DI ANTARA KEBUTUHAN DEMOKRASI DAN KEMENANGAN POLITIK - TopicsExpress



          

DI ANTARA KEBUTUHAN DEMOKRASI DAN KEMENANGAN POLITIK KEKERASAN Konflik Papua Pasca Orde Baru oleh: YANCE GOBAY Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia This paper revolves around; firstly, the political struggle in Papua between the pro-democracy groups that consist of civil society organisations (CSO), individuals within Catholic churches, and indigenous people association of one of Papuan ethnic groups vis à vis the Indonesian government, its military units and the Freeport Indonesia Company (Freeport). Secondly, the paper discusses the emergence of new and old agents who make use of issues related to the Papuan demand for independence. The latter thereafter dominate the popular political theme and gain spontaneous popular supports. In this paper I discuss the resurgence of religious movement, which takes form of demand of independence of “West Papuan Nation” and its impacts over the pro-democracy groups, military, bureaucracy, and the Papuans. The existing political struggle is analysed through the series of events in Papua from 1967 to 2001 in which I identify strategies and social practices of the agents to fight against or to conserve their domination… Pengantar Makalah ini membahas, pertama, pertarungan politik dan aktor-aktor yang terlibat di Papua antara kelompok Pro-Demokrasi yang muncul dari kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Gereja Katolik, dan lembaga adat dari salah satu kelompok etnik Papua melawan dominasi politik militer dan Pemerintah Republik Indonesia (RI) serta dominasi politik ekonomi oleh perusahaan multinasional PT Freeport Indonesia Company (Freeport). Kedua, kemunculan ke permukaan secara “tiba-tiba” aktor-aktor baru dan lama yang menggunakan isu kemerdekaan Papua di berbagai kota kabupaten yang secara spontan mendapatkan dukungan luas dari rakyat Papua. Di sini dibahas sumber-sumber dan dampak meluasnya gerakan keagamaan yang muncul mengambil bentuk tuntutan kemerdekaan “bangsa-bangsa Papua Barat” itu terhadap kelompok Pro-Demokrasi, kelompok militer, birokrasi, dan bagi masyarakat Papua sendiri. Pertarungan politik itu dibaca dari berbagai peristiwa yang terjadi di berbagai tempat di Papua yang berlangsung sejak 1967 hingga 2001. Di dalam dinamika pertarungan itu diungkap berbagai strategi yang dikembangkan oleh masing-masing aktor untuk melawan atau mempertahankan dominasinya. Dalam perspektif transisi demokrasi di Indonesia, dari berbagai peristiwa yang ada, dapat diajukan pertanyaan apakah transisi politik pasca Orde Baru di Papua mengarah pada konsolidasi demokrasi atau kah sebaliknya penguatan kembali unsur-unsur otoritarian dalam bentuk dominasi militer dan birokrasi sipil. Krisis politik Papua yang dibahas ini hendak menunjukkan kemacetan atau ketidakmampuan kelompok Pro-Demokrasi. Embrio gerakan Pro-Demokrasi ini, pertama, baru tumbuh secara terbatas di Jayapura dan di Timika. Pemberdayaan dan pertumbuhan lembaga adat sebagai lembaga yang menjadi jembatan transisi masyarakat ke arah integrasi sosial dan politik baru tumbuh di Timika. Kedua, kondisi subyektif rakyat Papua yang sebagian besar masih hidup dalam paradigma tribalisme belum dapat diharapkan mendukung proses tumbuhnya kekuatan masyarakat sipil. Perubahan politik nasional yang ditandai dengan terbukanya ruang aspirasi politik yang lebih beragam bukannya memperkuat gerakan Pro-Demokrasi dan pertumbuhan masyarakat sipil melainkan mendorong revivalisme “adat” dan etnonasionalisme rakyat Papua. Komplikasi politik ini ternyata tidak segera memperoleh resolusi politik yang memadai dan sebaliknya menjebak aktor-aktor politik baik di pihak negara maupun masyarakat pada lingkaran kekerasan yang tak berujung. 1. Peta Pertarungan 1.1. Akar Rumput Papua Masyarakat Papua bukanlah suatu entitas yang homogen. Kepapuaan baru dibangun secara terbatas bersamaan dengan tumbuhnya lapisan kecil elit terdidik melalui Sekolah Pamong Praja yang didirikan oleh Pemerintah Belanda pada 1940-an. Di sana pendidikan administrasi pemerintahan dijalani. Pada kesempatan itu para pelajar Papua banyak berdiskusi tentang persoalan kepapuaan dan kemungkinan Papua Barat menjadi satu negara bangsa yang merdeka. Pada awal 1960-an sudah disiapkan bendera nasional, lagu kebangsaan, dan lambang negara. Pada 1 Desember 1961 dengan bantuan Belanda diproklamasikan Negara Papua Barat. Dari sini bibit nasionalisme Papua mulai tersemaikan. Reaksi Pemerintah RI dan perkembangan politik berikutnya membuat Papua Barat kemudian diintegrasikan dengan RI. Identitas dan nasionalisme Papua terkubur sementara bersamaan dengan penggantian nama Papua Barat menjadi Irian Barat dan integrasi kehidupan sosial politik ekonomi dan kebudayaan Papua di bawah administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Belasan tahun kemudian, tepatnya sejak 1978, melalui kesenian identitas Papua pernah dibangun kembali oleh kelompok Mambesak Arnold Ap. Namun kepapuaan kembali terhambat karena Arnold Ap kemudian dipenjara oleh pemerintah RI di bawah Orde Baru. Menurut analisis pemerhati Papua di manca negara Arnold Ap kemudian dibunuh melalui suatu konspirasi yang melibatkan Kopassandha. Pada era reformasi, pada kurun 1998-1999, kepapuaan kembali dihidupkan sebagai identitas alternatif dari identitas “Irian Jaya” yang telah identik dengan Indonesia beserta penindasan dan praktik kolonialismenya. Perasaan satu identitas ini disatukan oleh memori penderitaan kolektif dan kongruensi aspirasi yang bersumber dari mitologi sebagian besar suku bangsa masing-masing tentang milenium baru dan mesianisme. Pada era reformasi penggunaan nama Papua menjadi penanda bagi aspirasi bersama itu. Kongruensi aspirasi dan identitas kepapuaan baru pada tahap yang sangat dini. Kepapuaan cenderung berhenti sebagai identitas yang dihayati secara “etnosentris” dan emosional. Struktur-struktur masyarakat Papua yang terdiri dari kurang lebih 250 suku bangsa bersifat otonom satu sama lain. Setiap kelompok suku secara kultural mandiri dan unik, tidak tunduk pada yang lain, dan setiap suku memiliki kosmologi