BI diantara Bank Bali,BLBI dan Century.. Dalam tiga periode - TopicsExpress



          

BI diantara Bank Bali,BLBI dan Century.. Dalam tiga periode kepemimpinan terakhir BI diselimuti skandal korupsi. Menariknya, kasus-kasus mereka terungkap di saat suksesi. Sebagai bank sentral, Bank Indonesia memiliki kewenangan lebih (independensi). Meski begitu, bukan berarti BI memiliki kewenangan tanpa batas. Dalam pelbagai aktivitas BI masih dikontrol dan diawasi DPR, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), khususnya sepak terjang sang gubernur. Sejak lahir pada 1 Juli 1953, BI telah memiliki 12 gubernur. Sejak awal hingga 1965, ada enam gubernur, dari Sjafruddin Prawira Negara sampai T Jusuf Muda Dalam. Memasuki Orde Baru, Radius Prawiro adalah Gubernur BI pertama (1966- 1973). Tentu banyak kisahkisah yang tercecer dari semua gubernur tersebut.Tragisnya, dalam tiga rezim terakhir para gubernurnya diterpa berbagai dugaan korupsi. Berawal dari krisis moneter 1998, Bank Sentral harus direpotkan untuk menyuntik dana karena banyaknya bank yang dilikuidasi. Di sini,bank sentral memberikan skema bantuan (pinjaman) kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia/ BLBI). Skema ini dilakukan berdasarkan perjanjian Indonesia dengan IMF dalam mengatasi masalah krisis. BPK yang memiliki kewenangan mengaudit mendapat kejanggalan dalam program ini. Hasil audit penggunaan dana BLBI terhadap 48 bank ditemukan indikasi penyimpangan sebesar Rp138 triliun. Beberapa pejabat teras dianggap bertanggung jawab atas penyelewengan dana oleh para penerimanya.Gubernur BI saat itu, Sudrajad Djiwandono, dianggap bertanggung jawab dalam pengucuran BLBI.Pada 30 Mei 2002,Kejaksaan Agung (Kejagung) resmi menetapkan Soedrajad, Gubernur BI periode 1993-1998 sebagai tersangka kasus BLBI. Dia diduga merugikan negara Rp19 triliun. Meski sudah menyeret sejumlah pejabat teras BI, namun kasus ini hingga kini tetap misteri (baca: Skandal Penuh Misteri). Itu berarti Soedradjad adalah gubernur “gudang duit” yang bermarkas di Jalan Thamrin itu. Kasus ini secara tidak langsung mengguncang pasar. Di tengah perjalanan proses kasus ini, BI kembali diguncang kasus skandal Bank Bali.Bak bola salju yang terus menggelinding,kasus ini pun melibatkan Gubernur BI saat itu, Syahril Sabirin (menjabat 1998-2003). Skandal Bank Bali ini sempat menyeret namanama pejabat negara seperti Ketua DPA AA Baramuli, Menteri Negara (Meneg) BUMN Tanri Abeng, dan Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Subianto. Kasus ini mencuat ketika Bank Bali tidak melakukan penangihan piutang tiga bank nasional yang sebagian besar jatuh tempo pada pertengahan 1998.Ketiga bank nasional itu tak lain Bank Umum Nasional (BUN),Bank Bira, dan Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI). Tagihan timbul dari transaksi money market, SWAP, dan pembelian promissory notes.Tagihan pada BDNI (belum dihitung bunga) Rp428,25 miliar dan USD45 juta dan tagihan ke BUN senilai Rp200 miliar.Kemudian BI menyampaikan secara tertulis kepada tim pemberesan BDNI tentang penolakan untuk memproses lebih lanjut klaim Bank Bali dengan alasan klaim belum didaftar dan terlambat mengajukan klaim, satu klaim tidak terdaftar, dan satu klaim ditolak karena tidak termasuk dalam jenis kewajiban yang dijamin (transaksi forward-sell) senilai Rp1,131 miliar. Dengan alasan kebutuhan dana yang mendesak senilai Rp900 miliar, Bank Bali melakukan transaksi cessie (perjanjian pengalihan hak tagih piutang) dengan PT Era Giat Prima (EGP).Perjanjian itu ditujukan untuk mencairkan piutang Bank Bali di tiga bank tersebut senilai Rp3 triliun.Namun,yang bisa dicairkan oleh EGP (setelah diverifikasi BPPN) hanya sebesar Rp904 miliar dari nilai transaksi Rp1,27 triliun (di BDNI). Di sinilah kemudian letak kejanggalan transaksi ini. Kasus ini selain menyeret sejumlah pejabat negara, juga melibatkan beberapa pengusaha nasional.Tiga tersangka utama dalam kasus ini Djoko Sugiarto Tjandra (pemilik PT Era Giat Prima pada saat itu),Pande Lubis (Wakil Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional