BAB II Hukum TV ditinjau dari dampak yang - TopicsExpress



          

BAB II Hukum TV ditinjau dari dampak yang ditimbulkannya Merupakan hal yang diketahui bersama bahwa TV telah memberikan dampak negatif yang luar biasa pada manusia umumnya dan umat Islam pada khususnya. Mulai dari sisi aqidah, ibadah, akhlak sampai pada adat dan mu’amalah. Tidaklah ada seorang pun yang masih berakal sehat mengingkari kenyataan ini. Ibnul Qoyyim rahimahulloh mengatakan: القاعدة الثالثة: إذا أشكل على الناظر أو السالك حكم شيء؛ هل هو الإباحة أو التحريم فلينظر إلى مفسدته وثمرته وغايته, فإن كان مشتملا على مفسدة راجحة ظاهرة فإنه يستحيل على الشارع الأمر به أو إباحته, بل العلم بتحريمه من شرعه قطعي, ولا سيما إذا كان طريقا مفضيا إلى ما يغضب الله ورسوله موصلا إليه عن قرب…فهذا لا يشك في تحريمه أولو البصائر. “Kaedah ketiga: Jika seseorang kebingungan dalam menentukan hukum suatu perkara, apakah halal atau haram, maka lihatlah kerusakan dan buahnya serta hasil akhirnya. Jika perkara tersebut mengandung kerusakan yang lebih banyak dan jelas, maka tidaklah mungkin Dzat Pembuat syari’at memerintahkan atau membolehkannya. Bahkan dapat dipastikan bahwa hukumnya itu haram secara syar’i. Terlebih lagi jika perkara tersebut merupakan jalan yang menjerumuskan ke dalam perkara-perkara yang dimurkai oleh Alloh dan Rosul-Nya serta mengantarkan kepadanya dalam jangka pendek….maka orang-orang yang memiliki bashiroh (ilmu) tidaklah akan ragu bahwa perkara yang seperti ini haram hukumnya.” (Madarijussalikin: 1/496) Oleh karena itu marilah kita tengok sebentar dampak-dampak buruk yang ditimbulkan TV dan alat-alat sejenisnya, agar kita semakin yakin bahwa perkakas yang seperti ini tidaklah pantas bagi seorang muslim untuk memilikinya. Diantara dampak-dampak buruk itu adalah sebagai berikut: Pertama: Tersebarnya perkataan, tingkah laku dan gaya-gaya pakaian serta perayaan-perayaan orang kafir dan lain-lainnya di kalangan kaum muslimin melalui televisi dan peralatan yang sejenisnya, yang mengakibatkan lemahnya al-wala’ dan baro’ pada mayoritas muslimin, sebagaimana yang disaksikan bersama. Kedua: Tersebarnya gambar-gambar para wanita yang memfitnah di kalangan kaum muslimin yang hal ini telah mengakibatkan banyak sekali kerusakan akhlak pada generasi muda maupun tuanya. Di sisi lain para muslimah pun terpengaruh dengan gaya hidup para wanita kafir tersebut. Ketiga: Tersebarnya kisah-kisah percintaan, pencurian dan kejahatan yang memberikan dampak buruk pada tingkah laku kaum muslimin terutama generasi muda mereka. Keempat: Tersebarnya musik yang diharamkan oleh syari’ah. Kelima: Tersebarnya berbagai macam perkara yang melalaikan kaum muslimin dari kewajibannya. Sebagai contohnya sholat lima waktu, kalau sudah duduk di depan TV maka sholat pun terlupakan. Keenam: Jauhnya kaum muslimin dari ajaran agamanya. Sehingga mayoritas mereka hanya mengenal Islam sekedar warisan dari orang tua-orang tua mereka, dan sekedar tulisan yang ada di KTP. Hasbunalloh wa ni’mal Wakiil. Inilah secara global dampak-dampak yang ada. Selain itu masih banyak lagi dampak buruk lainnya yang disaksikan bersama, sehingga dengannya semakin kuat keyakinan kita bahwa televisi dan alat sejenisnya hukumnya haram menurut syari’ah Islamiyyah. Kemudian ketahuilah wahai saudaraku, bahwa TV beserta acara-acara yang ada di dalamnya tidaklah diciptakan untuk kemaslahatan kaum muslimin. Bahkan sebaliknya, semua itu didatangkan sebagai senjata dalam perang gaya baru mereka, yang dikenal sebagai ‘ghozwul fikri’ untuk melemahkan muslimin dan menjauhkan mereka dari agamanya. Sehingga dengannya kaum muslimin sibuk dalam kemaksiatan dan perkara-perkara yang Alloh murkai, yang dengan inilah kaum muslimin bisa dihancurkan. Semoga Alloh memberikan hidayah serta taufiq-Nya kepada kita semua untuk bisa mengetahui kebenaran dan memegangnya. Juga untuk bisa mengetahui kejelekan dan meninggalkannya. Fatwa-fatwa ulama Ahlussunnah seputar permasalahan ini Syaikh Al-Albaniy rahimahulloh ditanya: “Adanya televisi pada zaman ini di rumah-rumah, apakah halal atau haram?” Beliau menjawab: “Hal itu tidak boleh! Aku katakan kepada kalian, maukah salah seorang diantara kalian melihat TV? Jika mau silakan