yang memandang dirinya sebagai pusat dari semesta. Setiap kepala suku atau pemimpin lokal tidak memiliki otoritas yang penuh kecuali sebagai juru bicara masyarakatnya. Interaksi yang terbatas di masa lalu belum memungkinkan tumbuhnya kesadaran budaya yang relativistik dan toleran. Oleh karena itu etnosentrisme menjadi persoalan dasar di dalam konsolidasi rakyat Papua. Di dalam kenyataan budaya semacam ini sulit tumbuh suatu kepemimpinan yang diakui oleh semua kelompok suku bangsa. Kekuatan orang Papua pada umumnya adalah kemampuan negosiasi di dalam konflik antarkelompok. Institusi resolusi konflik secara tradisional berkembang dan digunakan untuk mengakhiri suatu krisis hubungan antar kelompok. Tradisi negosiasi, terutama di kalangan orang pegunungan, digunakan untuk menyelesaikan kasus-kasus pembunuhan, perzinahan, pencurian, dan lain-lain. Perang suku atau jalan kekerasan baru diambil ketika negosiasi mengalami kebuntuan atau pihak yang bertikai memang secara kultural merupakan “musuh” permanen. Hanya saja mekanisme ini hanya berlaku di dalam intern kelompok suku. Di dalam konflik antar suku kecenderungan untuk mengambil jalan kekerasan masih sangat kuat. Perang suku adalah habitus tradisional yang secara mental belum sepenuhnya hilang pada sebagian rakyat Papua. Kekerasan ditempatkan menjadi bagian inheren di dalam ritual dan hukum adat tertinggi untuk suatu resolusi konflik. Ini menjadikan kekerasan sebagai bagian dari pilihan-pilihan tindakan yang dianggap sah dan dalam momen tertentu dianggap “sakral.” Provokasi pihak lain atau pun pihak internal suku yang memanipulasi terminologi setempat dan menyentuh moods kelompok akan dengan mudah menghadirkan kekerasan baru. Selama era Orde Baru sebagian besar rakyat Papua tumbuh bersama dengan teror dan kekerasan dari negara, baik itu kekerasan yang bersifat simbolik dalam bentuk sentralisme kebijakan pembangunan dan pengingkaran terhadap paradigma kebudayaan-kebudayaan Papua maupun kekerasan fisik oleh militer yang dikaitkan dengan pembangunan dan pemberantasan gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Rakyat Papua tidak hanya disandera oleh operasi politik pemerintah bersama militer namun juga sekaligus perjuangan bersenjata OPM. Pemerintah RI pada awal kehadirannya 1963—sesuai dengan yang dijanjikannya—diharapkan dapat memenuhi aspirasi rakyat akan kedamaian dan kemakmuran baru tetapi kenyataan sebaliknya yang diperoleh. Rakyat menjadi korban kesewenang-wenangan, ketidakdilan, kemiskinan, dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Dengan stigma OPM, rakyat menjadi korban dominasi politik birokrasi sipil dan militer. Sebagian rakyat melihat OPM sebagai alternatif perlawanan sejak 1970-an. Oleh karena itu perlawanan yang muncul di masa Orde Baru menggunakan simbol-simbol OPM kendati kadang-kadang kelompok pelakunya tidak terkait baik secara gagasan maupun secara organisasi dengan OPM. Kelompok yang muncul di kota sesekali dengan simbol-simbol Papua Merdeka dalam bentuk unjuk rasa dan pengibaran bendera. Bagi mereka yang bergerak di hutan-hutan penyanderaan, kekerasan, dan pengibaran menjadi praktik simbolik perlawanan. Seluruh strategi itu tidak disadari telah menjerumuskan rakyat Papua lainnya dalam situasi “maju kena mundur kena.” Pada 1970-an Brian May mengutip sebuah tulisan di satu pintu rumah di Arso, sebelah selatan Jayapura, “Before me are bayonets (Indonesian troops), behind me are knives and arrows (OPM tribesmen). Pada akhirnya rakyat terseret menjadi korban kekerasan balik dari militer. Tidak disadari bahwa pilihan simbol dan praktik perlawanan itu justru melegitimasi kekerasan yang dilakukan oleh militer. Rakyat Papua Pegunungan Tengah adalah lapisan korban yang paling menderita dari strategi OPM dan praktik politik militer. Fakta kultural yang penting untuk dicatat dari orang Papua adalah bahwa gerakan cargo cult atau kargoisme masih sangat populer di Papua. Tentang hal ini John Strelan menulis bahwa kultus kargo berkaitan dengan gerakan-gerakan yang menekankan dan menggunakan ritus dan doktrin-doktrin religi dan magis untuk mencapai tujuan-tujuannya atau untuk memenuhi harapan-harapannya. Secara umum kultus kargo berarti semua gerakan yang mendambakan kedatangan kekayaan baik materi maupun rohani dengan cara apa pun walaupun caranya tidak memenuhi pandangan kriteria Barat. Kargoisme hanya menunjuk kepada doktrin-doktrin kargo, ideologi, mitos-mitos atau filsafat tentang kargo. Menurut Benny Giay pada prinsipnya kargoisme berhubungan dengan harapan atau impian masyarakat untuk mendapatkan pengakuan, status, kekayaan materi, kedamaian, dan kehidupan yang lebih baik. Sejak 1860 sudah ada laporan tertulis tentang gerakan-gerakan kargoisme. Pada waktu itu John Strelan menghitung sekitar 200 gerakan terjadi di berbagai tempat. Sejak kontak orang Papua dengan pendatang, dengan misionaris dan pejabat-pemerintah, gerakan ini semakin subur dan mengembangkan bentuk-bentuk barunya yang berorientasi pada kekayaan materi produksi Eropa dan Amerika. Berdasarkan hasil penelitian para antropolog dan teolog dapat dikatakan bahwa sebagian besar kelompok suku bangsa Papua memiliki tradisi ini. Pada orang Dani, misalnya, ada Nabelan Kabelan, orang Amungme mempunyai Hai. Di Biak orang menjalankan Koreri. Di pantai selatan Papua, orang Kamoro memiliki Otepe. Kata Schoorl, orang Muyu mempunyai Ot, dan seterusnya. Gerakan kerakyatan orang Papua yang menuntut kemerdekaan, mulai dari Organisasi Papua Merdeka (OPM) pada 1965 hingga PDP pada 2000 juga terkait dengan spirit gerakan kargoisme. Pengibaran bendera Bintang Kejora, misalnya, diperlakukan sebagai ritus untuk menyambut datangnya “kemerdekaan.” Kibarannya dianggap seperti panggilan suci pada leluhur. Mereka seakan-akan berdoa, “Datanglah KerajaanMu. Bebaskanlah kami dari peluru, sangkur, dan bayonet. Suburkanlah kebunku dengan batatas dan keladi. Kembalikan hutanku agar sagu dan babi tersedia untuk kerabatku. Bersihkan sungaiku agar ikan dan udang kembali melompat ke perahuku.” Di Biak, misalnya, pada 2-6 Juli 1998, kegiatan pengibaran bendera terlihat jelas dijiwai oleh gerakan Koreri. Selama lima