Cerita Dibalik Rumah Yang Indah Siapa yang tidak ingin membeli - TopicsExpress



          

Cerita Dibalik Rumah Yang Indah Siapa yang tidak ingin membeli rumah yang indah dan sesuai dengan kriteria? Tidak ada satu orangpun yang akan menolaknya, apalagi jika dijual dengan harga murah. Namun, rumah yang indah ini memiliki cerita sendiri. Cerita yang tidak ingin didengar oleh pembeli rumah manapun. Belakangan ini aku tidak dapat berkonsentrasi dalam pekerjaanku. Penyebabnya hanya satu, kebisingan dari arah luar rumahku. Ya, memang aku tinggal di sebuah kota padat penduduk dengan kendaraan mereka yang tiada hentinya membunyikan klakson, ditambah lagi jika diketahui bahwa aku dikelilingi oleh pabrik-pabrik besar yang setiap harinya membuang limbah mereka di udara dan di parit-parit. Terkadang ini membuatku muak, yang pada akhirnya kondisi seperti ini membuatku bertekad untuk pindah. Aku menghubungi seorang agen penjual rumah setelah melihat iklannya di koran lokal. Ia memberitahuku bagaimana kondisi rumah tersebut, lokasinya dan harga jual. Aku sangat tertarik dengan rumah itu, apalagi lokasinya sangat jauh dari perkotaan dan pabrik-pabrik. Penduduk yang berjumlah sedikit layaknya di sebuah desa membuatku ingin memiliki rumah itu. Beberapa hari kemudian, aku dan si agen bertemu di sebuah kafe di dekat rumahku. Kami berbincang-bincang tentang rumah yang akan kubeli itu. Kami akhirnya membuat kesepakatan bahwa besok, ia akan menjemputku tepat pukul 12 siang. Keesokan harinya, si agen yang menepati janjinya menjemputku pukul 12 lewat 10 menit. Berbincang sedikit dan kami berangkat ke lokasi rumah itu. Pertama sekali aku melihat rumah itu, mataku hampir sama sekali tak berkedip. Rumah itu sangat elegan, bahkan lebih bagus dari gambar yang ada di iklan. Ketertarikanku akan rumah itu membuatku ingin masuk dan melihat keadaan di dalam rumah itu. Aku tak tahu apa yang terjadi, tapi, yang pasti adalah, setelah masuk ke dalamnya, aku merasa seperti seorang martir yang baru saja mati dan masuk ke surga. Desain interior yang menakjubkan. Rumah yang terawat ini memiliki desain klasik abad 19, dan aku yakin, rumah ini adalah sebuah warisan. Karena di setiap dindingnya ditemukan foto-foto lama yang ditandatangani di bagian bawahnya. “17 mei 1870… 17 mei 1880… 17 mei 1881… 17 mei 1889… 17 mei 1900.” bacaku di setiap tanggal pembuatan foto itu. Semua pakaian mereka sama, memakai tuxedo dan ditemani oleh seorang yang sepertinya kukenal. Entah dimana. Kualihkan pandanganku ke lain tempat dan kutemukan sebuah piano tua yang masih berfungsi. Kumainkan sebuah lagu dari Mozart yang berjudul Minuete dengan piano itu. Hampir setengah jam aku asik dengan piano itu yang hampir kusadari ada banyak orang yang sedang memperhatikanku. Aku berhenti dan kulihat sekeliling dan kutemukan foto yang tadi di ruang tamu berpindah ke dinding di belakangku. Semula aku terkejut. Mata mereka seperti memandangiku. Aku beranjak dari kursi piano dan mendekati foto-foto itu secara perlahan. Ku perhatikan baik-baik foto itu dan berfikir bahwa foto-foto ini ada 2 rangkapnya. Aku kembali dengan aktivitasku. Memperhatikan sekeliling rumah ini, dari luar sampai ke dalamnya. Aku berjalan mengitari bagian dalam rumah hingga keluar. Kulihat semuanya begitu indah. Tertata rapi sekali hingga membuat pertanyaan aneh di kepalaku. “Mengapa rumah ini begitu terawat?” Aku bukannya tidak senang dengan kondisi rumah yang dijual murah dan kondisinya yang terawat. Hanya