Apa yang Anda pikirkan?Minggu, 18/08/2013 18:56 WIB Pesantren At - TopicsExpress



          

Apa yang Anda pikirkan?Minggu, 18/08/2013 18:56 WIB Pesantren At Tarmasi, Gelombang Dakwah dari Pacitan Aji Setiawan - detikRamadan Jakarta - Seabad lebih sebelum kemerdekaan, ulama at-Tarmasi telah mewarnai dunia Islam di Indonesia. Tidak terbatas di dalam negeri, bahkan di Saudi Arabia yang saat itu menjadi gudang ulama, Syaikh At Tarmasie menjadi salah pilar utama ulama Hijaz. Keterbatasan geografis dan teknologi bumi Pacitan saat itu tidak menjadi penghalang dan melesatnya derajat kemuliaan. Dari bumi Tremas yang terpencil lahirlah ulama KH Abdul Manan (1830-1842) generasi awal Tremas. Perjuangan mendirikan perguruan Islam Tremas tidak mudah. Jauh sebelumnya sekitar abad 15, Nusantara saat itu dipimpin kerajaaan Majapahit. Hampir seluruh masyarakatnya memeluk agama Hindu dan Budha. Kedua agama ini berkembang di Indonesia ketika di negara asalnya, India mulai mengalami masa-masa kemunduran. Begitu pula di daerah Wengker selatan atau pesisir selatan yang saat itu dikuasai oleh orang sakti beragama Hindu yang bernama Ki Ageng Buwana Keling. Daerah ini dikenal sebagai cikal bakal daerah Pacitan. Kegoncangan masyarakat di bawah pimpinan Ki Ageng Buwana Keling mulai terjadi seiring dengan datangnya para mubaligh dari kerajaan Demak. Rombongan Mubaligh ini dipimpin Ki Ageng Petung, Ki Ageng Posong dan Syekh Maulana Maghribi. Mereka bertiga meminta Ki Ageng Buwana Keling dan masyarakat sekitar agar bersedia memeluk agama Islam. Peperangan pun tidak terelakkan dan akhirnya dimenangkan mubaligh Demak. Sejak itulah wilayah Pacitan dengan mudah memeluk agama Islam. Demikian dari tahun ke tahun sampai masa bupati Jagakarya yang berkuasa tahun 1812, perkembangan Islam di masa itu maju dengan sangat pesat. Bahkan tiga tahun kemudian putra Demang Semanten yang bernama Bagus Darso kembali dari pesantren di Ponorogo nyantri dengan Kiai Hasan Besari Sepuh. Dengan dukungan ayahnya R Ngabehi Dipomenggolo, beliau mendirikan pesantren di Semanten (2 kilometer dari arah utara kota Pacitan). Setelah kurang lebih satu tahun ia pindah ke Tremas. Inilah awal berdirinya pondok Termas. Kepindahan Bagus Darso ke daerah Tremas bukan tanpa alasan. Di antara alasannya adalah faktor kekeluargan. Saat itu mertua dan istri beliau menyediakan sebidang tanah di daerah yang jauh dari pusat pemerintahan. Bagus Darso kemudian berganti nama menjadi KH Abdul Manan. Nama Tremas sendiri memiliki latar belakang yang cukup unik. Tremas berarti keris pusaka kecil yang terbuat dari emas. Keris ini awal mulanya dimiliki punggawa Keraton Surakarta yang bernama Ketok Jenggot. Oleh Raja Surakarta saaat itu, Ketok Jenggot diperintahkan membuka hutan di daerah Pacitan dengan bekal keris pusaka tersebut. Setelah berhasil, keris tersebut ditanam di tempat pertama kali ia membuka hutan, akhirnya daerah tersebut disebut Tremas. Secara garis besar, kepemimpinan Tremas dibagi dua masa yakni masa penjajahan dan masa kemerdekaan. Periode pertama Tremas di bawah