hari orang Papua dengan berani mempertaruhkan nyawa mempertahankan bendera dan “berperang” melawan polisi dan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Bendera sengaja dikibarkan di tempat yang tinggi yaitu menara air kota Biak agar dengan mudah terlihat dari laut. Mereka yakin bahwa kapal induk Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) bersama Sekretaris Jendral PBB Kofi Annan segera datang untuk memberikan bantuan makanan, senjata, dan mengakui kemerdekaan Papua. Seperti di Biak, gerakan kargoisme selalu gagal memenuhi keyakinan dan harapan. Tetapi keyakinan akan penantian itu tidak pernah mati. Ia akan selalu hidup kembali suatu saat. 1.2 Organisasi Papua Merdeka Uraian di atas tentang kandungan spirit kargoisme makin jelas dengan kutipan dari Brian May berikut ini: “In West Irian there was conviction that freedom was assured by that Arbiter of Justice, that Omnipotent Power of Powers, the United Nations; if the Indonesians dared to remain in West Irian when it was clear that the people wanted them to go, the United Nations would send in forces to fight alongside the OPM. Just as people along the coast near Madang waited in vain for the divine cargoes, so villagers in North Biak trudged to hilltops overlooking the sea, where, they believed, a United Nations submarine would bring them food and guns. Kutipan tulisan Brian May yang meneliti di Papua pada sekitar akhir 60-an dan awal 70-an menunjukkan kompleksitas sekaligus karakteristik yang khas dari gerakan rakyat Melanesia. Ia tak dapat disebut semata-mata sebagai suatu gerakan politik atau gerakan perlawanan gerilya. Ia mengidap sesuatu yang secara psikologis jauh lebih kompleks daripada apa yang bisa didefinisikan sebagai suatu gerakan politik. OPM adalah suatu gerakan rakyat yang bersifat keagamaan yang isinya dijiwai oleh suatu ideologi keselamatan, pembebasan, dan pemakmuran melalui proses-proses yang bersifat gaib yang model-modelnya terdapat dalam mitos-mitos. OPM lahir setelah serangkaian pertarungan kekuasaan yang melibatkan Pemerintah RI, Amerika Serikat, UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority), Pemerintah Belanda, dan sejumlah elit terdidik Papua yang berlangsung sejak 1962 hingga 1969. Pemungutan Pendapat Rakyat (Pepera atau Act of Free Choice) pada 1969 menandai “kemenangan” usaha integrasi Papua Barat oleh Pemerintah RI. Sebagian elit Papua yang Pro Belanda hijrah ke Belanda. OPM adalah juga ditumbuhkan dan dibesarkan oleh seluruh proses tersebut di atas yang di dalamnya tersimpan pengalaman ketakadilan oleh rekayasa berlebihan dari militer Indonesia. Sebagian elit Papua pimpinan OPM membangun perlawanan. Sejak itu para elit Papua ini mencoba melibatkan rakyat dalam usahanya “merebut kembali” kemerdekaan Papua Barat yang sempat mereka proklamasikan pada 1 Desember 1961. Pada tahun-tahun 1971-1976 adalah masa peningkatan hubungan antara elit pendiri OPM dengan rakyat Papua di pedesaan. Alih-alih menghancurkan OPM, represi militer Indonesia justru meningkatkan semangat resistansi terutama di kalangan rakyat pedesaan. Banyak penduduk desa kemudian bergabung dengan OPM. Area yang mereka kuasai pada umumnya adalah hutan-hutan di sekitar perbatasan Irian Jaya-Papua Nugini karena bergerak di kota-kota sangat tidak mungkin. Pada 1976 terjadi perpecahan di antara dua komandan militernya: antara Seth Rumkorem dan Jacob Prai. Faksi Prai menamakan dirinya “Pemka” atau Pemulihan Keadilan dan membangun pasukan yang dikenal sebagai Tentara Pembebasan Nasional (TPN) OPM. “Pimpinan” yang dalam pengasingan di mancanegara yakni Senegal dan Belanda tampaknya lebih mendukung Pemka. Sedangkan kelompok Rumkorem adalah faksi Victoria. Pada 1977-1978 OPM melancarkan perang gerilya dengan target para petugas pemerintah dan pendatang. Perang pecah terutama di wilayah suku Dani dan Damal, termasuk Amungme, di sekitar Pegunungan Tengah Kabupaten Jayawijaya. Kronologi Komando Daerah Militer (Kodam) XVII Cenderawasih menunjukkan pertempuran sporadis di Jayawijaya sejak April 1977 hingga Agustus 1977. Ratusan hingga ribuan orang Pegunungan Tengah Papua mendukung perang gerilya OPM. Mereka menyerang polisi, tentara, petugas pemerintah, dan pendatang. Korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Perang kemudian berakhir sementara dengan ditandai oleh kembalinya berbagai kelompok masyarakat ke desa masing-masing dan menyerah kepada Pemerintah RI. Akibat dari gejolak politik ini, menurut Osborne, sekitar 3.000 orang Papua mengungsi ke Papua Nugini melalui jalur Pegunungan Tengah. Dari para Amungme yang pernah bergabung dengan pengungsi terungkap keyakinan di antara para pengungsi bahwa di Papua Nugini mereka akan memperoleh bantuan makanan dan persenjataan dari PBB dan dari Pemerintah Papua Nugini. Dengan bantuan persenjataan mereka berharap dapat melakukan serangan balik terhadap militer Indonesia yang sudah menguasai tanah Papua. Di pengungsian mereka ternyata tidak pernah mendapatkan bantuan senjata. Mereka hanya mendapatkan bantuan makanan dari PBB melalui UNHCR. Penantian para pengungsi terhadap bantuan persenjataan itu berlangsung cukup lama hingga pada 1992 sebagian dari pengungsi kemudian dipulangkan dengan sukarela ke kampung halamannya masing-masing di Papua Barat. Pada awal 1984 intelijen Indonesia mendapatkan informasi bahwa OPM akan melakukan serangan besar-besaran. Pada saat itu orang Papua gelisah akibat program transmigrasi yang dilaksanakan secara intensif di perbatasan Papua Barat-Papua Nugini. Pada saat yang sama militer Indonesia juga melakukan penangkapan sekitar 30 orang yang dicurigai sebagai anggota OPM. Salah satu korbannya yang terkenal adalah seorang kurator museum etnologi Universitas Cenderawasih Arnold Ap yang mencoba membangun identitas kepapuaan melalui kesenian. Ia bersama tiga temannya diyakini telah dibunuh oleh pasukan Kopassus. Pada saat itu dua faksi OPM aktif melakukan serangan-serangan terbatas di Biak, Sorong, Manokwari, dan Jayapura. Salah satu aksinya yang diliput media secara luas adalah pengibaran bendera di halaman kantor Gubernur. OPM sebagai suatu gerakan anti Indonesia yang sudah