Cerpen "Sebuah jalan"( part satu) Happy reading :D Entah - TopicsExpress



          

Cerpen "Sebuah jalan"( part satu) Happy reading :D Entah mengapa aku begitu berani. Aku biarkan hatiku dibawanya pergi tanpa tau apakah nanti hendak terpikir olehnya akan dibawa pulang kembali. Satu lembar kertas ber-isi kalimat-kalimat pengagungan cinta aku simpan rapat-rapat di saku seragam yang aku kenakan. Sudah detik yang kesekian aku menunggu, belasan menit tersudahi begitu hampa, satu-dua jam berselimut keheningan, hari lepas hari tanpa kepastian, minggu-minggu yang aku lewatkan begitu saja, bulan berganti bulan yang tak dapat aku hentikan serta kini setahun menggantung harapan. Aku menyelipkan surat ini kedalam amplop merah hati dengan wangi mawar putih. Tepat hari ini adalah hari dimana satu tahun genaplah aku mengenalnya, sejak perkenalan kami waktu sama-sama duduk dibangku SMA kelas satu. Sambil duduk di taman sekolah aku memandang jauh ke atas sana. Bagaimana mungkin aku bisa sampai sejauh ini ? Dia sama seperti siswi lainnya, senyum merekah dengan pipi merona, bibir kecil dengan sembirat senyum serta halus tangannya masih aku ingat; kala Ia sebutkan namanya, “Dara” “Mita !” sapa seseorang dari balik mataku. “wah, kamu Put ! bikin kaget” tegurku pada Putri. Ia teman satu kelasku, teman Dara juga. Kebetulan sekali kami bertemu di pagi ini. “ada perlu apa ke sekolah Mit ?” tanya Putri sambil menyusul duduk di bangku. “mau ketemu Dara” jawabku jujur. “apa?” Putri menyeringai. “iya, ada yang salah ?” tanyaku polos. Putri membuang pandang segera. “enggak ada. Aku duluan deh, mau pergi habis ini. bye..” Putri tiba-tiba saja meninggalkanku, tanpa sebab tanpa alasan yang jelas. Ada perlu apa juga ya dia masuk sekolah ? kebetulan saja mungkin. Apakah aku sudah beritau ? Aku Pramita, biasa dipanggil Mita. Kalian kaget dengar nama Dara ? Pula aku kalau seperti itu. Ini ganjil terdengar, ini hina terlihat dan ini tak pantas di kenang. Aku siswi SMA, genap 16 tahun dan sedang menunggu dambaan hatiku, seorang siswi lainnya yang tak lain adalah teman satu kelasku sendiri. Aku tidak tau tepatnya kapan aku mulai mempunyai perasaan seperti ini. Namun bersama Dara aku merasa seperti menjadi diriku sendiri. Aku lemah kala menatapnya, kedua bola matanya seolah mengikatku untuk tak berhenti memujanya. Sesalnya, Putri tau betul tentang apa yang terjadi antara aku dan Dara. Putri penjaga rahasia terbaik yang pernah aku kenal. Ia tempat curhatku juga tempat curhat Dara, kurasa jelas sudah mengapa Ia putuskan cepat-cepat hendak meninggalkan aku. Hari ini sebenarnya hari ter-akhir untuk libur kenaikan kelas, berbeda dengan rencana anak-anak SMA lain umumnya ketika menghabiskan jam-jam akhir sebelum kembali pada rutinitas sekolah, aku memilih untuk menemui Dara. Tepatnya membuat janji bertemu dengannya. Pikiranku kembali menerawang, aku menggoyangkan kakiku pelan untuk menghilangkan bosan. Bagaimana mungkin aku jatuh cinta kepada temanku sendiri ? aku tak mau ingat ketika menyadari aku ini sama dengannya. Terlalu sakit. Seseorang menutup kedua mataku dari balik tubuhku dengan telapak tangannya. Tanpa harus menerka untuk lebih lama aku sudah mengenali siapa orang ini. “aku tau kamu Dara..” seruku girang. Kemudian yang terdengar hanya gelak tawa romantis yang mengalun dari bibir milik Dara, aku tak kuat menahan rasa senangku yang bukan main. Ia melepas tangannya dari mataku, aku segera berbalik dan tentu saja semakin berdebar jantungku, Ia Dara. Berdiri di hadapanku dengan tatapan sama seperti satu tahun yang lalu. “udah lama mit ?” tanya Dara cukup kaku. “enggak juga kok ra..” jawabku tambah kaku. “katanya ada yang penting yang kamu mau omongin ya ? ada apa mit ?” tanyanya. “duduk sini deh” jawabku sambil menggandeng tangannya untuk duduk di sampingku. Matahari terlambat datang bersama sinarnya, awan tertatih dikejar angin namun langit masih biru, persis seperti setahun lalu. “sebenarnya enggak ada yang penting-penting banget sih ra, aku cuma kangen” ucapku jujur tanpa berani menatapnya. “kangen ?” tanyanya menahan tawa. “iya” jawabku dengan muka datar. “ada yang salah ya ?” tanyaku kemudian. “enggak..” “aneh aja gimana kamu bisa kangen, perasaan hampir setiap waktu yang ada kita juga ga pernah lepas komunikasi” katanya. “masalahnya..” “aku kangen sama kamu, bukan tulisanmu” timpalku. Dara tertawa dengan manis, aku bersyukur percakapan kami tidak menjadi awkward. Terlebih lagi aku bersyukur, kami dapat mengobrol lancar tanpa harus khawatir untuk kehilangan topik pembicaraan. Kala itu Dara mengenakan seragam osis SMA plus rambutnya yang di gerai, aku tidak sanggup menggambarkan dia lebih jauh lagi. Semakin aku coba untuk segera memberikan surat ini maka