Bagi orang Muslim, Qur’an adalah perkataan Tuhan yang kekal, - TopicsExpress



          

Bagi orang Muslim, Qur’an adalah perkataan Tuhan yang kekal, wahyu terakhir-Nya yang diberikan kepada nabi orang Muslim, yaitu Muhammad. Qur’an adalah kitab suci orang Muslim dan mereka mempercayainya sebagai sumber otoritas yang final. Qur’an dipandang sebagai sumber dari agama yang benar dan juga sumber pengetahuan. Orang Muslim percaya bahwa Qur’an yang ditulis dalam bahasa Arab adalah replika yang persis sama dengan loh batu yang disimpan di surga yang telah ada bersama Tuhan sejak mulanya. Oleh karena itu mereka mengatakan bahwa Qur’an “tidak diciptakan” dan kekal. Mereka percaya bahwa Qur’an diwahyukan kepada Muhammad dalam kurun waktu 23 tahun oleh malaikat Jibril kata per kata dengan sempurna dari loh yang ada di surga. Dalam Qur’an sendiri nampaknya ada pernyataan-pernyataan yang berkontradiksi, tapi berdasarkan “doktrin pembatalan” ayat-ayat atau sura-sura yang muncul belakangan menggantikan ayat-ayat dan sura-sura yang telah ada terlebih dahulu, dan disini terlihat adanya inkonsistensi. Pengajaran Islam tidak hanya berasal dari Qur’an tapi juga dari Hadith. Kumpulan Hadith atau tradisi-tradisi, mencatat perkataan dan perbuatan Muhammad. Harus diperhatikan bahwa perkataan Hadith tidak selalu merupakan perkataan Muhammad tetapi bagaimana orang-orang yang disebut sebagai “para Sahabat Nabi” memahami hal itu, atau apa yang dikatakan dan dilakkan orang pada jaman itu. Penting sekali untuk memeriksa identitas “Sahabat Nabi” yang mengatakannya dan dalam keadaan bagaimana hal itu dikatakan, demikian pula orang-orang yang meneruskan tradisi itu. Juga ada permasalahan mengenai otentisitas tradisi tersebut, apakah tradisi itu lemah, palsu atau otentik. Ketika Qur’an dan tradisi-tradisi bungkam mengenai sesuatu hal, aturan-aturan ditetapkan melalui konsensus para pemimpin religius (ijma) dan melalui penalaran analog (qiyas). Kombinasi Qur’an, Hadith, ijma dan qiyas telah digunakan oleh para sarjana Islam untuk menciptakan sebuah susunan hukum dan regulasi yang dikenal dengan Syariah atau Hukum Islam. Apakah yang dimaksud dengan kesetaraan? Kesetaraan adalah penerimaan/pengakuan bahwa martabat kedua jender (pria dan wanita) adalah sama/setara, termasuk hak yang sama baik bagi pria maupun wanita dalam bidang sosial, ekonomi, politik dan hukum. Keduanya harus mempunyai hak yang sama untuk membangun sebuah pernikahan atau memutuskan ikatan pernikahan, membeli atau menyingkirkan properti, dan memilih pekerjaan/profesi mereka masing-masing. Pria dan wanita harus setara memikul tanggung-jawab dan juga dalam mendapatkan kebebasan. Hal yang mendasar dalam kekristenan adalah bahwa pria dan wanita setara (duduk sama rendah, berdiri sama tinggi) di hadapan Tuhan. Apa yang dikatakan Islam mengenai kesetaraan wanita? Orang Muslim percaya bahwa Qur’an, tanpa ada keraguan sedikitpun, mengajarkan kesetaraan antara pria dan wanita. Mereka mengatakan bahwa tidak pernah ada pertikaian mengenai hal ini: pria dan wanita adalah setara. Sura-sura atau ayat-ayat Qur’an yang mereka kutip adalah sebagai berikut: Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Islam percaya bahwa ayat ini menunjukkan bahwa yang satu tidak lebih superior dari yang lain, karena baik pria maupun wanita berasal dari satu, dan oleh karena itu menikmati status yang setara. Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan... Islam percaya bahwa ayat ini berarti pria dan wanita itu setara. Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam... Orang Muslim berkata bahwa “anak-anak Adam” berarti baik pria maupun wanita sama dihormati tanpa adanya pembedaan antara kedua jender. Melalui ketiga ayat ini orang Muslim mengklaim tanpa ragu bahwa Qur’an mengajarkan pria dan wanita itu setara. Namun demikian kesetaraan secara teoritis ini tidak terlihat dalam prakteknya. Beberapa sarjana Muslim telah mengakui hal ini dan mengatakan bahwa ketiga ayat yang menegaskan soal kesetaraan ini tidak dilakukan, dan bahwa sangatlah penting untuk mempunyai pemahaman yang menyeluruh mengenai keadaan buruk yang dialami wanita. Banyak hak yang diberikan oleh Islam kepada wanita dalam prakteknya telah diabaikan, sehingga hal itu harus dipulihkan bagi mereka. 40 Semua kutipan dari Qur’an kecuali yang dinyatakan berasal dari Mohammad Marmaduke Picktall (trans.), The Meaning of the Glorious Qur’an. 41 Ibid., Sura 4:1. 42 Ibid., Sura 49:13. 43 Ibid., Sura 17:70. 