Anshori Dahlan menulis catatan baru: PRINSIP AJARAN-AJARAN - TopicsExpress



          

Anshori Dahlan menulis catatan baru: PRINSIP AJARAN-AJARAN AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH (ASWAJA). Diantara ajaran Ahlussunnah adalah: 1. Megimani dan mengamalkan semuaq yang datang dari Rosulillah saw. Baik yang tercantum di al-Qur’an ataupun di Hadits sebagai bukti dari sikap ‘ubudiyyah pada Allah SWT. 2. Tidak mencaci makai para Sahabat Nabi, tetapi menghormati dan memintakan ampunan untuk mereka. 3. Bersedia untuk taqlid pada Ijtihad para Ulama’ Madzahib dalam berbagai masa’il diniyah fiqhiyyah, disamping mempelajari dalil-dalilnya. 4. Mengimani ayat-ayat mutasyabihat tanpa berusaha untuk mena’wil yang sampai pada batas mentasybihan maupun penta’thilan (menafikan sifat-sifat Allah) 5. Meyakini bahwa al-Qur’an adalah Kalamullah al-Qadim, tidak makhluk dan tidak mengalami perubahan. 6. Tidak beranggapan bahwa Imamah adalah rukum Iman, namun sebagai kewajiban / dlarurah ‘aammah demi kemashlahatan ummat untuk menjalankan syari’at Islam. 7. Mengakui kekhilafan Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali). 8. Mencintai ahlul bait Rasulullah SAWdengan tanpa lewat jalur Syi’ah (dibatasi pada 12 imam dan mengkafir-kafirkan sahabat). 9. Mempercayai bahwa besok di Akhirat orang mu’min dapat melihat Allah SWT sebagaimana dalam firman-firmanNya. 10. Tidak mengingkari pada bolehnya tawassul dan adanya karomah Auliya’. 11. Tidak membenarkan ajaran taqiyyah, yakni melahirkan sesuatu yang bertentangan dengan nurani hanya untuk menipu ummat Islam. 12. Percaya bahwa sebaik kurun / periode adalah masa Rasulullah SAW setelah itu adalah Sahabatnya, setelahnya adalah Tabi’in…Tabi’it Tabi’in … dan seterusnya. Dan masih banyak beberapa ajaran Ahlussunnah yang tercantum dalam kitab-kitab salaf. Untuk itu, bagi kalangan pesantren (khususnya) dan warga nahdliyyin (umumnya), kamu mohon untuk mengkaji kitab Sulam Taufiq, ‘Aqidatul Awwam, al-Jawahirul Kalamiyyah, Jauharotul Tauhid, al-Hushunul Hamidiyyah, al-Aqidah at Thohawiyyah, an-Nashaa’ihud Diiniyyah, Riyadlus Sholihin, Ibnu Abi Jamroh, Adzkaarun Nawaawi, Tasiirul Jalalain, dan lain sebagainya. Dan sebagai permohonan, kami persilahkan para tokoh masyarakat untuk menelaah kitab Syawahidul Haq dan kitab al-Asaaliib al-Badi’ah, Addurul Fariid Syarah Jauharotut Taukhid dan juga kitab hadits tafsir yang kesemuanya menutur jelas akan fadloilus Shohabah. Rodliyallahu ‘anhum ajma’in. قال الإمام السيد الحبيب عبد اللـه بن علوي الحداد رضي اللـه عنه ونفعنا به في خاتمة كتابه العظيم النصائح الدينية: (خاتمة الكتاب): في عقيدة وجيزة جامعة نافعة إن شاء اللـه تعالى على سبيل الفرقة الناجية وهم أهل السنة والجماعة والسواد الأعظم من المسلمين. الحمد للـه وحده وصلى اللـه على سيدنا محمد وآلـه وصحبه وسلم. (وبعد) فإنا نعلم ونعتقد ونؤمن ونوقن ونشهد أن لا إلـه إلا اللـه وحده لا شريك لـه إلـه عظيم ملك كبير لا رب سواه ولا معبود إلا إياه قديم أزلي دائم أبدي لا ابتداء لأوليته ولا انتهاء لآخريته أحد صمد لم يلد ولم يولد ولم يكن لـه كفوا أحد لا شبيه لـه ولا نظير وليس كمثلـه شيء وهو السميع البصير - إلى أن قال – وأن يؤمن بشفاعة الأنبياء ثم الصديقين والشهداء والعلماء والصالحين والمؤمنين وأن الشفاعة العظمى مخصوصة بمحمد صلى اللـه عليه وسلم وأن يؤمن بإخراج من دخل النار من أهل التوحيد حتى لا يخلد فيها من في قلبه مثقال ذرة من إيمان وأن أهل الكفر والشرك مخلدون في النار أبد الأبدين ولا يخفف عنهم العذاب ولا هم ينظرون وأن المؤمنين مخلدون في الجنة أبدا سرمدا لا يمسهم فيها نصب وما هم منها بمخرجين وأن المؤمنين يرون ربهم في الجنة بأبصارهم على ما يليق بجلالـه وقدس كمالـه وأن يعتقد فضل أصحاب رسول اللـه صلى اللـه عليه وسلم وترتيبهم وأنهم عدول خيار أمناء لا يجوز سبهم ولا القدح في أحد منهم وأن الخليفة الحق بعد رسول اللـه صلى اللـه عليه وسلم أبو بكر الصديق ثم عمر الفاروق ثم عثمان الشهيد ثم علي المرتضى رضي اللـه عنهم وعن أصحاب رسول اللـه صلى اللـه عليه وسلم أجميعن وعن التابعين لـهم بإحسان إلى يوم الدين وعنا معهم برحمتك اللـهم يا أرحم الراحمين. وقال في رسالة المعاونة: وهي بمحمد اللـه عقيدتنا وعقيدة إخواننا من السادة الحسينين المعروفين بآل أبي علوي وعقيدة أسلافنا من لدن رسول اللـه e إلى يومنا هذا. Pendahuluan Ahl al-Sunah