asuhan KH Abdul Manan (1830-18412). Sebagai pondok rintisan, jumlah santrinya saat itu tidak begitu banyak. Mertua KH Abdul Manan yakni Raden Ngabehi Honggowijouyo menjadi pendudkung utama pesantren terutama dalam hal pendanaan pesantren. Pengajian-pengajian yang KH Abdul Manan berikan berkisar masalah salat dan ilmu tauhid. Ia wafat pada minggu pertama bulan Syawal 1282 H dengan meninggalkan tujuh orang putra dan dimakamkan di desa asalnya yakni Semanten. Sejak kecil KH Abdul Manan dikenal sebagai anak yang cerdas dengan berbagai keistimewaaan. Bahkan guru beliau, KH Hasan Besaari Sepuh dari Tegalrejo Kabupaten Ponorogo saat itu mengakui kemuliaan KH Abdul Manan. Periode kedua Tremas dipimpin oleh KH Abdullah (1862-1894). Ia adalah putra pertama KH Abdul Manan. Pada masa kecilnya ia berguru langsung dengan ayahanya. Setelah cukup dewasa KH Abdul Manan mengajaknya ke Mekkah untuk belajar di sana. Setelah beberapa tahun di Mekkah, ia langsung pulang dan membantu mengajar di Tremas. Pada Masa kedua itulah itulah santri Tremas semakin berkembang Tidak hanya dari Solo, Ponorogo, Salatiga, Kediri , Purworejo dan lain-lainnya. Karena tidak ada kendaraan, maka untuk ke Tremas mereka harus berjalan kaki melewati gunung dan hutan yang lebat. Dengan jumlah santri, maka dibangunlah asrama santri di sebelah selatan jalan. Asrama ini pada masa KH Dimyathi dikenal sebagai pondok wetan. Pada masanya KH Abdulloh mengkader dengan cara mempercayakan kepada santri-santri lama untuk mengajar santri-santri baru. Sementara bagi mereka santri lama diberikan kitab yang lebih tinggi. KH Abdullah juga berhasil mendidik putra-putranya menjadi ulama besar pada jamannya. Pada masa itu muncul sebutan ulama At-Tarmasi yang sangat disegani di negara Arab. Bermula dari beliau yang belajar di Mekkah. Kemudian KH Abdullah mengirim putranya yakni Moh Mahfudz untuk menuntut Ilmu di Mekkah. Setelah mukim di Mekkah, Muhammad Mahfudz belajar dengan Syaikh Abu Bakar Syatha hingga menjadi ulama besar yang mampu mendudukan dirinya menjadi salah satau pengajar di masjidil Haram. Selang beberapa tahun, KH Abdulloh menunaikan ibadah haji yang ketiga kalinya. Kala itu ia mengajak ketiga orang putranya yaitu K Dimyathi, K Dahlan dan K Abdur Rozaq. Dengan tujuan agar ketiga bersaudara ini bisa belajar langsung dengan Syaikh Mahfudz At Tarmasie. Selain tiga saudara ini terdapat KH Hasyim Asy’ari Jombang yang berguru dengan Syaih Mahfudz, Syaikh Mahfudz terbilang sangat produktif dalam menulis kitab, telah beberapa kitab ia tulis dan menjadi acuan belajar di beberapa perguruan tinggi di Maroko, Iraq, Saudi Arabia dan lain sebagainya. Ia bermukim di Mekah hingga ia wafat pada hari Rabu Bulan Rajab tahun 1338 H dan dimakamkan di Mekah dengan disaksikan keluarga besar sang guru utama yakni Syaikh Abu Bakar Syatha. KH Abdullah juga wafat di Mekah Al Mukaramah pada hari Senin, tanggal 29 Syakban 1314 H. Sementara itu pesantren yang selama ditinggal KH Abdullah akhirnya dipimpin KH Muhammad Zaed sambil menunggu kepulangan KH Dimyati untuk mneruskan