saja, jika dilihat dengan seksama, rumah ini seperti ada yang datang setiap hari untuk membersihkannya. Perabotannya tidak ada yang diselimuti debu. Sudut-sudut rumah tidak di tumpangi oleh sarang laba-laba. Halamannya bersih sekali, tidak ada sampah daun-daun berguguran walau sekelilingnya ditumbuhi oleh pohon-pohon tua. Siapa yang merawat dan membersihkannya? “Ah, tidak peduli siapa, yang pasti rumah ini bagus. Mungkin saja pemiliknya yang lama yang datang untuk membersihkannya” batinku, sambil tersenyum sendiri. Aku kembali keluar rumah untuk menemui si agen yang dari tadi menungguku di kursi teras sambil menghisap rok*knya. Ia tersenyum kepadaku saat melihatku keluar rumah. “Bagaimana rumahnya pak?” “Rumah ini hebat! Saya sangat beruntung bisa menemukannya.” jawabku dengan semangat. Si Agen hanya tersenyum. Senyuman itu sangat aneh, seperti ada yang ia sembunyikan dibalik senyuman itu. Aku yang sedang senang, menganggap itu adalah senyuman bahagianya, karena rumah yang ia jual sudah laku di tanganku. Pada awalnya tidak ada kecurigaan di benakku akan senyuman itu. Aku yang masih saja penasaran dengan orang yang membersihkan rumah ini, membuat mulutku harus membuka dan bertanya kepada si agen yang sedang menulis sesuatu di agendanya. “Kalau boleh tanya, siapakah pemilik rumah ini sebelumnya?” “Saya tidak tahu. 10 tahun lalu, ada seorang misterius yang menghubungi saya untuk menjualkan rumah ini. Hasil penjualan seluruhnya diberikan kepada saya. Awalnya, saya mengira ia menipu, karena pengalaman saya, keuntungan dari rumah yang saya jualkan, akan diberikan 20% kepada saya. Namun, setelah berbincang cukup lama, akhirnya saya yakin bahwa ia tidak menipu. Dan, cerita selanjutnya akan lebih membingungkan Anda. Lebih baik tidak saya ceritakan.” Jawab si agen “Saya adalah calon pemilik baru rumah ini pak, sebaiknya Anda ceritakan pada saya apa yang Anda ketahui. Karena bisa saja saya membatalkan pembelian rumah ini karena menganggap ada sesuatu yang Anda sembunyikan.” Si agen menatapku aneh. Aku sedikit takut dengan tatapan itu. Ia kemudian bertanya apakah aku yakin siap mendengar ceritanya, dan kujawab ya. “Ia memberitahukanku alamat rumah ini, dan aku mendatanginya. Aku berkeliling hingga 80 mil jauhnya karena tidak mengetahui daerah ini sebelumnya. Aku bertanya kepada orang-orang bodoh yang juga ternyata tidak mengetahui tempat ini. Kau tau bagaimana aku sampai? Mobilku mogok di perempatan jalan tempat kita masuk tadi. Aku berjalan hingga ke persimpangan jalan dan ternyata ada 2 orang polisi disana yang memberitahuku alamat ini. Setelah sampai disini, aku tidak menemukan pemiliknya ada di dalam atau dimanapun di rumah ini. Yang lebih buruk adalah, rumah-rumah di sekitar sini tidak berpenghuni. Aku mengetahuinya ketika melewati persimpangan itu. 2 Orang polisi yang menghentikanku bertanya maksud dan tujuanku datang ke tempat ini. Mereka mengatakan bahwa tempat ini telah ditutup lebih dari 20 tahun silam karena pembunuhan seorang musisi terkenal dari Austria di lakukan di daerah ini, dan mayatnya belum ditemukan dimanapun hingga seluruh masyarakat sekitarnya dihimbau untuk pindah ke sisi lain desa untuk memudahkan polisi dalam menangani kasus ini. Menurut cerita yang mereka katakan padaku, pembunuhan pianis dan komposer sering terjadi di tempat ini sebelumnya. Dan kau tahu? Yang kutemukan di dalam rumah pertama sekali adalah pisau berlumuran darah kering dan berkas-berkas rumah ini terletak di atas meja