semakin berat rasanya aku untuk mempercepat pertemuan kami kali ini. “aku sering curhat sama Putri akhir-akhir ini” katanya. “oh ya ? tentang apa ?” tanyaku ingin tau. “seseorang” jawabnya singkat. Rasanya hatiku bak diremukkkan begitu saja. Setelah terbang begitu tinggi membelah langit, kini aku dijatuhkan begitu saja. sakitnya bukan main. Putri juga sering aku pojokkan untuk menceritakan apa yang menjadi curhatan Dara. Pahitnya, Dara sedang menaruh hati kepada orang lain. Kalau tidak salah ya seperti itu menurut ucapan Putri. Kini aku akan dengar sendiri dari mulut Dara, mulut orang yang aku sayangi. Sebagai seorang teman, mendengar curhatnya tentu sebuah kewajiban namun sebagai orang yang jatuh kedalam hatinya, tentu itu menyakitkan. Aku tentu berharap akulah orang yang ada di dalam ceritanya, aku hanya berharap. Tidak mau menyerah sebelum berperang, aku buatlah surat ini. Apa salahnya mencoba ? lagi pula Aku tidak pernah menyesal atas perasaanku kepadanya. “ada apa dengan seseorang itu ?” tanyaku lagi. “dia sangat mencintaiku, dari caranya yang aku kenal” jawabnya terdengar memilukan. “seperti apa dia ?” tanyaku lagi dengan mencoba lebih tegar. “dia mungkin dekat, bisa jadi sangat jauh. Aku sendiri tidak tau, akan tetapi aku sangat nyaman dengan caranya ketika bersamaku” jelasnya. “siapa namanya ?” aku bertanya menjurus ke permasalahan, tidak memperdulikan lagi soal hati serta perasaan. Dara menarik nafas dengan berat, bersamaan dengan itu angin terasa menghilang begitu saja. Aku menguatkan diriku agar tidak menghanyut dalam pusaran emosi. Namun saat langit itu tertutup awan, maka rasanya hatiku membiru, seperti terhantam oleh orang yang diceritakan Dara. Aku menyesal saat memperhatikannya setengah hati, aku menyesal tak memperjuangkannya mati-matian dan lagi aku menyesal, mengetahui keadaan kami yang tak akan bisa diterima akal mana kala kami coba buat bersatu. Namun dari kalimat-kalimat Dara, sangat sulit aku terima. Bisa jauh, bisa dekat lalu kini aku tanya siapa namanya, Ia malah terlihat sulit menjawabnya. “nanti kamu akan tau” jawabnya menggantung lukaku. “aku mohon, buat aku Dara. Jawab saja” pintaku sedikit memaksa. “dia keras kepala dan bodoh sekali, tidak peka kode dan terkadang egois” katanya tanpa menatapku, serta coba Ia tahan kegelian dari kalimatnya itu. Aku hanya mampu terdiam sambil menganga. Sedetik kemudian angin menggeletik relung jiwaku. Aku menatap Dara penuh keraguan, akan tetapi aku malah disambutnya dengan tatapan setahun lalu, tatapan yang membuatku menjadi kehilangan akal dan menjadi tak waras. Burung gereja berkicau seadanya di batang-batang pohon eklesia. Aku meragu pada diriku sendiri, jangan-jangan aku salah dengar atau salah tafsir. “bagaimana rasanya menunggu, mit ?” kini malah terdengar tanya darinya. “mengapa bertanya seperti itu ?” aku malah ganti bertanya. “kamu ini, susah sekali menangkapnya..” keluh Dara “aku sama sekali tidak mengerti apa pembicaraan kita ini” ungkapku malu-malu “kamu ini pura-pura tidak tau atau bagaimana sih?” lagi-lagi Ia memojokanku. “aku tidak mau gede rasa duluan, tapi kenapa kamu buat aku ge-er terus” keluhku tak sengaja. “harus bagaimana memberitaumu ?” Dara geregetan. Perlahan, didalam detik-detik yang tak pernah ingin aku lewatkan ini, aku berada di tengah kebimbangan yang amat dahrat. Apakah Dara benar-benar mengetahui isi hatiku yang terdalam ? apakah benar adanya Ia menerima kasih sayangku yang amat tulus ini ? dan jauh lagi, apakah Dara punya rasa yang sama terhadapku sedari dulu bahkan ? Kalau benar adanya, aku tidak tau harus mengatakan terimakasih yang seperti apa pada Putri. “heh, kok bengong !” Dara menepuk-nepuk pundakku. “umm, ehh.. iya.. iyaa” aku terhenyak sekaligus tergagap. “kamu mikirin apa ?” tanyanya sambil menatapku lekat, sungguh luar biasa rasanya. “enggak ada” jawabku sambil tersenyum. “ye kan jadi gila.. senyum-senyum sendiri” ledeknya sambil menunjuk-nunjuk mukaku. “iya, kamu yang bikin aku gini” ucapku spontan. “gombal” Dara menonyor wajahku pelan. Aku menangkap tangannya yang terlambat Ia tarik kembali dari wajahku. Ia tersipu, wajahnya memerah. Aku berhasil mendapatkan pembicaraan atau setidaknya aku dapat menyimpulkan sebuah perasaan, lalu kini tinggal mengikuti keadaan. Masih sambil menggenggam tangannya erat, aku tarik perlahan dari saku seragamku, sepucuk surat wangi dengan kalimat dari hati. “buat kamu Ra” ucapku hampir berbisik. “surat ?” tanyanya. “iya” ucapku sambil menggenggam tangannya, menengadahkannya ke langit dan aku tandasi bersama suratku. “manis banget sih” katanya pelan. Aku serasa mau melayang. “aku harus baca dimana ?” Ia malah bertanya. “terserah kamu sih Ra..” jawabku sambil perlahan melepas tangannya. “makasih