wa-al-Jama’ah merupakan ajaran Islam yang murni, dan sudah ada sejak masa Rasulallah SAW. Hanya saja waktu itu belum terkodifikasi serta terumuskan dengan baik. Gerakan kembali kepada ajaran Ahl al-Sunah wa al-Jama’ah dimulai oleh dua ulama yang sudah terkenal pada masanya, yakni Imam Asy’ari dan Imam Maturidi. Karena itu, ketika ada yang menyebut Ahl al- Sunah wa al-Jama’ah, pasti yang dimaksud adalah golongan yang mengikuti rumusan kedua iman tersebut. Sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Imam Ahmad bin Hajar al-Haitami dalam Tathhir al-Janan wa al-Lisan, “Jika Ahl al-Sunah wa al-Jama’ah disebutkan, maka yang dimaksud adalah orang-orang yang mengikuti rumusan yang digagas oleh Imam Asy’ari (golongan Asya’riah) dan Imam Maturidi (golongan Maturidiyyah)”. (Tathhir al-Janan wa al-Lisan, 7) Hal yang sama juga dikemukakan oleh Thasy Kubri Zadah, sebagaimana yang dikutip oleh DR Fathullahi Khulayf dalam pengantar kitab al-Tauhid karangan Imam Maturidi, “Thasy Kubri Zaddah berkata, ”Ketahuilah bahwa polopor gerakan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah dalam ilmu kalam adalah dua orang. Satu orang bermadzhab Hanafi, sedang yang lain dari golongan Syafi’I. Seorang yang bermadzhab Hanafi itu adalah Abu Mansyur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Maturidi. Sedangkan yang dari golongan Syafi’i adalah Syaikh al-Sunnah, pemimpin masyarakat, imam para mutakallimin, pembela sunnah Nabi SAW dan agama Islam, pejuang dalam menjaga kemurnian akidah kaum muslimin, (yakni) Abu al-Hasan al-Asy’ari al-Bashri”. (Kitab al-Tauhid, 7) Dua orang inilah yang menjadi polopor gerakan kembali pada ajaran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah. Intisari dari kedua rumusan beliau tersebut tersimpul pada kitab-kitab yang telah diajarkan di pesantren seperti Aqidah al-Awam, Kifayah al-Awam, al-Jawahir al-Kalamiyyah. Jawharah al-Tauhid. Pembahasan tentang Ahlussunnah wal Jamaah akan selalu tetap menarik karena pembahasan ini menyangkut dinamika internal kaum muslimin di seluruh dunia terhadap isu isu global yang tengah melanda dunia saat ini. Jika pengikut Ahlussunnah wal Jamaah merupakan bagian yang cukup besar dari penduduk dunia, maka sikap mereka terhadap isu isu sentral yang melanda dunia saat ini sangat ditunggu oleh banyak pihak, baik di dalam negeri negara negara islam itu sendiri maupun di luar negeri terutama dari negara barat. Sikap kaum muslimin dari kalangan sunni terhadap isu isu global akan menjadi agenda dan catatan sendiri bagi pihak pihak yang berkompeten untuk menentukan sikap dalam menangani isu isu tersebut. Pembahasan makalah ini akan membahas prinsip-prinsip ajaran Aswaja, tentu saja tidak bias kami uraikan secara detail, namun diskripsi secara global mengenai prinsip-prinsip tersebut. Pembahasan Teologi Aswaja I. Definisi dan Historis ASWAJA adalah kepanjangan kata dari “ Ahlussunnah waljamaah”. Ahlussunnah berarti orang-orang yang menganut atau mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW, dan waljamaah berarti mayoritas umat atau mayoritas sahabat Nabi Muhammad SAW. Jadi definisi Ahlussunnah waljamaah yaitu; “ Orang-orang yang mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW dan mayoritas sahabat ( maa ana alaihi wa ashhabi ), baik di dalam syariat (hukum Islam) maupun akidah dan tasawuf”. Istilah ahlussunnah waljamaah tidak dikenal di zaman Nabi Muhammad SAW maupun di masa pemerintahan al-khulafa’ al-rasyidin, bahkan tidak dikenal di zaman pemerintahan Bani Umayah ( 41 – 133 H. / 611 – 750 M. ). Istilah ini untuk pertama kalinya di pakai pada masa pemerintahan khalifah Abu Ja’far al-Manshur (137-159H./754-775M) dan khalifah Harun Al-Rasyid (170-194H/785-809M), keduanya dari dinasti Abbasiyah (750-1258). Istilah ahlussunnah waljamaah semakin tampak ke permukaan pada zaman pemerintahan khalifah al-Ma’mun (198-218H/813-833M). Pada zamannya, al-Ma’mun menjadikan Muktazilah ( aliran yang mendasarkan ajaran Islam pada al-Qur’an dan akal) sebagai madzhab resmi negara, dan ia memaksa para pejabat dan tokoh-tokoh agama agar mengikuti faham