44 Murtada Mutahhari, The Rights of Women in Islam (Tehran: World Organization for Islamic Services, 1981), p. 126. Kesetaraan juga dijelaskan melalui argumen lain, yaitu bahwa pria dan wanita adalah setara tetapi mereka masing-masing mempunyai tugas dan fungsi yang berbeda sehubungan kondisi biologis mereka. Pria dipandang sebagai kaum yang secara fisik lebih kuat, sedangkan kondisi biologis wanita menjadikannya pengurus rumah-tangga yang baik.45 Ini sebenarnya mengatakan bahwa peran seorang wanita dibatasi oleh karena kondisi biologisnya dan oleh karena itu ia hanya mampu mengerjakan pekerjaan rumah-tangga. Di Inggris, perjuangan mendapatkan hak-hak wanita selama bertahun-tahun dan dua kali perang dunia telah menyingkirkan argumentasi yang diskriminatif ini, namun gemanya masih dapat terdengar hingga sekarang. Di dalam Islam, pandangan ini sangat ditentang oleh para wanita seperti Wadud-Muhsin yang mempertanyakan nilai-nilai yang dikenakan kepada wanita, yaitu bahwa wanita itu lemah, rendah, pada dasarnya jahat, kurang cerdas dan kurang rohani, menjadikan mereka tidak cocok/ pantas untuk melakukan tugas-tugas tertentu atau berfungsi dalam berbagai cara ditengah masyarakat. Pada kenyataannya mereka telah dibatasi sehingga hanya dapat menjalankan fungsi fungsi yang sesuai dengan keadaan biologis mereka. Ia merasa bahwa peran seorang wanita sangatlah dibatasi oleh karena adanya prasangka akan peran yang seharusnya dijalani seorang wanita. Nilai-nilai ini mengatakan bahwa wanita adalah kaum yang rendah derajatnya, memalukan sehingga memberikannya posisi yang rendah dalam masyarakat. Status religius wanita dalam Islam Qur’an berkata: Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar. Orang Muslim menunjukkan bahwa ayat ini secara langsung menyebut wanita sebanyak 10 kali, yang membuktikan bahwa wanita dapat mencapai kedudukan yang sama dengan pria dan dengan demikian menyimpulkan bahwa dalam Qur’an wanita berdiri pada tingkatan spiritual yang sama. Ayat ini “memberikan sebuah pernyataan yang jelas mengenai identitas absolut kondisi moral manusia dan 45 Abdul-Ghaffar Hasan, The Rights and Duties of Women in Islam (London: Al-Qur’an Society, 1992), p.5. 46 Amina Wadud-Muhsin, Qur’an and Women, (Kuala Lumpur: Penerbit Fajar Bakti Sdn Bhd, 1992), p. 7. 47 Qur’an, Sura 33:35 kewajiban-kewajiban moral dan spiritual yang sama bagi semua manusia tanpa memandang jenis kelamin. Kehadiran ayat-ayat seperti ini dalam Qur’an “menjelaskan mengapa kaum wanita Muslim seringkali berkeras, bahkan ngotot, mengatakan kepada orang non-Muslim bahwa Islam tidak memandang jender. Mereka mendengar dan membaca dalam kitab suci mereka, secara sah, sebuah pesan yang berbeda dari apa yang didengar oleh para pembuat dan penganjur Islam yang ortodoks dan androsentris. Namun demikian, sangatlah mudah untuk hanya melihat ayat-ayat tertentu dalam Qur’an dan tiba pada posisi bahwa Qur’an mengajarkan bahwa pria dan wanita setara baik dalam posisi dan status religius. Banyak orang Muslim yang percaya bahwa Qur’an memang mengajarkan kesetaraan, walaupun mereka mengakui bahwa kesetaraan tidak eksis di dunia nyata. Namun demikian sebelum kita tiba pada sebuah kesimpulan, kita harus melihat ayat-ayat lain dalam Qur’an dan Hadith dan mempertimbangkan bukti yang ada dengan sepenuhnya. Takdir wanita dalam kekekalan Dalam Hadith dikatakan: Pada suatu ketika Rasul Allah berkata kepada sekelompok wanita, “Hai perempuan! Berikanlah sedekah, karena aku telah melihat bahwa kebanyakan penghuni neraka adalah kalian (para wanita)”. Mereka bertanya, “Mengapakah demikian wahai Rasul Allah?” Ia menjawab, “Kalian sering mengutuk dan tidak berterimakasih kepada suami-suami kalian. Aku belum pernah melihat siapapun yang kurang cerdas dan kurang beragamanya daripada kamu. Seorang laki-laki yang waras dan berhati-hati dapat disesatkan oleh beberapa diantara kalian”. Para wanita itu bertanya, “Wahai Rasul Allah! Apakah yang kurang dalam kecerdasan dan beragama kami?” Ia berkata, “Bukankah kesaksian dua wanita setara dengan kesaksian seorang pria?” Mereka mengiyakannya. Ia berkata, “Inilah kurang cerdasnya kamu. Bukankah benar bahwa seorang wanita tidak dapat berdoa dan juga tidak dapat berpuasa selama ia datang bulan?” para wanita itu mengiyakannya. Ia berkata, “Inilah kekurangannya dalam beragama”. Hadith ini dianggap asli dan otentik dan dilaporkan oleh Al Bukhari dan Muslim, dua kumpulan Hadith yang dipandang paling sahih. Keduanya tidak diperdebatkan dan digunakan oleh para sarjana terkemuka. Sekali lagi sebuah Hadith yang lainnya mengatakan: 48 Leila Ahmed, Women and Gender in Islam, (New Haven, CT: Yale University Press, 1992), p. 65 49 Ibid., p. 66 50 Sahih Al Bukhari in The Alim (Silver Spring, Maryland: ISL Software Corp, 1986-1999), Hadith 1:301. Nabi berkata, “Aku melihat ke surga dan menemukan bahwa kebanyakan penghuninya adalah orang miskin, dan aku melihat ke dalam api (neraka) dan menemukan bahwa kebanyakan penghuninya adalah perempuan”. Ada 7 referansi lain oleh Al Bukhari dalam Hadith mengenai neraka yang dipenuhi wanita. Ini adalah perkataan-perkataan yang tidak main-main karena sumbernya dapat dipercaya dan dikuatkan oleh banyaknya jumlah kemunculannya. Pertanyaannya adalah bagaimana seorang wanita dapat masuk ke dalam surga? Seorang istri harus sungguh-sungguh taat kepada suaminya yang menunjukkan kesalehannya dan menjamin takdirnya dalam kekekalan. Jika ia menyusahkan dan membuat suaminya cemas maka ia tidak akan dapat menjadi istrinya di surga. Kemudian para perawan bermata jernih (houris) akan menjadi pendamping bagi suaminya. Suaminya adalah surganya atau nerakanya. Suami sangat ditinggikan dibandingkan wanita/istrinya bahkan ia ditempatkan pada tingkat ilahi. Tanggapan/ sikap istrinya kepadanya harus menunjukkan sikap beribadah kepadanya. Ini terlihat dalam Hadith berikut ini ketika Muhammad berkata, “Jika aku harus memerintahkan seseorang untuk bersujud di hadapan sesamanya, aku akan memerintahkan perempuan untuk bersujud di hadapan suaminya, karena hak istimewa atas mereka diberikan kepada para suami oleh Allah”. Para istri orang-orang yang benar dan taat akan mendampingi suami-suami mereka di surga. Para wanita di surga harus tunduk, berserah, berkerudung dan dipisahkan dari kaum pria dalam harem-harem di surga, dalam diam menyaksikan para suami mereka bercinta dengan para houris yang cantik di surga. Pria adalah tuannya di bumi, dan ia juga akan tunduk padanya di surga selamanya. Dalam keseluruhan teks dalam Qur’an tidak satu ayat pun yang menunjukkan bahwa wanita akan diperlakukan dengan setara di surga. Seksualitas pria diakui, diberlakukan dan ditegaskan oleh Kitab Suci Muslim, tetapi kebutuhan wanita secara total diabaikan. Beberapa deskripsi mengenai surga antara lain “orangorang muda yang tidak akan mati” yang melayani para suami untuk minum anggur, tidak ada tanda-tanda bahwa wanita diberikan kebebasan seksual yang sama dengan orang-orang muda ini seperti halnya para suami diijinkan untuk berhubungan dengan para houris. Para wanita di surga harus setia kepada suami suami mereka sebagaimana mereka setia pada waktu masih di dunia. Dalam Qur’an dikatakan: 51 Ibid., Hadith 8:456. 52 Ibid., Hadith 1:28, 2:161, 2:541, 4:464, 7:124, 7:125, 7:126, 8:555. 53 P Newton & M Haqq, Women in Islam (Warley: TMFMT, 1993), p. 13. 54 Sunan Abu-Dawood, Hadith 876 diceritakan oleh Qays ibn Sa’d 55 Hekmat, Women and the Koran, p. 90. Mereka dan istri-istri mereka berada dalam tempat yang teduh, bertelekan di atas dipan-dipan. Mengapa wanita masuk neraka? Dalam Hadith dikatakan, “Aku juga melihat api neraka dan belum pernah kulihat pemandangan yang sangat mengerikan seperti itu. Aku melihat bahwa kebanyakan penghuninya adalah perempuan”. Orang-orang bertanya, “Wahai Rasul Allah! Mengapakah demikian?” nabi menjawab, “karena mereka tidak berterima-kasih”. Ia ditanyai apakah mereka tidak berterima-kasih kepada Allah. Nabi menjawab, “Mereka tidak berterima-kasih kepada teman hidupnya (para suami) dan tidak bersyukur atas perbuatanperbuatan baik”. Jika kita memperhatikan semua ayat mengenai takdir kekal, muncullah bukti yang mengatakan bahwa kecuali seorang wanita taat dan bersyukur kepada suaminya pada saat menjelang ajal, maka ia akan masuk neraka. Semua kesalehannya akan dianggap tidak berguna jika ia tidak menaati suaminya. Sangatlah menarik jika memperhatikan bahwa tidak ada cerita mengenai wanita-wanita yang menjadi martir yang masuk ke surga, atau tentang wanita yang melajang. Wanita dianggap kurang cerdas Hadith yang dikutip di awal pembahasan ini menyatakan bahwa wanita adalah kaum yang kurang cerdas, dan juga kurang beragama. Seorang penulis feminis Muslim wanita mengemukakan bahwa jika pria lebih superior daripada wanita dalam hal kekuatan fisik dan kecerdasan, itu karena pria terlibat dalam aktifitasaktifitas pekerjaan yang mengharuskan mereka menggunakan otak mereka dan tubuh mereka dan oleh karena itu mereka dapat mengembangkan otak dan tubuh mereka itu. Wanita telah disingkirkan dari semua kesempatan dan dipaksa untuk menempati posisi yang lebih rendah. Nampaknya sudah menjadi pandangan yang berurat-berakar selama berabadabad bahwa wanita