ya mit” katanya sambil menatapku. “sama-sama Ra” aku beranikan diriku untuk balik menatapnya. Tiba-tiba sebuah pelukan mendarat jatuh perlahan di tubuhku. Entah harus bagaimana mengungkapkannya, hari ini sungguh tidak pernah aku bayangkan akan terjadi. Awal dari sebuah keraguan yang dikuatkan oleh perasaan. Aku tidak menyangka akan menjadi seindah ini, bahkan awalnya aku mengira kalau Dara akan marah padaku. Bagaimana ceritanya bisa menjadi seperti ini ? menikmati tatapannya, jatuh cinta pada desah nafasnya, suaranya yang empuk, tawanya yang menawan, mengetahui perasaannya dan kini dipenjara oleh pelukannya. Aku tidak tau setelah ini apa, akan tetapi aku tau perjuanganku belum akan berhenti sampai disini. Lebih dari itu, kini aku tau aku tidak sendiri ketika melewati malam, aku tidak pernah seorang diri lagi ketika bangun menghirup udara untuk pertama kali kemudian tergenapi sudah pencarian sepotong hati untuk melengkapi jiwa yang letih berjuang menatap mentari ini. Perjalanan tetaplah perjalanan. Pada sebuah jalan, cepat atau lambat kau akan menemukan kerikil kecil atau bahkan sebuah tanjakan yang rasanya amat tinggi apabila harus dijajal. Maka seperti itulah kira-kira tentang apa yang aku dan Dara temui. Bak melawan takdir Tuhan, tiada satu dari kami yang mau melepas diri. Kami coba terus menemukan berbagai persamaan, menyelaraskan perbedaan dan mengendalikan egoisme sebisa mungkin karena kami punya satu tujuan yang sama pula; bahagia berdua. “kalian pikir mengumbar kata cinta di dunia maya itu aman ?” tiba-tiba Putri bertanya. Saat itu kelas sedang istirahat, Dara sedang duduk di serambi kelas bersama gank-nya dan aku sedang menyalin pe-er milik Dara namun Putri datang membuyarkan aktivitasku. “aku sayang dia” jawabku melenceng dari pertanyaan Putri. “se-sayang apapun kamu sama dia, kamu juga harus memikirkan kelangsungan kalian” katanya. “kami harus membuktikan kalau kami eksis ? seperti itu ?” aku ganti bertanya. Putri menggelengkan kepalanya, ku kira Ia kesal. “justru itu, jangan meng-eksis-kan keberadaan kalian bak pasangan” ucap Putri. “kamu tidak usah khawatir, ada ambigu dibalik tweet kami” timpalku. “kalau dari pihak Dara sih iya, tapi dari pihakmu ? terang sekali nampaknya. Kalau orang yang tidak mengenal kalian tentu akan terkecoh, tapi siswa disini ?” Putri memojokan kembali. “terkadang dia juga bisa sangat dingin terhadapku pada dunia maya, tenang saja” ucapku sambil menuliskan kalimat-kalimat jawaban pe-er pelajaran ips ini. “justru itu Mita !” Putri nampak geregetan. “siswa-siswi itu juga punya hak kepo, sudah biarlah, aku tidak perduli Put” aku malah mengkeraskan hati. Putri menghela nafas panjang. “I’ve tell you” ucap Putri nyaris tak terdengar olehku. Aku tetap asyik mengerjakan tugas rumah yang tertunda ini, tentu kalian tau alasannya mengapa bisa jadi tertunda seperti ini. Bagi kalian yang sudah berpacar atau setidaknya yang pernah mencicipi manisnya cinta dengan seseorang akan mengakuinya. Gejala insomnia, malas pegang buku bagi pelajar, batre hand-phone yang memboros adalah segelintir contoh bagaimana seseorang dapat begitu mengubah kebiasaanmu. Bukankah lebih menyenangkan berkirim surat pendek elektronik ketimbang membaca serta memecahkan rumus-rumus fungsi pada lembaran buku paket matematika ? Aku akui iya. Dara bak penggubah, aku tidak peduli walau perubahanku itu buruk, aku tidak pernah mengingkari hak orang lain, itu saja yang merupakan peganganku. Hari-hari terlewati begitu cepat saat engkau menyadari bahwa kau telah jatuh cinta. Setidak-nya itu yang aku rasakan. Masih belum habis pikirku tentang bagaimana bisa seorang Dara menaruh perasaan yang sama terhadapku ? apakah karena karangan Putri dari curahan hatiku ? Apa Dara hanya kasihan saja terhadapku ? Segala spekulasi muncul begitu saja diotak, hingga aku takut kalau-kalau Dara hanya sedang bermain disini, melonjak-kan hatiku ke awang-awang sementara saja dan hingga tiba saatnya ketika Ia mulai bosan maka datang seseorang yang lebih baik dari aku, Ia akan tinggalkan aku, menutup segala bahagia pagi lalu. Aku tau, sempurna adalah kata yang jauh bagiku, apalagi bagi kami. Semua tau kalau ini tidak seharusnya terjadi, bukan cinta dan perasaannya yang salah, hanya saja orang dan waktunya. “happy anniversarry” ku sodorkan tanganku, hendak bersalaman dengan Dara. “happy anniversarry juga kebo” ucapnya menahan tawa serta menyambut tanganku. “jalan yuk, itung-itung ngerayain” tawarku. “lebay ahh, baru juga 2 bulan” katanya. “ya ga masalah dong” timpalku. “ya udah yuk” akhirnya Ia mengiyakan ajakanku. Iya, kami sudah jalan hampir 2 bulan. Meski Dara terlihat cuek atau bahkan ke arah yang tidak perduli, aku tau bagaimana perasaannya itu terhadapku. Keadaan