ini, terutama yang berkaitan denga kemakhlukan al-qur’an. untuk itu, ia melakukan mihnah (inquisition), yaitu ujian akidah terhadap para pejabat dan ulama. Materi pokok yang di ujikan adalah masalah al-quran. Bagi muktazilah, al-quran adalah makhluk (diciptakan oleh Allah SWT), tidak qadim ( ada sejak awal dari segala permulaan), sebab tidak ada yang qadim selain Allah SWT. Orang yang berpendapat bahwa al-quran itu qadim berarti syirik dan syirik merupakan dosa besar yang tak terampuni. Untuk membebaskan manusia dari syirik, al-Ma’mun melakukan mihnah. Ada beberapa ulama yang terkena mihnah dari al-Ma’mun, diantaranya, Imam Ahmad Ibn Hanbal ( 164-241H). Penggunaan istilah ahlussunnah waljamaah semakin popular setelah munculnya Abu Hasan Al-Asy’ari (260-324H/873-935M) dan Abu Manshur Al-Maturidi (w. 944 M), yang melahirkan aliran “Al-Asy’aryah dan Al-Maturidyah” di bidang teologi. Sebagai ‘perlawanan’ terhadap aliran muktazilah yang menjadi aliran resmi pemerintah waktu itu. Teori Asy’ariyah lebih mendahulukan naql ( teks qu’an hadits) daripada aql ( penalaran rasional). Dengan demikian bila dikatakan ahlussunnah waljamaah pada waktu itu, maka yang dimaksudkan adalah penganut paham asy’ariyah atau al-Maturidyah dibidang teologi. Dalam hubungan ini ahlussunnah waljamaah dibedakan dari Muktazilah, Qadariyah, Syiah, Khawarij, dan aliran-aliran lain. Dari aliran ahlussunnah waljamaah atau disebut aliran sunni dibidang teologi kemudian juga berkembang dalam bidang lain yang menjadi cirri khas aliran ini, baik dibidang fiqh dan tasawuf. sehingga menjadi istilah, jika disebut akidah sunni (ahlussunnah waljamaah) yang dimaksud adalah pengikut Asy’aryah dan Maturidyah. Atau Fiqh Sunni, yaitu pengikut madzhab yang empat ( Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbali). Yang menggunakan rujukan alqur’an, al-hadits, ijma’ dan qiyas. Atau juga Tasawuf Sunni, yang dimaksud adalah pengikut metode tasawuf Abu Qashim Abdul Karim al-Qusyairi, Imam Al-Hawi, Imam Al-Ghazali dan Imam Junaid al-Baghdadi. Yang memadukan antara syari’at, hakikat dan makrifaat. Pada saat ini hampir diseluruh negara islam baik di Asia maupun Afrika adalah penganut madzhab Sunni. Sehingga tidak berlebihan bahwa masyarakat islam di seluruh dunia adalah pemeluk Sunni. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh David Baret disebutkan bahwa jumlah kaum muslimin di seluruh dunia pada tahun 2000 adalah 1.188.000.000 orang. Dari jumlah tersebut 1.002.000.000. atau 84.34 % nya adalah pengikut ahlissunnah wal jamaah. Sementara 15.65 % nya terdiri dari kelompok lain seperti Syiah dan lain lainnya. Bandingkan dengan pengikut Katolik Roma yang berjumlah 1.002.000.000 orang pada tahun 2000. (Lih. Ar.Wikipedia.org:ahlussunnah) Ruang Lingkup Ahlussunnah wal Jamaah Sebagaimana halnya Khawarij, Mutazilah, dan Syiah, Ahlusunnah wal Jamaah merupakan salah satu aliran atau paham teologi yang ikut mewarnai sejarah perkembangan agama Islam. Ia datang di tengah-tengah dinamika kehidupan umat untuk ikut ambil bagian dalam memberikan solusi atas berbagai persoalan yang dihadapi, khususnya yang berkenaan dengan permasalahan ikhtilâfiyyah dalam akidah dan keyakinan.[1] Kalau pada awalnya Ahlussunnah wal Jamaah muncul sebagai reaksi terhadap Syiah, ia dalam perkembangannya juga merespon Mutazilah. Bahkan kemunculan Ahlussunnah wal Jamaah sebagai aliran terjadi di masa Mutazilah mencapai kejayaannya. Sebagaimana diketahui, Mutazilah mencapai puncak kejayaannya pada saat Daulah Abasiyah berada di bawah pemerintahan Khalifah al-Mamun, al-Mutashim, dan al-Watsiq (813 M - 847 M). Kejayaan ini diawali dengan dijadikannya Mutazilah oleh Khalifah al-Mamun sebagai mazhab resmi yang dianut negara. Agaknya, pada masa itulah usaha penyebaran ajaran-ajaran Mutazilah yang dijalankan oleh 3 ribu pengikut Wasil bin Atha semenjak tahun 718 M mulai menemukan hasilnya hingga Mutazilah memperoleh pengaruh dalam masyarakat Islam. Paham Mutazilah mengajarkan bahwa al-Quran tidak bersifat qadîm, tetapi baru (hadîts) dan diciptakan (makhlûq). Dalam pandangan mereka, meng-qadîm-kan al-Quran