tamu. Dan di dalam suratnya, rumah ini dibangun pada abad 18.” Jawabnya dengan Intonasi berbeda. “Lalu, bagaimana Anda bisa masuk ke dalam?” “Kuncinya tergantung di pintu, jadi aku membukanya.” jawabnya Aku menelan ludah, tandanya aku sedang bingung dan ngeri akan cerita itu. Aku tak begitu percaya dengan si agen, namun yang pasti, setelah ini, aku akan ditemani oleh rumah-rumah tetangga saja, namun tidak dengan tetangganya. Lama setelah itu, akupun menyelesaikan urusanku dengan si agen. Aku menerima berkasnya, ia menerima uangku. Saat ku lihat isi berkas-berkas rumah itu, aku sangat terkejut. Si agen menyelipkan sepucuk surat kecil bertuliskan: “Aku senang kau membeli rumah yang 10 tahun tak berhasil kujual itu. Aku sengaja membelikan perabotan-perabotan yang kau lihat kemarin agar kau semakin yakin untuk membelinya. Kuharap kau menghiraukan segala sesuatu yang akan kelihatan aneh bagimu setelah ini. ‘JANGAN MEMBUKANYA’.” Ia menuliskan kata-kata terakhir itu dengan huruf yang lebih tebal. Aku sedikit bingung. Apa maksud dari ‘JANGAN MEMBUKANYA’? Selama perjalanan menuju rumah baruku, aku dihantui perasaan bingung juga takut sekali. Di satu sisi, aku merasa menyesal membeli rumah yang tidak memiliki penduduk. Di sisi lain, tekadku untuk pindah dari kota lamaku membuatku bertahan. Aku pindah dari rumahku yang lama dengan tidak membawa apapun, kecuali Izajah, sertifikat kerja, surat-surat berharga lainnya, laptopku dan pakaian. Perabotan dan barang-barang kebutuhan lainnya sudah termasuk dalam rumah baru itu. Aku seperti sedang bermimpi bisa mendapatkan rumah yang dijual murah dengan lokasi dan kondisi yang aku inginkan. Kecuali tetangga. Ketika hari mulai sore, aku memutuskan untuk mandi dan berencana mencari pekerjaan baru yang bisa kudapatkan di sekitar daerah ini. Karena sehari sebelum aku membeli rumah ini, aku sudah mengundurkan diri dari tempat kerjaku yang lama. Sesaat sedang menuju kamar mandi, aku melihat seseorang melintas di depan jendela menuju halaman belakang rumahku. Aku yang bingung sekaligus takut segera mengecek keluar rumah, namun yang kudapat adalah keanehan. Aku mendapati stelan tuxedo usang terletak di halaman belakangku. Aku berlari menuju ke dalam rumah dan berusaha menenangkan diri. Ini begitu membuatku bingung. Menurut cerita si agen tidak ada seorangpun yang tinggal di sekitar rumahku, namun bagaimana bisa ada orang yang lewat di depan jendela dan meninggalkan stelan jasnya. Aku menarik nafas dalam-dalam agar bisa tenang. Setelah aku sudah merasa sedikit lebih baik, aku pergi ke kamar mandi untuk melanjutkan mandiku yang tertunda. Rasa segar dan bersih setelah selesai mandi, membuatkuku lebih bersemangat untuk mencari pekerjaan baru. Kunyalakan laptopku dan pasang koneksi internet telepon. Kucari pekerjaan yang sesuai denganku, yaitu menjadi sebuah programmer dan pemusik. Sejam di depan laptop membuatku sedikit letih. Sendirian di rumah ini membuatku ngeri juga. Kengerianku itu memaksaku untuk mengambil remot TV dan menyalakannya dengan volume yang keras. Agar suasana rumah sedikit ramai. Ku lanjutkan pencarian pekerjaan dan hasilnya nihil. Tiga jam aku duduk di sofa dan tidak ada satupun yang sesuai dengan pengalaman kerjaku. Kulihat jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Aku berbalik melihat ke arah TV. Ada film bagus, tetapi aku tidak berminat menontonnya. Lelah berada di depan laptop membuatku beranjak dari sofa dan menuju ke arah luar rumah. Saat kubuka pintu, angin