berumur sekitar 30 tahun belum mengalami kemajuan yang berarti sebagai suatu gerakan politik. Keberhasilan perjuangan dipahami sebagai penantian akan sang penyelamat atau sang Mesias yang dalam konteks OPM disandarkan pada apa yang disebut oleh Brian May sebagai sang Arbiter of Justice, the Omnipotent Power of Powers, the United Nations. Secara praktis ideologi yang mendominasi para pejuangnya adalah ideologi tradisional cargo cult. Organisasi dan kepemimpinannya tidak mengalami perkembangan yang berarti. Polarisasi faksi-faksi di dalamnya, faksi Prai dan faksi Rumkorem, membuat energinya terpecah dan tidak sinergis. Hanya dalam tekanan tertentu faksionalitas itu dapat menjadi cair sejenak untuk bersatu menghadapi ancaman militer Indonesia. Sebagai suatu gerakan bersenjata OPM juga tidak berkembang. Upaya penyelundupan senjata tidak atau belum mampu dilakukan untuk memperkuat misalnya Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat. Meskipun penguasaan medan gerilya seperti hutan-hutan Pegunungan Tengah lebih unggul daripada TNI, kemampuan tempurnya melawan TNI, akibat minimnya persenjataan, juga masih sangat terbatas. Selain itu belum terlihat upaya untuk mengirimkan pada kader mudanya untuk berlatih perang gerilya di luar negeri untuk memperkuat kemampuan strategi dan komando peperangan. Strategi penggalangan rakyat di pedesaan untuk bergabung dengan OPM pada awal 1970-an hingga sekarang juga tidak berkembang. Melalui temuan peneliti Universitas Cenderawasih S.A. Patty terungkap bahwa OPM dalam menggerakkan perlawanan rakyat hanya menggunakan apa yang disebut Patty sebagai “janji-janji muluk” kepada rakyat pedesaan. Hasil wawancara saya dengan beberapa Amungme yang pernah aktif di dalam OPM menunjukkan bahwa motivasi perjuangan mereka di dalam OPM digerakkan oleh aspirasi yang bersumber dari cargo cult. Brian May, dengan menyitir antropolog Belanda F.C. Kamma, juga melihat gerakan OPM sebagai gerakan cargo cult. Ini menunjukkan bahwa salah satu strategi pimpinan OPM adalah memanfaatkan aspirasi-aspirasi kemakmuran dan keselamatan dalam mitos-mitos kargoisme untuk menarik hati rakyat. Kelemahan dari strategi kargoistik adalah sifat mistik dan gaib dari proses kemerdekaan dan kemakmuran yang ingin dicapai. Meskipun efektif untuk menarik minat rakyat di pedesaan, pendekatan ini hanya menjadi afirmasi bagi mitos-mitos orang Papua tentang jaman milenia baru. Rakyat tidak didorong untuk memperoleh pemahaman baru untuk menerima suatu perjuangan politik yang lebih programmatik dan pencapaian politik secara bertahap dalam perjuangan jangka panjang. Akibatnya dapat dipastikan dengan mudah. Para pengikutnya pasti akan kecewa dalam kurun waktu tertentu karena harapannya tidak kunjung tercapai. Dengan demikian dapat dimengerti mengapa orang Papua hari ini menjadi aktivis OPM lalu karena hal tertentu pada hari berikutnya kembali ke kota dan ikut program pemerintah. Hal sebaliknya juga “dengan mudah” terjadi. Ketika Indonesia memasuki era reformasi dengan kebebasan politik yang relatif lebih besar, OPM tidak lagi memimpin. Kepemimpinan itu justru diambil alih oleh elit-elit Papua di perkotaan terutama Jayapura dalam bentuknya sebagai Presidium Dewan Papua (PDP). 1.3 Diaspora Pro-Demokrasi Amanelan jamai-a amanelan jamo Wemjagamea negtewengamtayo amanelan jamo Bom tangan pangamtayo amanelan jamo Senjata kaki dua pangamtayo amanelan jamo Jongkok ingamtayo enago-a amanelan jamo Kacao ingamtayo enago-a amanelan jamo Tiarap ingamtayo enago-a amanelan jamo Model baru-et mogamte enago-a amanelan jamo Nai domatertayo enago-a amanelan jamo Nannak nannai amanelanjamo Nemeak nemeai amanelanjamo Mau beritahukan, mau perlihatkan Mau perlihatkan daerah yang dirusak oleh tentara Mau perlihatkan tempat tentara lempar bom tangan Mau perlihatkan tempat tentara tembak kami dengan senjata kaki dua Mau perlihatkan tempat kami jongkok Mau perlihatkan tempat kami terpencar Mau perlihatkan tempat kami tempat kami tiarap Mau perlihatkan tempat kami kami dikejar dengan senjata model baru Mau perlihatkan rumah saya dibakar oleh tentara Kakak-kakak, kami mau perlihatkan Saudara-saudara, kami mau perlihatkan Lirik lagu di atas ditemukan pada 1997 oleh dua aktivis Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme (LEMASA) di kalangan Amungme di Bella dan Alama yang menghadapi kekerasan militer sejak 1970-an. Temuan lagu ini, di antara sejumlah lagu yang lain, menunjukkan bahwa kekerasan dialami orang Amungme (salah satu di Pegunungan Tengah Papua) telah berlangsung sejak lama hingga tercipta lagu spontan tentang penderitaan mereka menghadapi TNI. Lagu-lagu ini dinyanyikan di kalangan Amungme di kala mereka berkebun, istirahat di kampung, atau berada dalam persembunyian. Lagu-lagu ini sekaligus mewartakan kepada anak-anak dan warga Amungme tentang kekejaman dan kekejian TNI. Lagu tersebut di atas juga ditujukan pada aktivis-aktivis muda Amungme yang sejak 1994 bekerja keras membongkar pelanggaran HAM di kalangan rakyat Pegunungan Tengah Papua. Gerakan Pro-Demokrasi dan penegakan HAM ini berawal di Jayapura dan di Timika, pada akhir 1980-an, terutama di kalangan terdidik diperkotaan. Kalangan intelektual dan LSM Papua mendapatkan inspirasi perlawanan baru dari kondisi obyektif yang mereka alami dan interaksi dengan kelompok aktivis Pro-Demokrasi yang mengibarkan isu HAM, keadilan, dan lingkungan. Kerjasama intelektual lokal dengan LSM menghasilkan lembaga adat yang kemudian dilihat sebagai institusi yang representatif bagi rakyat Papua yang masih berbasis kesukuan. LEMASA di Timika kemudian berperan menjadi lembaga masyarakat yang menggunakan strategi dan isu kelompok Pro-Demokrasi untuk memperjuangkan kepentingan mereka dan perlawanannya terhadap militer. Secara mendasar tumbuhnya lembaga adat dan keterlibatannya dengan gerakan Pro-Demokrasi adalah lompatan budaya yang luar biasa pada sisi paradigma dan strategi. Dalam setiap unjuk rasanya simbol-simbol Papua Merdeka digantikan dengan simbol kemanusiaan dan keadilan melalui HAM dan lingkungan hidup. Pernyataan politik dan negosiasi menggantikan penyanderaan dan kekerasan yang biasa dilakukan oleh