lihat, jika tidak mau terserah kalian, kalian boleh memilih!! Jika ada yang mau melihatnya, kabarkan kepadaku, apakah kebaikannya itu lebih banyak atau kejelekannya?” Si penanya mengatakan: “Kejelekannya tentu lebih banyak.” Beliau pun menjawab: “Jika demikian, tentunya tidak boleh dibiarkan di rumah.” (Kaset Adabul Majlis, dikutip dari ‘Al-Ijhaz’: 7) Beliau juga berkata pada majelis yang lain: “Barang tersebut tidak mungkin ada di rumah seorang muslim, kecuali digunakan untuk perkara-perkara yang diharamkan Alloh, karena dahsyatnya fitnah yang ditimbulkannya. Saya secara pribadi berkeyakinan bahwa televisi adalah alat yang paling dahsyat dan berbahaya fitnahnya serta paling banyak kerusakannya. Alat ini juga merupakan alat yang paling banyak melalaikan seorang muslim dari menunaikan kewajiban-kewajibannya.” (Kaset ke-42 dari ‘Silsilah Huda wan Nur‘) Syaikh Muqbil rahimahulloh mengatakan: “Di dalam TV juga ada pemikiran-pemikiran yang buruk dampaknya bagi keluarga. Kamu tidak tahu tiba-tiba istrimu merendahkanmu. Dari TV-lah anak-anak mengetahui bagaimana cara-cara mencuri. Aku dikabari bahwa seorang pencuri tertangkap. Dia berasal dari Thoif dan dikatakan kepadanya: “Bagaimana kamu melakukannya?” Dia menjawab: “Aku naik ke loteng dan masuk melalui jendela terus ke kamar mandi.” Orang-orang bertanya: “Dari mana kamu tahu hal seperti itu?” Dia menjawab: “Aku melihat mereka melakukan yang seperti itu di TV.” Jadi pencuri ini mengetahui cara-cara mencuri dari TV. (Al-Mushoro’ah: 204) BAB III Hukum Menonton Televisi Setelah kita ketahui bahwa gambar yang ada di layar TV itu haram, mungkin seseorang berkata bahwa yang diharamkan adalah pembuatan ‘shuroh’, adapun melihat ‘shuroh’ yang telah ada tidaklah mengapa. Si pembuat ‘shuroh’-lah yang berdosa bukan orang yang menonton dan menikmati hasilnya. Ketahuilah -semoga Alloh memberikan hidayah kepada kita semua- bahwa hukum-hukum yang berkenaan dengan permasalahan ‘shuroh’ terbagi menjadi dua: Pertama; hukum yang berkaitan dengan pembuatannya, maka sangatlah jelas bahwa perbuatan ini adalah dosa besar sebagaimana telah lalu penjelasannya. Kedua; hukum yang berkenaan dengan penggunaan ‘shuroh’, baik itu dengan menyimpannya atau menontonnya, maka hal ini hukumnya adalah haram berdasarkan dalil-dalil berikut ini: Penjelasan Rosululloh Shallallahu ‘alayhi wa sallam bahwa adanya ‘shuroh’ menghalangi datangnya malaikat. Rosululloh Shallallahu ‘alayhi wa sallam sangat marah ketika melihat ‘shuroh’ di rumah beliau. Rosululloh Shallallahu ‘alayhi wa sallam menyobek ‘shuroh’ dengan penuh marah. Rosululloh Shallallahu ‘alayhi wa sallam memerintahkan untuk menghapus semua ‘shuroh’ . Rosululloh Shallallahu ‘alayhi wa sallam memperingatkan dengan keras dari ‘shuroh’. Hadits-hadits yang menunjukkan hal tersebut telah lewat pada pembahasan terdahulu yang dengan semua ini sangatlah jelas bahwa memasukkan ‘shuroh’ ataupun TV dan alat-alat yang semisalnya merupakan bentuk penyelisihan terhadap dalil-dalil tersebut. Adapun perkataan mereka bahwa yang melihat shuroh itu tidak berdosa sangatlah jelas kebatilannya. Sebab Rosululloh Shallallahu ‘alayhi wa sallam telah memerintahkan untuk menghapus semua ‘shuroh’ yang didapati sebagaimana hadits: «أن لاَ تَدَعَ صُورَةً إلاَّ طَمَسْتَهَا ، وَلاَ قَبْراً مُشْرفاً إلاَّ سَوَّيْتَهُ». “Janganlah kau tinggalkan satu gambar pun kecuali kau hapus, dan jangan kau biarkan satu pun kuburan yang ditinggikan, (melebihi kadar yag ditentukan syareat) kecuali kau ratakan”. (HR. Muslim dari ‘Ali bin Abi Tholib) Dari hadits ini jelas bahwa menghapus shuroh yang dilihat adalah suatu kewajiban. Jika seseorang melihat dan membiarkannya serta menyetujui keberadaannya berarti telah meninggalkan perintah ini yang dia berdosa karenanya. Fatwa-fatwa ulama Ahlussunnah seputar permasalahan ini: Syaikh Abdul ‘Aziz Ar-Rojihi hafidzhahulloh berkata: «والراضي كالفاعل، من رضي بالصورة، حكمه حكم الفاعل». “Dan orang yang ridho (terhadap suatu perkara atau perbuatan, hukumnya) seperti orang yang melakukannya. Siapa saja yang ridho dengan ‘shuroh’ hukumnya hukum pembuatnya”. (Fatwa-fatwa Syaikh Ar Rojihi: 1 / 343) Syaikh Al-Albani rahimahulloh berkata: “Barang