jalannya roda pesantren. Sepulang dari Mekah, KH Dimyathi (1894-1932) langsung memimpin pesantren Tremas. Di masanya Tremas mengalamai perkembangan sangat pesat. Seiring dengan semakin dikenalnya kitab-kitab kuning karya syekh Mahfudz at Tarmasie, baik di daerah Jawa maupun Melayu. Pada saat ini jumlah santri di pesantren Tremas mencapai 2000 orang. Seluruh tanah milik pengasuh disulap menjadi pesantren dan asrama santri. Masjid yang awalnya berada di sebelah timur di pindah ke posisi paling tengah pemukiman pesantren. Untuk kegiatan belajar didirikan gedung madrasah. Sistem Madrasah ini dimulai pada tahun 1928 dengann kitab-kitab yang diajarkan seperti Ihya Ulumiddin, Fatchul Muin, Tafsir Jalalaen, Alfiyah Ibnu Malik, Manhajul Qowim, Shahih Bukhari dan Muslim. Inilah masa kejayaan perguruan tinggi Islam Tremas. KH Dimyathi dikenal sebagai ulama yang alim dan tawadhu, sabar dan sikapnya yang sederhana. Ia tidak pernah marah kepada santri, meski ia menemui santri yang melanggar aturan pesantren, sering ia berucap "Mungkin lebih baik kamu pulang dulu". Maka pulanglah santri itu dengan rasa penyesalan yang mendalam. Sepeninggal KH Dimyati, kepemimpinan Tremas dilanjutkan KH Hamid Dimyathi (1934-1948). Beberapa usaha yang ia lakukan adalah memperbaiki keorganisasian pesantren. Kedua, menghilangkan pengajian yang dilakukan di kamar-kamar dan diganti dengan pengajian di asrama. Ketiga, penambahan beberapa kitab yang belum diajarkan pada masa KH Dimyathi. KH Hamid juga memasukkan mata pelajaran modern, seperti bahasa Indonesia, Ilmu Sejarah, Ilmu Bumi, Berhitung dan lain sebagainya dalam pelajaran madrasah salafiah. Bahkan Kiai Hamid juga berhasil membangun pesantren dengan koleksi cukup lengkap tidak hanya kitab, bahkan majalah-majalah Islam dari dalam dan luar negeri. Dengan serangan Jepang ke Indonesia dan berlanjut pemberontakan PKI Madiun 1948, pesantren Tremas mengalami masa titik balik kejayaan pesantren Termas. KH Hamid Dimyathi dan seluruh jajaran pesantren pada masa perjuangan 1945 ikut menerjunkan diri dalam kancah perjuangan. Bahkan KH Hamid masuk dalam KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) dan masuk dalam Masyumi yang saat itu merupakan satu-satunya partai Islam. Karena itulah ia jarang ke pondok sampai pada masa pemberontakan PKI Madiun 1948. Sejak meninggalnya KH Hamid tahun 1948, Pondok Tremas mengalami kevakuman kepemimpinan sampai tahun 1952. Bangunan pesantren rusak dan santri pulang ke daerah masing-masing. Kondisi ini diperparah lagi dengan serangan Belanda II pada tahun 1948. Sehingga hampir dapat dikatakan Pacitan dalam keradaan darurat. Kabupaten Pacitan dipindah ke Arjosari dan atas izin sesepuh pondok. Bupati Pacitan memutuskan diri untuk memindahkan sebagian lembaga kemasyarakatan ke pondok pesantren yang sudah tak berpenghuni. Kebangkitan Tremas terjadi pada tahun 1942, saat KH Haris Dimyathi pulang menuntut ilmu dari Madrsah Salafiyah Kauman Surakarta di bawah bimbingan KH Dimyathi Abdul Karim. Baru tiga tahun membina Tremas ia kembali menuntut ilmu di