Bangkitnya Kekuatan lama di masa arus demokrasi dan pemenuhan HAM - TopicsExpress



          

Bangkitnya Kekuatan lama di masa arus demokrasi dan pemenuhan HAM kaum Tani Idiologi positipisme bila menguat, maka sentral kebenaran dan pengasahan bukan lagi di tangan kaum tertindas, tapi di tentukan oleh penyelengara negara dan pasar, maka tak heran bila membisu dan diamnya kaum tertindas adalah kemenangan. Tapi bila itu terus dilakukan, maka suatu saat akan kembali bangkit dengan melibatkan orang lain untuk menguasainya kembali walau klaim illegal di keluarkan oleg warga pasar dan penyelengara negara, walaupun tak seketika tuntas persoalan yang dihadapinya. Keselamatan dan kesejahteraan, tata produksi, tata kuasa dan tata guna lahan rakyat, selama berkuasaanya orde baru tak pernah di tempatkan sebagai syarat implementasi idiologi pembangunan, maka tak heran bila terjadi penggusuran, perubahan penguasaan, pengelolaan, dan pemilikan berubah total seketika. Artinya kaum tani tak memiliki hak kembali yang utuh berkenaan dengan bentang ekosistem keberadaan sumber daya agraria yang selama hidupnya menjadi bagian yang tak terpisahkan. Untuk itu, fenomena kelaparan, putus sekolah, kurangnya akses informasi, hilangnya partisipasi, hilangnya nyawa, hilangnya kehormatan, tergusurnya rumah dan matinya kelayakan hidup bagi bayi melanda dan mewabah di kalangan kaum yang berubah menjadi buruh tani dari kaum tani. Ini tak lain akibat alat produksi yang menjadi kunci keselamatan dan kesejahteraan hidupnya telah berubah menjadi lapangan golp, bandara kapal terbang, areal industri yang serat modal, wilayah yang di klaim patok negara (kawasan konservasi, pertambangan, kehutanan, taman cagar alam, taman wisata dll). Dll. Klaim perubahan ini lahir dari perang dingin antara utara dan selatan. Artinya perang antara idiologi poipulis dengan kapitalis. Akibatnya semua ruang di posisikan menjadi areal permainan pasar oleh pengikut mazhab kapitalis.sedangkan mazhab populis bertarung diantara kepastian hak warga untuk memperoleh akses yang sama, dalam ruang. Tak ada dimensi dominasi, subordinasi gender, sentralisasi klas, dan sikap feodalisme. Hampir tak terbantahkan kemenangan kaum kapitalis (oleh mazhab Amerikanisme)dari perang dingin semua ruang dan waktu negara di kuasai oleh negara pemenang. Oleh karena itu perjalanan jatuh bangunnya negara dalam kontek ekonomi, politik, budaya berada di rual areal negara. Imbasnya tidak hanya negara dalam kendali dan kontrol negara adi kuasa dan adidaya (kapitalis global), kepastian rakyat memiliki akses terhadap sum,ber daya agraria, dan sumber lainnya di pasung dengan logika patok negara dan pasar (neoliberalis). Maka sejak pematokan itu, semua wilayah ekosistem di tempatkan sebagai komoditi yang serat dengan eksploitasi dan modal. Korban (rakyat) asing dari areal kepastian belajar hidupnya, hayalan menjadi masyarakat urban akhirnya menyeret para korban menjadi alternatif memenuhi kebutuhan ruang dan waktu. Dan kaum positifisme (pembangunan) mengklaim melalui tahapan refelita mampu menghilangkan keasingan warga dengan areal hidupnya. Bahkan melalui program tranmigrasi di harapkan bisa menjadi salah satu penyelesaian yang signipikan. Walaupun pada kenyataannya tak lain menjadi penyelesaian yang disstorsi. jadi tak benar bila kaum tani bisa di pisahkan dari wilayah hidupnya dan berubah ke wilayah lain (buruh industri/lahannya berubah menjadi areal klaim elemen lain) akan hidup selamat dan sejahtera. Kaum warga pasar dalam mempertahankan wilayah komoditi (eksploitasi)dan permainan tak bisa hidup menyendiri. Membangun kelompok, mendorong lahirnya gerombolan, memfasilitasi tumbuhnya calo-calo politik, ekonomi, pasar, modal, beraliansi dengan dengan politik dominan, menina bobokan birokrasi,menundukan hukum, memenjarakan demokrasi dan menguasai kota menjari areal sacral. Sejak saat itu, bias dipastikan rakyat hanya di tempatkan