tersebut tidak mungkin ada di rumah seorang muslim, kecuali digunakan untuk perkara-perkara yang diharamkan Alloh, karena dahsyatnya fitnah yang ditimbulkannya. Saya secara pribadi berkeyakinan bahwa televisi adalah alat yang paling dahsyat dan berbahaya fitnahnya serta paling banyak kerusakannya. Alat ini juga merupakan alat yang paling banyak melalaikan seorang muslim dari menunaikan kewajiban-kewajibannya.” (Kaset ke-42 dari ‘Silsilah Huda wan Nur‘) Syaikh Muqbil Al-Wadi’i rahimahulloh ditanya: “Apa hukum mempergunakan TV dan menontonnya untuk mengetahui berita?” Beliau menjawab: “Tidak boleh, karena adanya shuroh. Juga karena perkara-perkara yang ada di dalamnya, yang berupa kerusakan dan kefasikan serta adanya pembelajaran cara-cara mencuri. Nabi ص telah mengatakan: «لا تدخل الملائكة بيتًا فيه كلب ولا صورة». “Malaikat tidak akan masuk rumah yang ada di dalamnya anjing dan gambar makhluk yang bernyawa” Ketika beliau ingin masuk ke kamar ‘Aisyah dan mendapatinya kain penutup yang ada gambarnya, beliau berkata: « إِنَّ مِنْ أَشَدِّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الَّذِينَ يُصَوِّرُونَ هَذِهِ الصُّوَرِ » “Sesungguhnya diantara manusia yang paling keras adzabnya pada hari kiamat adalah orang-orang yang menggambar gambar-gambar ini”. Kemudian beliau menyobek kain tersebut. Dan telah diriwayatkan di Shohihain dari Abu Huroiroh ت bahwa Rosululloh Shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda: «يقول اللهُ تَعَالَى: وَمَنْ أظْلَمُ مِمَّنْ ذَهَبَ يَخْلُقُ كَخَلْقِي؟! فَلْيَخْلُقُوا ذَرَّةً أوْ لِيَخْلُقُوا حَبَّةً، أوْ لِيَخْلُقُوا شَعِيرَةً ». متفق عليه . “Alloh berfirman: Adakah yang lebih dzolim dari orang yang coba-coba menciptakan (makhluk) seperti yang Aku ciptakan?! (Kalau memang bisa) ciptakanlah semut atau biji-bijian atau ciptakanlah gandum!!” Dengan TV, laki-laki (yang menonton tentu) akan melihat perempuan ketika perempuan tadi menyampaikan berita, padahal Alloh telah berfirman: قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka.” (QS. An Nuur:30) Atau jika penyiarnya laki-laki, maka perempuanlah yang melihatnya. Alloh telah berfirman: وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ “Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya.” (QS. An Nuur:30) Sesungguhnya sangatlah mungkin bagi seseorang untuk membeli radio dan mendengarkan berita dengannya. Alhamdulillah.” (Tuhfatul Mujib: 270) BAB IV Hukum Perkara-perkara yang Berhubungan dengan TV (1) Hukum sandiwara dan film Islami. Sebenarnya, jika penjelasan yang terdahulu telah difahami, tentu seseorang akan sangat mudah menentukan hukum dalam permasalahan ini. Akan tetapi terkadang sebagian manusia terkecoh dengan embel-embel ‘Islami’ yang diletakkan untuk mengaburkan hakekat permasalahan yang sesungguhnya. Demikian pula dengan sandiwara dan film atau perkara lain yang sejenisnya seperti; opera, drama, dan sinetron, dan lain-lain. Ketika ditambah label Islam padanya, seakan-akan semua kebatilan yang ada tertutup dan menjadi sesuatu yang indah. Bahkan sebagian orang mengatakannya sebagai alat untuk berdakwah. Oleh karena itu, marilah kita melihat dengan kacamata syar’i hukum permasalahan ini: Pertama: Dilihat dari Sejarah Munculnya Sandiwara. Asal sandiwara atau drama dari orang-orang Nashrani dan para penyembah berhala, baik dalam kemunculannya yang awal maupun kemunculannya pada periode terakhir ini. Adapun kemunculannya yang pertama kali, sandiwara berasal dari orang Yunani penyembah berhala. Kemudian diadopsi oleh orang-orang Nashrani dan dijadikan sebagai acara tersendiri dalam peribadatan di gereja-gereja mereka. Setelah itu sandiwara ini pun tersebar di kalangan manusia dan diterima oleh umat-umat yang lain. Adapun pada periode pertumbuhannya di masa terakhir ini, sandiwara muncul pertama kali di Eropa, kemudian sampai ke pangkuan kaum muslimin melalui perantara seorang Nashrani dari Lebanon bernama Maron Nicos. Dialah orang yang pertama kali membuat sandiwara dengan bahasa Arab pada tahun 1840 H. Akhirnya manusia pun berebutan menyambutnya dan tersebarlah sandiwara di kalangan kaum muslimin. Wallohul musta’an. (At-Tamtsil, Haqiqotuhu, Tarikhuhu, hukmuhu: 18) Jika kita telah tahu