malam yang dingin masuk ke dalam rumah. Angin ini seperti menandakan akan adanya hujan sebentar lagi. Aku yang hanya mengenakan celana pendek dan kaus, tak lama sudah merasa kedinginan. Aku pun menutup pintu. “Dingin sekali” ucapku pelan. Tak lama kemudian perutku mulai berbunyi. Aku sangat kelaparan. Kuambil Handphoneku dan kucoba menghubungi Layanan makanan pesan-antar. “Bodohnya aku! Tidak mungkin ada layanan makanan pesan-antar di daerah seperti ini” ucapku sambil menepuk kening. Kukenakan Jaket dan kuputuskan keluar rumah untuk mencari warung yang masih buka. Jaket yang kugunakan tidak dapat menahan dinginnya angin malam ini. Aku masih merasa kedinginan. Semakin lama aku mencari warung, semakin lemas lah aku. Perut yang kosong ditambah angin malam yang menusuk tulang ini membuatku serasa mau mati. Namun, rasa itu hilang saat kusadari ada sebuah warung kopi yang masih buka tak jauh dariku. Aku berlari menghampiri warung yang tampak sepi itu. “Pak, saya orang baru disini. Apakah masih ada warung makanan yang masih buka jam segini?” tanyaku. “Oh, anda orang baru yang tinggal di Alamat Feder Street nomor 66 itu ya?” “iya pak, benar.” Tanyaku sedikit heran “Oh. Hahaha. Ya, maaf pak, tidak ada lagi warung nasi yang buka jam segini. Kalau anda lapar, ini, masih ada gorengan hangat, baru saya goreng.” Tawarnya padaku. “Oh, baik sekali. Terima kasih pak. Oh ya, saya juga minta dibungkus satu susu hangat pak.” “Ya, akan saya siapkan” “Pak?” tanyaku, sambil menggigit gorengan yang tersedia di meja warung. “Ya? Ada apa?” “saya melihat ada keanehan di daerah ini.” “keanehan apa maksudnya?” “Yang saya dengar, sejak 10 tahun lalu, rumah-rumah di sekitar sini tidak berpenghuni lagi ya pak? Ada apa sebenarnya?” “Oh, jadi bapak belum tahu ya? Semua penghuninya pindah ke sisi lain desa pak.” Jawabnya, sembari memberikan susu pesananku “memangnya kenapa ya pak?” tanyaku lagi sambil memberikan beberapa lembar uang “Oh itu, saya juga tidak tahu kenapa, yang pasti ada cerita bahwa tempat ini memiliki kisah misterinya sendiri pak” “oh, begitu. Baiklah pak, saya pamit pulang dulu” pamitku “Silahkan” Aku bertanya-tanya dalam hati. Mengapa orang-orang pergi meninggalkan rumah mereka ke sisi lain desa. Pertanyaan itu harus berhenti karena aku melihat seorang pria berpakaian seperti orang abad 70-an seperti di film-film masuk ke dalam rumahku. Aku berlari ke arahnya sambil berteriak mencoba menghentikannya, namun ia seperti tidak mendengar teriakanku dan terus masuk. Sesampainya di rumah, ku letakkan susu dan gorengan yang baru ku beli di meja. Kemudian ku ambil pemukul baseball dan kususuri seluruh bagian-bagian rumah. Namun saat ku sadari ada ruangan kecil di samping kamar tidurku yang belum kususuri, aku membuka pintu dan keadaan di dalamnya gelap. Ku cari tombol lampu dan betapa terkejutnya aku melihat 10 mayat manusia berpakaian seperti orang yang aku lihat tadi sudah membusuk menoleh kearahku. Aku kaget dan bergerak mundur dengan cepat hingga punggungku membentur ke dinding. Kulihat kebelakang, foto-foto orang memakai tuxedo yang kemarin kulihat tersenyum kepadaku. Namun mereka hanya sendiri di gambar itu. Aku berlari menuju keluar rumah sambil berteriak dan langsung menghubungi Polisi. Tapi tidak ada jawaban. Kuhubungi berkali-kali, tetap tidak ada jawaban. Berfikir positif di saat seperti ini tidak ada gunanya. Kuhubungi Ricky, sahabat yang bisa kuandalkan sejak kuliah dulu dan berharap dia akan menjawabku. Dan