Cinderella Jakarta Zaenal Radar T episode 6 Target 19 - TopicsExpress



          

Cinderella Jakarta Zaenal Radar T episode 6 Target 19 like #jacob_black Icha melakukan apa yang diminta Nana. Ia pejamkan matanya,menarik napas dalam-dalam, lalu melepaskannya perlahan. “Gimana, Cha? Lebih enak, kan?” Icha memejamkan kedua bola matanya sekali lagi, lalu diam cukup lama, menunggu apakah perubahan itu datang. “Gimana perasaan elo sekarang, Cha? Udah lebih baik?!” ulang Nana. “Boro-boro, Na! Gue tetep aja deg-degan!” “Aduh, Cha! Gimana, sih?! Elo nggak konsen, sih!” “Bodo, ah! Gue bingung neh!” “Tapi, Cha Nana berhenti sebentar, lalu garuk-garuk kepala, “Cha … kita udah sama-sama tau kalo si Damar itu udah punya gebetan.” “Dia bilang udah diputusin, Na.” “Elo percaya?” “Percaya, dong! Dia udah sumpah-sumpah di depan gue!” “Iya sih, tapi namanya cowok, bisa aja dia ngibul.” “Udah, deh! Kok, elo malah mikir gitu?! Bukannya bantuin gue gimana cara ngadepin dia.” “Oke. Sekarang gini aja, elo pulang, terus langsung tidur. Nanti pas bangun, elo bakal baikan, deh!” “Nah, gitu dong, kasih saran. Ya udah, gue pulang duluan. Gue turutin saran elo, kebetulan gue ngantuk berat neh!” “Tapi, tidurnya jangan sampai keterusan ya, Non?!” “Iya, lah! Dia kan, bakal jemput gue jam setengah lima!” “Ya. Tidur siang satu jam udah cukup!” “Gue balik duluan, ya?” “Daaagh …!” Icha nggak seperti biasa, pulang lebih dulu. Nana melepas kepergian Icha dengan perasaan berat. Bukan apa-apa, Sabtu ini pertama kalinya bagi Icha janjian dengan seorang cowok. Nana khawatir Icha diperlakukan macam-macam, seperti dirinya dulu. Sebab, Nana sendiri pernah dibohongin sama Damar. Hanya, Nana merahasiakanya pada Icha. SETIBANYAdi rumah, Icha langsung tidur siang. Papa dan mamanya yang memang libur kerja pada hari Sabtu, bingung melihat tingkah putrinya. “Itu si Icha, kok tumben-tumbennya bisa tidur siang? Biasanya, jam segini dia belum pulang,” selidik mama. “Jangan-jangan, dia sakit kali?” “Ya udah, kita tanya, yuk!” Papa dan mama masuk kamar Icha. Icha yang sebenarnya nggak bisa tidur, pura-pura memejamkan mata. Ya, Icha emang nggak biasa tidur siang. Icha masih aja mikirin Damar yang akan menjemputnya nanti sore. “Kayaknya tidurnya nyenyak banget, Ma,” ujar papa. Icha tentu saja mendengar ucapan papanya itu. Sebenarnya, Icha kepengin ketawa. “Kita harus hati-hati, Ma. Tau sendiri si Icha, kalo sakit suka nggak mau bilang. Takut sama dokter. Iya, kan?!” “Iya, sih. Mama jadi inget waktu dia kena tifus. Jangan-jangan Papa dan mama saling tatap. Icha melirik sebentar ke arah papa dan mama, lalu segera memejamkan mata ketika papa dan mamanya yang mulai panik itu, hendak menatapnya lagi. Terdengar papa menghela napas berat. “Cha Cha mama memanggil-mangil Icha sambil menggoyang-goyang tubuh Icha. Icha malah pura-pura menguap, seperti seseorang yang sedang nyenyak tidur. Papa memegang kening Icha. “Wah … panas, Ma!” teriak papa. Jelas aja kening Icha panas. Mungkin karena Icha lagi mikirin apa yang mesti dipersiapkan buat kencan pertamanya nanti malam. Saking kerasnya berpikir, hingga keningnya jadi serasa panas. “Gimana kalo kita panggil dokter …?”usul mama. Tiba-tiba, Icha bangkit dari tidurnya. “Pa … Ma … ngapain sih, di sini?” tanya Icha, dengan raut wajah sebal. “Kamu sakit, Cha? Papa panggilin dokter, ya?” “Ih, Icha nggak kenapa-kenapa, kok!” “Kok, kamu tidur? Biasanya nggak.” “Icha ngantuk, neh.” “Ya