kami yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama membuat segalanya menjadi terbatas. Waktu apalagi. Hari ini untung-nya bertepatan dengan hari libur, aku berkunjung ke rumah Dara, entah kebetulan atau apa, orang-tuanya sedang ada keperluan, sehingga kami tidak ditanya yang macam-macam, jujur saja kepoisme itu sedikit mengganggu kalau sudah kelewat batasnya. Lumayan, hari libur ini sebagai pemberhentian dari aktivitas sekolah yang mulai memadat menjelang tes tengah semester. Tidak ada setengah jam aku menunggu, Dara sudah berganti pakaian dan siap untuk pergi. Kami memilih menggunakan bus kota, aku sendiri sebenarnya bisa mengendarai motor, akan tetapi aku tidak punya surat jalan ataupun surat ijin mengendarai. Aku patut bersyukur, Dara tidak mempermasalahkannya. Aku membuka kaca jendela bus butut ini. Dara sudah kipas-kipas seadanya dari tadi. Aku membayarkan ongkos kami ke kenek, tujuan kami ke mall. “kamu besok duduknya jangan sama Dilan” ucap Dara. “terus sama siapa ?” tanyaku. “sama aku juga bisa kan ?” jawabnya. “gimana bisa sama kamu ? Jojo aja enggak mau diajak gantian duduknya” keluhku. “aku udah ngomong sama dia kok, mungkin sekali aja dia mau” ucap Dara lagi. “kenapa emangnya ? duduk disini berdua kurang ya ?” godaku. “idihhhh” Dara malah mencubitku habis-habisan. “sayang aku, bukanlah bang toyib.. yang tak pulang-pulang, yang tak pasti kapan dia datang” Suara pengamen yang seadanya itu beradu dengan bising klakson dari para pengendara yang mulai tak sabaran dengan sopir bus ini, kerjaannya nge-rem mendadak, sonteng sana-sini, pokoknya, asal penumpang bisa dinaikan. Bus yang karatnya sudah menjamur tak terkendali ini terkentut-kentut menyusuri jalan Merdeka, jantung kota dimana kemacetan adalah temanya. Terkadang aku mencuri pandang ke arah Dara, kemudian larut dalam tatapan-nya. Tidak terlalu jelas mengapa Ia suka menguntai detik demi detik tanpa kedipan mata yang berarti. Ini bukan pertama kalinya kami jalan bareng, tapi ini menjadi spesial manakala kami ingat ini adalah tanggal sakral bagi kami. “Putri cerita apa aja sih ke kamu ? soal aku tepatnya” tanyaku. “kepo lu, rahasia dong” jawabnya meledek. “nyebelin” aku mengacak poninya. “ahhh, kebo !” Ia setengah berteriak. Mendengar tawanya, keluh manja serta sorot tajam matanya adalah sebuah anugrah yang tidak bisa tergantikan. Tidak terasa kami hampir sampai, aku memberi kode pada kenek yang berdiri tak jauh dari kami. Dengan menyusulku dari belakang, Dara berpegangan kuat pada baju yang aku kenakan, mungkin Ia jarang naik angkutan umum seperti ini. Perjalanan kami pun ternyata belum ber-akhir, masih harus menyebrang jalan raya pemisah halte usang dan mall yang hendak kami tuju. Sambil menggandeng tangan Dara, aku mendahului untuk melangkahkan kaki menyebrang. Aku dapat merasakan tangan Dara yang mulai erat kalau ada kendaraan dengan kecepatan tinggi melintas didepan kami. “kenapa ?” aku bertanya sambil menatap Dara lekat. “enggak” katanya sambil geleng-geleng. “jangan takut, kan ada aku” ucapku sambil tesenyum lebar kepadanya. “iya kebo” katanya manis. Aku sengaja tidak melepaskan gandengan meski kami sudah melangkah masuk ke dalam mall, biarlah mau apa dikata orang. Mungkin sendirinya Dara merasa ganjil, tapi tidak aku rasakan sedikitpun hasratnya untuk minta melepaskan tangan. Ia seorang penjaga perasaan yang baik. Sambil menyusuri tiap sudut di mall ini, kami masih bergandengan tangan. Banyak pula mata yang memandang kami disertai pikiran picik, meski ini terkesan menuduh akan tetapi aku bisa membaca raut wajah orang-orang itu. Kami melakukan window shopping, sesekali kami bercanda riang dan kini tanganku malah dipeluknya. Dengan terang Dara menaruh kepalanya dipundakku, aku begitu mencintai sifat manja-nya ini. Bagiku, jalan-jalan ke mall seperti ini lazimnya bersama keluargaku. Aku biasanya digandeng ayah atau ibuku, masuk ke supermarket dan merengek minta dibelikan ini-itu, tetapi atas suatu perasaan dari hati, kini semuanya berubah. Aku menggandeng, menjadi tempat pelampiasan manja dan sungguh bahagia rasanya, melebihi sekantung kripik kentang rasa barbeque. “nonton aja yuk” pintanya. “film-nya gak ada yang bagus” ucapku. “kan kamu belum liat !” keluhnya. “idih ga percaya, ya udah yok buktiin !” tantangku dan disambut oleh tawanya. Kami lalu naik ke lantai 3, tempat bioskop berada. Tidak terjadi antrian yang menggemparkan akan tetapi mata kami langsung tertuju ke jadwal pemutaran film. “apa kita berfikiran sama ?” tanya Dara sungguh manis, seperti difilm-film amrik. “Bukan Cinta Biasa, boleh deh” ucapku menimpali. Film ini ber-genre komedi-romantis, mungkin sudah 5 hari bertengger di bioskop. Akan seperti apa nantinya ketika Olivia