berarti meyakini adanya sesuatu yang qadîm selain Tuhan, dan itu sama saja dengan menduakan Tuhan. Menduakan Tuhan adalah perbuatan syirik, dan syirik merupakan dosa terbesar yang tidak akan diampuni Tuhan. Al-Mamun sebagai khalifah menetapkan bahwa orang syirik tidak dapat menempati posisi penting dalam pemerintahan. Oleh karenanya, dia kemudian menginstruksikan kepada Gubernurnya untuk menjadikan Mutazilah sebagai Paham yang harus dianut oleh para pemuka masyarakat melalui sebuah kebijakan yang dikenal dengan mihnah (inquisition). Kebijakan ini diaplikasikan dengan menerapkan fit and proper test yang bersifat subyektif, guna melihat apakah seseorang, yang akan diangkat sebagai pejabat, berpaham Mutazilah atau tidak. Ahmad ibn Hanbal telah tampil sebagai orang yang menolak paham Mutazilah, dan mengembalikan ajaran Islam pada apa yang terkandung dalam sunnah sehingga dia kemudian dikenal sebagai imam Ahlussunnah. Meskipun harus berhadapan dengan tiga penguasa Daulah Abasiyah secara berturut-turut, Ibn Hanbal tetap mempertahankan keyakinannya, sehingga ia menjadi orang yang berpengaruh dan mendapat pengikut yang terus bertambah. Kenyataan ini membuat Khalifah al-Mutashim dan al-Watsiq tidak berani menjatuhkan hukuman mati kepada Ahmad Ibnu Hanbal, karena hal itu dalam pandangan mereka akan sangat berpotensi bagi timbulnya kekacauan. Di masa kekhalifahan al-Mutawakkil, putra al-Mutashim, pengaruh ibn Hanbal yang berpegang teguh pada sunnah dan tradisi terus menguat, sementara pengaruh Mutazilah menurun di tengah-tengah masyarakat. Pada Puncaknya, al-Mutawakkil membatalkan aliran Mutazilah sebagai mazhab resmi negara (848 M), dan berakhirlah riwayat mihnah dalam perjalanan sejarah Daulah Abbasiyah. Dengan dasar kenyataan sejarah itulah Tasy Kubra Zadah menyatakan bahwa aliran Ahlussunnah wal Jamaah telah muncul atas keberanian dan usaha Abu al-Hasan al-Asyari untuk membentuk aliran teologi baru yang kemudian dikenal dengan namanya sendiri, setelah menjadi pengikut aliran Mutazilah selama 40 tahun.[2] Dari sinilah term Ahlussunnah wal Jamaah yang dibawa oleh Ibn Hanbal menjadi identik dengan Asyariyah dan Maturidiyah, mengingat Abu al-Hasan al-Asyari yang menyandarkan teologi barunya pada ajaran yang dibawa oleh Ibn Hanbal, tidak merumuskan ajaran Ibnu Hanbal secara lebih sistematis. Dijelaskan bahwa pada saat berdiri di depan publik untuk memproklamirkan teologi barunya, Abu al-Hasan al-Asyari mengatakan bahwa sandaran otoritas pendapat dan keyakinan yang dianutnya adalah berpegang teguh pada al-Quran, sunnah Rasulullah Saw., atsar sahabat, perkataan tabiin, pembela hadits, dan terhadap apa yang dikatakan oleh Ahmad ibn Hanbal. Akan tetapi, meskipun al-Asyari mendasarkan teologinya pada Ahmad ibn Hanbal, ia dalam bidang fikih tetap berpegang pada mazhab Syafii.[3] Ibn Taimiyah dalam Muwafaqât Shahîh al-Manqûl li al-Sharîh al-Maqûl menjelaskan bahwa ketika keluar dari mazhab Mutazilah, al-Asyari menempuh cara Ibn Kullab. Dia membela sunnah dan hadis, serta menyandarkan pendapat-pendapatnya pada Ahmad ibn Hanbal. Semua ini diungkapkan secara tegas dalam buku-buku karanganya, seperti al-Ibânah, al-Mujâz, dan al-Maqâlât. Lebih dari itu, al-Asyari juga bergaul dengan para pembela sunnah dan para teolog pengikut mazhab Hanbali, seperti ibn Aqil dan Abu al-Faraj al-Jawzi. Dari merekalah al-Asyari belajar dan mengikuti ajaran-ajaran yang dibawa oleh Ahmad ibn Hanbal.[4] Kalau apa yang diajarkan oleh ibnu Hanbal itu berpegang teguh terhadap sunnah dan tradisi, Mutazilah tidak mau berpegang teguh kepada sunnah dan tradisi itu. Sikap Mutazilah ini bukan karena mereka tidak percaya, tetapi lebih disebabkan oleh keraguan terhadap keaslian sunnah dan tradisi tersebut. Sejalan dengan itu, ajaran-ajaran yang dibawanya juga lebih bersifat rasional dan filosofis, sehingga paham Mutazilah tidak bisa diikuti oleh masyarakat awam. Paham Mutazilah, karenanya, tetap menjadi paham minoritas, meski ditopang oleh kekuasaan, sementara pada sisi lain, Ahlussunnah wal jamaah memperoleh respon yang sangat positif dari mayoritas khalayak. Kedua