prajurit OPM. Sosialisasi dari mulut ke mulut dilengkapi dengan pelatihan, selebaran, dan konferensi pers. Ketertutupan kesukuan menjadi kerjasama antarsuku dan antarkelompok. Jaringannya meluas melampaui batas suku, agama, daerah, dan negara. Dengan tumbuhnya kelompok Pro-Demokrasi di Jayapura dan di Timika yang mengembangkan jaringan dengan berbagai LSM lokal, nasional, maupun internasional perlawanan terhadap dominasi militer menjadi semakin efektif. Wacana tentang HAM, lingkungan, dan gender berkembang luas di kalangan intelektual Papua di perkotaan dan kegiatannya menyebar hingga ke pedalaman tertentu. Dengan dukungan penuh tetapi diam-diam dari Gereja Katolik, aliansi dari berbagai lapisan masyarakat ini mampu memberikan tekanan dan kontrol yang signifikan pada praktek politik dan ekonomi birokrasi yang secara ekonomis eksploitatif dan secara politik represif. Prestasi semacam ini mencapai masa kejayaannya hanya hingga 1998. Pada pihak aparatus negara, terutama militer, kenyataan tersebut di atas merupakan ancaman nyata terhadap situasi dan kondisi obyektif yang memberikan privilese pada militer. Mereka merespons secara cepat kecenderungan yang mengancam kelangsungan jaringan dan praktik politik dan ekonomi militer. Sementara itu pada pihak gerakan Pro-Demokrasi belum terbangun gerakan yang mengakar dan meluas, terbatas di Jayapura dan di sekitar Timika. Oleh sebab itu ketika elemen masyarakat Papua lain mengangkat isu kemerdekaan dan menyelenggarakan pengibaran bendera Papua, kelompok Pro-Demokrasi tidak mampu mengantisipasi tenggelamnya isu-isu demokrasi dan HAM. Bahkan sebagian aktivis Pro-Demokrasi juga menenggelamkan diri dalam trance gerakan keagamaan Papua Merdeka. Dukungan rakyat yang luas dan emosional pada aspirasi kemerdekaan menekan kelompok Papua mana pun yang mencoba merasionalisasi aspirasi tersebut. Bahkan yang bersangkutan akan dituduh sebagai pendukung gagasan otonomi. Pada tataran wacana kalangan intelektual Pro-Demokrasi pun tersingkir. Kenyataan itu terlihat jelas menjelang Dialog Nasional 1999. Ketika Forum Rekonsiliasi Rakyat Irian Jaya (Foreri) didirikan perdebatan antara pilihan Otonomi (O), Federasi (F), dan Merdeka (M), pada awalnya masih terbuka. Namun setelah Dialog Nasional 1999 dan kelompok M yang dimotori oleh beberapa elit dari Tim 100 delegasi Papua dalam Dialog Nasional antara wakil rakyat Papua dengan Presiden RI B.J. Habibie menjadi dominan. Otokritik dari sesama Papua terhadap eforia M selalu dicurigai. Setiap upaya itu lalu diberikan stigma “otonomi.” Sebagian kelompok Pro-Demokrasi kemudian mencoba menyesuaikan diri dan mencoba mendukung aspirasi “M.” Sebagian lainnya mencoba diam dan menjaga jarak. Dengan ini maka dominasi faksi di dalam masyarakat yang mendukung M menjadi sangat dominan. Simbol huruf “F” yang sebelumnya berarti “Federasi” tenggelam dengan sendirinya. Orang dalam kehidupan sehari-hari dengan mudah membuat dikotomi “O” dan “M.” 1.4. Presidium Dewan Papua PDP dan OPM memiliki tujuan yang sama. Bedanya terletak pada strategi yang dibangun. Jika OPM menggunakan perlawanan bersenjata, PDP menuntut kemerdekaan Papua dengan cara damai. Strategi ini diambil pertama karena cara OPM dianggap tidak efektif. Kedua karena PDP lahir dari suatu situasi politik transisional pada saat mana ruang politik dan kebebasan berpendapat relatif lebih terbuka dibandingkan pada era OPM. PDP lebih banyak mengandalkan pernyataan-pernyataan politik untuk menggugat keabsahan proses integrasi Irian Jaya atau Papua Barat menjadi bagian dari NKRI. Oleh karena itu wacana politik yang dikedepankan adalah “meluruskan sejarah integrasi Papua”. Dengan ini kalangan pemimpinnya berharap pihak internasional, terutama PBB, akan meninjau kembali status politik Papua Barat. Potensi dan peluang kepemimpinan Papua sebenarnya dimiliki oleh Presidium Dewan Papua yang terbentuk pada Konggres Papua 2000. Dengan dukungan besar dari delegasi-delegasi masing-masing kabupaten, PDP dipercaya untuk memperjuangkan aspirasi rakyat Papua menuju kemerdekaan. Hanya saja aspirasi seragam dan kuat dari rakyat Papua untuk merdeka tidak segera diolah oleh PDP menjadi energi politik yang mampu mentransformasi aspirasi mistik ini menjadi suatu gerakan politik. PDP tidak mampu mengolah momentum dan kepercayaan yang diberikannya menjadi suatu organisasi politik dan jaringan antar kelompok etnik yang berakar dan kuat. PDP ternyata kemudian tampil tanpa strategi dan program politik yang jelas. Selama keberadaannya langkah-langkah politik yang diambil sangat reaktif. Komposisi pimpinan PDP sendiri sebenarnya kurang solid karena terdiri dari sejumlah orang yang sebagiannya sangat dekat dan terkait dengan Orde Baru dan Golongan Karya (Golkar). Ketua PDP, misalnya adalah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) I Irian Jaya selama 2 periode dari Golkar. Pemimpinnya ditengarai memiliki hubungan erat dengan pimpinan preman dan organisasi pemuda yang memiliki jaringan kerjasama dengan keluarga mantan Presiden Soeharto. Seorang di antaranya diyakini berhubungan erat dengan pimpinan lembaga intelijen TNI. Selain itu seorang pemimpin yang lain telah menjadi komisaris Freeport dan cenderung beralih pada kegiatan bisnis atau menjadi broker pada proyek-proyek besar Freeport. Ketidakmampuan PDP juga berhubungan dengan mission impossible yang dibebankan pada PDP. Aspirasi Papua Merdeka sebagai suatu misi yang hampir tidak mungkin dilaksanakan atau dicapai karena imagined Free Papua bukanlah suatu keadaan yang dibayangkan hendak dibangun dan diperjuangkan melalui proses politik yang panjang dan berliku melainkan suatu keadaan yang referensinya berdasarkan mitos yang dimiliki oleh masing-masing kelompok etnik Papua. Cita-cita itu tidak dibayangkan dicapai dengan kerja-kerja politik yang panjang tetapi cita-cita itu dibayangkan datang dengan sendirinya dalam sekejap secara gaib melalui campur tangan nenek moyang mereka. Watak gerakan semacam ini dalam disiplin teologi lazimnya disebut cargo cult. Jika pun PDP memulai suatu pengorganisasian dan program-program politik yang terencana dan visioner, institusi ini akan mendapatkan tekanan besar dari rakyat Papua dan bahkan ditentang karena yang dibayangkan oleh rakyat sama sekali bukanlah perjuangan melalui proses panjang dan kerja keras oleh rakyat Papua sendiri melainkan suatu keadaan makmur, sejahtera, dan damai yang diperoleh secara magis. Secara ajaib, seperti yang dikatakan dalam mitos-mitos! Stamina penantian rakyat pada kedatangan jaman baru tidaklah panjang. Rakyat akan dengan mudah kehilangan kesabaran. Sejumlah tekanan balik ke PDP sangat mungkin terjadi. Kemungkinan terbesar rakyat Papua akan menjadi jenuh dan mulai kembali kepada realitas kehidupan sehari-hari. Ini dalam waktu yang sama juga berarti kepercayaan rakyat pada PDP akan luntur dengan sendirinya. 