Jensen bertemu dengan laki-laki brewokan penuh tattoo yang tak aku kenal namanya ber-adu dalam satu layar? Kami lantas membeli tiket dengan waktu pemutaran paling dekat, tak lupa juga satu kotak berukuran medium untuk berondong jagung rasa asin, bahkan aku kerepotan ketika harus memegang dua gelas besar minuman bersoda yang turut kami beli. Sesaat setelah kami dengar kalau pintu studio sudah dibuka, kami bergegas untuk masuk dan duduk dikursi yang sesuai dengan tiket kami. Lagi, Dara mencari tanganku saat kami menyusuri jalan masuk menuju deret kursi. G-4 dan G-5, itu 2 kursi yang kami pilih. “dingin banget bo..” keluhnya. Entah sengaja atau tidak. “pake kemeja aku aja nih” ucapku sambil mencopot kemeja yang aku kenakan. “ntar kamu gimana ?” tanyanya. “masih pake kaos ini kok” jawabku sambil tersenyum. Tanpa menunggu lagi ucapan dari mulutnya, aku segera mengenakan kepadanya kemeja kotak-kotak warna biru tua milikku. Sejenak kami terjebak dalam suasana hening, tak ada satu kata pun yang keluar dari bibir kami masing-masing. Apa yang lebih bahagia dari ini semua ? duduk bersama seseorang yang kau sayang tanpa perlu adanya percakapan namun kau sudah begitu bahagianya. Ini jelas cinta. Mungkin sekitar sepuluh menit berlalu, bangku-bangku yang awalnya kosong, kini sudah terisi. Aku sempatkan melihat Dara sebelum lampu-lampu diatas kami dimatikan, tanda pemutaran film. Melihat sebuah senyum tulus dari seseorang yang engkau kasihi ditengah kegelapan, aku tidak tau harus berkata-kata seperti apa lagi. Aku mengarahkan tanganku, hendak mengambil sejumput popcorn, akan tetapi secara tidak sengaja Dara juga hendak mengambil butiran-butiran jagung letup itu. Jadilah tangan kami bertemu, tanpa saling pandang namun tetap berhati-hati, aku tarik tangannya yang sudah berhasil aku genggam, Kini kami berpegangan tangan tanpa rasa jengah. Inti sebuah nonton film mungkin salah satunya adalah bersatu tangan. Dara menatapku perlahan, aku kemudian memutar arah kepalaku dan selanjutnya adalah tawa kami bersama. Tanpa sepatah kata yang bisa terucap, aku makin tak bisa berkata – kata ketika Dara menaruh kepalanya dibahuku. Rasanya aku hendak menghentikan waktu, aku tidak rela kebahagiaanku saat ini lepas begitu saja dalam detik-detik yang akan terus mengejar kepada jarum jam itu. “thank’s buat hari ini ya mit” katanya. “sama-sama ra” timpalku seadanya. “terimakasih buat kerumahku, terimakasih buat naik bisnya, terimakasih buat nontonnya, terimakasih buat mie ayamnya, pokoknya makasih banyak !” katanya runtut. Aku hanya bisa tertawa mendengarnya mengurutkan kronologis jalan-jalan kami hari ini. Kala itu kami sedang duduk santai disebuah halte yang tak jauh dari mall. “aku juga mau terimakasih” ucapku. “buat apa ?” tanyanya. “terimakasih karena sudah mau melakukan semuanya tadi bersamaku” Dara lagi-lagi hanya tersenyum. Aku mengacak rambutnya perlahan dan kemudian menjadi tertawa melihat tingkahnya. Hari itu berhasil aku taklukan dengan Dara, sore menjadi iri akan kami yang dapat tertawa girang. Seperti menulis pada sebuah lembaran dibuku, cerita indah ini milik kami berdua dan akan tetap seperti itu sampai nanti, sampai pena kami habis, sampai lembaran itu tidak muat terjejal cerita kami. Seperti meyakini kalau hidupku ini nantinya akan terus bahagia bersama Dara, aku tidak mau menyia-nyiakan setiap waktu kami. Sebuah pertanyaan pun muncul ke permukaan sukma; apabila cinta ini mengandung kutukan, mengapakah terbangun pula setiap detik semakin megah ? Setiap hari yang kami hadapi rasanya tidak pernah sama. Bersama keputusan ini kami masih tetap berdua, bersehati apapun yang terjadi. Kami berhasil duduk berdampingan sekarang, kami berhasil sungguh dekat dalam keseharian kami disekolah, tidak ada kata jenuh dariku, hanya ada kata gelisah kalau jauh darinya, itu saja. Akan tetapi tidak aku pungkiri kalau sebenarnya bisa aku rasakan satu-dua kali bahasa-bahasa Dara yang mengarah ke perasaan jengah. Aku bisa memahami bagaimana rasanya mencintai yang bukan kodratnya itu, lebih lagi aku harus berterimakasih kalau Dara masih mau mengimbangi aku sampai selama ini. “nanti aku tulis nama username twitter kamu di-bio-ku” ucapku pada Dara. “tidak usah bertindak konyol” timpalnya. “kenapa sih ? kan tanda sayang saja” ucapku. “berpikirlah dua kali” sarannya. Kami dalam perjalanan pulang siang itu, panas matahari menyertai jalan kami namun tidak nampak lelah dalam diri Dara. “pokoknya aku mau tulis, kamu nanti juga ya” pintaku. “aku tidak mau se-frontal kamu mit” timpalnya. “ya apapun itu, aku mohon sertakan namaku disana” pintaku lagi. “memang kenapa sih ?” tanyanya. “ya aku ingin saja, aku iri dengan mereka yang bisa bebas menulis di bio mereka, nama kekasihnya