Anatomi Sebuah Krisis BUKAN cerita baru bahwa pasar modal bisa - TopicsExpress



          

Anatomi Sebuah Krisis BUKAN cerita baru bahwa pasar modal bisa menjadi pemicu krisis. Harian ini bahkan kemarin memasang wajah Menteri Keuangan dengan mata terpejam seperti tengah frustrasi tak kuasa menahan tekanan terhadap rupiah. Pasar modal, simbol kapitalisme, pemicu munculnya plutocrats (kalangan superkaya) tetapi juga pemicu kehancuran, sudah pasti menjadi perhatian Pak Menteri. Banyak studi dan laporan yang telah dibuat kaum cerdik pandai. Tak kurang ekonom terkemuka Milton Friedman. Semuanya menunjukkan krisis itu ada polanya, tetapi juga ada ketidakpastian meski dalam aksara China krisis dimaknai sebagai danger and opportunity at the same time. Maka jangan heran bila menteri A bilang “ini sudah krisis” (yang artinya “berbahaya”), sedangkan yang lainnya menyatakan “belum, masih jauh kok!”. Tapi, bagaimanapun, krisis itu adalah sebuah titik persimpangan yang memaksa kita harus memilih, mengambil keputusan, yaitu: for better or for worse? Financial Crisis Memang benar pelaku di pasar modal Indonesia masih sangat sedikit. Sudah begitu, uang-uang besar justru datang dari luar negeri. Namun jangan lupa, akumulasinya yang besar telah menimbulkan banyak ketergantungan dan hubungannya sangat luas dengan sektor keuangan. Pasar modal juga telah menjadi indikator pertumbuhan, bahkan kesehatan ekonomi suatu bangsa. Namun, di antara pemain-pemain di sektor ini terdapat juga perusahaan-perusahaan besar yang menaruh portofolio keuangannya di sana sehingga kejatuhan pasar modal akan berpengaruh pula pada kesehatan perusahaan-perusahaan besar. Kinerja keuangannya bisa berubah sehingga komitmen sektor-sektor keuangan (bank) bisa ikut berubah terhadap mereka dan akhirnya kinerja perbankan pun akan terganggu. Frederic Mishkin pernah melakukan studi terhadap gelombang krisis keuangan yang terjadi sepanjang sejarah. Dia menemukan dua jenis krisis, yang satu disebut real crisis, yang satunya pseudo crisis (krisis bohong-bohongan). Tapi, apa pun namanya, keduanya sama-sama membuat panik orang-orang yang punya uang sehingga apa pun persoalannya, semuanya disebut krisis. Ambil saja contoh kedelai yang harganya melambung. Sudah jelas penyebabnya adalah kinerja di sektor pertanian yang ultraburuk, tetapi perajin tempe ikut bergerak karena “rupiahnya loyo”. Padahal, jauh sebelum ini kedelai sudah semakin berkurang, dikonversi menjadi energi. Dari kajian Frederic Mishkin, kita menemukan poin-poin penjelasan, pertama terjadi penurunan harga-harga saham. Indeks harga saham gabungan (IHSG) terus merosot dan spread bunga antara high–low quality borrowers terus melonjak. Ini membuat para spekulator panik. Mereka tidak bisa lagi meminjam uang semudah dulu untuk “berjudi” di pasar modal. Yang punya uang pun menarik diri, menunggu suasana tenang dan harga-harga telah mencapai titik terendah. Kepanikan ternyata menular cepat seperti wabah flu burung. Terjadi krisis likuiditas di mana-mana. Easy money hilang. Konsumen yang dipacu kredit pun mulai dipersulit. Akibatnya, penjualan di sektor riil terganggu dan lembaga-lembaga keuangan mengalami kesulitan dan pada akhirnya, ekonomi mendingin, pertumbuhan melambat, ancaman resesi bisa saja muncul. Tapi, tenanglah, itu semua terjadi bila krisis benar-benar real crisis. Siapa tahu ini hanya pseudo crisis. Krisis iseng-iseng yang menampakkan gejala wajar setiap kali kita memacu perekonomian. Abaikan Sinyal Namun, bagaimanapun, krisis itu selalu datang tidak tanpa alasan. Ia datang baik-baik dengan mengirim utusan demi utusan, yang kalau disambut dengan baik ia akan memberi salam kebaikan. Namun krisis akan berubah menjadi bencana manakala ia diusir, disangkal, dikuyo-kuyo. Utusan itu bernama sinyal dan sinyal-sinyal itu menunjukkan sesuatu yang tak beres yang harus segera dibenahi. Kalau didiamkan, ia tentu akan datang lagi, menjebol dan menjebol. Itu sebabnya, krisis mata uang bath yang terjadi di Thailand segera merembet ke negara-negara Asia Tenggara dan setelah itu kita lihat Malaysia, Singapura, dan Thailand cepat pulih kembali. Mengapa mereka bisa cepat pulih? Jawabannya karena mereka membangun sistem pertahanan keuangan yang baik. Mereka tidak abaikan sinyal. Sebaliknya, pada 1997-1998, Indonesia mengalami dampak paling buruk karena mengabaikan sinyal. Anda mungkin masih ingat ucapan para ekonom dan pejabat di era itu: “Fundamental ekonomi kita sangat kuat!” Itu diucapkan selama lebih dari setahun pada saat rupiah terus jeblok, pasar modal kolaps, dan situasi keamanan berubah. Ekonomi tidak melihat aspek-aspek nonekonomi yang ada di luar radar screen-nya, padahal di era ini semua sudah bercampur menjadi satu, antara politik, ekonomi, teknologi, bisnis, demografi, dan seterusnya. Read More...............sh.st/00gi
Posted on: Mon, 02 Sep 2013 02:27:38 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015