bahwa sandiwara ini berasal dari orang kafir, bararti pengadopsiannya merupakan tasyabbuh terhadap mereka. Padahal Rosululloh Shallallahu ‘alayhi wa sallam telah bersabda: « مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ« “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan kaum tersebut.” (HR. Abu Dawud dari ‘Abdullah bin ‘Umar ب dan disahihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Shohihul Jami’: 2831) Syaikhul Islam rahimahulloh berkata: “Hadits ini menunjukkan bahwa kemungkinan terkecil dari hukum tasyabbuh adalah haram, walaupun secara dhohirnya menunjukkan kafirnya orang-orang yang tasyabbuh kepada orang-orang kafir. Sebagaimana firman Alloh: وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ “Barangsiapa diantara kalian memberikan loyalitas (wala’) kepada mereka (orang-oramg Yahudi dan Nashrani), maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.” (QS. Al Maidah: 51). (Iqtidho’ Shirothol Mustaqim: 1/83) Ibnu Katsir rahimahulloh berkata: “Pada hadits ini terdapat dalil tentang pelarangan keras dan kecaman serta ancaman dari perbuatan menyerupai orang-orang kafir (tasyabbuh) baik itu dalam perkataan, tingkah laku, pakaian, hari raya, dan cara peribadatan mereka serta perkara-perkara lainnya yang tidak disyari’atkan kepada kita dan tidak disetujui keberadaanya (dalam agama kita).” (Tafsir Ibnu Katsir). Kedua: Dilihat dari Kemungkaran yang Ada Pada Sandiwara dan Film atau Acara-acara Lainnya yang Sejenis. Adanya ikhthilath (campur baur) antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahrom. Padahal perkara ini sangat jelas larangannya dalam syari’at Islam. Pada sandiwara atau yang sejenis dengannya terdapat kedustaan yang nyata. Sebab seseorang menyatakan dirinya sebagai suami si A, yang lain sebagai istri si B padahal bukan. Atau yang lainnya mengisahkan tentang seseorang bahwa dia melakukan ini dan itu, padahal tidak. Bahkan kebanyakan dari cerita itu adalah kisah-kisah khayalan yang sama sekali tidak ada wujudnya di alam nyata. Ini semua adalah kedustaan yang diharamkan oleh Islam walaupun sekedar ‘main-main’. Terlebih lagi jika serius. Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, bahwa dia berkata: «إِنَّ الْكَذِبَ لَا يَصْلُحُ مِنْهُ جِدٌّ وَلَا هَزْلٌ, وَإِنَّ مُحَمَّدًا ص قَالَ لَنَا: «لَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ الله صِدِّيقًا وَلَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ الله كَذَّابًا». “Sesungguhnya berdusta itu tidak boleh, baik itu dalam keadaan bersungguh-sungguh atau sekedar main-main. Sesungguhnya aku mendengar Muhammad ص berkata: “Seseorang akan senantiasa berkata jujur sampai ditulis di sisi Alloh sebagai orang jujur, dan seseorang senantiasa berdusta sampai ditulis di sisi Alloh sebagai pendusta.” (HR. Ahmad dengan lafadz ini dan asal haditsnya ada di Shohihain. Hadits ini dishahihkan Syaikh Al-albani dalam ‘Adh-Dho’ifah: 13/ 709) Apabila kisah yang ditampilkan itu benar-benar terjadi, maka muncul kemungkaran lain yang berupa ghibah, sebagaimana sabda Rosululloh Shallallahu ‘alayhi wa sallam: «أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ ؟» قالوا: اللهُ وَرَسُولُهُ أعْلَمُ، قَالَ: «ذِكْرُكَ أخَاكَ بِما يَكْرَهُ» قِيلَ: أفَرَأيْتَ إنْ كَانَ في أخِي مَا أقُولُ؟ قَالَ: «إنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ ، فقد اغْتَبْتَهُ ، وإنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ بَهَتَّهُ». “Tahukah kalian apa ghibah itu?” Para shahabat menjawab: “Alloh dan Rosul-Nya-lah yang mengetahuinya.” Beliau berkata lagi: “Ghibah adalah menyebutkan saudara kalian dengan perkara-perkara yang tidak dia sukai.” Dikatakan pada beliau: “Lalu bagaimana jika yang dikatakan itu benar-benar ada pada saudaraku?” Beliau menjawab: “Jika yang kamu katakan memang ada padanya, itulah yang disebut ghibah. Adapun jika tidak ada, berarti engkau telah berdusta atas namanya.” (HR. Muslim: 2579 dari abu Huroiroh radhiyAllohu ‘anhu) Rosululloh Shallallahu ‘alayhi wa sallam juga telah bersabda dalam hadits ‘Aisyah ketika ‘Aisyah menceritakan perbuatan seseorang dan menirukan gerak-geriknya. Beliau bersabda: «مَا أُحِبُّ أنِّي حَكَيْتُ إنْساناً وإنَّ لِي كَذَا وَكَذَا» “Aku tidaklah suka