tentu” jawabku. “mengapa kau kini ingin dunia tau tentang kita ?” tanya Dara yang langsung menyumpal mulutku. “tidak seperti itu maksudku, ya sudahlah kalau kamu tidak berkenan, aku tidak mau memaksa” timpalku bernada kecewa. Dara hanya menghela nafas, langkahnya jadi melambat. “kau yang pernah katakan, kalau kita ini tidak perlu orang tau” ucap Dara. “sudahlah, tidak usah dibahas” aku memotong ucapan Dara begitu saja. “aku tidak mau membuatmu marah, maaf” Dara berhenti berjalan. Langkahku ikut terhenti, aku menengok ke arah Dara. “lupakanlah, kau tidak salah” ucapku sambil meraih tangan Dara, aku memberikan senyum ter-indahku sore itu, tak lama kemudian kami segera menyusuri jalan untuk segera pulang. Lantas beberapa hari kemudian aku lihat di bio milik Dara, sudah ada nama akunku. Tetap saja rasanya tidak bisa spesial, Ia menaruh beberapa nama akun lainnya yang tidak bukan adalah sahabat-sahabatnya, lantas aku ini juga (hanya) sahabatnya ? ironis. Pada zona kenyataan, ironis memang adalah tema utama. Setiap hari saat tidak bersama rasanya kami tetap selalu bersama, segala socmed hampir kami punyai, sekedar untuk menjaga komunikasi. Tapi favorit kami tetap twitter, disana kami balas membalas mention, kami DM-an, kami saling stalking, kami ber-twittwar, menulis kalimat sindiran no-mention dan banyak hal yang bisa kami lakukan untuk tetap merasa berdampingan. Layaknya hidup, zona nyaman itu mustahil, kalau pun ada cepat atau lambat kau harus keluar dari sana. “tweet kalian itu saling bersaut, ada apa sih dengan kalian ?” “bukannya stalker nih, tapi aneh aja.. kalian kaya pacaran gitu” “kamu kalo mention Dara pasti pake emot nyedih mit, itu pasti. Kok sayang segitunya sih ?” Satu per satu aku mulai mendapat complain yang bahkan bukan karena tindakanku yang melanggar hak azasi manusia lain. Bahkan bukan hanya saja melalui perkataan serta kalimat-kalimat miring tak kurang pedas itu saja yang aku nikmati, anak laki-laki sekelas se-akan menutup mata akan kedekatanku dan Dara, mereka bercanda mesra, diselipi gombalan tidak berkelas dan menganggap Dara itu masih single, aslinya dia itu kan taken ! termiliki olehku. “Mita itu ga lebih dari kakak aku” “dia itu udah aku sayang sebagai sahabat” “kami cuma becandaan kok, seru-seruan aja” berapa kalimat penyangkalan sering aku dengar dari bibir Dara, tatapannya meragu ke-arahku, Ia seperti membaca raut wajahku, Ia kira-kira apakah aku sekiranya bisa menerima kalimat-kalimat yang menyakitkan hati itu. Aku mungkin hanya tersenyum, sedikit anggukan dan terkadang hanya mengangkat kedua bahuku. Kecewa dan takut bercampur rata, aku bingung harus bersikap seperti apa. Berada pada hubungan yang “di-awasi” rasanya menyiksa, kini setiap huruf, kata dan kalimat harus disaring berulang-ulang, takut ini terus meliputi kalau nanti mereka dapat menangkap maksud yang tidak biasa ini. Meskipun tidak ada atau setidaknya belum ada sesuatu yang berubah dari diri Dara, aku pantas bersyukur atas itu. Kami masih menjalin hubungan dengan mesra, pesan singkat dengan rasa yang terlarang atau perasaan yang seharusnya tak muncul manakala kami saling bertatapan mata. Sedekat tubuh kami merapat dalam gelap maka seperti itulah kedekatan kami yang tidak bisa terungkap. Kami tetap menjaga cerita ini, mengawal setiap kepingan indahnya hingga sampai diujung pagi. Kami tidak mau menyerah satu sama lain, kalau bisa perjuangan kami pun harus sebanding. Seiring matahari yang boleh terbit dan tenggelam di setiap harinya sebagai penanda terus bergulirnya hidup ini, kini banyak sudut dari cerita kami yang harus terkorbankan, jujur saja semakin jauh kami melangkah, cerita kami makin menghambar. Ketakutanku bukanlah sebuah kejenuhan dari Dara, akan tetapi adalah keputusannya untuk meninggalkanku. Kata banyak orang sih, jenuh itu pasti tapi bertahan atau tidak itu yang jadi pilihan. Aku tidak mau bilang kalau kami mulai bosan, tapi mungkin ada saatnya bagi kami masing-masing untuk sendiri, menelaah setiap jengkal hidup kami yang sudah terlewati dan menjadi sejarah. Mungkin aku menyebutnya kedewasaan dalam menjalin hubungan, pesan yang belum sempat terbaca, bisa jadi sudah terbaca namun tak sempat terbalas karena sibuknya aktifitas bukanlah hal yang menjadi harus dibesar-besarkan. Kami saling mengerti keadaan dan mulai mengurangi tuntutan. Apakah pelajaran hidup yang seperti ini bisa didapatkan dibangku sekolah ? kurasa tidak. Secara teknis memang sekolah menjadi background tapi latar tetaplah latar. Suatu pagi yang entah kapan, langit nampak lebih gelap dari pada biasanya. Angin tidak lagi teduh bersemayam disela-sela relung cahaya mentari. Hari ini akan hujan, bisikan awan terdengar samar dalam derap langkah kaki siswa-siswi sekolah menengah