faktor inilah yang sering disebut sebagai awal munculnya istilah Ahlussunnah wal Jamaah, yaitu, golongan yang berpegang pada sunnah dan merupakan golongan mayoritas, sebagai lawan bagi golongan Mutazilah yang bersifat minoritas dan tidak berpegang teguh terhadap sunnah. Secara substantif, Ahlussunnah wal Jamaah itu meliputi tiga aspek Islam, yakni aspek akidah, fikih dan akhlak. Meskipun diskursus para ulama sering hanya membicarakan aspek akidah dan syariah (fiqh), hal itu bukan berarti tidak ada aspek akhlak. Menurut pandangan ini, pengalaman (practice) dari dua aspek (yang disebut pertama) itu mengandung aspek akhlak atau tashawuf (tashawwuf). Seperti disepakati oleh para ulama penulis, aspek yang paling krusial di dalam paham Ahlussunnah wal Jamaah adalah aspek akidah. Aspek ini krusial, karena pada saat Mutazilah dijadikan sebagai paham keagamaan resmi pemerintah oleh penguasa Abbasiyah, di mana telah terjadi kasus mihnah (inquisition) yang cukup menimbulkan keresahan umat Islam. Imam al-Asyari saat itu telah tampil untuk mengoreksi kebijakan pemerintah tadi dan sekaligus mengkonter teologi Mutazilah, yang dalam beberapa hal dianggap bidah atau menyimpang. Pemikiran-pemikiran teologi Islam yang disampaikan Imam al-Asyari ternyata diterima secara positif oleh masyarakat Islam, sehingga kemudian terbentuk kelompok Asyariyah (pengikut al-Asyari). Cikal bakal ini akhirnya terinstitusi dalam bentuk mazhab al-Asyari. Aspek kedua dalam paham Ahlussunnah wal Jamaah adalah syariah atau fikih, yakni paham keagamaan yang berhubungan dengan ibadah dan muâmalah. Yang dimaksud dengan ibadah adalah tuntutan formal yang berhubungan dengan tata cara seorang hamba berhadapan dengan Tuhan, seperti shalat, zakat, haji, dan sebagainya. Adapun yang dimaksud dengan muâmalah adalah bentuk ibadah yang bersifat sosial, menyangkut hubungan manusia dengan sesama manusia secara horisontal, misalnya dalam hal jual beli, pidana perdata, sosial politik, dan sebagainya. Yang pertama disebut habl min Allâh (hubungan manusia dengan Allah), dan yang kedua disebut habl min al-nâs (hubungan manusia dengan manusia). Para ulama telah sepakat bahwa aspek syariah Ahlussunnah wal Jamaah ini bersumber dari empat mazhab besar dalam Islam, yakni Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali. Menurut mereka, Ahlussunnah wal Jamaah bersumber pada empat mazhab besar ini karena paham akidah mereka sejalan dengan paham akidah mazhab Ahlussunnah wal Jamaah. Imam Asyari sendiri sebagai pelopor Ahlussunnah wal Jamaah adalah penganut mazhab Imam Syafii, sementara al-Maturidi adalah penganut mazhab Imam Hanafi di bidang syariah atau fikih. Ahlussunnah wal Jamaah juga bersumber pada Imam Maliki karena ia adalah pelopor pembanding ahl al-ray (orang yang mendewakan akal) dari kalangan ulama Irak, di mana manhaj berpikirnya adalah taqdîm al-nashsh ala al-aql (mendahulukan apa yang tertulis dari Quran dari pada akal). Demikian juga mazhab Hanbali dijadikan rujukan karena Imam Hanbali banyak dijelaskan oleh literatur Islam sebagai ulama yang dalam paham akidahnya secara garis besar, terutama dalam masalah-masalah sentral yang menjadi kecenderungan polemik di antara ulama kalam, sejalan dengan paham ketiga ulama pendiri mazhab lainnya. Aspek ketiga dari paham keagamaan Ahlussunnah wal Jamaah adalah akhlak atau tashawuf, yang dalam banyak hal difokuskan kepada wacana akhlak Imam al-Ghazali, Yazid al-Bustami dan Junaid al-Baghdadi, serta ulama-ulama sufi yang sepaham. Aspek ketiga ini, dalam diskursus Islam dinilai penting, karena mencerminkan faktor ihsân dalam diri seseorang. Iman menggambarkan keyakinan, sedangkan Islam menggambarkan syariah, dan ihsân menggambarkan kesempurnaan Iman dan Islam dalam diri seseorang. Iman itu ibarat akar, Islam ibarat pohon dan ihsân ibarat buah yang dihasilkan oleh sebuah pohon. Artinya, manusia sempurna adalah manusia yang di samping bermanfaat untuk dirinya, karena dia sendiri kuat, juga memberi manfaat kepada yang lain (ini sering disebut dengan three principles of human life). Kalau manusia memiliki keyakinan atau