Berbeda Cerpen Kiriman: Aisyah Hudabiyah — Not Ten, One - TopicsExpress



          

Berbeda Cerpen Kiriman: Aisyah Hudabiyah — Not Ten, One Hundred, or One Thousand, but One Zero, One Zero Zero, and One Zero Zero Zero. — “… I’ll love you for a thousand Years.. ah sorry, I’ll love you for One Zero Zero Zero Years …” Sedari tadi langkah kakiku masih melaju mundur menyusuri tiap-tiap anak tangga yang menjadi jembatan lantai 1 dengan Laboratorium Bahasa. Satu! Dua! Tiga! kakiku menuruni tangga itu. Empat! Lima! Enam! perjalanan berjalan sangat mulus. Tujuh! Delapan! Sembilan! lantai ini cukup terbilang sepi. Lalu lalang manusia belum terlalu aktif disini. Satu kosong! Sebelas! dua belas! aku melenggang santai, sebentar lagi mata kakiku segera menyentuh lantai dasar. Tiga belas! Empat belas! Kurasa belum ada batang hidung manusia disini, kedengarannya hanya ada semut-semut liar dan berbagai macam insect kecil yang beraktivitas di tangga Dan Enam belas! Kakiku selangkah berjalan mundur ke anak tangga dibawahnya. “PRANGGGG…” sebuah benda jatuh tercium dari gendang telingaku. Oh ya! Maaf, aku memang bukan yang bisa kalian mengerti dengan akal sehat. Inderaku berfungsi tak semestinya. Bagi setiap manusia mungkin telinga berguna untuk mendengar, tapi bagi keadaan fisikku, aku lebih menyukai telinga digunakan untuk mencium. Mencium suara benda jatuh itu harum! Aneh kan? Iya, karena itu takdirku. Aku memang tak perlu menjelaskan secara detail bagaimana tuhan bisa berkehendak hal yang amat berbeda ini. “Astaga. HP gue jatuh!” teriak seorang manusia yang berada dibelakangku. ‘Apa? jadi ada orang? Kok aku nggak tahu? Bukankah aku biasanya dapat menebak dan merasakan kalau ada orang berada didekatku, bahkan juga aku dapat membaca pikiran-pikiran mereka? Ini aneh.’ “Maaf..” aku membalikkan badanku ke arah manusia yang tadi berbenturan dengan tubuhku. Kemudian, ku jongkokkan badanku untuk lebih dekat dengan manusia didepanku ini. “Nggak perlu minta maaf. Yang salah gue kok. Udah tau ada orang jalan, malah gue tabrak.” Seulas senyum mendarat di bibir manusia ini. “Tapi HP lo kan jatuh? Kenapa lo nggak marah?” tanyaku. “Marah? Nggak. Gue baik-baik aja.” Jawabnya dengan nada di buat sebiasa mungkin. “Betul lo baik-baik saja?” tanyaku. Lumayan sukar untuk menebak pikiran manusia satu ini. dari raut mukanya, dia bukan seperti yang lain. Agak berbeda. “Yeah. I’m fine kok. Tenang aja. Hehe.” Jawabnya agak gugup. Entah kenapa manusia yang satu ini terlihat gugup saat bertegur kata denganku. Aku mencium hawa-hawa yang tak seperti biasa. Lagi-lagi harus kukatakan kalau ini berbeda. Manusia itupun lalu bangkit dari jongkoknya setelah selesai merapikan HP dan isinya yang berserakan. Diikuti denganku, akupun ikut berdiri. “Sekali lagi sorry. Tadi gue nggak liat.” “Hmpp.. Ya Iya lah nggak liat, orang lo nya jalannya mundur-mundur gitu.” Katanya sambil menahan tawa. “Kok lo tahu kalau gue jalannya mundur-mundur?” Sumpah. Mataku betul-betul buram menerawang pemikiran gadis didepanku ini. bukankah setiap kali bertatap muka dengan manusia, penglihatanku selalu DOR dengan apa yang dipikirkan mereka? “Haha ya iyalah. Gue kan punya mata.” “Lo