1.5 Pendatang: Maju Kena Mundur Kena Istilah “pendatang” di Papua mengacu pada berbagai kelompok orang non-Papua yang seringkali digambarkan sebagai si “rambut lurus” atau si “kulit terang”. Paralel dengan dominasi isu “M,” teror dan intimidasi terhadap pendatang meningkat. Sejumlah pemerasan dilakukan oleh Satuan Tugas (Satgas) Papua yang juga tak dapat terkontrol sepenuhnya oleh Presidium Dewan Papua. Potensi konflik horisontal menganga terbuka. Beberapa kali terjadi kekerasan antara keduanya terutama antara orang Papua asli dengan kelompok pendatang yang disebut BBM (Bugis, Buton, Makassar). Selain belum berkembangnya pemikiran PDP tentang posisi pendatang, kalangan pendatang pun tidak memiliki lembaga representasi yang memadai. KKSS (Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan) oleh orang Papua lebih dipandang sebagai lembaga korporatif yang dekat dengan militer dan pemerintah. Selain KKSS, belum ditemukan asosiasi pendatang yang berupaya meningkatkan posisi tawar dan kualitas representasinya di hadapan militer, pemerintah, maupun penduduk asli. Hingga 2001 belum terlihat upaya rekonsiliasi dan negosiasi antara kelompok pribumi Papua dengan pendatang. Sebagian besar pendatang dicekam ketakutan, ketakpastian masa depan, dan terbatasnya pilihan-pilihan. Pendatang pun sebagian berpikir untuk dan sebagian lainnya sudah meninggalkan tanah Papua. Tetapi mereka yang merasa terdesak dan harus mempertahankan diri mencoba mempersenjatai diri dengan senjata rakitan yang lebih efektif untuk membunuh dibandingkan dengan senjata orang Papua semacam parang, tombak, atau panah. Reaksi ini justru meningkatkan lingkaran kekerasan di Papua. Ketegangan hubungan pendatang-pribumi berada pada titik terburuk. Pembantaian pendatang oleh orang Dani pada Oktober 2000 di Wamena merupakan penegasan atas ketegangan itu. Pendatang pada umumnya secara politik lebih dinilai berpihak pada penguasa. Dalam setiap krisis politik yang menghadapkan pemerintah versus penduduk asli, posisi pendatang ditempatkan berseberangan dengan penduduk asli. Pada Kerusuhan 1996 di Abepura isu utamanya adalah pengiriman jenazah Thomas Wanggai dan kemarahan orang Papua pada aparat keamanan namun pendatang di Abepura, Waena, dan Sentani menjadi sasaran kekerasan. Pada sisi ini dapat dikatakan pendatang menjadi korban. Tindakan KKSS membuat demo tandingan mengecam dan menantang orang Papua di Sorong dan Manokwari pada 1998 adalah contoh lain dari keberpihakan pendatang pada militer. Pada sisi ini dapat dilihat tindakan pendatang yang memupuk kebencian orang Papua terhadap pendatang. Posisi tersulit dihadapi oleh para transmigran yang tersebar di berbagai lokasi di Papua, terutama yang ditempatkan di perbatasan. Lahan-lahan yang disediakan oleh Departemen Transmigrasi untuk mereka mulai banyak dipersoalkan oleh penduduk setempat. Ini membuat para transmigran tidak dapat lagi melanjutkan hidupnya dengan tenang karena setiap saat akan ada gangguan. Keadaan itu juga diperburuk dengan penanganan dan perhatian pemerintah terhadap pada para transmigran yang terbatas. Ketika hasil-hasil pertanian tak dapat lagi menopang kehidupan ekonomi mereka maka para transmigran itu juga harus mendatangi kota-kota terdekat untuk mencari penghasilan baru. Keadaan menjadi lebih buruk bagi transmigran karena mereka menjadi korban di dalam pertarungan OPM melawan militer Indonesia. Transmigran di Arso, Jayapura, adalah contoh di mana transmigran menjadi bulan-bulanan di tengah konflik dan pertarungan politik. Kasus transmigran Satuan Pemukiman (SP) 7 dan SP 8 Bonggo Jayapura yang meninggalkan lokasi karena teror dan mengungsi ke LBH Jayapura menjadi puncak gunung es dari problem transmigrasi di Papua. Sejak Januari 1999 hingga pertengahan 2001 mereka terlantar, tidak mendapat perhatian. Akibatnya selama mengungsi sudah 22 orang meninggal karena berbagai penyakit. Bagi OPM transmigran merupakan target yang paling mudah untuk melakukan tekanan terhadap Pemerintah RI dan militer. Bagi militer, transmigran yang terancam dapat menjadi dalih yang efektif untuk membangun citra Papua sebagai wilayah yang rawan dan tidak stabil dari segi keamanan. 1.6. Birokrasi Sipil: Mesin yang Lumpuh Pada era Orde Baru birokrasi sipil baik pemerintah propinsi maupun pemerintah kabupaten adalah sepenuhnya representasi pemerintah pusat. “Pembangunan” sebagai kegiatan utama pemerintah daerah dirancang dan dilaksanakan oleh para aparatnya dengan tanpa mempertimbangkan konteks lokal dan kontradiksi kultural yang mungkin terjadi. Praktek pembangunan yang dilakukan pada akhirnya menjadi bagian dari persoalan-persoalan baru dan bukan menjadi bagian penyelesaian masalah rakyat Papua. Dalam perspektif budaya, praktik pembangunan lebih menghasilkan deprivasi kultural dan keterasingan rakyat Papua daripada emansipasi sosial. Birokrasi sipil dalam hubungannya dengan pengelolaan sumber daya alam lebih merupakan pelayan pengusaha besar dan mengabdi pada kepentingan dirinya sendiri dan pejabat-pejabatnya. Tanah-tanah hak ulayat diambil alih secara sewenang-wenang oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah atas nama pembangunan. Pada 1980-an pengkaplingan hutan-hutan Papua dilakukan oleh pengusaha, kroni-kroni, dan penguasa Jakarta. Ketika terjadi resistansi dari masyarakat, pemerintah segera menggunakan tangan-tangan militer dan stigma OPM untuk merepresi protes dan perlawanan masyarakat. Selama Orde Baru pula