untuk menirukan gerak-gerik seseorang bahwa aku ini begini dan begitu.” (HR. Abu Dawud dan dishohihkan Syaikh Muqbil dalam Ash-Shohihul Musnad: 1594) Apabila dalam sandiwara atau film tersebut diperagakan perbuatan-perbuatan yang haram atau bahkan perbuatan kekafiran seperti menyembah raja atau berhala, maka ini adalah perbuatan yang sangat terlarang. Bahkan bisa sampai ke derajat kekafiran. Sebab sandiwara atau film bukanlah perkara yang seseorang diberikan udzur untuk melakukan perbuatan-perbuatan haram tersebut. Inilah hakekat yang ada pada sandiwara atau drama atau sebutan-sebutan lainnya yang semakna. Kemungkaran tersebut akan semakin besar bila adegan demi adegan yang ada difoto dengan kamera video sehingga menjadi film. Sebab selain kemungkaran yang tersebut di atas, juga terkena dalil-dalil yang melarang shuroh sebagaimana yang telah lalu penjelasannya. Dan pembahasan kita adalah tentang sandiwara atau film-film yang dikatakan Islami, yang kemungkarannya tentu masih jauh lebih ringan daripada film-film lainnya yang sudah tidak terikat lagi dengan tatanan kemanusiaan. Janganlah terperdaya dengan embel-embel Islami yang ada padanya, sebab Islam tidaklah mengenal sandiwara dan Islam berlepas diri darinya. Jika seseorang atau kelompok tertentu menjadikannya sebagai sarana dakwah, maka dengannya ada tambahan satu kemungkaran besar yang Rosululloh Shallallahu ‘alayhi wa sallam berulang kali memperingatkan umat darinya dalam khutbah-khutbah beliau. Beliau bersabda: «أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى الله, وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا, فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا, فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ, تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ, وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ» “Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Alloh dan mendengar serta patuh walaupun yang memimpin kalian adalah seorang budak dari negeri Habasyah (Ethiopia). Sesungguhnya barangsiapa yang hidup dari kalian nanti, akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah khulafa’ur-roshidun al-mahdiyun. Gigitlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian. Berhati-hatilah dengan perkara-perkara yang diada-adakan karena seluruh perkara yang diada-adakan (dalam agama) adalah bid’ah, dan semua bid’ah itu sesat” (HR. Tirmidzi dari ‘Irbadh bin Sariyah dan dihasankan oleh Syaikh Muqbil dalam As-Shohihul-Musnad : 921). Imam Asy-Syathiby t mengatakan: “Setiap perkara agama yang tidak ada pada masa para salafush sholih tidaklah termasuk bagian dari agama ini, karena mereka lebih bersemangat dalam kebaikan daripada orang-orang yang datang kemudian. Kalaulah dalam perkara-perkara bid’ah itu ada kebaikan niscaya mereka akan melakukannya. Alloh subhanahu wa ta’ala telah berfirman: ﴿الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ﴾ [المائدة:3] “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian.” [Fatwa Asy-Syathiby hal. 250] (2) Hukum gambar dan film kartun. Para pengikut hawa nafsu memang tidak pernah lelah dalam usaha menjauhkan muslimin dari agamanya. Setelah banyak yang terjatuh dalam jeratan mereka melalui film-film yang tidak lagi terikat dengan etika dan norma-norma yang ada, merekapun ingin agar anak-anak kaum muslimin jatuh dan rusak seperti mereka. Diantara bentuk usaha mereka adalah dengan diciptakannya film kartun yang secara lahirnya sekedar hiburan, namun di balik itu ada kemungkaran yang sangat besar. Namun anehnya, ‘senjata penghancur generasi muda ini‘ malah disambut dengan gembira bahkan sebagian kelompok menganggapnya sebagai sarana untuk mendidik anak-anak dan diberikan padanya lebel Islami. Sebagai seorang muslim sudah sepatutnya untuk mengetahui hukum syar’i perkara ini sehingga tidak terkecoh dengan orasi para penipu berwajah da’i. Berikut ini penjelasan tentang film kartun ini secara terperinci: Gambar dan film kartun masuk dalam hukum shuroh yang telah jelas pada pembahasan terdahulu keharamannya. Gambar dan film kartun masuk dalam keumuman hukum film, bahkan lebih parah. Sebab ada padanya unsur pelecehan terhadap makhluk ciptaan Alloh yang saya