pertama yang berlari kecil untuk menuju kelas mereka masing-masing. Semester ganjil lewatlah sudah, 6 bulan kurang-lebihnya aku dan Dara bersama-sama. Kebersamaan kami bukan tanpa pertengkaran. Cerita kami bukan tanpa coretan tinta, satu demi satu kertas berisikan kesedihan kami sobek dari buku, kami mulai dengan lembar bersih lagi, hampir seperti itu. Memasuki semester genap ini, nilai untuk semester lalu cukuplah memuaskan. Terlepas dari itu semua, jalan yang harus aku dan Dara tempuh nampak akan lebih menantang dari pada yang sudah-sudah. Bersamaan dengan helaan nafas, aku sadari kalau semakin lama, hidup akan semakin sukar. “kamu dan Dara itu sebenarnya ada apa ?” seseorang bertanya dengan asing sekali. “kepo” timpalku singkat. “meresahkan sebenarnya” ucapnya lagi. “ga usah stalking makanya” aku sahut dengan ketusnya. “jangan gila mit !” kini dia malah mengataiku. “tau apa kamu ?” seakan tidak mau kalah, aku terus menyahut. “aku sebagai temen sih, cuma sebatas ngasih tau” dia melunakan keadaan. “aku cuma sayang dia” jawabku jujur dan tanpa menunggu lagi kalimat darinya, aku menyingkir. Reva adalah salah satu anak kelasku dan tentu teman Dara juga. Aku mulai tidak suka ini, mengapa harus ada orang yang mencampuri urusanku dengan Dara ? Apa-apaan pula dengan meresahkan, memangnya kami meneror ? Ini mulai membuatku tidak nyaman. Daerah pribadiku mulai diusik se-enaknya. Tiba-tiba petir menyambar pada langit yang sudah diselimuti awan putih. Tetes demi tetes air menghujam bumi, seakan menjawab firasatku. “aku engggak nyaman” Dara memainkan sendok kesana kemari pada mangkuk bekas makannya. “kita udah sering bahas ini, kamu tau harus kaya gini” timpalku. “tapi ga sejauh ini” katanya lagi. Bau genting basah sangat khas tercium di siang yang dingin ini. Kami tengah menyantap soto dikantin sekolah kami. Dara tak henti-hentinya bermain sendok, kuah soto yang kental diputarnya kesana-kemari, mie bihun dan sisa bawang goreng kocar-kacir didalamnya. Sesekali dedaunan itu boleh bergoyang ditiup angin, air yang berbentuk butiran jatuh setetes ke tanah. Aku menyelesaikan makanku dan meminum sisa teh hangat, Dara mengerutkan dahinya. “kalau emang kamu udah ga mau jalanin, ya udah” akhirnya aku berkalimat seperti itu, ini kali pertamanya dalam hubunganku aku berkata seperti itu. “ini bukan soal ga mau” katanya. “lantas ?” tanyaku cepat. “aku gerah, menyimpan bangkai itu berbahaya” ucapnya kaku. “kita tidak menyimpan se-onggok bangkai,pun” kataku. “kau saja yang angkuh tidak mau mengakuinya” kata Dara. “sejak kapan kau berubah ?” aku bertanya sambil menatapnya. Dara hanya mampu menunduk. Aku mengakui kalau perjalanan kami menemui banyak kendala. Entah waktu, entah jenuh atau mungkin keadaan saja. Tak jarang Dara melimpahkan semua kesalahan demi kesalahan kepadaku, meski kami tau kalau masalah itu datangnya bukan berasal dari salah satu diantara kami. Aku mengalah, sepahit apapun pertengkaran kami, aku menelan segala sakit ini sendiri. Menjadi bersama Dara adalah pilihanku dan setiap pilihan mempunyai resiko, ini jawabnya. Kadang aku berkeluh sendiri, kadang aku ajukan pertanyaan kepada Dara. Dua hal ini jarang aku lakukan kalau saja hatiku mampu membendung rasa sakitnya. Tidak bisa dipungkiri, Dara mulai berubah. Entah sikapnya, entah cintanya atau mungkin perasaanku saja. Bermula dari acuhku yang keterlaluan, dunia tidak mau tenang. Pagi berganti malam disambut pelukan hampa. Bagaimana mungkin aku terus berjalan menyeret luka disapu kenyataan jahat dan diludahi kata-kata hina ? Bukankah sudah cukup berat kalau mengingat apa yang kelak harus aku tanggung kalau aku mati ? Kini aku dihadapkan pada dunia yang dingin, seorang yang aku kasihi menjadi tak ku kenali lagi.. Aku sedang menangis, malam ini aku melihat dengan kedua mataku sendiri kalau pada bio twitter milik Dara tertulis nama akun lain. Belum sempat nama akunku berada disitu secara terang-terangan kini malah sudah tergantikan. Apa salahku ? satu pertanyaan muncul, diikuti; mengapa. Aku jelas-jelas, dengan bangga dan tanpa rasa jengah, kutuliskan nama-nya, nama pemberian dari orang-tuanya itu di bio-ku. Apakah Dara jenuh ? apakah semudah ini caranya menggantikanku ? Ku lepas rasa sakitku, aku telusuri dia yang kini tercantum namanya di hati Dara mungkin. Ya, dia seorang laki-laki. Ku kira dia anak SMA lain, aku tidak mengenalinya sama sekali. Bagaimana mungkin Dara dapat menyembunyikan affair-nya ini dengan sungguh rapi ? kapan sebenarnya mereka mengikat janji ? dan apakah mereka sudah pernah bertemu ? Seribu pertanyaan muncul, seribu tancapan bekas luka tersisa dihati. Alih-alih menanyakan hal ini kepada Dara saat ini juga, aku urungkan niatku. Ku telan emosiku meski sudah terkumpul