udah … kamu tidur lagi, deh.” Papa menyerah.Setelah itu,papa dan mama meninggalkan kamar Icha. “Biarin aja deh Pa, mungkin Icha kecapekan,” ujar mama, setelah di luar kamar Icha. “Tapi, mungkin aja dia sakit, Ma.” BEBERAPAjam kemudian, Icha bangkit dari kasur dan berteriak sejadi-jadinya. “HAH?JAMENAM!PAPA...MAMA...!!!” Papa dan mama yang berada di ruang tengah segera bergegas ke kamar Icha. Papa dan mama memandang Icha yang kelihatan marah. “Kamu kenapa, Cha?” “Mau dipanggilin dokter?” Icha mengatur napasnya yang naik turun. “Ma, tadi ada yang dateng, nggak?” Mama menatap wajah papa.Papa mengernyitkan dahinya. “Tadi ada yang dateng nggak, Ma?” ulang Icha. Mama mengangguk.”Temen kamu, Damar,” sela papa. ‘Nanyain Icha, nggak?” ‘Ya, terus Papa dan mama bilang, kamu lagi sakit Terus?” Terus dia pulang” HAHMPAPA...MAMA...KOK,JADIGINI,SEEEH “Lho … kenapa, Cha?!” Icha bangun dan segera meraih horn telepon. Dia bergegas menghubungi Damar. “Halo, bisa bicara dengan Damar?” “Halo, Damarnya sedang keluar rumah.” “Ke mana?” “Nggak tau, tuh. Ini malam Minggu. Apel kali. Hehehe Icha sebel banget denger suara di ujung telepon itu. Itu pasti pembokat Damar. Setelah itu, Icha langsung menutup telepon dengan kesal. Papa dan mama tampak bingung melihat tingkah Icha. “Cha, Papa sama Mama mau ke mal, kamu mau ikut?” Icha kelihatan bingung. “Kalo kamu mau ikut, sana mandi!” Icha nggak menyahut kata-kata papa dan mamanya. Icha hanya memperlihatkan tampang sebal. DARIPADAdi rumah sendirian, Icha ikut papa dan mama ke mal. Icha terlihat uring-uringan karena apel pertamanya berantakan. Papa dan mama masih belum mengerti. Namun, mereka belum mau menanyakan kenapa Icha cemberut. Papa dan mama menduga, pasti gara-gara teman cowok yang datang tadi sore ke rumahnya. Setibanya di mal, secara nggak sengaja, mama menunjuk seorang cowok yang lagi jalan bareng seorang cewek dari kejauhan. Mama mengenali tampang cowok itu. Jelas aja, cowok itu Damar! “Ssst … itu, Cha. Cowok yang tadi ke rumah,” bisik mama, sambil menepuk-nepuk pundak Icha. Icha langsung lemas melihat Damar bersama dengan seorang cewek. Bener juga kata Nana, nih cowok nggak bisa dipercaya, ucap Icha dalam hati. Bersamaan dengan itu, Damar melihat ke arah Icha dan papa-mamanya. Damar terlihat gugup. Sebelum Damar melangkah ke arah Icha dan papa mamanya, Icha langsung menarik lengan papa dan mamanya untuk pergi menjauh. Damar kehilangan jejak. Damar pun kembali menemui cewek yang tadi bareng dirinya, yang tak lain adalah adik kandungnya. Ketika Damar menghubungi HP Icha, Icha langsung menjawab dengan nada kasar, “Mar! Asal elo tau, this’s my first date with someone1. Dan, elo mengacaukan semuanya! Elo nggak usah ngubungin gue lagi, deh! Ke laut aja! Or go to heii!” “Tapi Cha … Cha … Cha Komunikasi terputus. Amnesia ANDREkena amnesia!” ujar Rene, setengah berteriak, saat Belia berada di kantin sekolah. “Pantes, terakhir kali ketemu dia selalu batuk-batuk.” “Plis, Belia! Amnesia … bukannya asma!” “Oh “Amnesia itu hilang ingatan sementara, nggak ada hubungannya sama batuk-batuk.” Belia menghela napas berat, lalu sorot matanya menatap jauh keluar kantin dengan pandangan kosong. Rene enggak bisa berbuat apa-apa dan melihat air mata sahabatnya mulai mengaliri pipi. “Belia, jangan terlalu sedih! Sekarang, Andre lagi ditangani seorang dokter ahli!” “Gimana nggak sedih, Ren?! Gue belum sebulan jadian, tapi Andre udah kena Amnes ….