lucu.” Cetusku. “Hei? Lucu apanya? Emang gue sule?” Dengusnya. “Mungkin.” Aku hanya mengedipkan bahu. Bingung akan menjawab apa. tahu sendiri kan kalau aku ini sukar berinteraksi dengan orang yang baru kukenal? Apalagi orang ini baru 5 menit mengenalku. “Ya udah Hen, gue duluan ke kelas.” Pamitnya padaku. Kemudian langkahnya perlahan meninggalkanku yang sedang mematung memikirkan sesuatu. “Hey, lo tau nama gue?” aku membuntutinya lalu menyejajarkan langkah kakiku di sebelah manusia ini. “Ya ampun Hendra?! Jadi selama 2 tahun kita bareng, lo nggak kenal sama gue?” tanyanya sedikit melotot. ‘Hiyah pertanyaan konyol.’ “Kenal? Kenal dimana?” selidikku. “Di kelas lah. Lo kan dari kelas XI sampai kelas XII sekarang sekelas terus sama gue. gue juga udah paham kok siapa lo.” “Maksudnya? Jadi kita ini sekelas?” tanyaku semakin menggebu. Gadis disebelahku ini hanya menganggukan kepalanya. “Yap kita satu kelas selama 2 tahun terakhir.” Jawabnya sembari mempercepat langkah. “2 tahun?” aku balik bertanya. “Iya.” Gadis ini kembali menganggukan kepalanya. “Nama lo siapa?” Dan ini untuk pertama kalinya dalam hidupku menanyakan nama seseorang yang baru ku kenal. Tapi yang baru mengenal itu Cuma AKU! Sepertinya dia itu sudah mengenalku, bahkan sudah LAMA mengenalku. Kepala gadis ini menoleh ke sebelah kanan, kearahku, kemudian berkata, “Lo nggak tahu nama gue?” Pertanyaan gadis ini langsung menjalar keselubung otakku. Ku pikir cukup lama disini, dan finally, aku pun hanya menggaruk kerah jasku yang sama sekali tak gatal. “Sorry, gue nggak tahu.” Jawabku melemah. “Hmm.. Okelah, kenalin, gue Liliyana Natsir.” Gadis ini menghentikan langkahnya sejenak dengan mengulurkan tangan kearahku. Kemudian aku pun balik mengulurkan tangan kepada gadis yang mengaku bernama Liliyana Natsir ini. “Gue Hendra Setiawan.” Jawabku sembari mengembangkan senyum. Senyum yang jarang sekali muncul dari bibirku. “Haha iya gue tau kalo lo namanya Hendra kok.” “Hehe.” Balasku canggung. “El, kita ke kantin mau? Ya, ngomong-ngomong sebagai ganti rugi gue tadi udah nabrak lo.” lanjut ku. “What? EL?” “Iya, nama lo kepanjangan sih jadi gue bingung mau panggil apa. mending panggil “L” aja kan enteng.” Jawabku sekenannya. “Hehe ada-ada aja deh lo Hen.” Liliyana yang ku panggil “eL” itu mengacak rambutku. Hah? Baru pertama kalinya ada gadis yang berani menyentuh bagian tubuhku. “Tadi tawaran gue gimana?” tanyaku mengalihkan topik pembicaraan. “Tawaran yang mana?” Liliyana mengerenyitkan dahinya. “Ke kantin.” Jawabku ragu. “maaf hen. Perut gue nggak laper.” Tolaknya halus. “Oh baiklah. “ aku kembali melanjutkan langkah di sebelah Liliyana. “Hen, kita kesana yuk.” Liliyana menunjuk pada sebuah tempat yang kelihatannya berhawa sejuk nan rindang. Ya, di taman sekolah yang banyak pepohonan asri itu. “Boleh.” Aku mengiyakan ajakan Liliyana tadi. Kami akhirnya memutuskan untuk berrehat sejenak di taman sekolah sambil menikmati tiupan aroma matahari dan semerbak angin siang yang menyejukkan. “Hen.” Liliyana membuka percakapan. “Iya?” jawabku. “Tingkah lo kok aneh ya?” tanyanya agak sedikit ragu. Dalam rindangnya suasana taman ini, aku menghela nafas panjang. Mencoba merileksaksikan tubuh. untuk pertama kalinya ada manusia yang berani menanyakan kejanggalan tingkah laku ku. “Ehem. Aneh bagaimana?” tukasku. “Ya aneh aja gitu. Lo itu kalo jalan di tangga sukanya mundur-mundur, terus kalo bilang SEPULUH, pasti Satu Kosong. Dan yang anehnya lagi, lo sama sekali nggak tahu gue yang jelas-jelas udah 2 tahun sekelas sama lo. misterius!” jelasnya. ‘Duh, aku harus jawab apa? Kalau jujur, pasti Liliyana tak akan percaya.’ “Ada Satu Kosong Kosong Kosong alasan yang nggak bisa gue jelasin ke manusia normal. Andaikata gue jelasin, pasti mereka (manusia) akan menertawai dan menganggap kalau gue ini gila karena saking terobsesinya sama luar angkasa.” Jawabku. “Haha tuh kan, lo ngomong seribu aja satu kosong kosong kosong haha.” Liliyana tertawa mendengar angka istimewa kusebut. “Oh ya, tadi maksud perkataan lo apa? alasan yang nggak di mengerti manusia normal?” lanjutnya. “El, itulah yang buat gue berbeda dengan manusia lain. Di asal gue dulu, orang-orang sama sekali nggak boleh menyebut angka-angka yang ada unsur satu dan kosongnya dengan sebutan lain. Missal sepuluh, seratus, seribu, sepuluh ribu, seratus ribu, dan sebagainya. Karena konon angka itu adalah angka keramat yang harus benar-benar di jaga kesuciannya.” Liliyana tampak terlihat bingung dengan apa yang sedari tadi ku bicarakan. “Sorry Hen, emang asal lo itu dari mana? Suku Maya? Aborigin? Indiana? Atau suku dayak?” tanyanya penasaran. “Bukan el bukan. Gue ini asalnya dari salah satu suku kuno di Planet Mars. Planet merah!” “Maksudnya lo itu alien? Duh, sumpah gue nggak tau apa yang lo omongin.” Kata Liliyana benar-benar dalam kebingungan. “Bukan. Gue bukan Alien! Gue ini manusia yang dulu hidup di Planet Mars dan saat usiaku di Planet Mars mencapai satu kosong kosong tahun, aku di kirim kebumi lewat rahim ibuku. Jadi semacam lahir kembali gitu.” jelasku lagi. “Wow. Jadi lo ini umurnya udah tua renta ya?” balas Liliyana terkekeh. “Itu kan umur gue waktu di Planet Mars.” Liliyana hanya mengangguk-anggukan kepalanya tanda paham. “Lo jalan mundur-mundur di tangga gitu kok bisa enggak jatuh ya Hen?” tanya Liliyana. “Yah itu ada cerita lain. Gue ini kan manusia yang udah pernah tinggal di Planet Mars. Kalau kata nenek moyangku dulu disana, barangsiapa yang pernah tinggal di Planet Mars, pasti dia akan mempunyai insting yang tajam, bahkan dapat membaca pikiran maupun batin manusia. Dan untuk masalah jalan mundur-mundur, itu sudah jadi kebiasaan suku ku. Tujuan jalan mundur-mundur adalah untuk mengasah otak agar lebih bagus dalam bermain insting dan membaca-baca pikiran/batin manusia. Sederhana kan?” terangku. “Wow asyik dong Hen bisa baca-baca pikiran dan batin orang? Hehe jadi selama ini lo punya indra keenam yah?” “Ya gitu deh. Eh gue nggak Cuma punya indra keenam! Tapi gue punya indera ke sepuluh!” jawabku dengan serius. “Haha ya ampun becanda lo garing bener. Ckck.” Liliyana justru menertawakanku. “Nggak el. Gue serius!” “Haha iya deh gue percaya.” Jawabnya masih dengan menahan tawa. ‘Ah sialan.’ “El, btw makasih yah udah mau ngobrol sama gue. jarang-jarang loh ada anak sini yang mau ngobrol sama gue, kecuali si Ahsan.” Senyumku terurai untuk beberapa saat. Tumben banget bibir ini mau tersenyum. “Ini gue juga ngobrol sama lo karena terpaksa kok, aslinya gue takut sama orang macam lo. Gaje banget sih. hahha.” “Oh.” Aku hanya mengerucutkan bibir. “Marah yah?” tanyanya. “Enggak dong. Masa sama sahabat sendiri marah.” “Maksud lo? Gue sahabat lo?” “Iya el. Setiap ada orang yang mau ngedengerin cerita gue tentang asal usul hidup gue, gue anggap orang itu sahabat. Termasuk lo sama ahsan. Karena lo sama ahsan adalah orang yang mau ngedengerin cerita gue yang terkesan penuh dengan fantasi itu.” jawabku jujur. “Hehe makasih deh ya Hen. Jadi sekarang kita sahabat nih?” Liliyana menaikkan alis sebelah kanannya. Kemudian jari kelingkingku terangkat tanda mengacungkan tali persahabatan. “Iya, sahabat.” — Panasnya matahari membakar tapak kaki, siang ini di sebuah terminal yang tak rapih. Para pejalan kaki kusut mengutuk hari. Jari-jari kekar kondektur genit goda daki. Dari sebuah warung sebelah WC umum, irama melayu terdengar akrab mengalun. Aku memejamkan mata mendengar alunan tembang yang terputar di sekitar terminal sambil menanti kedatangan angkot untuk transportasi menuju rumahku. Sesekali aku membuka mata untuk memastikan apakah angkot yang ku tunggu sudah datang atau belum. Dan ketika aku membuka mata, mata ku langsung tertutup lagi. Tapi aku tidak merasa kalau aku menutup mataku dengan sengaja, sepertinya ada seseorang yang benar-benar menutup mataku. Siapa sih? “Woy siapa sih?” tanyaku sambil berusaha melepaskan tangan lembut seseorang yang menempel dimataku. “Tebak coba aku ini siapa, katanya bisa baca pikiran dan bisa tau keberadaan seseorang tanpa bertatap muka?.” Jawabnya. Suara yang tidak asing lagi dipenciumanku. “Haha lepasin el. Gue nggak terlalu suka gelap.” Tangan mungil nan halus tadi akhirnya terlepas dari kelopak mataku. “Hehe tau aja kalo ini gue.” “Iya lah tau. Kan gue jagonya nebak-nebak dan baca situasi.” Jawabku sekenannya. Tapi tunggu, untuk yang satu ini kalian harus mengerti bahwa aku memang jagonya menebak-nebak, membaca pikiran, membaca situasi YANG TIDAK BERHUBUNGAN LANGSUNG DENGAN LILIYANA! Jujur saja, dari pertemuan awal hingga 5 bulan ini aku belum mampu membaca pikirannya, belum mampu mendeteksi keberadaannya, dan belum mampu melacak apa yang sedang dirasakannya. Aku tadi tahu dia yang menutup mataku karena aku sudah terlalu hafal dengan jemari lentiknya yang begitu lembut dan menentramkan jiwa. “Udah lama nunggu angkotnya? Gue temenin lo boleh nggak nih?” tawarnya sembari menjatuhkan pantat di sebuah tempat duduk panjang besi bercat hijau disebelahku. “Lumayan lama sih. Ya dong boleh. Apa si yang nggak boleh buat gadis secantik lo?” gombalku yang membuat pipi putih Liliyana memerah seketika. Ya tuhan, ciptaanmu ini sungguh mempesona. Lihatlah setiap tingkah yang dia lakoni, pasti begitu MENGGEMASKAN. “Halah Hendra.” Dia mencubit lenganku. Entahlah apa yang ada dipikiran dan batinnya. Aku tak perlu tahu karena aku memang belum ditakdirkan untuk mengetahui seisi jiwanya. “Lo haus nggak.” “Hemm gimana yah?” Liliyana mengeryitkan keningnya tanda berfikir. “Tunggu bentar yah. Lo disini aja.” Perintahku. aku bangkit