kira tidak ada seorang pun ridho untuk digambar dengan model kartun. Fatwa-fatwa ulama Ahlussunnah seputar permasalahan ini: Al-lajnah Ad-Da’imah lilbuhuts wal Ifta’ (Lembaga Penelitian Ilmiah dan Fatwa) telah ditanya mengenai permasalahan ini yang bunyinya sebagai berikut: “Apa hukum menyaksikan dan membeli ‘film-film kartun Islami’? Film tersebut menampilkan kisah-kisah yang bermanfaat bagi anak-anak seperti penganjuran untuk berbakti kepada orang tua, jujur, amanah dan pentingnya sholat serta ajaran-ajaran lainnya. Film ini ditujukan sebagai pengganti televisi yang kemungkarannya telah merata. Akan tetapi yang menimbulkan kerancuan adalah adanya gambar-gambar manusia serta hewan yang digambar dengan tangan. Apakah yang seperti ini boleh untuk disaksikan?” Setelah melalui penelitian yang dilakukan oleh lembaga ini, mereka menjawab: “Tidak boleh melakukan penjualan maupun pembelian serta penggunaan film-film kartun, dikarenakan adanya gambar-gambar yang haram padanya. Pendidikan anak-anak hendaknya dilakukan dengan cara yang syar’i berupa pengajaran dan pemberian adab serta memerintahkan mereka untuk sholat dan mengasuhnya dengan cara yang bijaksana. Semoga Alloh memberikan taufiq-Nya kepada kita semua.” (Ketua: Abdul Aziz bin Abdulloh bin Bazz, wakil: Abdul Aziz Alu Syaikh, anggota: Sholeh Fauzan dan Bakr bin Abdulloh Abu Zaid. Fatwa no. 19933, tertanggal: 9-11-1418). (3) Hukum Jual Beli TV. Merupakan kaedah yang tetap bahwa jika suatu perkara telah diharamkan dalam syari’at ini maka penjualan dan pembeliannya pun haram. Hal ini sebagaimana yang disampaikan Rosululloh Shallallahu ‘alayhi wa sallam dalam sabdanya ketika seseorang ingin menjual khomr: «إِنَّ الَّذِيْ حَرَّمَ شُرْبَهَا حَرّمَ بَيْعَهَا» “Sesungguhnya Dzat yang mengharamkan untuk meminumnya juga mengharamkan penjualannya.” (HR. Muslim dari Ibnu Abbas ب) Dalam riwayat yang lain Beliau bersabda: «وَإِنَّ اللهَ إِذَا حَرَّمَ عَلَى قَوْمٍ شَيْئًا، حَرَّمَ عَلَيْهِمْ ثَمَنَهُ « “Sesungguhnya Alloh jika mengharamkan sesuatu kepada suatu kaum, (Alloh juga) mengharamkan harganya.” (HR. Abu Dawud dari Ibnu Abbas ب dan dishohihkan oleh Syaikh muqbil dalam Ash-Shohihul Musnad: 650) Jika kita telah tahu kaedah ini tentu kita akan tahu bahwa penjualan dan pembelian TV adalah haram. Fatwa-fatwa ulama Ahlussunnah seputar permasalahan ini: Syaikh Al-Albaniy rahimahulloh ditanya tentang hukum menjual TV. Beliau menjawab: “Bagiku jawabannya sangatlah jelas bahwa hal itu tidak boleh, karena dengannya dia berarti telah membantu si pembeli untuk melakukan perusakan di muka bumi. Ditambah lagi bahwa alat apa saja yang dilarang penggunaannya secara syar’i, maka dilarang pula penjualannya. Solusi satu-satunya adalah dihancurkan dan dipecahkan. Jika seseorang mengatakan: “Berarti dengan ini kita telah menyia-nyiakan harta?!” Beliau menjawab lagi: “Barang tersebut tidak mungkin ada di rumah seorang muslim, kecuali digunakan untuk perkara-perkara yang diharamkan Alloh, karena dahsyatnya fitnah yang ditimbulkannya. Saya secara pribadi berkeyakinan bahwa televisi adalah alat yang paling dahsyat dan berbahaya fitnahnya serta paling banyak kerusakannya. Alat ini juga merupakan alat yang paling banyak melalaikan seorang muslim dari menunaikan kewajiban-kewajibannya.” (Kaset ke-42 dari ‘Silsilah Huda wan Nur‘) Al-lajnah Ad-Da’imah lilbuhuts wal Ifta’ (Lembaga Penelitian Ilmiah dan Fatwa) telah ditanya mengenai permasalahan ini yang bunyinya sebagai berikut: “Saya seorang pemilik toko video yang menjual dan menyewakan kaset-kaset film barat, india, dan arab. Semua film-film tersebut menampilkan tontonan yang di dalamnya para wanita yang tidak berhijab, bahkan sebagiannya mirip telanjang. Demikian pula campur baur antara laki-laki dan perempuan. Bahkan terkadang dipertontonkan seorang laki-laki mencium perempuan. Juga ada musik, nyanyian dan taria-tarian para wanita di dalamnya…serta lain-lainnya dari film-film yang menampilkan kekerasan dan kejahatan yang juga tidak lepas dari hal-hal yang tersebut di atas. Pada suatu hari datang seorang pemuda yang mustaqim dan mengabariku bahwa pekerjaanku ini tidak boleh dan haram. Dia juga mengatakan bahwa dengan sebab