Pesantren al-Munawwir Krapyak Yogyakarta. Barulah pada tahun 1952, ketika adik KH Hamid Dimyathi yaitu KH Habib Dimyathi pulang dari pondok pesantren Krapyak Yogyakarta, demikian pula halnya dengan KH Haris Dimyathi yang pulang sekian lama berada di pengungsian. Begitu pula KH Hasyim Ikhsan yang kembali mengajar. Ketiga orang kyai inilah menjadi pelopor kebangkitan kembali Tremas. Gedung-gedung pondok perlahan dibenahi kembali dari sisa-sisa penjajahan Jepang, Tragedi PKI dan Agresi Belanda II. Kemudian dibangunlah kembali bangunan aula, perpustakaan dan asrama santri. Kebangkitan Tremas sangat terasa dalam bidang pendidikan. Dalam bidang ini benar-benar dilakukan pembaruan menyeluruh dengan tetap mempertahankan nilai-nilai salafi. Secara lengkap, lembaga-lembaga pendidikan yang ada di lingkungan pondok Tremas yaitu Taman Pendidikan Anak-anak At Tarmasie, Taman Pendidikan Al Qur’an At Tarmasie, Madrasah Diniyah, Madrasah Salafiyah Tsanawiyah Massa’i putra, Madrasah Salafiyah Tsanawiyah Massa’i putri, Madrasah Salafiyah Tsanawiyah Shobahi putra, Madrasah Salafiyah Tsanawiyah Shobahi putri, Madrasah Salafiyah Aliyah shobahi putra, Madrasah Salafiyah Aliyah shobahi putri. Selain dalam bidang pendidikan madrasah, kebangkitannya juga terasa dengan semakin banyaknya pengajian-pengajian yang dilaksanakan oleh sang Kyai. Kegiatan pengembangan bakat dan kreatifitas santri tidak luput perhatian dari pengasuh pesantren. Seperti semakin lengkapnya koleksi kitab di perpustakaan, adanya kegiatan pramuka, Muhdloroh (latihan ceramah), Tazayyun (menghias kamar pondok), juga pembentukan organaisasi-organisasi santri daerah turut menyemarakkan kebangkitan pesantren ini. Akhirnya, ikhtiar mulia ini berhasil mengembalikan kejayaan At Tarmasie sebagai pesantren besar, kini jumlah santri di pondok termas mencapai 2500 santri. Hingga akhir hayatnya, KH Habib Dimyathi masih memikirkan dan memberikan wasiat kepda putra-putranya agar tetap mengembangkan pesantren ini. Beliau berpulang ke Rahmatullah pada hari Sabtu tanggal 18 September 1998 atau bertepatan dengan 24 Rabiul Awal 1419 H. Sebagaian besar masyayikh Tremas di makamkan di kompleks makam lembu yang berjarak kurang lebih 300 meter ke arah barat pesantren. Terletak di atas bukit kecil nan sepi. Sepeninggal beliau, Termas kini dipimpin KH Fuad Habib. ( sip / sip ) Minggu, 18/08/2013 17:25 WIB Sidogiri, Pesantren Berumur Hampir 3 Abad di Pasuruan Aji Setiawan - detikRamadan Jakarta - Pondok pesantren Sidogiri merupakan salah satu pesantren tertua di Pasuruan Jawa Timur. Pondok Pesantren Sidogiri didirikan tahun 1718 Sidogiri oleh seorang Sayyid dari Cirebon Jawa Barat bernama Sayyid Sulaiman. Pondok pesantren ini terletak di sebelah barat kota Pasuruan, tepatnya di desa Sidogiri Kecamatan Kraton Pasuruan Jawa Timur. Sayyid Sulaiman merupakan cucu dari Syarif Hidayatulloh (Sunan Gunung Jati) pada tahun 1745 M. Sistem pendidikan di pesantren ini menggunakan sistem pendidikan Klasikal & Sorogan. Rata-rata per tahun jumlah santri putra jumlahnya sebanyak 5063 dan putri 