dari tempat duduk itu dan berlalu meninggalkan Liliyana. Beberapa menit kemudian aku pun kembali dengan senyum sumringah. “Nih buat sahabat yang selalu temani gue.” Aku menyodorkan sebotol air mineral dingin untuk Liliyana yang sudah tampak kehausan. “Dan ini buat gadis manis yang bisa bikin gue tersenyum.” Kembali lagi, aku menyodorkan sebatang coklat untuknya. “Hendra makasih banget yah.” Ucap Liliyana sembari tersenyum simpul. “Oke sama-sama. L, selamat ulangtahun yah.” Aku mengulurkan tangan tanda mengucapkan selamat. “Ya ampun kok lo tau sih ulangtahun gue Hen? Makasih banget yah.” Balasnya. Kemudian wajahnya mendekat ke pipiku. Entahlah apa yang dia lakukan. Yang aku tau sebuah rasa aneh mendarat di pipi kiriku. Seketika itu juga pipiku memerah. Sebelumnya aku berfirasat kalau Liliyana itu seperti nyamuk yang sekali menclok bisa bikin kulit merah, tapi ternyata Liliyana bukan seperti nyamuk yang ku bilang tadi. Dia memang membuat pipiku merah, bukan karena aku baru di hisap darahnya, melainkan merah karena kaget. Gadis itu mencium pipiku! “Hen?” “ ————— ” “Hendra, maafin gue ya. maaf banget gue udah lancang cium-cium pipi lo.” Liliyana menarik-narik tanganku dan menelungkupkan kepalanya di sekitar tanganku. “Ah, nggak apa-apa kok.” Jawabku sambil mengembangkan senyum yang sedikit memaksa. “Tapi gue maaf banget ya Hen. Bukannya gue gimana-gimana, tapi gue gemes aja sama muka lo. abisnya lucu banget sih jadi gue kelepasan deh nyium pipi lo. hehe.” Kata Liliyana polos. Dan ternyata kepolosan LIliyana itu seakan menjadi boomerang untukku, aku juga gemas dengan pipimu El. “Na, ikut gue yuk.” Ajakku sembari menarik, ah tepatnya menggandeng tangan Liliyana untuk bangkit dari tempat duduknya. “Hay, lo manggil gue “NA”? Nggak salah?” tanya Liliyana. “Enggak ada yang salah kok. Kayaknya lebih enak tuh manggil lo dengan sebutan NA disbanding EL. haha.” “Oh oke deh. Terserah lo.” “Yuk ikut gue.” ajakku lagi. “Kemana si Hen? Yang jelas dong!” “Deket kok.” “Kemana?” “Deket.” “Deketnya dimana?” “Pokoknya deket, Na!! udah ayo buruan.” Langkahku bergegas meninggalkan terminal yang cukup bersih ini dan terpaksa meninggalkan angkot yang sedari tadi ku tunggu. — “Boleh buka mata, Hen?” “Silakan buka mata.” Aku menyilakan Liliyana untuk membuka matanya yang sejak tadi terpejam. “Hen, ini air terjun?” tanya Liliyana sambil menyipitkan mata kecilnya. “Iya lah air terjun. Siapa yang bilang kuburan?” “Hehe nggak ada.” Liliyana menggaruk-garuk tengkuknya. “Na, ini namanya Air Terjun Mars-Shadow! Setiap gue kangen sama temen-temen suku di Planet Mars, gue pasti ke air terjun ini. Tunggu sampai lembayung senja yang merah datang menyapa kita, pasti di kubangan air yang tenang itu, bayangan kehidupan Planet Mars muncul dipermukaan air.” Jelasku. “Lo nggak bohong kan Hen?” “Enggak Na. Swear deh.” Kataku sembari menunjukkan jari telunjuk dan jari tengah yang membentuk huruf V. “Tapi siang-siang gini mana mungkin ada Lembayung Senja, Hen?” “Ya kita tunggu aja sampai sore. Sampai Lembayung merah datang Na. kita tunggu aja disini.” Jawabku. “Terus kita ngapain disini sampai sore? Besok kan kita ada ulangan.” “Ngapain yah enaknya? Ah ulangan aja pake di pikir. Nggak usah belajar deh! Pasti nilai kita seratus!