harapanku terkabul. “Rick, dimana kau?” tanyaku lega mendengar suara Rick dari seberang “Aku sedang di mobil, menuju rumah, ada apa?” “Rick, bisakah kau ketempatku sekarang?” tanyaku, sambil memberikan alamat rumah ini dan sambil menceritakan kondisi yang sedang kualami “Baik, aku kesana, jangan panik” “Cepatlah Rick” pintaku sambil menutup sambungan telephone 4 Jam kemudian, Ricky datang mengendarai mobilnya. Aku sangat senang melihatnya. Aku kemudian mempersilahkannya masuk ke dalam rumah dan menceritakan semua kejadian yang aku alami. “Kau tau? Sebaiknya kau tanyakan dahulu kepada si penjual rumah, mengapa ia menjual rumahnya. Tanya alasannya sebelum kau membelinya” “Yah, percuma saja. Sudah terlanjur. Aku akan coba menghubungi agennya dan menyuruhnya datang kemari.” Kau tau bagaimana kejadian selanjutnya? Foto-foto orang pemakai tuxedo itu tidak tampak lagi setelah Rick datang. Aku berusaha mencari-cari foto itu di setiap ruangan dan di setiap dinding. Usaha itu sia-sia. Polisi datang tidak lama kemudian dan tidak menemukan adanya mayat dimanapun. Aku dianggap menipu dan menyusahkan para polisi-polisi itu. Rick yang saat itu bersamaku menenangkanku dan kembali bertanya kronologinya. Panjang lebar aku bercerita padanya dan di tengah-tengah cerita aku melihat mayat-mayat itu berdiri di belakang Rick sambil tersenyum. Aku yang kaget membuat Rick bingung dan heran. Aku tak menoleh sedikitpun dari mayat-mayat itu. Rick menoleh ke belakang dan reaksinya seperti orang yang tidak melihat apapun. Tapi aku melihat mereka. Mereka tersenyum padaku yang lambat laun menghilang seperti kabut. “Aaa… Aaa… Apa kkkk… Kau tttiii… Ttttiiii… dakkk melihaaaattt… nya?” tanyaku gagap. “Melihat apa? Aku tak melihat apapun…” Aku diam seperti orang bodoh. Shock dan trauma menghampiriku. “Dengar kawan. Kau perlu beradaptasi dengan rumah barumu. Mungkin kau perlu melihat-lihat rumah ini secara keseluruhan, mulai dari atap hingga ke bawah. Atau mungkin kita harus mengelilingi komplek ini?” tanyanya sambil tersenyum kecil. Aku tak mengerti maksudnya. Apakah ia bermaksud menenangkanku atau tengah bercanda dengan ketakutanku. Kami menjelajahi seluruh rumah, dan tak menemukan hal aneh apapun di dalamnya. Rick kemudian mengajakku mengelilingi komplek perumahan. “Hei, aku heran padamu. Kau bilang mereka semua pergi meninggalkan rumah mereka disini. Jadi, rumah-rumah ini tidak berpenghuni, kan?” “Begitulah” “Mengapa kau masih ingin tinggal disini? Lebih baik kau jual rumah ini, dan sementara itu, kau boleh tinggal di apartemenku” Kami tak sadar kalau kami sudah berjalan cukup jauh hingga menemukan sebuah pabrik koran usang yang sepertinya sudah lama ditinggalkan. Melihat dari kondisinya, pabrik-pabrik ini bukan ditinggalkan karena bangkrut, melainkan secara sengaja ditinggalkan oleh pemiliknya. Aku berkesimpulan seperti itu, karena banyak sekali koran yang sudah menjadi sarang laba-laba terletak di luar pabrik yang sepertinya hendak dijual. Aku dan Rick melihat-lihat koran-koran itu satu persatu. Aku terkejut saat melihat berita di koran yang bertanggal 18 mei 1870. “PEMBUNUHAN KOMPOSER DAN PIANIS : Pembunuhan komposer dan pianis kembali terjadi di kota ini. Pianis sekaligus komposer terkenal bernama Asnate Isodaus yang lahir di Austria ini ditemukan tewas di kediamannya, Feder Street 66. Polisi menemukannya meninggal di kursi piano dengan luka tusukan di leher bagian belakang. Diduga kuat, ia dibunuh saat sedang menggubah lagu. Fotonya yang