5137. Pondok pesantren ini ini juga menyelenggarakan sistem pendidikan madrasdah yakni Tipe A sebanyak : 79 madrasah (di Pasuruan) dan Tipe B sebanyak 34 madrasah (di luar Pasuruan). Terletak sekitar lima belas kilometer dari alun-alun kota Pasurun pesantren ini bisa dijangkau dengan naik angkutan umum yang menuju kecamatan Kraton. Sayyid Sulaiman adalah keturunan Rasulullah SAW dari marga Basyaiban. Ayahnya, Sayyid Abdurrahman, adalah seorang perantau dari negeri wali, Tarim Hadramaut, Yaman. Sedangkan ibunya, Syarifah Khodijah, adalah putri Sultan Hasanuddin bin Sunan Gunung Jati. Dengan demikian, dari garis ibu, Sayyid Sulaiman merupakan cucu Sunan Gunung Jati. Sayyid Sulaiman membabat dan mendirikan pondok pesantren di Sidogiri dengan dibantu oleh Kiai Aminullah. Kiai Aminullah adalah santri sekaligus menantu Sayyid Sulaiman yang berasal dari Pulau Bawean. Konon pembabatan Sidogiri dilakukan selama 40 hari. Saat itu Sidogiri masih berupa hutan belantara yang tak terjamah manusia dan dihuni oleh banyak makhluk halus. Sidogiri dipilih menjadi lokasi pondok pesantren karena diyakini tanahnya baik dan berbarakah. Terdapat dua versi tentang tahun berdirinya Pondok Pesantren Sidogiri yaitu 1718 atau 1745. Dalam suatu catatan yang ditulis Panca Warga tahun 1963 disebutkan bahwa Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan didirikan tahun 1718. Catatan itu ditandatangani oleh Almaghfurlahum KH Noerhasan Nawawie, KH Cholil Nawawie, dan KA Sa’doellah Nawawie pada 29 Oktober 1963. Dalam surat lain tahun 1971 yang ditandatangani oleh KA Sa’doellah Nawawie, tertulis bahwa tahun tersebut (1971) merupakan hari ulang tahun Pondok Pesantren Sidogiri yang ke-226. Dari sini disimpulkan bahwa Pondok Pesantren Sidogiri berdiri pada tahun 1745. Dalam kenyataannya, versi terakhir inilah yang dijadikan patokan hari ulang tahun/ikhtibar Pondok Pesantren Sidogiri setiap akhir tahun pelajaran. Selama beberapa masa, pengelolaan Pondok Pesantren Sidogiri dipegang oleh kiai yang menjadi Pengasuh saja. Kemudian pada masa kepengasuhan KH Cholil Nawawie, adik beliau KH Hasani Nawawie mengusulkan agar dibentuk wadah permusyawaratan keluarga, yang dapat membantu tugas-tugas Pengasuh. Setelah usul itu diterima dan disepakati, maka dibentuklah satu wadah yang diberi nama “Panca Warga”. Anggotanya adalah lima putra laki-laki KH Nawawie bin Noerhasan, yakni KH Noerhasan Nawawie (wafat 1967), KH Cholil Nawawie (wafat 1978), KH Siradj Nawawie (wafat 1988), KA Sa’doellah Nawawie (wafat 1972), KH Hasani Nawawie (wafat 2001). Dalam pernyataan bersamanya, kelima putra Kiai Nawawie ini merasa berkewajiban untuk melestarikan keberadaan Pondok Pesantren Sidogiri, dan merasa bertanggung jawab untuk mempertahankan asas dan ideologi Pondok Pesantren Sidogiri. Setelah tiga anggota Panca Warga wafat, KH Siradj Nawawie mempunyai gagasan untuk membentuk wadah baru. Maka dibentuklah organisasi pengganti yang diberi nama "Majelis Keluarga", dengan anggota terdiri dari cucu-cucu laki-laki KH Nawawie bin Noerhasan. Rais Majelis Keluarga