sebagai alat komoditi. Atau dengan bahasa yang sangat sederhna telah terjadi neo imperialis. Bahkan model pendekatan refresif, stigmatisasi dan kriminalisasi yang menjadi kegandrungan penyelesaian masalah, dimasa reformasi adalah kesalahan besar. Karna kekuatan kaum tani yang telah tercerai berai oleh penguasa refresif akan kembali menguat untuk menguasai kembali wilayah belajar hidupnya. Baghkan di era reformasi, kepastian akan menguasai dan mengelola lahan wilayah hidup yang di nanti-nanti oleh kaum tani. Untuk itu tak heran bisa jadi segenap hidupnya akan di pertaruhkan oleh kaum tani untuk kembali menguasai areal belajar hidupnya melepasakan dari arena permainan komoditi pasar. meskipun ancaman yang akan datang lebih multidimensi tak menjadi lemahnya kehendak untuk berhenti menyatakan kesaksiannya. Ini terlihat dari serangkaian penyampaian kesaksiannya dari mulai menggunakan media, aksi, dan berbagai kegiatan lain. Bahkan peryataan yang baru-baru ini seperti di ungkapkan oleh ketua GPI (gabungan Pengusaha Perkebunan) Jabar Dede Suganda Adiwinata (pikiran rakyat 27-05) yang mengklaim rakyat telah melakukan penjarahan dan meminta pemerintah bertindak tegas dalam menangani penjarahan, adalah model prilaku-prilaku masa lampau sudah hilang usianya. Dan salah besar kalau menganggap kebiasaan lama akan ampuh di implementasikan pada masa sekarang. Kecerdasan dan kesadaran rakyat telah kembali berangsur membaik, bahwa hidup dalam ketakutan lebih parah di banding melakukan upaya pembelaan atas hak yang telah di bumi hanguskan oleh idiologi kapitalis yang berubah pakaian menjadi idiologi pembangunan. Bahkan harus diakui sejak di keluarkannya tap MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan agraria.meliputi pertama, pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan. Kedua, melakukan penataan ulang soal penguasaan, pengelolaann dan pemilikan lahan agraria. Ketiga , penyelesaian sengketa agraria. Dan ke empat, mengadaan pendataan ulang tentang inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan dan penggunaan lahan. Maka kepastian rakyat akan sumber daya agraria mulai terbuka pintunya. Pendekkata pembaharuan agraria akan menjadi agenda yang bisa memulihkan keselamatan dan kesejahteraan rakyat, kelangsungan pelayanan alam, produksi rakyat dan penataan penataan ekologi rakyat. Tapi harus di akui pula, bahwa prilaku rezim orde baru yang menguasai wilayah sumber daya agraria warga hingga mengakibatkan berubahnya wilayah menjadi klaim pihak perkebunan tak pernah menjadi agenda untuk di kembalikan. Bahkan seringnya menggunakan milisi sipil dan penggunaan bahasa positipisme “Penjarahan” yang di lontarkan ke publik memberikan indikasi bahwa tak ada itikad baik dari pihak pengusaha untuk memberikan kepastian bagi kesaksian rakyat. Bahkan tahk hanya itu akibat klaim lahan rakyat yang berubah menjadi system perkebunan (HGU) dengan tanpa ada batasan yang jelas dan mensyaratkan tataguna dan tata kuasa rakyat yang pasti kini kenyataan yang tak bisa di pungkiri terjadi ketimpangan tajam antara rakyat dengan wilayah klaim permainan modal. Dengan di keluarkannya Tap MPR No IX/2001 tentang pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam mempertegas tentang prilaku rezim sebelumnya (orde baru) seperti di tegaskan dalam hal menimbang butir (c) menyatakan bahwa pengelolaan sumber daya agraria/sumber daya alam yang berlangsung selama i9ni telah menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya serta menimbulkan konflik. Bahkan dalam butir (d) mempertegas bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya agraria/sumber daya alam saling tumpah tindih dan bertentangan. Artinya pemerintah hampir selama tiga puluh dua tahun bekerja seperti ritus tahunan. Dan pos-pos yang dikeluarkan hampir tak ada sesuai dengan tuntutan kongkrit kebutuhan rakyat di pedesaan. Ini menandakan areal politik, ekonomi, budaya, desa di tentukan