tidak secerdas pria. Wanita kurang bersyukur Ini terekspresi dalam Hadith dari Bukhari 56 Qur’an, Sura 36:56 57 Sahih Al Bukhari, Hadith 161:2 58 Amin Qasim, The Liberation of Women (New York: The American University in Cairo Press, 1992), p. 11. Para wanita tidak berterima-kasih kepada suami-suami mereka atas kebaikan dan perbuatan amal yang dilakukan terhadap mereka. Jika kamu selalu berbuat kebajikan kepada salah-seorang diantara mereka dan kemudian ia melihat sesuatu dalam dirimu (yang tidak disukainya), ia akan berkata, “Aku tidak pernah menerima kebaikan apapun darimu”. Kekurangan wanita dalam kecerdasan, agama dan ucapan syukur menghalanginya dari bertukar pikiran mengenai hal-hal sekuler atau sakral atau berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan religius. Superioritas kaum pria Qur’an berkata: Laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita)... Atau menurut terjemahan Dawood: Laki-laki mempunyai otoritas atas wanita karena Allah telah menjadikan yang satu lebih superior dari yang lainnya. Kita melihat Qur’an dengan jelas menyatakan disini bahwa pria lebih superior dari wanita karena mereka telah diberikan otoritas atas wanita. Para teolog Muslim nampaknya telah berurusan dengan prasangka sosial pada waktu itu berkenaan dengan kaum wanita dipandang lebih rendah daripada pria dan bahkan menunjukkan penghinaan terhadap mereka. Ini terlihat dalam jumlah yang banyak dalam literatur Hadith, dimana wanita digambarkan sebagai sumber kejahatan dan nafsu yang akan menjerumuskan pria ke dalam neraka. Prasangkaprasangka sosial nampaknya telah memainkan peranan yang penting dalam narasi-narasi pribadi. Tradisi yang diturunkan dari satu narator kepada narator lainnya dalam kurun waktu yang panjang dipengaruhi oleh distorsi prasangka sosial dan juga distorsi memori. Beberapa wanita Muslim percaya bahwa posisi wanita dalam Qur’an telah salah ditafsirkan oleh prasangka kaum pria. Wadud-Muhsin mengatakan bahwa kebanyakan pria Muslim pernah mendengar, atau bahkan percaya, bahwa wanita “inferior” dan “tidak setara” dengan pria. Prasangka dan sikap itu diantara para pria Muslim tidak hanya mempengaruhi posisi wanita dalam masyarakat Muslim tapi juga mempengaruhi penafsiran posisi wanita dalam Qur’an.62 59 Sahih Al Bukhari, Hadith 1:28 60 Qur’an, Sura 4:34. 61.N.J. Dawood (trans.) The Koran (Harmondsworth: Penguin, 1983), Sura 4:34. 62 Wadud-Muhsin, Qur’an and Women, p. 7.30 Sebuah contoh mengenai seorang penulis yang mendemonstrasikan prasangka seperti itu adalah Nadvi, yang mengatakan bahwa tidak ada orang yang waras yang dapat menyangkali fakta bahwa pria, oleh karena kemampuan-kemampuan bawaan lahirnya, lebih superior dari wanita dalam banyak hal. Ia mengklaim bahwa pengetahuan pada masa kini juga mendukung pandangan mengenai superioritas pria, oleh karena telah ditemukan bahwa volume otak pria lebih besar daripada wanita, yang diyakininya menunjukkan bahwa pria lebih superior daripada wanita dalam hal kecerdasan dan juga kedewasaan. Wanita adalah ‘Aurat (ketelanjangan) Ensiklopedia Islam mendefinisikan kata aurat sebagai organ kelamin bagian luar atau dapat juga berarti cela, titik kelemahan atau noda. Dalam teks Islam kata itu berarti bagian dari tubuh yang harus ditutupi. Dalam sebuah Hadith yang otentik, Muhammad berkata, “Wanita adalah “aurat”. Ketika ia keluar (rumah) setan menyambutnya.” Seluruh tubuh wanita dipandang sebagai aurat (yaitu ketelanjangan suaminya atau anggota keluarga pria). Ibn Taymiyya bahkan mengemukakan bahwa kuku jari seorang wanita adalah aurat. Hadith ini telah digunakan untuk meyakinkan jutaan wanita di seluruh dunia untuk menutupi tubuh mereka. Hadith lainnya menyatakan, Wanita mempunyai sepuluh “aurat”. Ketika ia menikah suaminya menutupi satu, dan ketika ia meninggal kubur menutupi yang sepuluh itu. Tubuh wanita dianggap sebagai hal yang diingini, oleh karena itu ketika seorang wanita meninggalkan rumah ia menjadi tidak berdaya dan rentan bagi mata pria. Ini menurunkan kesalehan pria dan menjadikan mereka rawan terhadap godaan. Sebuah Hadith lainnya mengemukakan bahwa ketika seorang pria melihat wanita datang mendekat, wanita itu datang dalam wujud setan. Ini adalah tanda-tanda superioritas dan kontrol kaum pria. Pendisiplinan wanita Qur’an berkata: Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah wanita yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. 63 Mohammed Zafeeruddin Nadvi, Modesty and Chastity in Islam (Kuwait: Islamic Book Publishers, 1982), p. 160. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Ayat di atas diwahyukan sehubungan dengan seorang wanita yang mengeluh kepada Muhammad bahwa suaminya telah menampar wajahnya (bekas tamparan itu masih terlihat). Pada mulanya Muhammad mengatakan padanya untuk membalas suaminya itu, kemudian ia menambahkan, “Tunggu sampai aku memikirkannya”. Kemudian ayat itu diwahyukan setelah Muhammad berkata, “Kita menginginkan suatu hal namun Allah menghendaki yang lain, dan apa yang dikehendaki Allah adalah yang terbaik”. Ayat ini mengijinkan pemukulan terhadap istri. Pria bertanggung-jawab untuk menasehati istrinya, berhak untuk merendahkan seksualitasnya melalui pisah ranjang, berhak untuk memukulinya untuk mengoreksi sikap pemberontakan apapun. Desersi seksual adalah obat untuk pemberontakan wanita dan untuk menghina harga dirinya. Kata “pemberontakan” disini berhubungan dengan ketidaktaatan dalam bentuk apapun dari pihak wanita, bukan semata-mata penolakan untuk berhubungan seks. Jika seorang wanita menolak untuk tidur dengan suaminya atau tidak menaati perintahnya, pertama-tama ia akan dinasehati, dan kemudian pria itu diijinkan Allah untuk memukuli istrinya. Istri seorang Muslim harus selalu siap untuk datang ke tempat tidur dan memuaskan hasrat seksual suaminya, jika tidak ia akan dipukuli suaminya dan dikutuk malaikat-malaikat Allah, yang diijinkan untuk melihat secara dekat urusanurusan seksual sepasang manusia.66 Muhammad (dikutip) pernah mengatakan, “Jika seorang pria mengajak istrinya untuk tidur dengannya dan ia menolak untuk datang kepadanya, maka para malaikat akan mengirim kutuk padanya hingga pagi hari”. Hasrat seksual seorang pria dipandang sangat mendesak sehingga lebih baik membiarkan makanan di oven menjadi gosong daripada membiarkan hasrat seorang pria tidak dipenuhi. “Ketika seorang pria memanggil istrinya untuk memuaskan hasratnya maka ia harus pergi kepadanya sekalipun ia sedang sibuk di depan oven”.68 “Ketika seorang pria memanggil istrinya ke tempat tidurnya, dan ia menolak, Dia yang ada di surga akan menjadi marah kepadanya hingga ia (suaminya) disenangkan olehnya”.69 64 Qur’an, Sura 4:34. 65 Nadvi, Modesty and Chastity, p. 160. 66 Hekmat, Women and the Koran, p. 215. 67 Sahih Al-Bukhari, Hadith 121:7. 68 Sahih, Al-Tirmidhi, Hadith 959. 69 Qortobi, mengomentari Qur’an 30:21. Pemukulan terhadap istri biasa dilakukan pada masa Muhammad, dan beberapa Muslim mengklaim bahwa ini merefleksikan kondisi sosial pada jaman itu. Beberapa sarjana mengatakan bahwa ayat ini harus ditafsirkan secara berbeda dalam konteks masa kini. Oleh karena ayat ini diwahyukan dalam suatu konteks sosiologis tertentu mereka mengklaim ayat itu harus dilihat menurut konteks itu dan tidak bersifat normatif untuk segala masa. Kesulitannya ialah bahwa para ahli hukum Muslim melihat ayat ini bersifat normatif dan tidak dapat diubah. Apa yang kita lihat dalam prakteknya adalah bahwa pemukulan terhadap istri dianggap telah ditetapkan dalam Qur’an. Seperti yang dikatakan oleh seorang sarjana Muslim “Ada kejahatan dan kelemahan dalam diri wanita. Diplomasi dan kekerasan adalah obat untuk kejahatan dan kelembutan adalah obat untuk kelemahan”. Kekurangan wanita sebagai saksi Dalam Qur’an dikatakan: ...Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu. Jika tak ada dua orang lelaki maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridai supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya... Berdasarkan hal ini para hakim Muslim dengan tegas mengemukakan bahwa adalah merupakan suatu intervensi ilahi bahwa seorang saksi pria setara dengan dua saksi wanita. Mereka juga mengatakan bahwa kesaksian yang diberikan oleh dua wanita hanya akan menjadi sah bila didampingi oleh seorang pria. Jika tidak ada dua saksi pria maka harus ada satu pria dan dua wanita, bukan empat wanita. Empat wanita tidak dapat menggantikan dua pria. Hal ini diulangi dalam sebuah ayat dalam Hadith: Rasul Allah berkata kepada sekelompok wanita, “Bukankah kesaksian dua wanita setara dengan kesaksian seorang pria?” Mereka mengiyakannya. Ia berkata, “Inilah kurang cerdasnya kamu”. Wanita dan warisan Dalam Qur’an dikatakan: Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua anak perempuan. Disini kita melihat bahwa jatah warisan untuk wanita hanya separoh dari pria. 70 Newton and Haqq, Women in Islam, p. 22, mengutip Ihy’a Uloum ed-Din By Ghazali, Dar al-Kotob al-Elmeyah, Beirut, Vol. II, Kitab Adab al-Nikah, p. 52. 71 Qur’an, Sura 2:282. 72 Sahih Al-Bukhari, Hadith 301:1. 