Tiongkok pun menjadikan Aceh sebagai pelabuhan transit utama sebelum melanjutkan pelayarannya ke Eropa. Selain itu juga banyak keturunan bangsa Persia (Iran / Afghan) dan Turki, mereka pernah datang atas undangan Kerajaan Aceh untuk menjadi ulama, pedagang senjata, pelatih prajurit dan serdadu perang kerajaan Aceh, dan saat ini keturunan keturunan mereka kebanyakan tersebar di wilayah Aceh Besar. Hingga saat ini bangsa Aceh sangat menyukai nama-nama warisan Persia dan Turki. Bahkan sebutan Banda, dalam nama kota Banda Aceh pun adalah warisan bangsa (Banda / Bandar arti: Pelabuhan). Di samping itu ada pula keturunan bangsa Portugis, di wilayah pasesisir pasiedaya (pesisir barat Aceh). Mereka adalah keturunan dari pelaut-pelaut Portugis di bawah pimpinan Nakhoda Kapten Pinto, yang berlayar hendak menuju Malaka (Malaysia), dan sempat singgah dan berdagang di wilayah pasiedaya, dan sebagian besar di antara mereka tetap tinggal dan menetap di Lamno. Sejarah mencatat peristiwa ini terjadi antara tahun 1492-1511, pada saat itu wilayah pasiedaya di bawah kekuasaan kerajaan kecil di nanggroe daya, pimpinan Raja Mereuhoem Daya. Hingga saat ini masih dapat dilihat keturunan mereka yang masih memiliki profil wajah Eropa yang masih kental. Pada saat ini umumnya mereka semua sudah memeluk agama Islam. Sejarah pun mencatat bahwa tokoh-tokoh besar kelas dunia seperti, Ibnu Battuta, serta Kubilai Khan, pernah singgah di tanah Aceh. Bahasa Meskipun banyak yang menggunakan bahasa Aceh dalam pergaulan sehari-hari, namun tidak berarti bahwa corak dan ragam bahasa Aceh yang digunakan sama. Tidak saja dari segi dialek yang mungkin berlaku bagi bahasa di daerah lain; bahasa Aceh bisa berbeda dalam pemakaiannya, bahkan untuk kata-kata yang bermakna sama. Kemungkinan besar hal ini disebabkan banyaknya percampuran bahasa, terutama di daerah pesisir, dengan bahasa daerah lainnya atau juga karena kelestarian bahasa aslinya. Bahasa lain yang digunakan di Acah adalah Bahasa Gayo yang dituturkan di kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues dan Serbajadi, Aceh Timur. Bahasa Simeulue dan beberapa bahasa lainnya di kabupaten Simeulue, Melayu Tamiang, Alas, Aneuk Jamee yang merupakan dialek Bahasa Minangkabau dan Bahasa Kluet. Agama Mayoritas penduduk di provinsi ACEH memeluk agama Islam. Selain itu provinsi ACEH memiliki keistimewaan dibandingkan dengan provinsi yang lain, karena di provinsi ini Syariat Islam diberlakukan kepada sebagian besar warganya yang menganut agama Islam. Dalam hal pendidikan, sebenarnya provinsi ini mendapatkan status Istimewa selain dari D.I. Yogyakarta. Namun perkembangan yang ada tidak menunjukkan kesesuaian antara status yang diberikan dengan kenyataannya. Pendidikan di Aceh dapat dikatakan terpuruk. Salah satu yang menyebabkannya adalah konflik yang berkepanjangan, dengan sekian ribu sekolah dan institusi pendidikan lainnya menjadi korban. Pada UAN (Ujian Akhir Nasional) 2005 ada ribuan siswa yang tidak lulus dan terpaksa mengikuti ujian ulang. Aceh juga memiliki Sejumlah Perguruan Tinggi Negeri seperti Universitas Syiah Kuala IAIN