pertama sekaligus Pengasuh adalah KH Abd Alim Abd Djalil. Sedangkan KH Siradj Nawawie dan KH Hasani Nawawie sebagai Penasehat. Anggota Majelis Keluarga saat ini adalah: KH A Nawawi Abd Djalil (Rais/Pengasuh), Nawawy Sadoellah (Katib dan Anggota), KH Fuad Noerhasan (Anggota), KH Abdullah Syaukat Siradj (Anggota), KH Abd Karim Thoyib (Anggota), H Bahruddin Thoyyib (Anggota). Keberadaan Panca Warga dan selanjutnya Majelis Keluarga, sangat membantu terhadap Pengasuh dalam mengambil kebijakan-kebijakan penting dalam mengelola Pondok Pesantren Sidogiri sehingga berkembang semakin maju. Tentang urutan Pengasuh, terdapat beberapa versi, sebab tidak tercatat pada masa lalu. Dalam catatan yang ditandatangani KH A Nawawi Abd Djalil pada 2007, urutan Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri sampai saat ini adalah: Sayyid Sulaiman (wafat 1766), KH Aminullah (wafat akhir 1700-an/awal 1800-an), KH Abu Dzarrin (wafat 1800-an), KH Mahalli (wafat 1800-an), KH Noerhasan bin Noerkhotim (wafat pertengahan 1800-an), KH Bahar bin Noerhasan (wafat awal 1920-an), KH Nawawie bin Noerhasan (wafat 1929), KH Abd Adzim bin Oerip (wafat 1959), KH Abd Djalil bin Fadlil (wafat 1947), KH Cholil Nawawie (wafat 1978), KH Abd Alim Abd Djalil (wafat 2005), KH A Nawawi Abd Djalil (2005-sekarang). Kegiatan santri di Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan (PPS) dibagi menjadi dua macam, yaitu kegiatan Ma’hadiyah dan kegiatan Madrasiyah. Kegiatan Ma’hadiyah adalah kegiatan yang harus diikuti seluruh santri yang mukim di PPS. Sedangkan kegiatan Madrasiyah adalah kegiatan yang harus diikuti seluruh santri yang mukim di PPS dan murid yang sekolah dari rumah walinya, sesuai dengan tingkatan madrasah masing-masing. Kegiatan Ma’hadiyah dimulai pukul 03.30 sampai pukul 00.00 waktu istiwa’, yang tentunya diselingi waktu istirahat. Jenis kegiatan Ma’hadiyah yang ditetapkan oleh Pengurus bermacam-macam, sesuai dengan tingkatan santri. Jenis kegiatan tersebut yakni Tahajud dan Witir Bersama. Setelah mandi/berwudhu, seluruh santri harus melaksanakan salat Tahajud dan Witir. Setelah itu, dilanjutkan dengan membaca Asma’ul Husna bersama, dengan dipimpin seorang santri yang ditunjuk. Kemudian dilanjutkan dengan membaca wirid-wirid mu’tabaroh, dipimpin Ubudiyah Daerah dan stafnya. Lepas salat witir berlanjut dengan salat subuh berjamaah. Salat berjamaah subuh ini bertempat di masjid bagi murid kelas VI Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan anggota Kuliah Syariah yang tidak bertugas di daerahnya. Sedangkan murid kelas I sampai V Ibtidaiyah dan murid Isti’dadiyah bertempat di Daerah. Lepas salat Subuh berjamaah para santri membaca Ratib Haddad. Jam belajar santri dibagi dua, pagi dan malam. Bertempat di Daerah. Yaitu pagi setelah salat subuh sampai dengan pukul 06.00, dan malam pukul 21.00 sampai dengan 22.00. Untuk jam belajar setelah subuh, pada hari-hari tertentu diisi pengajian kitab oleh Kepala Kamar masing-masing, dengan materi yang telah ditetapkan oleh Pengurus Daerah. Menjelang siang para santri