73 Qur’an, Sura 4:11. Kaum modernis berargumen bahwa ayat ini memberlakukan ketidakadilan terhadap seorang anak perempuan karena ia hanya diberikan separoh dari yang diberikan kepada anak laki-laki dan dasar dari hal ini adalah bias terhadap wanita. Ada sebuah pandangan yang lebih umum yaitu bahwa hal ini merupakan sebuah pembaharuan, karena di dalam masyarakat sebelum jaman Islam, anak perempuan sama sekali tidak mendapat warisan dan kini mereka berhak mendapatkan separoh dari hak waris anak laki-laki. Dalam bidang inilah Islam mengklaim telah memperbaiki posisi wanita. Kerudung Dalam Qur’an dikatakan: Katakanlah kepada wanita beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya... Ada berbagai pandangan mengenai apa yang dimaksud dengan perhiasan. Tabari mengatakan bahwa itu menunjukkan pakaian yang dikenakan seorang wanita, dan anjuran untuk mengenakan kain kudung ke dada mereka berkaitan dengan para wanita suku-suku pedalaman yang tidak menutupi payudara mereka. Tidak ada anjuran dalam Qur’an bahwa seorang wanita harus menutupi wajah atau kepalanya, walaupun hal itu merupakan praktek budaya beberapa kelompok masyarakat pada jaman itu, seperti yang dilakukan oleh orang-orang Kristen kelas atas di Byzantium. Ditegaskan bahwa ayat ini dimaksudkan untuk menyelamatkan kaum wanita dari menjadi obyek nafsu, dan untuk meninggikan wanita diatas seksualitas mereka. Ada yang menghubungkan kerudung dengan Umar, ayah mertua Muhammad dan sahabat dekatnya. Umar mengatakan kepada Muhammad bahwa adalah pantas untuk memerintahkan istri-istrinya untuk mengenakan kerudung karena beberapa pria yang memasuki rumahnya bisa jadi mempunyai pikiran yang jahat. Kisah lainnya menceritakan Aisha yang mengunjungi Muhammad dengan gaun yang tipis. Ia mengatakan kepada Aisha bahwa ketika seorang perempuan menginjak pubertas, tidak pantas baginya jika bagian-bagian tubuhnya dapat terlihat kecuali “ini dan ini”. Ia menunjuk kepada wajah dan tangannya.76 Purdah telah menjadi ketetapan Muslim selama sekitar seribu tahun dan secara bertahap ditegakkan dalam 3 abad pertama Islam. Purdah ditegakkan dengan sepenuhnya pada abad 10 dan 11 dan kini menjadi bagian yang integral dalam 74 Asgar Ali Engineer, Islam, Women and Gender Justice (New Delhi: Gyan Publishing House, 2001), p.40 75 Qur’an, Sura 24:31. 76 Qasim, The Liberation of Women, p. 39. 34 hidup orang Muslim. Sistem Purdah adalah bentuk yang ekstrim dari dominasi pria karena menyangkali kebebasan kaum wanita dalam bersikap dan berpartisipasi dalam kehidupan sosial. Dalam usahanya untuk memahami logika pengasingan dan mengenakan kerudung pada wanita dan dasar dari segregasi seksual, tokoh feminis Muslim Qasim Amin tiba pada konklusi bahwa wanita lebih mampu mengendalikan dorongan-dorongan seksual mereka daripada pria dan oleh karena itu segregasi seksual lebih merupakan sebuah sarana untuk melindungi pria daripada melindungi wanita. Ia bertanya, seseorang takut pada apa dalam masyarakat seperti itu. Dengan mengobservasi bahwa wanita tidak terlalu menyukai pengasingan dan menaatinya hanya karena mereka harus menaatinya, ia menyimpulkan bahwa apa yang ditakuti adalah “femme fatale” yang menyebabkan ketidakteraturan dan kekacauan. Kemudian ia bertanya, “Siapakah yang dilindungi oleh pengasingan/pingitan?” Jika yang ditakutkan pria adalah wanita akan terpikat pada daya tarik maskulin mereka, mengapa mereka tidak mengerudungi diri mereka sendiri dan menjadikannya sebuah aturan? Apakah pria dipandang kurang mampu dari wanita untuk mengendalikan diri mereka sendiri dan menahan dorongan-dorongan seksual mereka sendiri? Ia menyimpulkan bahwa mencegah wanita dari menunjukkan diri mereka tanpa kerudung mengekspresikan ketakutan kaum pria akan kehilangan kontrol atas pikiran mereka, dan dengan demikian dicobai oleh wanita manapun yang mereka lihat. Karakteristik pernikahan Islam Bagaikan sebuah kontrak dagang, sebuah pernikahan Islam meliputi pertukaran barang-barang dan jasa. Setelah memberikan mahar/ mas kawin dan pemeliharaan harian serta nafkah (nafaqih) kepada istri, si suami akan mendapatkan hak kepemilikan eksklusif (tamlik) atas seksualitas istrinya dan aktifitas-aktifitas reproduksi serta menguasai pribadinya. Berdasarkan hukum Islam, si wanita harus memberikan persetujuannya akan besarnya jumlah uang yang diterima, dan si wanitalah, dan bukan ayahnya, yang menerima keseluruhan mahar tersebut. Mahar/mas kawin adalah sebuah istilah teknis untuk sejumlah uang atau barang yang harus diberikan kepada si wanita dalam kontrak pernikahan. Kita lihat hal ini berakar dalam Qur’an: Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita yang kamu nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. 