Champion of Life Aku jatuh hati kepada Indonesia. Tanah air - TopicsExpress



          

Champion of Life Aku jatuh hati kepada Indonesia. Tanah air alunan balada antagonis-protagonis yang harmonis. Tak peduli apakah nenek moyang mereka adalah Ibu Peradaban Dunia ataukah raja dan rakyat dungu yang bisa dijajah ditipu diperdaya oleh sekumpulan satpam VOC. Terserah. Yang pasti, jangan suruh rakyat Indonesia bangkit. Mereka tiap hari sudah bangkit, karena tiap hari jatuh. Kejatuhan adalah parameter utama rakyat dalam mengukur setiap pemerintahan yang menimpakan kepada mereka musibah-musibah. Seberapa kadar kejatuhan rakyat pada penguasa yang ini, yang itu, di zaman kerajaan maupun republik. Rakyat Indonesia adalah pakar kejatuhan, maka juga Pendekar Kebangkitan, yang mampu bangkit meskipun tanpa kebangkitan. Maka bernama bangsa garuda, meskipun ada yang mengejeknya sebagai bangsa emprit. Tak apa. Emprit jasadnya, garuda jiwanya. Garuda memperoleh kelahiran kedua pada usia sekitar 40 tahun dengan terlebih dulu melakukan penghancuran atas paruh dan kuku-kukunya, yang kemudian, bagi yang lulus: tumbuh paruh sejati dan kuku sejati. Sebagaimana garuda terbang ke gunung-gunung batu untuk mematuki dan mencengkeram batu-batu itu sampai paruh dan kukunya tanggal --bangsa Indonesia hari ini juga sedang riang-riangnya menghancurkan paruh dan kukunya sendiri. Garuda bangkit dan terbang, dengan 17 helai sayap dan 8 helai ekor, angka hari kemerdekaan 17 Agustus 1945. Andaikanpun Indonesia merdeka pada tanggal 4 bulan 4, ia tetap jagoan dan sanggup terbang dengan empat helai sayap. Bangsa tertangguh di muka bumi ini, sanggup bergembira dalam derita, mampu melangkah pasti di jalan ketidakpastian, ringan tertawa di kurungan rasa bingung dan sengsara. Aku tergila-gila pada Indonesia. Bangsa yang juara atas hidupnya sendiri. Warga negara miskin antre naik haji menunggu 10 tahun lebih, tanpa pernah menawar berapa pun biayanya. Bahkan membayar di muka, tanpa peduli ke mana bunganya. Di Tanah Suci, mereka sowan kepada Kanjeng Nabi dan mendengarkan petuah menantu beliau si penjaga pintu ilmu Sayyid Ali bin Abi Thalib: 'Wahai bangsa Indonesia, jangan katakan kepada Tuhan bahwa kalian punya masalah, tetapi nyatakan kepada masalah bahwa kamu punya Tuhan." Bangsa Indonesia punya banyak senjata untuk melawan kejatuhan dan siaga menyelenggarakan kebangkitan. Mereka menantang kehidupan yang tidak rasional dan penuh kemustahilan dengan "bismillah". Atas nafkah tidak mencukupi mereka bilang "tawakal". Didera keadaan serba-kekurangan terus-menerus mereka ladeni dengan "tirakat" dan keyakinan bahwa 'ayam saja dikasih rezeki oleh Allah'. Ditipu habis oleh penguasa, cukup mereka tepis dengan 'Tuhan tidak tidur'. Usaha gagal, dagang bangkrut, mereka layani dengan "istikamah" dan "jihad fisabilillah". Besok belum tentu makan, apalagi bayar kontrakan rumah dan terlebih-lebih lagi membiayai anak sekolah tidak membuat mereka putus asa, karena di dalam dada mereka ada "nekat". Mereka adalah champion of life. Jagoan dalam mengalahkan segala jenis kesusahan hidup. Juara penderitaan. Sanggup membangun kegembiraan dalam kesengsaraan. Petarung kesulitan. Pendobrak kemustahilan. Tertawa dalam kehancuran. Pandai dalam kebodohan. Tidak mengenal lelah untuk terus-menerus ditipu, dibohongi, diperdaya, dan ditindas. Rasa sayangku pontang-panting kepada Indonesia. Bangsa yang tidak menuntut kepemimpinan kepada para pemimpin. Tidak menuntut komitmen kerakyatan kepada petugas pemerintahan yang mereka upah. Tidak menagih kesejahteraan kepada pengelola tanah airnya, bahkan menyedekahkan kekayaan kepada kepala negara kepala pemerintahan dan seluruh jajarannya. Tidak mempersyaratkan keterwakilan kepada para wakilnya. Lahap mengunyah disinformasi yang dipasok oleh para petugas informasi. Bangsa yang tidak mengenal kehancuran. Sebab memang tidak berjarak dari kehancuran. Juga karena dalam stuktur kejiwaan mereka: antara kehancuran dan kejayaan, antara riang dengan sedih, antara maju dengan mundur, hebat dengan konyol, mulia dengan hina, pandai dengan bodoh, surga dan neraka, pada alam mental rakyat Indonesia --itu semua sama sekali bukan polarisasi, tidak bersifat dikotomis, tak berhulu-hilir, hulunya adalah juga hilirnya, hilirnya adalah juga hulunya. Tak ada garis lurus interval. Kedua dimensi nilai-nilai itu berada dalam bulatan yang bersambung, yang kalau dipandang dari jarak tertentu: ia adalah sebuah titik. Rakyat Indonesia tidak tertindas oleh ketidakmenentuan dalam kehidupan bernegara. Republik ayo, kerajaan monggo. Presidensial silakan, parlementer tak apa. Kalau pengurus negerinya mengabdi kepada mereka, ya, tidak dipuji. Kalau mengabdinya kepada diri penguasa sendiri, ya, dibiarkan. Kalau tidak mengabdi malah menganiaya, ya, dikutuk beberapa saat saja. Mereka tidak terikat untuk mengingat apa yang harus diingat atau melupakan sesuatu yang harus dilupakan. Juga tidak tertekan untuk harus tahu dan mengerti sesuatu. Mau ingat apa, mau lupa apa, mau ngerti apa, terserah-serah kepentingan mereka saat itu. Sebab akurasi energi psikologis mereka mengarah ke kebahagiaan diri: ingat, lupa, dan mengerti bisa menjadi tembok penghalang utama yang membuat mereka tidak mencapai kebahagiaan secara pragmatis dan permisif. Bahkan antara ingat dan lupa, antara ngerti dengan tidak ngerti, bisa diracik oleh jiwa manusia Indonesia menjadi sebuah kesatuan yang dibikin relatif. Kapan butuh ingat, dia ingat. Kalau yang menguntungkan adalah lupa, mereka pun lupa. Jangankan tentang isi dunia, sejarah, negara, pemerintah, penggadaian kekayaan tanah air, korupsi, dan perampokan oleh luar maupun dalam negeri: sedangkan terhadap surga sesungguhnya mereka tidak rindu-rindu amat, dan terhadap neraka mereka tidak benar-benar ngeri. Cintaku kepadamu sekonyong-koder, Indonesia.()
Posted on: Fri, 05 Jul 2013 08:14:19 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015