pekerjaanku ini aku telah menghancurkan agama dan aqidah serta uang hasil dari usahaku ini adalah uang haram. Dia berkata: “Kamu wajib untuk meninggalkan usahamu ini!” Kemudian dia pergi. Ketika aku pulang ke rumah aku tetapkan untuk menulis surat kepada kalian, sebab kalian adalah sebaik-baik orang yang kupercayai. Dan karena saya tahu dari segenap manusia bahwa engkau adalah imam yang paling berilmu pada zaman ini. Oleh karena itu saya berharap agar kalian segera memberikan fatwa kepadaku tentang permasalahan ini, karena saat ini saya terus-menerus dalam keadaan resah. Semoga Alloh menjaga kalian semua dari segala perkara yang diharamkan Alloh. Jawab: “Apa-apa yang dikatakan oleh pemuda yang menasehatimu itu benar. Wajib bagimu untuk meninggalkan segala perkara yang diharamkan Alloh Ta’ala. وبالله التوفيق، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم. (Ketua: Abdul Aziz bin Abdulloh bin Bazz, wakil: ‘Abdurrozzaq ‘Afifi, anggota: ‘Abdulloh bin Ghudayyan. Fatwa no. 13914). (4) Hukum berdakwah dengan TV. Dakwah merupakan ibadah yang sangat dianjurkan dalam Islam. Oleh karena itu merupakan suatu yang mustahil jika Alloh dan Rosul-Nya tidak menjelaskan perkara yang penting ini kepada umatnya. Sehingga tidaklah mungkin terluputkan dari bimbingan Rosululloh Shallallahu ‘alayhi wa sallam penjelasan mengenai bagaimana cara dakwah yang benar. Secara garis besar cara dakwah yang syar’i terbagi menjadi dua: Pertama; cara dakwah yang disyariatkan baik secara asalnya maupun sifatnya. Cara inilah yang ditempuh oleh para nabi dan para shohabat dalam berdakwah kepada Alloh yang berupa jihad dan kajian serta penulisan surat-surat. Demikian pula khutbah dan yang sejenisnya. Kedua; cara dakwah yang secara jenisnya disyariatkan walaupun dari sisi sifatnya tidak ada penjelasan yang tegas dari syariat, seperti dakwah dengan mengarang kitab-kitab dan tulisan-tulisan atau yang sejenisnya. Adapun cara dakwah yang keluar dari kedua jenis ini, maka sudah dipastikan bahwa cara tersebut tidaklah disyariatkan atau dengan kata lain bid’ah. Terlebih lagi jika cara tersebut mengandung kemungkaran dan mengakibatkan kerusakan yang besar, tentunya syari’at yang mulia ini tidak akan mungkin mengijinkannya. Fatwa-fatwa ulama Ahlussunnah seputar permasalahan ini: Syaikh Ibnu Bazz rahimahulloh ditanya: “Apa hukum pengajaran memandikan mayit dan mengkafaninya melalui video?” Beliau menjawab: “Pengajaran itu hendaknya dengan selain video, karena adanya hadits-hadits yang banyak dan shohih tentang larangan untuk menggambar makhluk yang bernyawa dan hadits-hadits yang berisi laknat bagi orang-orang yang menggambar makhluk bernyawa.” (Asilah Al-Jam’iyah Al-Khoiriyah bi Syaqro’) Syaikh Muqbil rahimahulloh ditanya: “Apa batasan-batasan diperbolehkan masuknya seorang da’i dalam televisi, apakah hal itu hukumnya haram secara mutlak?” Beliau menjawab: “Apakah seseorang mampu untuk mengatakan semua yang dia inginkan di TV?! Ataukah jika engkau mengatakan perkataan yang menyelisihi hawa nafsu orang-orang yang berkecimpung dalam perpolitikan maka mereka tidak akan menyebarkannya?! Permasalahannya bukanlah masalah ‘menurutku perkara ini baik’, bukan pula (kembali) pada pemikiran (manusia). Sebab di TV itu ada gambar-gambar makhluk yang bernyawa. Rosululloh Shallallahu ‘alayhi wa sallam telah bersabda: «لا تدخل الملائكة بيتًا فيه كلب ولا صورة». “Malaikat tidak akan masuk rumah yang ada di dalamnya anjing dan gambar makhluk yang bernyawa” Di TV (seorang laki-laki) akan melihat perempuan, dan perempuanpun melihat laki-laki, padahal Rosululloh Shallallahu ‘alayhi wa sallam telah bersabda: « كُتِبَ عَلَى ابْن آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَا مُدْرِكُ ذَلِكَ لا مَحَالَةَ: العَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ، وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِناهُ الكَلاَمُ، وَاليَدُ زِنَاهَا البَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الخُطَا، والقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى، وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الفَرْجُ أَوْ يُكَذِّبُهُ ». “Telah ditulis pada anak Adam bagian zina padanya, dia tidak boleh tidak pasti akan mendapatkannya. Kedua