77 Ibid., p. 42. 78 Ibid., p. 42.35 Namun demikian saat seorang wanita menyetujui sebuah kontrak pernikahan, maka ia dianggap telah dengan sukarela menyerahkan semua kontrol dan otonomi atas dirinya sendiri diatas hak-hak legal dan sosialnya. Setelah kontrak itu ditutup maka secara sah dan konseptual ia dihubungkan dengan barang/uang yang dipertukarkan dalam mas kawin dan berada di bawah otoritas legal suaminya. Di dalam struktur kontrak pernikahan, seksualitas seorang wanita dan kegiatan reproduksi adalah inti transaksi ekonomi dan sosial. Seksualitas seorang wanita diidentifikasikan dengan dirinya seutuhnya. Pria memandang wanita sebagai obyek untuk dimiliki dan dikendalikan dengan kecemburuan; sebagai obyek hasrat yang harus diasingkan, dikenakan kerudung dan untuk direndahkan; dan pada waktu yang sama menjadi obyek yang sangat diperlukan untuk memenuhi perasaan berkuasa dan kejantanan pria. Kontrak ini mendikte wanita agar taat pada suaminya, dan membatasi otonominya. Ketaatan kepada suaminya dan kepada tatanan sosial yang lebih besar adalah hal yang harus diberikannya untuk mendapatkan jaminan finansial dalam keluarga dan martabat dalam masyarakat. Poligami dan Qur’an Qur’an berkata: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja.... Telah dikemukakan bahwa poligami diperlukan untuk memberikan keadilan sosial dengan mengijinkan pria untuk menikahi perempuan yatim dan janda. Namun demikian, ada pula yang berpendapat bahwa menjaga rasa keadilan diantara para istri adalah hal yang tidak mungkin, maka beristri lebih dari satu orang tidak diijinkan. Mereka menunjukkan bahkan Muhammad yang sangat mengasihi Aisha istrinya lebih dari apapun, bahkan mempraktekkan poligami. Kembali Qur’an berkata: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai).. 79 Shahla Heiri, “Obedience versus Autonomy”, in Martin E Marty & R Scott Appleby (eds), Fundamentalisms and Society (Chichago: University of Chichago Press, 1993), pp. 185-186. 80 Ibid. 81 Ibid. 82 Dawood, The Koran, Sura 4:3. 83 Dawood, The Koran, Sura 4:129.36 Poligami adalah sebuah ketetapan yang diskriminatif terhadap wanita untuk menguntungkan pria di dalam masyarakat Muslim. Ini adalah hak istimewa bagi satu pihak saja, yang diberikan semata-mata hanya untuk pria, yang mengakibatkan segregasi wanita dari pria, sehingga perlahan-lahan wanita disingkirkan dari kegiatan-kegiatan sosio-ekonomi, dan itu merupakan masalah yang dialami dunia Muslim pada masa kini. Hasil dari poligami adalah konspirasi, pertengkaran dan iri hati diantara para istri, dan kadangkala pemukulan, ancaman kematian, bahkan meracun dan membunuh anak-anak. Tambahan lagi, kaum wanita yang berada dalam kondisi ini dihina dan dipandang sebagai budak-budak perempuan atau bahkan hanya sebagai komoditas. Perceraian dan Qur’an Perceraian dapat terjadi dengan sangat mudah dalam Islam. Kewenangan untuk menceraikan ada pada pria. Dalam Qur’an dikatakan: Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain... Ayat ini memberikan kekuasaan absolut bagi pria untuk meninggalkan istrinya dan menikahi wanita lain. Tidak ada formalitas apapun. Menurut Syariah seorang pria hanya harus mengucapkan “aku menceraikanmu” sebanyak 3 kali di hadapan saksi-saksi lalu istrinya dapat diusir keluar dari rumah. Tidak ada pengadilan, hakim, pengacara atau konselor. Wanita yang diceraikan tidak boleh menikah lagi setidaknya selama 3 bulan ke depan karena ia harus menjalani masa penantian (masa idah) yang terdiri dari 3 kali siklus menstruasi. Setelah periode 3 bulan itu berakhir maka perceraian itu tidak dapat dibatalkan. Dalam periode 3 bulan itu si suami dapat membatalkan perceraian itu hanya dengan mengambil kembali istrinya untuk tinggal bersamanya lagi. Dengan kembalinya ia ke rumah, maka wanita itu kembali mendapatkan statusnya sebagai istri. Bagi seorang wanita, sulit untuk menceraikan suaminya dan dalam banyak kasus hal itu tidak mungkin. Namun demikian ia dapat menuntut untuk bercerai dari suaminya jika suaminya impoten, tidak memberi nafkah atau tidakwaras. Kekerasan dalam rumah-tangga tidak dapat dijadikan dasar yang kuat untuk bercerai, karena pemukulan terhadap istri dianjurkan dalam Qur’an. Setelah pernikahan itu diakhiri, si suami harus memberikan pesangon terhadap mantan istrinya. Ia hanya perlu melakukannya selama 3 bulan. 