kepercayaan tetapi tidak menjalankan syariat fikih, maka hal itu ibarat ada akar tetapi tidak ada pohonnya, artinya tidak ada gunanya. Tetapi pohon yang berakar dan rindang tidak akan menghasilkan buah jika kurang berarti atau kurang bermanfaat bagi kehidupan (bukan sama sekali tidak ada manfaatnya), atau dengan kata lain, kurang sempurna. Jadi, aspek ini juga terkait dengan aspek yang kedua, sehingga keberadaannya sama pentingnya dengan keberadaan aspek yang pertama dan kedua untuk membentuk manusia menjadi insân kâmil atau the perfect man. Ahlussunnah Dari Segi Ajaran Ajaran Ahulussunnah wal Jamaah adalah ajaran islam yang dijelaskan oleh Nabi dan para sahabatnya, yaitu apa yang ada dalam Al-Quran dan Hadis Nabi dan Ijma para sahabat. Paham ini terus berkelanjutan hingga saat ini dan diikuti oleh sebagaian besar kaum muslim di dunia. Imam Ibn Hazm dalam kitabnya : Al-Fashl Bainal Milal wan Nihal mengatakan : (قال أبو محمد وأهل السنة الذين نذكرهم أهل الحق ومن عداهم فأهل البدعة فإنهم الصحابة رضي الله عنهم وكل من سلك نهجهم من خيار التابعين رحمه الله عليهم ثم أصحاب الحديث ومن إتبعهم من الفقهاء جيلا فجيلا إلى يومنا هذا أو من اقتدى بهم من العوام في شرق الأرض وغربها رحمة الله عليهم) الفصل في الملل - (ج 2 / ص 90) (Ahlussunah yang akan kami jelaskan adalah kelompok yang berpijak kepada kebenaran, selain mereka adalah kelompok pelaku Bidah. Ahlussunnah adalah para sahabat Nabi dan orang yang mengikuti jejak mereka dari kalangan tabiin, termasuk didalamnya adalah ahli Hadis, ahli fikih dan seterusnya dari masa ke masa, dari generasi ke generasi penerus sampai saat ini. Begitu juga orang kebanyakan yang mengikuti jejak mereka baik di belahan bumi sebelah timur maupun belahan bumi sebelah barat) Apa yang dikatakan oleh Ibn Hazm barulah pada sebatas kelompok yang masuk dalam katagori Ahlussunnah. Akan halnya ajaran pokok Ahlussunnah wal Jamaah dan rinciannya akan berbeda antara satu dengan lainnya. Ibnu Taymiyah misalnya mengatakan bahwa pokok pokok ajaran Ahlussunnah adalah : Mengimani terhadap sifat Allah apa adanya, Al-Quran adalah Kalamullah, bukan Makhluk, kaum mukmin bisa melihat Allah di sorga, percaya kepada hari akhir dengan segala kejadiannya, percaya kepada Qadla dan Qadar, Iman adalah perkataan dan perbuatan, bisa bertambah dan bisa berkurang, mencintai sahabat Nabi, percaya kepada Karamah para wali, dan seterusnya. (Lih. Al-Mishri: Ibid. ). Sementara Al-Harbi, Ahmad bin Awadullah dalam kitabnya al-Maturidiyah menjelaskan bahwa pokok ajaran Ahlussunnah dalam hal akidah adalah sebagai berikut : 1. Agama Islam telah sempurna.tidak kurang tidak lebih. 2.Apa yang ada dalam Al-Quran dan Hadis sahih adalah sesuai dan tidak bertentangan dengan Akal. 3.Mempercayai dengan yakin apa yang berasal dari Nabi melalui hadis hadisnya baik yang mutawatir maupun yang Ahad.baik dalam masalah akidah maupun syariah. 4. Tunduk kepada perintah Allah dan RasulNya. 5.Teks yang terkait dengan sifat sifat Allah adalah sudah jelas, bukan mutasyabih lagi yang tidak diketahui maknanya. 6.menggunakan makna hakiki bukan majazi khususnya dalam mengartikan sifat sifat Allah. 7.Al-Quran menggunakan juga dalil dalil akli (nalar). (al-Maturidiyah : h.59) Apa yang dikemukakan oleh beberapa ulama tentang ajaran Ahlussunnah wal Jamaah secara rinci adalah lebih dalam rangka membedakan antara mereka dengan kelompok lainnya. Barangkali yang lebih penting lagi dari sekedar merinci ajaran Ahlussunnah adalah karakteristik ajarannya. Karakteristik ajaran Ahlussunnah adalah : 1.Satu sumber yaitu Al-Quran, Hadis dan Ijma para sahabat. 2.sesuai dengan dalil dalil yang sahih baik secara rasio maupun secara naql. 3.jelas dan gambalng. Bisa dimengerti oleh orang awam sekalipun. 4.tetap tidak tergoyahkan bersama dengan bergulirnya waktu. Karena ajaran ini sesuai dengan fitrah manusia.