mata zinanya dengan melihat, kedua telinga zinanya dengan mendengar, lisan zinanya dengan berbicara, tangan zinanya dengan menyentuh, kaki zinanya dengan berjalan, dan hati itu berkeinginan serta berangan-angan, dan kemaluannyalah yang akan membenarkan atau mendustakannya”. (Muttafaqun’alaih, dan ini adalah lafadz Muslim) Keberkahan itu berasal dari Alloh, terkadang sekelumit kalimat yang disampaikan dalam majelis kecil, Alloh jadikan bermanfaat bagi para hamba dan negara-negara. Tersebar sampai amerika, inggris dan Negara-negara lainnya. (Dan sebaliknya) betapa banyak kalimat yang diulang-ulang melalui media-media massa tetapi akhirnya hanyalah (seperti) ‘dengungan pasar’ tidak ada buahnya! Dan tidak ada faidahnya!! «فنحن مأمورون بالاستقامة، وألا نرتكب المعاصي من أجل إصلاح غيرنا» Kita diperintahkan untuk istiqomah dan diperintahkan untuk tidak melakukan kemungkaran demi memperbaiki orang lain: وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ “Hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS Ali Imron: 104) Kenapa mereka tidak menyampaikannya lewat siaran radio saja, dan berbicara pada (siaran) itu apa-apa yang ingin dikatakannya di TV?! Yang disayangkan adalah adanya sebagian ulama yang ikut saja dengan kemauan masyarakat dan mengekor di belakang mereka. Sesuatu yang halal adalah yang dihalalkan masyarakat, dan haram adalah yang diharamkan masyarakat. Maka wajib bagi para ulama agar jangan meninggalkan ilmu untuk kejahilan, dan sunnah untuk bid’ah.” [Tuhfatulmujib: 202] Syaikh Sholeh Al-Fauzan rahimahulloh ditanya: “Apa hukum menggunakan video dan sinema serta peralatan lainnya sebagai sarana pendidikan untuk menyampaikan pelajaran-pelajaran syar’i seperti fiqih, tafsir dan yang lainnya? Apakah yang demikian ini ada larangannya secara syar’i?” Beliau menjawab: “Yang saya ketahui, perkara yang demikian itu tidak boleh. Sebab, semua itu pasti berhubungan dengan masalah menggambar makhluk bernyawa, padahal perbuatan ini hukumnya haram. Di samping itu, tidak ada unsur darurat yang mengharuskan seseorang untuk melanggar larangan itu.” (Al-Muntaqo: 513) Al-lajnah Ad-da’imah lilbuhuts wal Ifta’ (Lembaga Penelitian Ilmiah dan Fatwa) telah ditanya: Tentang hokum dakwah melalui majalah-majalah dengan menyebarkan foto-foto orang yang sholat atau wudhu atau foto anak-anak yang sedang membaca Al-Qur’an sehingga menimbulkan ketertarikan manusia untuk mempelajari Islam. Jawab: “Foto (gambar) makhluk yang bernyawa hukumnya haram, baik itu gambar manusia atau hewan-hewan. Sama saja apakah gambar itu gambar orang yang sedang sholat atau membaca Qur’an atau yang lainnya. Sebab, telah tetap pengharamannya berdasarkan hadits-hadits yang shohih. Oleh karena itu, tidak boleh menyebarkan gambar-gambar (foto-foto) makhluk yang bernyawa di koran-koran, majalah atau tulisan-tulisan lainnya. Walaupun itu gambar kaum muslimin, orang-orang yang sedang berwudhu atau sedang sholat dengan tujuan untuk menyebarkan Islam dan mendorong agar mau mempelajari dan masuk Islam. Sebab, tidak boleh mengambil perkara-perkara yang haram sebagai sarana untuk menyampaikan dan menyebarkan Islam. Sarana-sarana dakwah yang syar’i itu banyak, tidak boleh kita meninggalkannya dan mencari cara lain yang diharamkan Alloh. Adapun adanya ‘shuroh’ di negeri-negeri Islam bukanlah hujjah yang menunjukkan bolehnya hal tersebut. Bahkan itu merupakan kemungkaran berdasarkan dalil-dalil shohih yang seharusnya diingkari.” وبالله التوفيق. وصلى الله على نبينا محمد، وآله وصحبه وسلم. (Ketua: Abdul Aziz bin Abdulloh bin Bazz, wakil: ‘Abdurrozzaq ‘Afifi, anggota: ‘Abdulloh bin Ghudayyan dan Abdullah Qu’ud. Fatwa no. 2955). PERINGATAN !! Sebagian orang berdalil tentang bolehnya foto dan bolehnya berdakwah lewat TV dengan munculnya para ulama Sunnah di layar kaca. Hal ini telah dibantah oleh Syaikh Ibnu Baz rahimahulloh dalam fatwa beliau: “Munculnya gambarku bukanlah dalil bahwa aku membolehkannya. Bukan pula dalil bahwa aku ridho dengan perbuatan tersebut. Sebab, sesungguhnya aku tidaklah tahu kalau mereka itu memotretku!” (Fatwa Al lajnah: 1 / 460)
Posted on: Tue, 30 Jul 2013 09:36:53 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015