““Amnesia.” “Iya. Gimana, dong?” “Yang jelas, kita harus cepet-cepet jenguk dia.Tapi kalo bisa, anak-anak jangan dikasih tau dulu! Soalnya, berita ini cuma kita yang tau.” “Jadi, anak-anak belum tau?” “Belum.” Sore itu juga,Rene dan Belia menjenguk Andre ke rumahnya. Ting-tong! Rene menekan bel pagar rumah Andre. Beberapa saat kemudian, seorang lelaki setengah baya membuka pintu pagar. Dia adalah Pak Sion, tukang kebun Andre. “Ada perlu apa, Non?” tanya Pak Sion. “Kami mau ketemu Andre, Pak.” “Oh, kebetulan Andre lagi di teras belakang. Mari masuk Rene dan Belia mengikuti langkah Pak Sion memasuki halaman rumah Andre yang cukup luas, di bagian tengahnya terdapat kolam berukuran sedang, ada air mancur di sisi kanannya.Pak Sion berjalan agak tergesa. Rene dan Belia mengikuti di belakang. Mereka memasuki jalan berkerikil, untuk sampai teras belakang. Sepanjang perjalanan, mereka melintasi pepohonan yang didominasi bunga-Mbunga anggrek. Setibanya di teras belakang, Pak Sion yang berjalan lebih dulu tampak bicara pelan sama Andre, tapi Andre seperti acuh saja. Setelah itu, Pak Sion menemui Rene dan Belia yang berada di belakangnya. “Silakan, Non,” ujar Pak Sion. “Terima kasih, Pak,” jawab Rene dan Belia serempak. Pak Sion kembali berjalan ke halaman depan, sedangkan Rene dan Belia berjalan mendekati Andre. Andre tampak angkuh dan seperti nggak kenal sama yang datang. Padahal yang datang adalah Belia, cewek yang beberapa minggu lalu “ditembaknya”. “Ndre … Andre Rene menegur Andre, sambil menggoyang-goyangkan telapak tangannya di depan wajah Andre. Andre tetap acuh. Pandangannya kosong ke depan, ke arah kolam renang. “Andre ….” Akhirnya,Bella mengeluarkan suara. Belia memegang pundak Andre, lalu memutarnya, menghadapkan wajah Andre tepat ke wajahnya. “Ndre, aku Belia. Kamu nggak lupa, kan?” Andre mundur ke belakang dan tampak seperti orang linglung. Andre menatap Belia dari ujung rambut sampai ujung sepatu. Andre seperti asing dengan Bella. Belia jadi kalut. “Ndre, kamu kenal aku, nggak?” tanya Rene, sambil memperlihatkan wajahnya tepat di depan wajah Andre. “Aku Rene!” “Rene?” Andre tersenyum. “Tau nggak, dia siapa?” Rene menunjuk wajah Belia. “Dia Belia! Cewek kamu!” Andre tersenyum ke arah Bella. Belia pun tersenyum menyambutnya. Belia menghela napas lega. Rupanya, Andre mulai menyadari kekeliruannya. Mungkin, Andre udah mulai mengenalinya. Bukan apa-apa, menurut cerita Rene tadi, amnesia yang diderita Andre belum terlalu parah. Andre masih mengenali beberapa anggota keluarganya, meskipun nggak semuanya. Masih menurut Rene, Andre mengalami amnesia karena kecelakaan sepeda motor. Andre me-nubruk sebuah sedan yang sedang berada di tempat parkir. Meskipun nggak mengalami luka-luka serius, Andre mengalami amnesia karena kepalanya membentur body sedan itu. Menurut Rene, kecelakaan itu terjadi waktu Andre melamun. Andre melamun karena kemarin sempat marahan sama Belia. “Masa sih, gara-gara gue, Andre jadi gitu?” ucap Belia, saat menuju rumah Andre tadi. “Makanya, elo harus minta maaf. Sebelum penyakitnya tambah parah!” “Maksud elo?” “Menurut keterangan salah satu keluarganya, penyakit Andre bisa aja tambah gawat, kalo enggak ditangani serius. Andre harus didatangi dokter ahli, dan harus banyak istirahat.” Belia mengangguk-angguk. Akhirnya, Belia jadi ngerasa bersalah. Itulah sebabnya, Belia antusias banget waktu Rene ngajak ke rumah Andre. Bella mau