Ar-Raniry Abulyatama Universitas Malikussaleh Politeknik Negeri Lhokseumawe Pemerintahan Daerah Tingkat II Wilayah administratif Dati II di ACEH Sejak tahun 1999, ACEH telah mengalami beberapa pemekaran wilayah hingga sekarang mencapai 4 pemerintahan dan 17 kabupaten sebagai berikut: Kabupaten Aceh Bara Kabupaten Aceh Barat Daya Kabupaten Aceh Besar Kabupaten Aceh Jaya Kabupaten Aceh Selatan Kabupaten Aceh Singkil Kabupaten Aceh Tamiang Kabupaten Aceh Tengah Kabupaten Aceh Tenggara Kabupaten Aceh Timur Kabupaten Aceh Utara Kabupaten Bener Meriah Kabupaten Bireuen Kabupaten Gayo Lues Kabupaten Nagan Raya Kabupaten Pidie Kabupaten Simeulue Banda Aceh Langsa Lhokseumawe Sabang Kondisi dan sumber daya alam Kondisi alam Keanekaragaman hayati Sumber daya alam Minyak Bumi Gas Alam Emas Hutan Kayu Kopi Rempah-rempah Perikanan Pra-tsunami 2004 Sebelum bencana tsunami 26 Desember 2004, perikanan merupakan salah satu pilar ekonomi lokal di Nanggroe Aceh Darussalam, menyumbangkan 6,5 persen dari Pendapatan Daerah Bruto (PDB) senilai 1,59 triliun pada tahun 2004 (Dinas Perikanan dan Kelautan NAD 2005). Potensi produksi perikanan tangkap mencapai 120.209 ton/tahun sementara perikanan budidaya mencapai 15.454 ton/tahun pada tahun 2003 (Dinas Perikanan dan Kelautan NAD 2004). Produksi perikanan tersebut merata, baik di Samudera Hindia maupun Selat Malaka. Industri perikanan menyediakan lebih dari 100.000 lapangan kerja, 87 persen (87.783) di sub sektor perikanan tangkap dan sisanya (14.461) di sub sektor perikanan budidaya. Sekitar 53.100 orang menjadikan perikanan sebagai mata pencaharian utama. Namun demikian, 60 persen adalah nelayan kecil menggunakan perahu berukuran kecil. Dari sekitar 18.800 unit perahu/kapal ikan di Aceh, hanya 7.700 unit yang mampu melaut ke lepas pantai. Armada perikanan tangkap berskala besar kebanyakan beroperasi di Aceh Utara, Aceh Timur, Bireuen, Aceh Barat dan Aceh Selatan. Menurut Nurasa et al. (1993), nelayan Aceh sebagian besar menggunakan alat tangkap pancing (hook and line). Alat tangkap lain adalah pukat, jaring cincin (purse seine), pukat darat, jaring insang, jaring payang, jaring dasar, jala dan lain-lain. Infrastruktur penunjang industri ini meliputi satu pelabuhan perikanan besar di Banda Aceh, 10 pelabuhan pelelangan ikan (PPI) utama di 7 kabupaten/kota dan sejumlah tempat pelelangan ikan (TPI) kecil di 18 kabupaten/kota. Selain itu terdapat 36.600 hektar tambak, sebagian besar tambak semi intensif yang dimiliki petambak bermodal kecil. Tambak-tambak ini tersebar di Aceh Utara, Pidie, Bireuen dan Aceh Timur. Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Indonesia mengelola sebuah pusat pendidikan dan latihan (Pusdiklat) budidaya, sebuah pusat penelitian dan pengembangan (Puslitbang) budidaya, sebuah laboratorium uji mutu perikanan dan sebuah kapal latih. Di tiap kabupaten/kota, terdapat dinas perikanan dan kelautan. Total aset di sektor perikanan pra-tsunami mencapai sekitar Rp 1,9 triliun.Pasca-tsunami 2004 Badan Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas (2005) memperkirakan 9563 unit perahu hancur