kemudian bersiap melakukan Salat dhuhur berjamaah. Kegiatan ini untuk murid Ibtidaiyah dan Isti’dadiyah, dimulai pukul 12.20 sampai dengan 12.45. Bertempat di Daerah untuk kelas I sampai V, dan bertempat di masjid untuk kelas VI. Lepas matahari terbenam, dilakukan salat Maghrib berjamaah. Kegiatan ini bertempat di masjid untuk kelas VI Ibtidaiyah, murid Tsanawiyah, dan semua anggota Kuliah Syariah yang tidak bertugas di Daerah-nya. Usai salat maghrib berjamaah, para santri mengaji Alquran. Mengaji Alquran harus diikuti oleh seluruh santri selain kelas VI Ibtidaiyah dan III Tsanawiyah, setelah salat maghrib berjamaah. Kegiatan ini diselenggarakan setiap malam, selain malam Selasa dan malam Jumat. Untuk santri Ibtidaiyah dan Tsanawiyah dipandu oleh seorang mu’allim. Membaca salawat merupakan kegiatan santri dilaksanakan setiap malam untuk kelas VI Ibtidaiyah dan III Tsanawiyah, bertempat di masjid setelah pelaksanaan salat Maghrib berjamaah. Khusus malam Selasa, ditambah dengan kelas I dan II Tsanawiyah. Kegiatan baca shalawat pada malam Selasa juga dilaksanakan di Daerah, yang harus diikuti oleh kelas I sampai V Ibtidaiyah dan murid Isti’dadiyah. Setelah membaca shalawat pada malam Selasa itu, santri mendapat ceramah. Membaca Burdah dilakukan bergantian setiap malam, sesuai dengan urutan Daerah yang ditetapkan Pengurus. Pembacaan Burdah ini dilakukan dengan dua cara, Burdah keliling dan Burdah di Daerah. Burdah keliling dibaca sambil mengelilingi komplek pesantren oleh semua santri tingkat Tsanawiyah, yang berbaris dua-dua, sepuluh jejer dari depan membaca Ayat Kursi. Sedangkan Burdah di Daerah dibaca bersama di Daerah, dengan seorang pemandu yang telah ditunjuk oleh Pengurus. Kegiatan ini dilaksanakan pukul 23.30 sampai 00.00 malam, kecuali bagi Daerah J & I. Untuk Daerah J, pelaksanaannya setelah salat subuh berjamaah, bertempat di Daerah. Dan untuk Daerah I, pelaksanaannya setelah salat Tahajud dan Witir bersama, juga bertempat di Daerah. Membaca Diba’ dilaksanakan setiap malam Jumat, pukul 19.30 sampai 20.30 malam bertempat di masjid untuk anggota Kuliah Syariah yang tidak bertugas di Daerah. Sedangkan kegiatan ini dilakukan di Daerah untuk tingkat Isti’dadiyah, Ibtidaiyah, dan Tsanawiyah. Pembacaan Diba’ ini dipimpin oleh santri yang telah ditunjuk oleh Pengurus. Gerak Batin bertempat di masjid, diikuti seluruh santri sesuai urutan Daerah-nya. Waktunya sama dengan pembacaan Burdah, yaitu pukul 23.30 sampai 00.00 malam. Gerak batin ini diisi dengan membaca Munjiyat yang diakhiri dengan membaca Hizbul-Futuh. Ronda Malam hanya dilakukan oleh santri yang berada di tingkat Tsanawiyah, setiap malam empat anak dari setiap Daerah. Waktunya pukul 00.00 sampai 03.00, dengan cara berpindah-pindah dari satu pos jaga ke pos jaga yang lain. Olah raga diikuti semua santri, bertempat di lapangan PPS dengan dipimpin oleh seorang pemandu yang telah ditunjuk oleh pengurus. Waktu pelaksanaannya setelah salat subuh berjamaah, dengan mengikuti jadwal yang telah ditentukan untuk masing-masing Daerah, kecuali Daerah