korupsi, kolusi, dan nepotisme berurat akar di dalam birokrasi pemerintah daerah. Di dalam praktiknya setiap pejabat menggunakan kekuasaannya untuk korupsi dan memberikan fasilitas pada kerabat atau kenalan yang berasal dari kelompok etnik yang sama. Pada satu sisi hal ini membuat orang Papua melihat persoalan birokrasi sebagai bagian dari diskriminasi oleh kelompok-kelompok etnik pendatang (Jawa, Manado, Batak, Bugis, Buton, Makasar) terhadap kelompok-kelompok etnik Papua. Pada sisi lain kemakmuran pada pejabat birokrasinya melahirkan kecemburuan di pihak aparat birokrasi yang putra Papua. Transmigrasi sebagai kebijakan Pemerintah RI dipandang sebagai upaya yang bersifat “kolonialistik” untuk membuat orang Papua menjadi minoritas di tanahnya sendiri. “Jawanisasi” adalah stigma umum yang berkembang baik di kalangan intelektual Papua maupun birokrat Papua tentang transmigrasi. Sikap anti transmigrasi ini semakin berkembang sejalan dengan berbagai wacana tentang peminggiran orang Papua pada satu sisi dan dominasi pendatang pada sisi lain. Selain itu proses implementasi program transmigrasi, terutama proses pembebasan lahan, dipandang penuh manipulasi dan intimidasi terhadap penduduk setempat. Oleh sebab itu pada Februari 2000 Wagub R.G. Djopari mengusulkan agar transmigrasi ditunda dan diutamakan program pemberdayaan orang Papua. Kecurigaan terhadap “politik jawanisasi” yang tersembunyi di balik transmigrasi makin berkembang ketika intelektual Papua membaca program Keluarga Berencana (KB) yang digalakkan selama masa Orde Baru. Di kalangan intelektual pegunungan tengah KB dipandang sebagai upaya untuk membuat orang Papua punah. Menurut mereka secara alami pertumbuhan penduduk Papua asli sangat lambat dan akan lebih lambat lagi jika diintervensi oleh program KB yang membatasi tingkat kelahiran. Semua ini dibaca sebagai suatu desain besar diskriminatif Pemerintah RI yang hendak membuat pendatang Jawa menjadi dominan dan orang Papua akan semakin terpinggirkan dan bahkan bisa punah. Pada saat reformasi bergulir dan isu Papua Merdeka menguat, kalangan birokrasi justru tidak mampu memberikan kontribusi pemetaan masalah dan resolusi alternatif kepada pemerintah pusat untuk memberikan perspektif lokal yang dapat memberikan pemahaman yang komprehensif terhadap pemerintah pusat. Sebaliknya pejabat-pejabat birokrasi lokal ikut mereproduksi stigma-stigma OPM, separatisme, dan makar. Pada satu sisi tuntutan merdeka menjadi ancaman tersendiri bagi aparat yang pendatang namun pada sisi lain aparat yang putra Papua mendapatkan peluang yang besar untuk memanfaatkan isu Papua Merdeka. Pemerintah terutama pemerintah daerah di Papua kehilangan sebagian besar wibawa dan otoritasnya. Dari kasus tahun 2000 dapat diambil beberapa contoh. Pada 7 Februari massa rakyat menyegel 10 kantor pemerintah kabupaten Sorong dan menuntut bupatinya mundur. Sembilan hari kemudian di Merauke massa rakyat mengamuk merusak kantor RRI dan kantor Bupati yang waktu itu sedang kampanye otonomi khusus. Pada 19 Maret Bupati Fakfak dan ajudannya dikeroyok oleh massa. Pada Mei, ketika Wakil Presiden Megawati berkunjung ke Papua, terjadi perusakan rumah dan mobil dinas Bupati Jayawijaya. Di Biak mobil Ketua DPRD II disandera oleh massa. Inheren dalam wacana Papua Merdeka adalah adanya dominasi pendatang atas orang Papua di dalam berbagai bidang termasuk sektor birokrasi. Kesempatan ini digunakan oleh para birokrat putra Papua untuk menghembuskan isu “papuanisasi” dan tujuan praktisnya adalah merebut posisi-posisi pimpinan birokrasi pada level propinsi dan kabupaten. Pada kurun 1999-2001 praktis terjadi papuanisasi jabatan-jabatan penting semacam gubernur hingga kecamatan dan kepala desa. Dalam situasi semacam itu rasionalitas penjenjangan karir berdasarkan golongan, pendidikan, dan kemampuan tidak lagi berlaku. Rasionalitas birokrasi yang pada era Orde Baru hanya sebatas ucapan kini semakin parah karena didominasi dengan isu primordial. Di dalam wacana tuntutan Papuanisasi selalu dikemukakan bahwa dengan duduknya putra Papua sebagai pimpinan pemerintahan daerah seakan-akan “dipastikan” adanya komitmen dan strategi baru pembangunan yang lebih mengutamakan warga Papua secara keseluruhan. Pada praktiknya kedudukan baru yang dinikmati oleh aparat putra Papua sebagian besar disalahgunakan. Korupsi dan penyalahgunaan wewenang dilakukan secara terbuka. Korupsi dan kolusi tidak lagi dilakukan secara tersembunyi seperti sebelumnya. Di satu kabupaten di wilayah pegunungan tengah Papua seorang bupati menghabiskan sebagian besar anggaran pemerintah kabupaten untuk perjalanan-perjalanannya ke Jayapura dan ke Jakarta bersama rombongan staf yang direkrutnya dari kerabat-kerabatnya. Disiplin birokrat pada masa Orde Baru sangat rendah. Pada era reformasi disiplin kerja semakin menurun. Kantor-kantor Pemda Tingkat I misalnya lebih banyak terlihat kosong. Pada awal 2000, Kompas melaporkan absensi yang tinggi di kalangan pejabatnya. Mulai dari Gubernur, para kepala kantor wilayah, dan kepala dinas sangat sering meninggalkan kantor dan lebih banyak melakukan perjalanan ke Jakarta. Tugas-tugas pelayanan publik pun semakin terbengkelai. Warga yang berkepentingan pun akhirnya tidak terlayani. Padahal warga-warga tersebut tidak hanya datang dari sekitar Jayapura tetapi juga dari kabupaten lain dengan ongkos transport pesawat yang mahal. Hal ini juga terjadi di pedalaman. Di Kecamatan Akimuga, misalnya, pada awal 2001, saya menemukan kantor kecamatan yang kosong. Menurut guru setempat sang camat sudah berbulan-bulan berada di Timika. Dana pembangunan kecamatan digunakan untuk membiayai hidupnya dan berfoya-foya di Timika. Papuanisasi merupakan salah satu fenomena yang menegaskan lumpuhnya birokrasi di Papua. Fungsi-fungsi kepemimpinan, pengelolaan konflik, pelayanan masyarakat, dan governance secara umum tidak berjalan. Kelumpuhan birokrasi ini membuat pemerintah semakin tidak mampu mengatasi krisis integrasi nasional dalam hubungannya dengan penolakan terhadap apa pun yang diajukan oleh pemerintah Republik Indonesia dan tumbuhnya etnonasionalisme di Papua. Birokrasi sipil di daerah belum dapat diharapkan menjadi aktor potensial untuk resolusi dari kemelut hubungan Indonesia-Papua. Sebaliknya ia merupakan bagian dari soal besar yang dihadapi oleh Republik Indonesia jika integrasi nasional ingin dipertahankan. 