minta maaf. “Ndre aku Belia. Kamu masih inget aku, kan?” Belia kembali mencoba menyadarkan Andre. Andre tersenyum sambil mengangguk pelan. “Kapan dateng dari Bandung?” tanya Andre kemudian. Hal itu membuat Belia nyaris melonjak ke belakang. Bela luar biasa kagetnya. “Kok, dari Bandung, sih?” Bela kebingungan. Rene yang memerhatikan keduanya, segera menarik tangan Belia, menyingkir ke salah satu sudut beranda. Keduanya menjauh dari Andre. “Belaaa … elo harus sabar! Mungkin, Andre belum ingat elo.” “Gue ngerti! Tapi, kok, dia bilang gue dari Bandung?” “Ya, namanya juga orang kena amnesia!” “Tapi, masa sih, dia nggak ngenalin gue? Gue kan, pacarnya! Udah ah, gue coba lagi!” Belia kembali mendatangi Andre, yang tampak acuh atas kedatangannya. Rene nggak bisa berbuat apa-apa, mengikuti langkah Belia di belakang. “Andre … gue emang dari Bandung!” ujar Belia, sambil mencoba merapikan lengan kaus Andre, dengan maksud memberikan perhatian. Kening Andre tampak berkerut, namun nggak lama kemudian, Andre tersenyum. Belia jadi bingung. Kenapa Andre tersenyum? “Makasih ya, oleh-olehnya … aku jadi makin sayang sama kamu,” ujar Andre, membuat Belia kembali tersentak kaget. “Oleh-oleh?”Bella seperti mengulang perkataan Andre. Kayaknya, gue nggak pernah ngasih oleh-oleh, deh I Belia lalu geleng-geleng kepala. “Aku nggak ngerti maksud kamu, Ndre. Ka-yaknya aku nggak pernah bawa oleh-oleh buat kamu.” “Lho, yang kemarin itu dari siapa? Kayaknya, kamu ngasih aku jaket warna biru dari Bandung. Itu dari kamu, kan?” “Oke. Sekarang, aku mau tanya, sebenarnya kamu tau nggak sih, kalo aku ini siapa?” Belia sewot. “Kamu …T’ Beberapa saat lamanya, Andre terdiam. Belia menahan napas. Belia menunggu Andre mengucapkan namanya. Namun mulut Andre masih tetap saja menganga. “Aku Bella, Ndre!” Belia setengah berteriak, mencoba meyakinkan Andre. Andre mengerutkan kening lagi.Belia membuang napas dan baru ingat. Beberapa waktu lalu, Belia memang mengaku pada Andre kalo dia mau ke Bandung. Belia janji mau beliin Andre Jaket warna biru. Kebetulan, Belia punya sodara yang punya dis-tro. Belia mau borong baju-baju murah dan keren, sekalian mau ngasih hadiah buat ultah Andre. Duh, Belia ternyata lupa. Kenapa Belia bisa lupa? Dan ini kan, kalo Belia nggak salah inget, hari ultah Andre?! Ya ampyuuun Belia emang pelupa yang akut! “Ndre, sori gue lupa kalo gue ….” “Bela … udah yuk, elo tuh malah bikin si Andre jadi kebingungan! Percuma ngomong, dia nggak ba-kalan inget elo!” potong Rene. Lalu, Rene menarik lengan Belia, menjauh dari Andre. “Nggak bisa, Ren! Gue harus bisa ngeyakinin dia.Tadi, dia udah nyebut-nyebut Bandung dan jaket biru! Berarti, dia inget gue!” “Tapi, elo kan, nggak ke Bandung?!” “Iya … tapi Nggak lama kemudian, beberapa orang keluar dari pintu. Mereka adalah papa dan mama Andre. Lantas, di belakangnya dua orang pembantu datang menyusul. Keduanya membawa loyang kue ulang tahun berukuran sedang. Lilinnya belum dinyalakan. Bella dan Rene berdiri agak menjauh. Papa dan mamanya langsung memeluk Andre, lalu mengatakan, “Selamat Ulang Tahun, Sayang …!” Andre menyambutnya dengan anggukan dan tersenyum. Dari sudut lain, Belia menatap itu semua dengan bingung.Sedangkan Rene, cuma tersenyum-senyum. “Sori, Bel. Kali ini, elo gue kerjain,” bisik Rene. “Jadi … Andre nggak amnesia, kan?” “Gue rasa, dia tetep amnesia. Tapi amnesia khusus untuk elo.” “Kupret lo, Ren!” “Ini April Mop, Sayang. Udah