pada saat itu), dan Syahril Sabirin yang akhirnya terganjal untuk menjabat gubernur pada periode berikutnya. Kasus ini sebenarnya satu mata rantai yang tak terpisahkan dengan kasus BLBI. Pada 26 Januari 1998, pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Presiden No 26/1998 tentang pemberian jaminan atas kewajiban pembayaran bank umum.Keputusan ini diterbitkan dengan tujuan mengatasi krisis kepercayaan terhadap perbankan akibat likuidasi bank pada 1997. Tiga bank yang memiliki kewajiban pada Bank Bali tersebut berhak menerima jaminan yang diberikan oleh SK ini jika pada saat jatuh tempo mereka tidak mampu menyelesaikan pembayaran utang mereka kepada Bank Bali. Untuk menguatkan dan penjelasan tentang petunjuk pelaksanaan penjaminan, maka diterbitkan Surat Keputusan Bersama BPPN dan BI, Nomor 1/BPPN/1998 dan No 30 /270/KEP/DIR pada tertanggal 8 Maret 1998. Dengan perangkat aturan ini bank umum memiliki keleluasaan sangat besar untuk melakukan peminjaman dalam jumlah besar karena pemerintah akan menjamin kewajibannya. Namun, keleluasaan itu justru dijadikan celah tindak pidana korupsi. Beralihnya tongkat estafet kepemimpinan BI dari Syahril Sabirin ke Burhanuddin Abdullan memberi harapan kepada publik terhadap bank sentral untuk menjalankan independensinya dengan baik. Dunia perbankan pun diharapkan bangkit kembali setelah dihantam krisis moneter. Burhanuddin juga diserahi tanggung jawab berat menjaga inflasi, mengawasi sistem perbankan, sistem pembayaran nasional, dan menjaga nilai tukar rupiah. Kasuskasus yang menimpa bank nasional pun diharapkan bisa diminimalisasi sehingga kepercayaan masyarakat terhadap dunia perbankan tetap tinggi. “Selama lima tahun menjabat sebagai Gubernur BI saya telah merasakan suka dukanya bekerja sama dengan empat presiden, lima menteri koordinator bidang perekonomian, dan tujuh menteri keuangan. Dengan pengalaman tersebut rasanya tidaklah berlebihan apabila saya menyimpulkan bahwa kurangnya komitmen kepada kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi atau kelompok dalam beberapa waktu telah menjadi salah satu faktor penyebab utama lambatnya proses pemulihan ekonomi Indonesia dari krisis yang berkepanjangan ini,” itulah harapan Syahril kepada Burhanuddin menjelang berakhirnya masa jabatan. Namun malang, di tengah gejolak pasar akibat resesi Amerika Serikat (AS), BI kembali digoyang kasus korupsi. KPK menetapkan Burhanuddin Abdullah sebagai tersangka dalam kasus aliran dana BI ke DPR, bersama mantan Kepala Biro Gubernur BI Rusli Simanjuntak yang saat ini menjabat Kepala Cabang BI Surabaya,dan Deputi Direktur Hukum BI Oey Hoey Tiong. Kredibilitas bank sentral pun kembali dipertanyakan publik. Lagi-lagi, kasus ini merupakan buntut dari kasus BLBI yang tak kunjung selesai. Dalam hal ini, BI terindikasi menyerahkan Rp31,5 miliar sebagai dana diseminasi kepada panitia perbankan Komisi IX DPR periode 2003. Dana itu diberikan untuk penyelesaian masalah BLBI dan pembahasan amendemen UU No 23/1999 tentang BI. Pemberian dana ini didasarkan pada rapat Dewan Gubernur BI pada 3 Juni 2003 yang meminta YPPI – yayasan di bawah BI – untuk mengeluarkan dana sebesar Rp100 miliar. Pengeluaran dana itu, sesuai notulensi rapat,sudah disetujui Dewan Gubernur BI seperti Aulia Pohan, Bun Bunan Hutapea, dan Aslim Tadjuddin. “Pada waktu itu ada masalah penting, yaitu BI dinyatakan disclaimer oleh BPK.Kemudian, bertepatan dengan itu ada UU BI yang harus diamendemen.Banyak juga UU yang harus diteliti karena takut overlappingsatu sama lain. Pada waktu di DPR,dikatakan bahwa tidak bisa dibicarakan dalam rapat pleno, ini harus dibentuk komite yang dilakukan di luar pleno. Artinya ada kegiatan- kegiatan bagaimana supaya tidak disclamer,”jelas Mantan Deputi Bank Indonesia Aulia Pohan. Kasus yang menimpa Burhanuddin tampaknya menguatkan asumsi yang menyebutkan skandal tak akan pernah lepas dari tubuh bank sentral atau menjadi sebuah tradisi di saat akan terjadi pergantian pucuk pimpinan di sana.
Posted on: Wed, 28 Aug 2013 12:00:58 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015