atau tenggelam, termasuk 3969 (41,5%) perahu tanpa motor, 2369 (24,8%) perahu bermotor dan 3225 (33,7%) kapal motor besar (5-50 ton). Selain itu, 38 unit TPI rusak berat dan 14.523 hektar tambak di 11 kabupaten/kota rusak berat. Diperkirakan total kerugian langsung akibat bencana tsunami mencapai Rp 944.492,00 (50% dari nilai total aset), sedangkan total nilai kerugian tak langsung mencapai Rp 3,8 milyar. Sebagian besar kerugian berasal dari kerusakan tambak. Kerusakan tambak budidaya tersebar merata. Bahkan di daerah yang tidak terlalu parah dampak tsunaminya (misalnya di Aceh Selatan), tambak-tambak yang tergenang tidaklah mudah diperbaiki dan digunakan kembali. Total kerugian mencapai Rp 466 milyar, sekitar 50 persen dari total kerugian sektor perikanan. Kerugian ekonomi paling besar berasal dari hilangnya pendapatan dari sektor perikanan (tangkap dan budidaya). Hilangnya sejumlah besar nelayan, hilang atau rusaknya sarana dan prasarana perikanan termasuk alat tangkap dan perahu serta kerusakan tambak menjadikan angka kerugian sedemikian besarnya. Diperkirakan produksi perikanan di Aceh akan anjlok hingga 60 persen. Proses pemulihan diperkirakan membutuhkan waktu paling sedikit 5 tahun. Di subsektor perikanan tangkap, bahkan diduga perlu waktu lebih lama (sekitar 10 tahun), karena banyaknya nelayan yang hilang atau meninggal selain rusaknya sejumlah besar perahu atau alat tangkap. Berdasarkan asumsi tersebut, total kerugian yang mungkin terjadi hingga sektor ini pulih total dan kembali ke kondisi pra-tsunami diperkirakan mencapai Rp 3,8 triliun. Aceh memiliki sejumlah industri besar di antaranya: PT Arun PT PIM Lafarge Semen Andalas ExxonMobil CALTEX Pertambangan Emas di Woyla, Seunagan, Aceh Barat; Pisang Mas di Beutong, Payakolak, Takengon Aceh Tengah Batubara di Kaway XI, di Semayan di Aceh Barat, Batu gamping di Tanah Greuteu, Aceh Besar; di Tapaktuan Pariwisata Masjid Raya Baiturrahman Taman Putroe Phang Pinto Khop Kuburan Kerkhoff Peucut Danau Laut Tawar Danau Aneuk Laot Benteng Indrapatra Seni dan Budaya Aceh merupakan kawasan yang sangat kaya dengan seni budaya galibnya wilayah lainnya. Aceh mempunyai aneka seni budaya yang khas seperti tari-tarian, dan budaya lainnya seperti Meuseukee Eungkot (sebuah tradisi di wilayah Aceh Barat)Peusijuek (atau Tepung tawar dalam tradisi Melayu) Sastra Bustanussalatin Hikayat Prang Sabi Hikayat Malem Diwa Senjata tradisional Rencong adalah senjata tradisional Aceh, bentuknya menyerupai huruf L, dan bila dilihat lebih dekat bentuknya merupakan kaligrafi tulisan Bismillah. Rencong termasuk dalam kategori dagger atau belati (bukan pisau ataupun pedang). Selain rencong, bangsa Aceh juga memiliki beberapa senjata khas lainnya, seperti Sikin Panyang, Klewang dan Peudeung oon Teubee. Rumah dan Kesenian Tradisional Rumoh Aceh Tari Saman Rapai Geleng Rateb Meuseukat Likok Pulo Ranup Lampuan Tarek Pukat dari Gayo Tari Bines, dari Gayo Aceh mempunyai aneka jenis makanan yang khas. Antara lain timphan, gulai itik, kari kambing yang lezat, Gulai Pliek U dan meuseukat yang langka. Di samping itu emping melinjo