banyaknya segunung, se-dalam-dalamnya, aku mau dengar penjelasannya, dari dirinya, dari mulutnya. “kenapa di bio twitter-mu itu ada nama akun laki-laki ? diikuti bentuk hati warna hitam ?” tanyaku tegas pada Dara. “percayalah, kamu tidak mau tau” katanya tanpa dosa. “aku rasa aku masih berhak tau” ucapku kekeh. “itu tidak lebih dari sekedar kamuflase, ingat idemu beberapa minggu yang lalu ?” tanya Dara santai sekali, seolah menganggap ini biasa saja. Aku membanting tasku ke meja. “kau lakukan ini semua tanpa menanyakan saranku !!” amarah tak tertahankan menyendal dihatiku. “kau tau itu sama saja akan membunuh perasaanmu” kata Dara sambil menatapku. “terserah” ku ingat dalam hidupku, itu kali pertama aku putus-asa dihadapan Dara. Percakapan penuh emosi itu terjadi cepat, mungkin tak ada lima menit tapi rasanya sudah amat membunuhku, aku tau matanya berkaca-kaca saat menyebutkan kata ‘perasaanmu’. Pagi ini sekolah terasa sungguh menyakitkan, aku mau pulang saja. Kami duduk terpisah, yang semulanya kami duduk berdampingan. Ia nampaknya sangat murung, mungkin menyesal. Rasanya bingung, aku harus kasian atau menganggap ini sebagai pelajaran untuknya ? hatiku rasanya terbagi, satu sisi aku merasa bersalah sudah memaki-nya, akan tetapi sisi yang lainnya terasa sangat sakit manakala harus menerima kenyataan ini. Kami tiba-tiba saja dalam keadaan break kini. Entah aku yang tidak dewasa atau Dara yang terlalu keterlaluannya menguji kesungguhanku. Rasanya lebih sakit daripada yang aku fikirkan, dikhianati itu bagaikan ditusuk pisau dari balik tubuhmu, benar-benar tajam dan tak bisa kau sangka-sangka kapan saatnya. Aku dilanda kesedihan yang sangat mendalam, setengah tidak percaya dan setengah kecewa bukan main terhadap Dara. Aku tau aku ini perempuan pertama yang membuatnya memilih jalan lain dikehidupannya, aku mungkin belum sempat memberi semua kebahagiaan untuknya, tapi caranya kali ini membuatku hilang akal. Kalau dia benar-benar jenuh, mengapa tak katakan sejujurnya ? dengan mencari penggantiku dibalik mataku rasanya bukan main, aku tak menyangka Dara sanggup melakukannya. Aku tak mau mengatainya dengan sumpah serapah, bagaimanapun jua dia adalah orang yang paling aku sayang melebihi diriku sendiri. Dia mungkin keji, tapi apabila aku tidak bisa mengenal kemudian menaruh hati kepadanya dalam hidupku, mungkin aku akan menyesal sampai mati. Mungkin ini semua bukan hanya salah Dara, mungkin benar dia hanya mengiba pada perasaanku, mungkin benar dia hanya terpaksa menerimaku, mungkin dia tak mau sampai sejauh ini hubungannya diantara kami. Sejauh pikiranku menerawang, setiap detiknya kemudian terbentuk segala kenangan yang telah kami lalui dengan sendirinya. Seperti sedang ada film tentang aku dan Dara yang kini terputar urut dikepalaku. Kehampaan yang luar biasa ini kemudian makin menjadi. Manakala setiap kenangan itu hanya aku sendiri yang menikmati, aku sadar Dara kini sudah tak ada disisiku meski kata putus belum pernah ter-ucap baik dari mulutku atau mulut Dara. Hari-hari yang terlewati begitu saja tanpa sebuah sapaan lembut dari Dara adalah suatu hal yang menyakitkan. Chat yang mengusang karena tak pernah ada salah satu diantara kami kini yang bawel memenuhi notifikasi. Timeline yang bertema-kan galau kemudian menjadi kesehariaanku, tweet no-mention semakin santer bersaut-sautan, tentunya antara kami berdua saja. Kami jadi saling menyalahkan, kontras dengan keadaan yang dulu, saat kami selalu mencari-cari hal yang sama dari antara kami. Batre handphone-ku pun kini jadi sangat irit, dulu saat aku dan Dara kangen-kangenan, isi ulang daya batre itu bisa berkali-kali dalam satu hari. Ku akui sangat berat melakukan hal yang tidak seperti biasanya, segalanya berubah drastis. Aku tidak tau mengapa semua menjadi seperti ini ? Tiba-tiba saja hatiku merasa sesak yang luar biasa, aku lelah dengan rasa sakit ini. Terpikir konyol olehku untuk membenci Dara, membuang semua kenangan kami, menghancurkan semua rencana indah yang telah kami buat dengan mesranya. Aku yang tidak mau berdamai dengan keadaan, aku yang mengkeraskan hatiku sendiri hingga pada saatnya kini aku rasakan, hatiku menghampa luar biasa, aku merasakan kehilangan rasa sayangku yang tiada terkira ini untuk Dara. Aku merasa aku sungguh terkhianati, aku merasa bodoh sudah buang-buang waktu dan namun yang paling aku sesali, mengapa kini aku malah bisa mati rasa terhadapnya ? Aku mungkin tidak bisa bilang kalau aku membencinya, sungguhpun kalau dia kini bahagia dengan yang lain, aku rela. Tapi mungkin caranya salah, tidak secepat ini caranya kalau harus membunuh serta cintaku. bersambung
Posted on: Tue, 03 Sep 2013 05:20:06 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015