deh, tuh … kayaknya Andre nunggu elo.” Belia kembali berjalan ke arah Andre. Setelah beramah tamah sebentar dengan papa dan mama Andre, Belia memukul-mukul tubuh Andre dengan manja. Belia nggak terima dirinya dikerjain, di hari ultah cowoknya sendiri. Angkot D15 PAGIini adalah pagi yang menyebalkan. Sebab Pak Abdul, sopirku, nggak bisa mengantarku ke sekolah seperti biasanya, dengan alasan sakit perut. Papa lagi di luar kota. Mama berangkat siang, karena pagi ini masih banyak urusan rumah. Buat nunggu taksi yang dipesan mama, rasanya nggak mungkin, karena setelah dihubungi, taksi tersebut baru bisa datang dua jam lagi. Aku ngerti, mungkin seandainya ada, pasti taksi itu cuma beralasan,nggak mau ngantar penumpang yang jaraknya nggak terlalu jauh.Akhirnya terpaksa,untuk pertama kalinya terjadi dalam hidupku, aku ke sekolah naik angkot alias ang-kut-an kota! Dari jalan depan rumahku, mama nyuruh tukang ojek yang lagi mangkal mengantarku sampai gerbang perumahan.Aku naik ojek yang tukang ojeknya bertampang tengil dan genit,tapi aromanya lumayan harum; bau parfum aneh.Meskipun begitu,dia nggak bisa ngumpetin bau badannya yang asem campur asin. Hufffh hidungku sangat sensitif sama bau-bauan. Baik bau harum maupun bau tak sedap. “Tumben naik ojek?” kata si tukang ojek tengil itu, di tengah perjalanan. “Ya,” kujawab malas-malasan. “Sekolahnya di mana, sih?” Ya ampun! Males banget pagi-pagi ngobrol sama tukang ojek. Aku diem ajaKalo ditanggapi, aku takut dia semakin cerewet Apalagi akhirnya dia tanya begini, “Udah punya pacar belum? Hehehe Aku tetap nggak jawab. Dan, si tukang ojek terus aja tertawa. Aku benci sekali dan sangsi, kah dia udah sikat gigi hingga begitu pedenya ketawa di dekat seorang Bunga Citra Lestari? “Pasti belum punya pacar ya? Hehehe Si tukang ojek mungkin nggak tau kalo aku sedang cemberut. Uh, kenapa perjalanan dari jalan depan rumah belum juga sampai ke gerbang perumahan ? “Ngomong-ngomong, namanya siapa, sih?” Alhamdulillah, udah nyampe. Aku nggak mau menjawab pertanyaan si tukang ojek ini. Aku keluarkan uang pecahan dua puluh ribu. Lalu kuberikan padanya, “Nih, Bang! Jangan banyak ngomong, deh!” “Deuelaaah cakep-cakep kok, galak amat, sih?! Hehehe …. Duh, duitnya besar banget!” What? Dua puluh ribu … apakah terlalu besar? “Nggak ada kembaliannya, Neng!” “Nama saya Bunga! Bukan Neneng!” ralatku, sambil melotot. Si tukang ojek itu bukannya takut, tapi malah tersenyum. “Hehehe nggak ada kembaliannya. Saya tukar dulu, ya?!” “Terserah deh, Bang!” Kutunggu si tukang ojek itu menukarkan uang dua puluh ribuan. Hampir lima menit aku menunggu, ia belum juga kembali. Namun, aku bisa melihat kegigihannya mendatangi para pedagang di sekitar gerbang perumahan, menukarkan uang itu pada tukang bubur ayam, bubur kacang ijo, susu kedelai, soto ayam, dan pada teman-temannya sesama tukang ojek. Setelah itu, dia kembali padaku. “Bunga, nggak ada kembaliannya. Pakai uang receh aja! Emangnya nggak ada?” “Berapa, sih?” “Tiga ribu lima ratus!” Kucari uang pecahan yang diminta. Dan kutemukan empat lembar ribuan di dalam tas, lalu kuserahkan pada si tukang ojek menyebalkan itu. “Nih, Bang! Makasih, ya!” Kutinggalkan si tukang ojek. Tetapi, ia memanggilku. “Bunga! Ini kembaliannya!” Si tukang ojek itu mengejarku sambil memberikan kembalian uang receh lima ratus rupiah. Hm jujur juga nih orang. Andai saja dia jadi pejabat, bukan jadi tukang ojek, pasti negara ini