(Islam.Web). Ada juga yang menjelaskan bahwa ajaran Ahlussunnah wal Jamaah bersifat Tawassuth atau moderat. Tidak ekstrim kanan maupun ekstrim kiri. Pengertian moderat disini adalah dari semua segi, baik dari segi akidah, syariah maupun akhlak. Sikap moderat yang demikian inilah yang menjadikan masyarakat mencintai ajaran ini. Dalam sejarah masuknya islam dipelbagai negeri islam, seperti negeri negeri arab, penduduk yang tadinya memeluk agama lain, serta merta mengganti keyakinan mereka, adat istiadat mereka, bahasa mereka dengan keyakinan, bahasa, adat istiadat bangsa yang menaklukkan merekayaitu kaum muslimin. Ciri khas lainnya dari kelompok Ahlissunnah wal Jamaah adalah semangat persatan (jamaah) dan tidak senang dengan perpecahan Prinsip Dasar Aswaja Di Indonesia penyebaran Aswaja dikembangkan oleh NU dan memiliki lima prinsip dasar yang menjadi paradaigma keagamaan warga NU. Pertama, prinsip al-tawassuth, yaitu jalan tengah, tidak ekstrem kanan atau kiri. Dalam paham Ahlussunnah Wal Jamaah, baik bidang hukum (syariah) bidang akidah, maupun bidang akhlak, selalu dikedepankan prinsip tengah-tengah. Juga di bidang kemasyarakatan selalu menempatkan diri pada prinsip hidup menjunjung tinggi keharusan berlaku adil, lurus di tengah-tengah kehidupan bersama, sehingga ia menjadi panutan dan menghindari segala bentuk pendekatan ekstrem. Sikap moderasi Ahlussunnah Wal Jamaah tercermin pada metode pengambilan hukum (istinbath) yang tidak semata-mata menggunakan nash, namun juga memperhatikan posisi akal. Begitu pula dalam wacana berfikir selalu menjembatani antara wahyu dengan rasio (al-ra’y). Metode (manhaj) seperti inilah yang diimplementasikan oleh imam mazhab empat serta generasi lapis berikutnya dalam menelorkan hukum-hukum pranata sosial/fikih.[5] Moderasi adalah suatu ciri yang menegahi antara dua pikiran yang ekstrem; antara Qadariyah (reewillisme) dan Jabariyah (fatalisme), ortodoks Salaf dan rasionalisme Mutazilah, dan antara sufisme falsafi dan sufisme salafi. Penerapan sikap dasar tawassuth dalam usaha pemahaman al-Qur’an dan al-Hadits sebagai sumber ajaran Islam, dilakukan dalam rangka: (1) Memahami ajaran Islam melalui teks mushhaf al-Qur’an dan kitab al-Hadits sebagai dokumen tertulis; (2) Memahami ajaran Islam melalui interpretasi para ahli yang harus sepantasnya diperhitungkan, mulai dari sahabat, tabi’in sampai para imam dan ulama mu’tabar; (3) Mempersilahkan mereka yang memiliki persyaratan cukup untuk mengambil kesimpulan pendapat sendiri langsung dari al-Qur’an dan al-Hadits. Kedua, prinsip tawazun, yakni menjaga keseimbangan dan keselarasan, sehingga terpelihara secara seimbang antara kepentingan dunia dan akherat, kepentingan pribadi dan masyarakat, dan kepentingan masa kini dan masa datang. Pola ini dibangun lebih banyak untuk persoalan-persoalan yang berdimensi sosial politik. Dalam bahasa lain, melalui pola ini Aswaja ingin menciptakan integritas dan solidaritas sosial umat.[6] Sikap netral (tawazun) Ahlussunnah Wal Jamaah berkaitan dengan sikap mereka dalam politik. Ahlussunnah Wal Jamaah tidak selalu membenarkan kelompok garis keras (ekstrem). Akan tetapi, jika berhadapan dengan penguasa yang lalim, mereka tidak segan-segan mengambil jarak dan mengadakan aliansi. Dengan kata lain, suatu saat mereka bisa akomodatif, suatu saat bisa lebih dari itu meskipun masih dalam batas tawazun.[7] Ketiga, prinsip al-tasamuh, yaitu bersikap toleran terhadap perbedaan pandangan, terutama dalam hal-hal yang bersifat furu’iyah, sehingga tidak terjadi perasaan saling terganggu, saling memusuhi, dan sebaliknya akan tercipta persaudaraan yang islami (ukhuwah islamiyah). Berbagai pemikiran yang tumbuh dalam masyarakat Muslim mendapatkan pengakuan yang apresiatif. Keterbukan yang demikian lebar untuk menerima berbagai pendapat menjadikan Aswaja meimiliki kemampuan untuk meredam berbagai konflik internal umat. Corak ini sanagt tampak dalam wacana pemikiran hukum Islam. Sebuah wacana pemikiran keislaman yang paling realistik dan paling banyak menyentuh aspek relasi sosial.