tertera dikoran membuatku merinding hebat. Karena, aku pernah melihatnya di rumah baruku. Ia berfoto pada tanggal 17 mei dan kemudian ditemukan telah menjadi mayat keeseokan harinya. Berita serupa kutemukan di koran-koran lainnya, dan mereka semua pernah kulihat di rumahku. Dan yang lebih buruk adalah, semua pembunuhan itu dilakukan di rumahku, tepatnya di rumah baruku. Aku menarik koran lainnya dari tumpukan koran-koran lama itu, dan salah satunya jatuh tepat di kakiku. Berita utama koran itu adalah, PEMBUNUH KOMPOSER DAN PIANIS DITANGKAP. Aku melihat fotonya dan seperti pernah mengenalnya. Aku terkejut setelah akhirnya mengenali pemilik wajah yang tak asing itu. Aku melempar koran itu dan merangkak mundur. Rick melihatku heran dan mengambil koran yang kulempar itu. “PEMBUNUH KOMPOSER DAN PIANIS DITANGKAP : Polisi akhirnya menemukan pembunuh komposer dan pianis terkenal yang kerap beraksi di Feder St. no.66. Ia adalah seorang agen penjual rumah yang memiliki gangguan mental. Motif pembunuhannya adalah rasa iri kepada para korbannya yang memiliki kemampuan bermain piano lebih baik darinya. Menurut pengakuannya, ia membunuh para pianis tersebut 3 hari setelah mereka membeli rumah yang ia jual…” Rick berhenti membacakan berita itu setelah mendengar ponselku berbunyi. Setelah kulihat, ada sebuah pesan masuk ke ponselku. Aku membukanya, dan ternyata si agen mengirimiku sebuah pesan singkat yang membuatku langsung pergi meninggalkan rumah bekas pembunuhan yang kubeli beberapa hari yang lalu. Isi pesan itu : Besok, aku akan datang ke rumahmu dan berencana memfotomu untuk kenang-kenangan. Aku langsung menarik jaket yang dipakai Rick dan berlari seperti dikejar kawanan serigala. Rick tampak kebingungan akan sikapku dan berhenti berlari. “Ada apa ini?” “Ayolah, kita harus cepat-cepat meninggalkan tempat ini sebelum si pembunuh itu datang.” “Pembunuh apa?” “Nanti akan kuceritakan setelah sampai di rumah” Apapun yang terjadi, aku bersyukur sekali pada saat itu, kerena Rick mau menurut dan mengikutiku pulang. Dan sesuatu terjadi. Saat kubuka pintu. Aku melihat pisau berlumuran darah kering, berikut berkas-berkas rumah berhamburan di atas meja. Aku yang panik saat itu, langsung menyusun semua barang-barang berhargaku dan pergi dari daerah itu bersama dengan Rick ke Apartemennya. Aku tidak perlu menceritakan lebih jauh mengenai hal ini. Biarlah, siapapun yang terlibat dalam hal ini mendapat ganjarannya. Rumah itu menyimpan ceritanya sendiri. Ia memiliki sesuatu di dalamnya yang orang lain tidak perlu mengetahuinya. Sedikit yang dapat kuberitahukan adalah, setelah ku telusuri di dunia maya, aku mendapatkan informasi bahwa si agen itu dihukum mati pada tanggal 17 mei 1931 oleh pemerintah Austria karena berulang kali membunuh para komposer dan pianis asal negara pemusik tersebut dan juga, karena telah menyembunyikan satu mayat Pianis dan Komposer terkenal di Feder st. no. 66 bernama Bernard Raamses. Sejak saat itu. Aku masih trauma jika melihat iklan rumah di sebuah Koran lokal yang bentuknya sangat indah dan dijual dengan harga murah. Aku selalu berkata dalam hati. “Jika mereka pintar, mereka akan bertanya sebelum membeli.” Satu kata yang kuingat dari Ricky sampai sekarang. “Tidak peduli betapa indahnya rumah itu. Tidak peduli berapa harganya. Yang perlu diperhatikan adalah, cerita dibaliknya.” Cerpen Karangan: Agustinus Pieter
Posted on: Sat, 17 Aug 2013 03:35:29 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015