udah maju meninggalkan Malaysia atau Singapura . Negara kita mendatangkan pekerja perempuan dari negara-negara tetangga, nggak sebaliknya seperti sekarang ini. Yeah, Aku baca di koran, banyak pejabat yang nggak jujur. Tapi, seandainya tukang ojek yang jujur ini jadi pejabat, jangan-jangan genitnya malah menjadi-jadi? “Kembaliannya buat Abang aja!” kataku, sambil terus bergegas meninggalkannya. SETELAHlepas dari tukang ojek, kutunggu angkot. Tadi, mama mengingatkan, jika gagal mendapatkan taksi untuk sampai ke sekolah, aku harus naik angkot D1S. Daripada telat, aku harus naik angkot. Kulambaikan sebelah tanganku setiap kulihat tulisan D1S di kaca bagian atas angkot-angkot yang lewat. Tetapi, tak satu pun berhenti. Muatannya selalu penuh. Kalo udah begini, Pak Abdul yang kuingat! Kenapa pagi ini sopir pribadiku harus sakit perut, ya? Akhirnya, setelah sepuluh menit,ada juga angkot D1S yang berhenti. Tetapi, ketika separuh tubuhku udah masuk,setelah kulihat ke dalamnya, tak ada tempat duduk kosong.Seseorang berteriak pada sopir, “Udah penuh, Bang! Mau ditaruh di mana?!” “Naik di depan, Dik!” sopir itu berteriak. Apa dia bilang? Dik? Emangnya, aku adiknya apa? Aku kembali turun dan melongok ke depan, ke arah sopir.Pintu depan terbuka, dan seorang cowok berseragam sekolah turun. Lalu, cowok itu mempersilakan aku naik. “Kamu di dalam aja,” ujar cowok itu. Sekilas kutatap wajahnya. Ia tersenyum dan mengangkat bahunya.Tadinya, aku males banget naik angkot ini. Apa enaknya naik mobil sempit ini bertiga di depan ? Toh, aku tetap naik juga. Dengan alasan, pertama susah menunggu angkot yang kosong. Kedua, karena cowok supercare di sebelahku keren banget! Ups! Kalo tau ada cowok keren kayak dia naik angkot, mungkin udah tiap hari aku naik angkot. Sumpah! Selama ini, aku nggak pernah liat tampang cowok seperti cowok di sebelahku ini di sekolah. Atau jangan-jangan, dia emang lain sekolah? Aku berharap cowok di sebelahku ini mau bertanya padaku, seperti tukang ojek genit tadi. Tetapi, cowok ini diam aja. Ia malah membuka tasnya, lalu mengambil sebuah buku lumayan tebal berwarna cokelat. Hilang sudah harapanku untuk bisa ngobrol dengannya. Wow, dia membaca novel The Da Vinci Code.Novel kesukaanku! Ini mungkin kesempatan aku buat nanya-nanya dia. Tapi, apa enaknya kalo orang lagi baca diajak ngobrol? Apalagi pagi-pagi gini. Duh, jangan-jangan di mata cowok ini nantinya aku jadi seperti tukang ojek tadi. Biarin aja, deh! “Kamu suka Dan Brown juga?”tanyaku akhirnya. Cowok itu mengangguk, lalu menoleh ke arahku dan tersenyum, “Kamu suka juga?” “Suka banget! Aku juga udah baca Angels and Demons, Robert Langdon’s First Adventure ….” “Ummm … Malaikat dan Iblis, ya? Aku juga udah baca. Dua buku Dan Brown yang udah diter-jemahin, kan?” “Kamu beli di toko buku mana?” “Aku pinjem sama temen. Aku juga udah baca buku-buku Dan Brown lainnya, Kayak Deception Point dan Digital Fortress!” sambungku. Kamu udah tau juga?” Tau dong, aku udah beli!” Keren-keren, ya?!” Iya.” Terminal habis! Terminal habis!” tiba-tiba, Pak Sopir berteriak-teriak pada seluruh penumpang. Oh, rupanya udah sampai di terminal. Nggak kerasa banget, deh! Cowok itu turun, lalu merogoh saku. Aku membayar dengan uang pecahan dua puluh ribu. Uang yang tadi nggak ada kembaliannya itu. Setelah kuberikan, Pak....... Bersambung
Posted on: Fri, 27 Sep 2013 07:06:49 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015