asal kabupaten Pidie yang terkenal gurih, dodol Sabang yang dibuat dengan aneka rasa, ketan durian (boh drien ngon bu leukat), serta bolu manis asal Peukan Bada, Aceh Besar juga bisa jadi andalan bagi ACEH Pahlawan Pria : Sultan Iskandar MudaTeungku Chik Di Tiro Teuku Umar Panglima Polem Teuku Nyak Arif Teungku Muhammad Daud Beureueh Pahlawan Perempuan : Cut Nyak Dhien Laksamana Malahayati Pocut Baren Teungku Fakinah Bangsa Aceh merupakan bangsa yang gigih dalam mempertahankan kemerdekaannya. Kegigihan perang bangsa Aceh, dapat dilihat dan dibuktikan oleh sejumlah Pahlawan (baik pria maupun wanita), serta bukti-bukti lainnya (sembilan jenderal Belanda tewas dalam perang Aceh, serta kuburan Kerkhoff yang pernah mencatat rekor sebagai kuburan Belanda terluas di luar Negeri Belanda) Tokoh asal Aceh Kita lihat pula Suku Aceh untuk tokoh-tokoh yang bukan berasal dari provinsi Aceh namun berketurunan Aceh Sheikh Hamzah al-Fansuri Sheikh Nuruddin ar-Raniry Sheikh Nuruddin ar-Raniry Sheikh Abdurrauf atau lebih terkenal dengan nama Syiah Kuala. Sultan Alaiddin Ri’ayatsyah atau lebih terkenal dengan nama Po Temeureuhom Masih Di Kenang dengan Adat Sumeuleung Tun Sri Lanang Ismail al-Asyi Mr Teuku Mohammad Hassan Mohamad Kasim Arifin di himpun dari berbagai sumber untuk dapat mengenang kembali sejarah aceh Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda 0 komentar: Poskan Komentar Link ke posting ini Buat sebuah Link Popular Posts Pesona Mata Biru Di Lamno Yang Pemalu SEBELUM ke rumah Wakil Rakyat Mangging malamnya, saya sempat ke pekan Manggeng petangnya. Sambil minum kopi Aceh dengan Din Kepala Pemuda ... Wajah Indo Warga Lamno Jejak Porto Ratusan Tahun Disikat Tsunami KEHADIRAN orang Portugis di daerah Aceh, ratusan tahun yang lalu, hingga sekarang masih meningg... Legenda Simata Biru Lamno Jaya Sejarah Simata Biru di Nanggroe Daya Daya Kuala Daya adalah sebuah kemukiman yang menaungi 6 Gampong pada masa jayanya sebuah kerajaan... Keluarga Aceh Keturunan Portugis di Lamno Si mata biru habis sama sekali Laporan Aboeprijadi Santoso dari Banda Aceh dan Lamno, Rdio Nederland, 03 Februari 2005 Cut Pudo Mus... 10 Keajaiban Yang Disebabkan Oleh Alam 1. The Wave, Arizona The Wave adalah suatu batuan merah bergelombang yang menakjubkan yang berlokasi di perbatasan Arizona dan Uta... Hikayat Aceh Adalah karya sastra yang tidak diketahui siapa pengarangnya atau bersifat anonim. Hikayat ini ditulis pada zaman pemerintahan Sultan Iskanda... Asal Keturunan Raja di Naggroe Daya Raja Negeri Daya Sulthan Salathin Alaidin Ri’ayat Syah atau lebih dikenal dengan “Po Teumeureuhom”, atau “Cik Po Kandang” adalah putra ra... Pendidikan Dalam Perspektif Islam Islam adalah agama yang sempurna. Ajarannya meliputi seluruh aspek kehidupan. Termasuk di dalamnya adalah masalah pendidikan. Bahkan Islam... Sepenggal Legenda dari Lembah Geurutee HAMPARAN pasir putih membentang luas sepanjang pantai Kuala Daya. Riak ombak dan hembusan angin yang mengayunkan pohon kelapa, memecahkan ...
Posted on: Mon, 22 Jul 2013 19:59:59 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015