[8] Dalam diskursus sosial-budaya, Aswaja banyak melakukan toleransi terhadap tradisi-tradisi yang telah berkembang di masyarakat, tanpa melibatkan diri dalam substansinya, bahkan tetap berusaha untuk mengarahkannya. Formalisme dalam aspek-aspek kebudayaan dalam Aswaja tidaklah memiliki signifikansi yang kuat. Karena itu, tidak mengherankan dalam tradisi kaum Sunni terkesan wajah kultur Syiah atau bahkan Hinduisme. Sikap toleran Aswaja yang demikian telah memberikan makna khusus dalam hubungannya dengan dimensi kemanusiaan secara lebih luas. Hal ini pula yang membuatnya menarik banyak kaum muslimin di berbagai wilayah dunia. Pluralistiknya pikiran dan sikap hidup masyarakat adalah keniscayaan dan ini akan mengantarkannya kepada visi kehidupan dunia yang rahmat di bawah prinsip ketuhanan. Keempat, prinsip ta’adul (keseimbangan) Ahlussunnah Wal Jamaah terefleksikan pada kiprah mereka dalam kehidupan sosial, cara mereka bergaul serta kondisi sosial pergaulan dengan sesama muslim yang tidak mengkafirkan ahlul qiblat serta senantiasa bertasamauh terhadap sesama muslim maupun umat manusia pada umumnya. Kelima, prinsip amar ma’ruf nahi munkar (menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran). Dengan prinsip ini, akan timbul kepekaan dan mendorong perbauatan yang baik/saleh dalam kehidupan bersama serta kepekaan menolak dan mencegah semua hal yang dapat menjerumuskan kehidupan ke lembah kemungkaran. Jika empat prinsip ini diperhatikan secara seksama, maka dapat dilihat bahwa ciri dan inti ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah adalah pembawa rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil ‘alamain). Penutup Kesimpulan Prinsip umum Ahlu Sunnah Wal Jama’ah mencakup Akidah, syari’ah, akhlak, pergaulan antar golongan, kehidupan bernegara, kebudayaan dan dakwah. Dari masing-masing point tersebut diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari warga ahlus sunnnah wal jama’ah yang di Indonesia di akomodir oleh organisasi kemasyarakatan Nahdhatul Ulama. Berbicara aktualisasi paham ahlus sunnnah wal jama’ah dalam kehidupan sosial, tidak bisa dilepaskan dari tatanan bernegara dimana secara paham mempunyai prinsip sendiri. Di antara implementasinya adalah: Prinsip Syura (Musyawarah), Al-Adl (Keadilan), Al-Hurriyyah (Kebebasan), Al-Musawah (Kesetaraan Derajat). Disemua ajarah dan prinsip ahlus sunnnah wal jama’ah diatas mempunyai cirri khas dalam mengimplementasikan setiap nilai-nilainya sesuai konteks yang ada dalam kehidupan tanpa menghilangkan kultur dan ajaran yang telah ada. Daftar Pustaka: Pemikiran KH. M. Tholhah Hasan dalam Seminar Publikasi PBNU tanggal 30 Desember 2003 2. Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 65, cet. I, Ed. II, (Jakarta: Penerrbit Universitas Indonesia, 2002) 3. Abd al-Qahir ibn Thahir ibn Muhammad al-Baghdadi, al-Farq Bayn al-Firâq, h. 12 - 20, (Libanon: Dar al-Fikr) KH. Husein Muhammad, dalam Imam Baihaqi (ed), Kontroversi Aswaja: Aula Perdebatan dan Reinterpretasi, KH. Husein Muhammad, dalam Imam Baihaqi (ed), Kontroversi Aswaja: Aula Perdebatan dan Reinterpretasi, (Yogyakarta: LKiS, 1999) 6. Asy Syahrastani, “Al Milal Wa Al Nihal: Aliran-Aliran Teologi dalam Sejarah Umat Islam”, diterjemahkan oleh Asywadie Syukur, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 2006 7. Al Atsari, Abu Nuaim, “I’tiqad Ahlu Sunnah Wal Jamaah (KH. Siradjudin Abbas)”, Majalah Al Furqon Edisi 7 Tahun V, 2006 ISSN: 1693-8755. [1] Abd al-Qahir ibn Thahir ibn Muhammad al-Baghdadi, al-Farq Bayn al-Firâq, h. 12 - 20, (Libanon: Dar al-Fikr) [2] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 65, cet. I, Ed. II, (Jakarta: Penerrbit Universitas Indonesia, 2002) [3] Pemikiran KH. M. Tholhah Hasan dalam Seminar Publikasi PBNU tanggal 30 Desember 2003 [4] Abu al-Hasan Ismail al-Asyari, op. cit., hlm. 48 [5] KH. Said Agil Siradj, Ahlussunnah Wal Jamaah dalam Lintas Sejarah, op. cit., hlm. 20 [6] KH. Husein Muhammad, dalam Imam Baihaqi (ed), Kontroversi Aswaja: Aula Perdebatan dan Reinterpretasi, (Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm. 37 [7] KH. Husein Muhammad, dalam Imam Baihaqi (ed), Kontroversi Aswaja: Aula Perdebatan dan Reinterpretasi, op. cit., hlm. 41. [8] KH. Husein Muhammad, dalam Imam Baihaqi (ed), Kontroversi Aswaja: Aula Perdebatan dan Reinterpretasi, op. cit., hlm. 39.
Posted on: Tue, 22 Oct 2013 07:06:25 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015