… Ups, maksud gue Nilai kita satu kosong kosong.” Kata ku ngaco. “Haha ngarang! Eh, Hmm masa lo nggak tahu kita mau ngapain Hen!” cetus Liliyana. “Lo mau tau kita sekarang mau ngapain?” tanyaku dengan nada meledek. “Iya.” Terlihat wajah Liliyana seperti orang yang bosan dan tak terlalu suka dengan situasi ini. akhirnya aku pun memutuskan untuk turun ke kubangan air yang dangkal lalu mengambil sepercik air dan ku cipratkan air itu ke wajah Liliyana. “Huaa Hendra!!!!! Basah kan baju gue jadinya.” Raut wajah Liliyana tampak sedikit kesal, namun yang kurasakan, dia mulai senang dengan ini. “Nggak papa. Kita basah-basahan aja. Haha.” teriakku kemudian menggerat Liliyana dan “BYURRR..” “Huaaa Hendra!!” “Mainan air itu lebih menyenangkan di banding mainan HP, Na! cekikik. Asyik kan?” “Enggak!!! Sama sekali nggak asyik. Seragam gue kan jadi basah gini. Udah gitu besok di pake lagi. Wuuu.” Jawab Liliyana sok kesal. “Eleh. Bilang aja seneng bisa mainan air sama gue.” ledekku. “Nggak! Gue nggak seneng! Kalau gue masuk angin gimana? Terus besok gue nggak berangkat sekolah dan nggak ikut ulangan? Gimana?” tanya Liliyana sambil memonyongkan bibir mungilnya. Pose seperti inilah yang bikin Liliyana seperti boneka yang bisa buat anak kecil tergila-gila. “Cerewet! Dari tadi yang di pikir ulangan terus!!! Emang nggak bosen mikirin ulangan terus? Nanti botak loh!” balasku sembari melempar senyum sinis mengejek. “Lah kita kan udah mau ujian, ya harus di pikir dong Hen. Kalo nggak lulus ntar gimana? Lo mau terjun dari atas air terjun itu?” jawab Liliyana. Liliyana menunjuk ke puncak air terjun yang sering ku sebut Air Terjun Mars-Shadow. “Nggak mungkin ngggak lulus. Tenang aja! Semua mata pelajaran pasti dapet satu kosong! Nyante dong. woles” “Haha lo itu ke optimis banget yah dapet nilai sepuluh semua. Huh awas aja kalau ujian lo nilainya nggak sepuluh semua, gue bakal…” Belum selesai bicara, perkataan Liliyana dengan terpaksa ku potong. “Lo bakal ngapain?” tanyaku sembari mendekatkan wajahku ke wajahnya. “Bentar, gue mikir dulu.” jawab Liliyana. Tanpa menunggu perkataan Liliyana, wajah ini terus mendekat ke wajah Liliyana. Deru nafas Liliyana dapat ku rasakan dengan lembut. Semakin mendekat nafasku berbenturan dengan nafasnya, dan beberapa detik kemudian, bibir ku menyatu ke bibir Liliyana. entahalah apa yang sedang ku fikirkan hingga berani mencium seorang gadis. Ini untuk yang pertama kalinya dalam hidupku di Bumi maupun di Mars! Beberapa menit komunikasi bibir itu berlangsung, namun ada hal yang sedikit aneh terasa. Cairan getir kurasakan di bibir. Akhirnya aku memutuskan untuk menghentikan ini semua. Ku sentuh bibirku dengan tangan kananku secara hati-hati, kemudian ku angkat lagi tanganku. ‘Dyar, Darah?’ cairan getir yang berasal dari mulutku setitik demi setitik jatuh ke kubangan air dangkal yang sedari tadi ku tempati unttuk bermain bersama Liliyana. “Hen, lo kenapa?” Liliyana memegang bibirku lembut. Walaupun tadi dia sempat terkena cairan darah yang keluar dari mulutku, tapi dia tetap menyimpan rasa empati terhadapku. “Nggak Na, gue nggak apa-apa.” jawabku tersenyum. “Hen, jujur sama gue, lo itu kenapa?” “Udah, lo lari aja dari sini Na. gue nggak papa. Cepet pergi dari sini.” Usirku. ‘Maaf, Na gue terpaksa ngusir lo. ini demi kebaikan lo.’ Akhirnya Liliyana pun pergi meninggalkanku dan air terjun Mars-Shadow dengan wajah yang masih menyimpan sejuta rasa khawatir. Perlahan tetesan darahku jatuh terlalu banyak ke kubangan air. Alhasil, kubangan air pun menjadi Merah, bayangan Planet Mars terlihat di permukaan air dengan sangat jelas sebelum Lembayung datang. Tiba-tiba suara gemuruh mengerikan datang dan membuat nafasku semakin menegang. “Hendra, ingat! Bumi bukan tempat aslimu. Jangan jadikan bumi sebagai tambang kebahagiaanmu. Satu Kosong Kosong lagi.” ‘DEG’ Aku baru teringat dengan sumpah yang diberikan Dewa Mars terhadapku saat aku akan di kirim ke bumi. Dewa Mars tidak akan pernah mengijinkan manusianya hidup bahagia di Planet lain. Seperti aku ini, aku tidak boleh bahagia dengan kehidupan di bumi. Apabila aku melanggar, sanksi kejam akan merenggutku. — Ujian Nasional telah berlalu dengan mudah. Aku sudah memperkirakan kebahagiaan akan datang sesegera mungkin. Apalagi sehari setelah ujian nasional selesai, Liliyana telah menjalin hubungan spesial denganku, Ya, kami sudah berpacaran. Hari-hari ku lalui bersama Liliyana dengan penuh keriang gembiraan sebelum hari Pengumuman kelulusan datang. Hubungan kami berbeda dengan pasangan kekasih lainnya. Kami sampai sekarang sama sekali belum pernah bertengkar. Mengasyikan bukan? Dan kini tiba saatnya pengumuman kelulusan datang, aku tak perlu mempersiapkan jantung untuk merasakan dag-dig-dug lagi. Aku tak perlu khawatir aku akan lulus atau tidak. Yang ku khawatirkan sekarang adalah Liliyana sekarang. Hari ini, ragaku tak dapat hadir ke sekolah untuk mengetahui kelulusanku. Aku takut kalau Liliyana mencariku dan mengkhawatirkanku. Tapi semoga saja dia baik-baik saja. “Na, kita ternyata betul-betul berbeda. Maafkan aku yang hanya bisa mendampingi kebahagiaanmu dari atas langit. Aku harus kembali lagi ke Planet Mars! Umurku di bumi telah terenggut oleh kebahagiaan. Mungkin kamu sudah mengetahui kalau aku mendapat nilai 10 untuk segala mata pelajaran yang di UN-kan. Dan itu kebahagiaanku yang terrakhir kalinya. aku tak pernah menyesal hidup di Bumi. Kata dewa Mars, aku tak bisa bahagia loh, tapi buktinya? Dewa mars bohong kalau aku tak bisa BAHAGIA!!! Kenyataannya, Aku justru sangat bahagia hidup di Bumi. Kamu tau kenapa? Karena, aku masih sempat memilikkimu. Itu bahkan sudah lebih dari cukup untuk membuatku bahagia. Walaupun sekarang dimensi kita sudah berbeda, ku yakin, cinta kita takkan pernah berbeda. Sedikit waktu denganmu = Kebahagiaanku. Sederhana! I Love you Lili, for One Zero Zero Zero years. I’ll Love you Lili, for One Zero Zero Zero more…” Aku hanya bisa memandang Liliyana membaca surat terakhirku ini dari tanah Mars tempatku berasal. Karena kita berbeda, makannya aku tak bisa… Bahagia denganmu lagi… Cerpen Karangan: Aisyah Hudabiyah Facebook: Aisyah Tangkis Hudabiyah cerpenmu/cerpen-fantasi-fiksi/berbeda.html
Posted on: Thu, 13 Jun 2013 10:53:36 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015