oleh kekuasaan di luar wilayah kelola desa beserta warganya. Maka tak heran bila ada tuntutan kembali dari warga tentang lahan yang telah di kuasai oleh system perkebunan besar melalui hak guna usaha (HGU) Menelusuri memastikan rakyat untuk memperoleh kepastian hak nya atas sumber daya agraria sebenarnya sangat panjang, diantaranya dikeluarkannya peraturan perundan-undangan landreform, seperti UU No. 1 tahun 1958 tentang penghapusan tanah partekelir, UU No. 5 tahun 1960 tentamng UUPA, UU No. 56 tahun 1960 tentang penetapan luas pertanian, PP No. 224 tahun 1961 tentang pelaksanaan pembagian tanah dan pemberiAN GANTI RUGI, UU No. 2 tahun 1960 temntang bagi hasil. Dan peraturan lainnya. Tetapi program itu tak bisa di lakukan akibat seratnya kepentingan dari pihak lain (idiologi kapitalis ) selain kecilnya dukungan politik dari elemen lain (partai, Ormas, DLL) Kegagalan ini di terjemahkan oleh rezim pengganti (orde Baru) sebagai agenda yang genting dan mengancam bila di lakukan. Apalagi setelah Indonesia (penguasa baru) memulai karirnya dengan membuka investasi asing (melalui UU NI 1 tahun 1967 tentang modal asing) untuk terlibat mengeksploitasi dan menduduki wilayah hidup rakyat dengan wilayah permainan pasar . akibatnya masalah genting terlihat sepanjang masa reformasi ini baik berupa (i) ketegangan dalam soal penguasaan tanah oleh pengusaha milik negara maupun swasta yang berhadapan dengan petani kecil dan buruh tani tanpa tanah; (ii) bencan alam yang terjadi secara berurutan di pedesaan sebagai tanda dari kekacauan akibat intervensi pasar (iii) desa dijadikan pasar barang dengan konsumsi yang menyedot suplus peertanian kembali ke kota-kota( Hendro sangkoyo 2002) Untuk itu, dengan semangat tap MPR No. IX tahun 2001 tentang pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam, arah kebijakan pembaruan agraria di jelaskan dalam pasal 5 yaitu a) Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundantg-undangan yang berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antar sektoral b) melaksanakan penataan kembali penguasaan, p[emilikan, penggunaan dan pemanfatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat. C) menyelengarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan ,pemilikan, penggunaan dan pemanpataan tanah secara konfreehensip dan sistematis dalam rangka pelaksanaan landreform. d) menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi jkonflik di masa mendatang guna menjamin terlaksanaanya penegakan hukum. E) memperkuat kelembagaan dan kewenangannya dalam rangka mengemban pelaksanaan pembaruan agraria dan menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraraia yang terjadi f) mengupayakan dengan sungguh-sungguh pembiayaan dalam melaksanakan program pembaruan agraria dan penyelesaian konflik-konflik sumber daya agraria yang terjadi. Dalam pelaksanaannya, pasal 7 menyatakan bahwa presiden republik Indonesia untuk segera melaksanakan ketetapan MPR tentang Pembaruan Agraria dan pengelolaan sumber daya Alam serta melaporkan pelaksanaannya pada Sidang Tahunan MPR. Tapi sampai sekarang setelah ditetapkannya Tap MPR No. IX tahun 2001 tentang pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya agraria, penyelenggara negara telah mengabaikan amanat TAP MPR ini, ini terlihat tak adanya upaya yang serius yang dilakukan penyelengara negara melaksanakan amanat tap MPR tersebut. Terlihat masih banyaknnya penyelesaian-penyelesaian model lama dengan mengkriminal kan kaum petani yang menyampaikan dan mengukuhkan kesaksian atas sumber daya agraria yang telah beralih penguasaan dan pengelolaan. Adapun akibat penghianatan terhadap amanah TAP MPR ini sebenarnya penyelengara negara bias di tuntut di sidang tahunan untuk di peringati, dan bila pengingkaran tetap di lakukan memberhentikan dari jabatan tak bisa di elakan.
Posted on: Mon, 07 Oct 2013 04:22:47 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015