84 Hekmat, Women and the Koran, pp. 129-130 85 Qur’an, Sura 4:20.37 Hak asuh anak Apabila seorang pria menceraikan istrinya maka anak-anak dipandang sebagai properti si suami. Menjadi seorang Muslim tidak memberikan hak untuk mengasuh anak. Namun demikian, si ibu dapat memiliki hak untuk mengasuh anak laki-lakinya hingga berumur 7 tahun, selama si anak aman dari pemurtadan dan pengaruh buruk. Jika ia kedapatan membawa putranya ke gereja atau memberinya makan babi, maka ayahnya berhak untuk mengambil anak itu. Si ibu dapat mempunyai hak asuh atas anak perempuannya hingga mencapai masa pubertas yaitu 9 tahun. Jika ia menolak Islam ia tidak dapat mempunyai hak asuh atas anak-anak. Jika ia menikah lagi, ia kehilangan hak asuh atas anak-anaknya, kecuali jika suaminya yang baru mempunyai hubungan dengan anaknya sebagai paman dari pihak ayah. Konklusi Islam mengklaim percaya pada kesetaraan jender. Tetapi setelah memperhatikan ayat-ayat mengenai wanita yang ditulis di dalam Qur’an dan kutipan dari Hadith, tidak ada konsistensi di dalamnya. Disana dikatakan bahwa pria mempunyai kedudukan yang superior dalam banyak hal. Wanita dipandang kurang cerdas, kurang bersyukur dan kurang beragama, boleh dipukuli, dapat menjadi salah-satu dari banyak istri lainnya, tidak mempunyai jaminan untuk masuk surga. Mereka juga tidak mempunyai hak yang setara dalam hal perceraian, menjadi saksi di pengadilan, warisan dan hak asuh anak. Kesemua hukum ini hanya untuk menyenangkan kaum pria. Pada kenyataannya kita dapat tiba pada konklusi bahwa sumber-sumber Islam tidak menjamin kesetaraan hak-hak azasi bagi wanita. Orang Muslim mengklaim bahwa penting untuk mempertimbangkan pengaruh pengaruh sosiologis dalam menginterpretasikan kitab suci, karena pembacaan atau penerapan sebuah teks tidak terlepas dari pengaruh-pengaruh semacam itu. Penafsiran-penafsiran harus dilihat dalam perspektif sosiologis jaman dimana wanita hanya dilihat sebagai barang yang bergerak, melahirkan anak dan memberikan kesenangan kepada suami. Maka pria yang telah memformulasikan Syariah atau Hukum Islam, selama lebih dari 2 abad dipengaruhi interpretasi mereka terhadap Qur’an dan Hadith oleh lingkungan tempat hidup mereka yang membenci wanita. Masalahnya adalah aspek sosiologis menjadi teologis dan telah dibela sebagai hal yang bersifat teologis, bahkan ketika kondisi-kondisi sosiologis telah berubah. Argumen sosiologis mempunyai kekuatan dan juga kelemahan. Muhammad tentunya telah dipengaruhi oleh kondisi-kondisi sosiologis pada jamannya dan 38 kata-kata yang dikenakan padanya akan merefleksikan bahwa itu adalah hukum Islam, seperti yang juga dikatakan oleh para teolog mula-mula dan para pembuat hukum yang terlibat dalam menciptakan susunan aturan. Namun hal itu tetap berada dalam ketegangan dengan ayat-ayat dari Qur’an yang memberlakukan pandangan yang diskriminatif mengenai wanita. Pandangan klasik Islam menganut Qur’an sebagai wahyu yang secara langsung diberikan Allah kepada Muhammad, sempurna terpelihara dalam bentuk oral sejak permulaan, dan oleh karena itu tidak dapat dipengaruhi oleh kondisi-kondisi sosial. Para pembaharu Muslim sejak abad ke-18 telah berkeras bahwa Islam mampu bersesuaian dengan modernitas. Secara khusus mereka telah mengklaim bahwa Syariah telah memasukkan ke dalam berbagiai mazhab prinsip-prinsip tertentu mengenai perkembangan yang mengijinkan para pembuat hukum untuk mengembangkan atau membatasi penerapan hukum dan memformulasikannya dalam cara yang lebih segar yang sesuai dengan keadaan-keadaan yang mudah berubah. Di banyak negara, ijtihad atau penilaian independen semacam itu telah membawa perubahan yang signifikan dalam hukum mengenai keluarga. Ini terjadi di negara-negara seperti Tunisia dan Marokko. Namun demikian, banyak orang lain yang beranggapan bahwa Syariah adalah sangat ilahi dan kekal. Mereka percaya bahwa gerbang ijtihad telah ditutup pada abad ke-11. Itu berarti bahwa kini hukum telah genap dan tidak dapat diubah agar sesuai dengan berbagai situasi. Di negara-negara atau situasi-situasi dimana Syariah dipandang telah genap dan diberlakukan pada masyarakat banyak, posisi dan hak-hak wanita tetap sama dengan berabad-abad lalu. Di beberapa negara lain hukum sipil berjalan berdampingan dengan hukum Syariah dan wanita di negara-negara ini lebih mempunyai hak dalam hal-hal seperti perceraian. Namun demikian, ada kecenderungan banyak negara untuk kembali kepada Islam yang belum direformasi, yaitu penerapan Syariah secara ketat. Apabila hal ini terjadi maka posisi wanita dan hak-hak mereka akan mengalami kemunduran. Donny Sukma at 12:50 AM @Mako
Posted on: Sun, 08 Sep 2013 13:09:12 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015