DARUL HARBI Dâr al-harbi (baca: Darul harbi) dalam gramatikal - TopicsExpress



          

DARUL HARBI Dâr al-harbi (baca: Darul harbi) dalam gramatikal Arab dinamakan idhâfah, terdiri dari dua kata, Dâr dan al-harbi. Menurut al-Ishfahani, dâr artinya rumah atau tempat tinggal, kemudian mengalami perluasan makna sehingga berarti al-baldah atau negara, dan al-harb berarti perang. Dalam literatatur fikih politik (al-fiqh al-siyâsi) dikenal konsep dâr al-harbi, negara yang menyatakan perang terhadap kaum Muslimin, yang bertolak belakang dengan dâr al-salâm, negara yang damai; atau dâr al-amn, negara yang aman. Konsep Darul Harbi dalam realitas historis terbagi dua, interntal dan eksternal. Darul Harbi dalam konteks internal adalah pernyataan dari kepala negara dan pemerintahan, baik khalifah, sultan maupun amir yang menyatakan bahwa negara dalam keadaan perang. Menghadapi keadaan perang ini, seluruh kaum Muslimin yang sudah dewasa wajib mengikuti jihad guna membela negara dari serangan orang kafir dengan harta dan jiwa. Sedangkan konsep Darul Harbi dalam konteks eksternal adalah sikap resmi negara yang dinayatakan kepala negara dan pemerintahan bahwa negara tertentu sebagai Darul Harbi. Penetapan suatu negara sebagai Darul Harbi, apabila negara itu tidak bisa menerima ajakan untuk menandata-tangani fakta perdamaian, menimbulkan gangguan keamanan, dan mencoba mengirim pasukaan untuk menyerang dalam negeri kaum Muslimin. Status suatu negara sebagai Darul Harbi bisa dicabut, apabila negara itu mengubah politik luar negerinya dari paradigma permusuhan kepada paradigma persahabatan dan kerja sama. Pada zaman klasik sangat sulit mengubah paradigma permusuhan kepada persahabatan, kecuali sesudah diserang dan ditaklukkan. Sementara pada zaman modern, kesadaran untuk membangun persahabatan dan kerja sama lebih terbuka sehingga konsep Darul Harbi tidak sesuai dengan perubahan paradigma kenegaraan modern. Pembagian wilayah /Negara atau masyarakat seperti di atas tidak di temukan dalam al-Qur’an ataupun hadits, tidak ada di bagian manapun dalam al-Qur’an yang menyebutkan secara eksplisit klasifikasi seperti itu, begitu pula dalam sunnah Rasul. Pembagian tersebut merupakan ijtihad atau pandangan para ulama masa lalu dalam menggambarkan pola hubungan antara muslim dan non-muslim, yang di pengaruhi oleh situasi atau realitas saat mereka hidup dulu. Oleh karena itu, tidak patut untuk di pandang sebagai ajaran atau ketentuan agama. Pandangan tersebut dikemukakan dalam rangka merespons realitas yang sudah sangat berbeda dengan relitas saat ini. Besarnya tantangan yang di hadapi dakwah Islam sejak perjalanannya, baik di jazirah Arab maupun di luarnya, membentuk pola pikir tersendiri di kalangan penganutnya dalam menghadapi pihak-pihak di luar Islam. Siksaan dan tekanan yang di lakukan kaum musyrik mekkah, konspirasi yahudi Khaibar, Bani Nadhir, dan Bani Qaynuqa’ serta serangan Persia dari timur dan Romawi Byzantium dari barat adalah sekedar menyebut contoh permusuhan terhadap Islam. Karena itu, sangat wajar kalau kemudian upaya mengamankan misi dakwah menjadi prioritas perhatian para aktivis dakwah pada periode awal. Dan menjadi sangat logis kalau para ahli fiqih dalam mengklasifikasi masyarakat pada waktu itu di pengaruhi oleh suasana psikologis seperti itu yang kemudian melahirkan kategori pembagian wilayah menjadi dar al-Islam (Negara/Islam) dan dar al-harb (Negara/wilayah perang). Istilah dar al-Islam pertama di sematkan kepada kota Madinah, tempat Rasulullah berhijrah. Selanjutnya, setelah perluasan wilayah, satu per satu wilayah tersebut dinamakan dar al-Islam. Sebaliknya, kota/wilayah selain Madinah pada masa awal di sebut wilayah perang dan perjuangan. Istilah lain untuk dar al-harb adalah dar al-kufr (wilayah kufur) atau dar al-syirk (wilayah syirik). Pola hubungan antara umat Islam dan lainnya sangat jelas digambarkan oleh Rasulullah ketika membuat perjanjian dengan “pihak lain” (kabilah-kabilah Arab dan Yahudi), yang dapat di anggap sebagai naskah konstitusi Negara yang pertama dalam Islam. Di situ disebutkan, “Yahudi dari Bani Auf adalah bersama umat Islam”. Dalam kesepakatan itu, wilayah non-muslim tidak di kelompokkan sebagai dar al-harb, tetapi mereka adalah bagian dari umat Islam selama menunjukkan loyalitasnya. Prinsip hubungan muslim dan non-muslim adalah kedamaian dan keharmonisan. Walaupun berbeda dalam akidah, seorang muslim tidak diperkenankan menyerang mereka yang berbeda agama dan keyakinan hanya karena perbedaan itu. Selama mereka tidak menunjukkan permusuhan dan tidak melakukan ancaman perang, maka tidak boleh memerangi mereka. Prinsip hubungan tersebut di atur dalam firman Allah berikut: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”. (Qs.al-Mumtahanah [60]: 8-9). Klasifikasi itu dibuat di saat dunia belum mengenal hukum internasional dan organisasi-organisasi internasional yang mengatur pola hubungan antara masyarakat dunia. Konsep dar al-harb saat ini hanya ada dalam buku-buku sejarah masa lalu, dan sulit ditemukan bentuknya dalam masyarakat modern. Negara atau wilayah yang di huni umat Islam saat ini terbagi dalam banyak Negara yang terhubung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI). Hanya empat Negara yang dengan tegas menyebut sebagai Negara Islam, yaitu Pakistan, Iran, Komoros, dan Mauritania. Lainnya berbau nasionalisme, atau menyandang nama keluarga besar. Satu hal yang ironis, jika kita lihat realitas saat ini, wilayah perang (dar al-harb) tidak lagi di wilayah non-muslim, tetapi perang saat ini banyak terjadi antara Negara-negara yang di huni umat Islam. Kenyataan seperti ini menunjukkan bahwa masyarakat saat ini sudah berubah, sehingga klasifikasi yang pernah dibuat oleh ulama masa lalu tidak lagi relevan dengan kondisi saat ini. Para ulama sepakat bahwa sebuah fatwa hukum dapat berubah sesuai dengan perubahan waktu dan tempat. Selain itu,saat ini setiap Negara muslim yang merupakan anggota dari perserikatan bangsa-bangsa(PBB) secara otomatis mempunyai perjanjian damai dengan semua anggota PBB lain sesuai dengan aturan piagam PBB. Ketika suatu Negara menandatangani perjanjian untuk menjadi anggota PBB sebenarnya negara tersebut mendatangani kontrak. Islam mewajibkan muslim untuk memenuhi semua kontrak yang telah disepakati,tanpa membadakan kontrak tersebut ditandatangani sesama muslim ataupun dengan iman non-muslim. (QS. Al-Ma’idah [5]:
Posted on: Mon, 09 Dec 2013 13:02:51 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015