I. Untuk Daerah I, olahraganya juga dilaksanakan setelah salat subuh berjamaah, tapi bertempat di lapangan desa Sidogiri. Kegiatan Tahfizh Alquran dikhususkan bagi santri yang berminat menghafal Alquran, bertempat di Daerah A lantai dua. Tahfizh Alquran ini hanya diperuntukkan bagi tingkat Tsanawiyah ke atas. Untuk Ibtidaiyah dan Isti’dadiyah, hanya santri yang hafal al-Qur’an 10 juz lebih yang boleh masuk Tahfizh Alquran. Kegiatan ini berupa menyetor hafalan ke pembina setiap hari, pukul 06.00-07.30 pagi, setelah ashar sampai dengan pukul 17.00 sore, dan setelah salat isya sampai pukul 21.00 malam. Pada hari Selasa, mulai pukul 07.30 pagi sampai selesai menyetor ke wakil pembina. Pada hari Selasa pukul 08.00 sampai dengan 09.00 pagi, sedangkan hari Jumat pukul 10.00 sampai 11.30 siang takrar silang antar sesama anggota. Selain itu, latihan fashahah (kefasihan) dan murattal (membaca tartil) dilaksanakan setiap malam Selasa setelah salat Maghrib sampai Isya’. Kelas Madrasiyah masuk sekolahnya berbeda-beda sesuai dengan tingkatan madrasah, dan bertempat di ruang-ruang MMU yang telah ditentukan. Untuk tingkat Isti’dadiyah dilaksanakan pukul 07.30 sampai 10.50. Sedangkan tingkat Ibtidaiyah dilaksanakan pukul 07.30 sampai 12.10. Untuk tingkat Tsanawiyah dilaksanakan pukul 12.20 sampai dengan 17.00. Sedangkan tingkat Aliyah pukul 12.40 sampai 17.00. Mengaji al-Quran harus diikuti oleh seluruh murid LPPS (dari Luar Pondok Pesantren Sidogiri) pada waktu kegiatan olahraga madrasah, sesuai jadwal yang telah ditetapkan oleh pimpinan madrasah. Kursus Ilmu Jiwa dan Didaktik Metodik merupakan kegiatan ekstra kurikuler bagi murid Tsanawiyah pada malam-malam tertentu. Waktu pelaksanaannya pukul 21.00 sampai 22.00 malam, dengan jadwal dan tempat yang telah diatur oleh pimpinan madrasah. Kursus Ilmu Jiwa (Psikologi) untuk kelas II Tsanawiyah, sedangkan Didaktik Metodik (Ilmu Pendidikan) untuk kelas III Tsanawiyah. Olahraga dilaksanakan pada hari-hari tertentu, sesuai jadwal dari pimpinan madrasah. Kegiatan ini sama dengan masuk sekolah, karena dilaksanakan pada jam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar. Yaitu pada jam pertama untuk tingkat Ibtidaiyah, dan pada jam terakhir untuk tingkat Tsanawiyah dan Aliyah. Jenis olahraga bagi murid Ibtidaiyah dan Tsanawiyah adalah kasti, sedangkan bagi murid Aliyah adalah voli. Untuk pemantapan akidah Ahlusunah waljamaah Para calon guru tugas harus mengikuti pelatihan di Ponpes Sidogiri selama satu bulan biasanya selesai pada pertengahan setiap bulan Ramadan, itu artinya para calon Guru Tugas yang akan diberangkatkan pada pertengahan bulan Syawal tersebut ada beban tidak boleh pulang pada bulan Ramadan. Untuk menunjang kegiatan santri, dipondok pesantren ini juga tersedia fasilitas perpustakaan, balai pengobatan, warung koperasi, toko buku, warung makan, aula pesantren dan prasarana lain yang menunjang kegiatan para santri dalam menimba ilmu agama Islam. ( sip / sip )
Posted on: Mon, 19 Aug 2013 04:55:22 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015