1.7. Militer: Mempertahankan Dominasi Pada era Orde Baru, sejak 1970-an, operasi militer di Papua semakin intensif karena selalu dikaitkan dengan upaya pemberantasan gerakan OPM. Selama 31 tahun belum ada indikasi bahwa operasi militer yang dilakukan mampu menyurutkan gerakan OPM tersebut. Terdapat banyak kemungkinan dari kegagalan semacam ini. Pada beberapa kasus dapat dikatakan bahwa pasukan OPM adalah kelompok perlawanan yang memiliki daya survival yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasukan TNI karena hutan lebih dikuasai. Pada kasus lain sebaliknya terlihat bahwa sebenarnya TNI memiliki kemampuan untuk mengakhiri gerakan perlawanan OPM namun TNI sendiri berpentingan dengan adanya operasi tersebut yang secara militer, politik, dan ekonomi sangat menguntungkan. Alih-alih memberantas OPM, telah berakar dan tumbuh meluas kepentingan politik dan ekonomi militer di Papua. Keberadaan OPM justru menjadi penjamin bagi kelangsungan operasi militer dan keterlibatan militer di dalam birokrasi sipil dan dunia usaha. Ketidakamanan menjadi alat tawar militer yang efektif untuk mempertahankan perannya dan memperluas dominasinya. Di dalam birokrasi sipil institusi militer memiliki kekuatan untuk mengambil alih posisi-posisi kepemimpinan dan birokrasi sipil dengan isu keamanan dan stabilitas. Di dalam lingkungan dunia usaha peran militer dibutuhkan untuk memberikan jaminan keamanan terhadap kelangsungan dunia usaha. OPM juga digunakan sebagai stigma terhadap masyarakat, seperti Partai Komunis Indonesia (PKI) terhadap masyarakat Jawa. Masyarakat Papua dibayang-bayangi dengan stigma ini setiap kali mereka berkonflik dengan kelompok yang disokong oleh atau menjadi bagian dari negara, baik itu dengan perusahaan, dengan pemerintah daerah, maupun dengan pihak militer sendiri. Stigma ini berfungsi untuk merepresi sekaligus teror untuk membunuh keinginan melakukan kritik maupun resistansi yang tumbuh di kalangan masyarakat. Namun pada saat yang sama militer sebenarnya juga mengajarkan pada masyarakat bahwa OPM adalah musuh militer dan oleh karena itu dapat menjadi alternatif simbol perlawanan dan harapan bagi rakyat Papua. Atas nama OPM pula militer melakukan represi fisik. Setiap kali ada aksi penyanderaan oleh kelompok OPM, setiap kali itu pula dilakukan operasi militer besar-besaran di wilayah yang dianggap sebagai wilayah OPM. Harga yang harus dibayar dengan pola semacam ini adalah berbagai macam pelanggaran HAM dari yang paling ringan hingga yang paling biadab terhadap masyarakat sipil. Militer, bagi kebanyakan rakyat Papua, telah menjadi simbol representasi Indonesia sebagai rejim pembunuh rakyat. Oleh sebab itu ketika gerakan Pro-Demokrasi mulai tumbuh dan melakukan kampanye HAM sejak 1994 hingga 1998 di Papua, rakyat Papua memberikan dukungan “moral” yang sangat besar. Isu HAM menjadi instrumen yang efektif dalam memberikan tekanan politik dan delegitimasi terhadap keberadaan militer. Militer sungguh-sungguh merasa terancam dengan perkembangan gerakan HAM di Papua karena pada saat yang sama secara nasional dwifungsi juga sedang digugat dan mengalami delegitimasi. Secara internasional dukungan terhadap perlindungan HAM sangat kuat. Oleh karena itu terjadi perubahan strategi di dalam militer dalam rangka mempertahankan dominasinya di Papua. Sejak 1998, ketika gerakan HAM memuncak dan era reformasi dimulai, militer tidak lagi menggunakan tangannya sendiri untuk mempertahankan diri dan kepentingannya. Mereka menggunakan kelompok-kelompok penduduk asli yang direkrut dan dididik baik sebagai anggota resmi maupun sebagai intel pembantu. OPM dan separatisme sebagai isu kunci tidak berubah dan ternyata masih efektif. Ketika gerakan HAM dan antimiliter memuncak pada Juni 1998, kurang dari satu bulan kemudian, atau pada awal Juli 1998, marak aksi pengibaran bendera di berbagai kabupaten. Pengibaran ini bermunculan pada kurun 1998-1999, dan 2000. Jika diamati dengan seksama berdasarkan isu yang beredar, kronik peristiwa, dan sebagian tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya menunjukkan keterkaitannya dengan kesatuan-kesatuan yang ada di dalam militer. Pengalihan dari isu HAM ke isu M (Merdeka) ini ternyata masih efektif. Respon rakyat Papua terhadap isu M sangat cepat. Dalam tempo kurang dari 6 bulan, hampir di separuh dari jumlah kabupaten yang ada di dalam Propinsi Irian Jaya terjadi pengibaran bendera Bintang Kejora. Pancingan kibaran bendera dan memoria passionis rakyat Papua yang tercampakkan selama 30 tahun menjadikannya sangat efektif. Dengan maraknya pengibaran bendera dan tuntutan kemerdekaan, pada awal 1999, militer dapat dikatakan berhasil mempertahankan keberadaan pasukan nonorganiknya di Papua. Pada 6 Januari 1999 Panglima Daerah Militer (Pangdam) Trikora Mayjen TNI Amir Sembiring menyatakan bahwa belum saatnya penarikan pasukan yang berasal dari luar Papua karena masih diperlukan untuk menyejahterakan masyarakat desa. Lima hari kemudian Kapendam Trikora Letkol (Inf.) Herry Risdiyanto menegaskan kembali bahwa Kodam Trikora tidak akan mengurangi pasukan nonorganiknya. Bahkan Aster Kasdam Kolonel (Art.) Wais Ningkeula mengecam wakil rakyat dan pengamat yang hanya bisa menghujat TNI tetapi tidak pernah terjun ke pedalaman. Untuk menandingi berbagai kelompok atau komite pendukung “M” pada Februari-Maret 2000 dibentuk kelompok milisi Satgas Merah Putih dan kemudian menyusul pembentukan Satgas Pemuda Pembela Negara bentukan militer. Pada Agustus 2000 Satgas Merah Putih di Jayapura melakukan unjuk kekuatan dan menantang Satgas Papua untuk tampil. Bentrok pertama Satgas Merah Putih dengan pemuda Papua pendukung “M” terjadi di Fakfak pada 22 Maret 2000. Sejumlah pendukung Papua Merdeka ditahan namun pihak Satgas Merah Putih dibebaskan. Bentrok berikutnya terjadi antara Satgas Papua dengan polisi di Jayapura yang menimbulkan korban jiwa. Namun aksi pengibaran bendera dan tuntutan merdeka ini tidak dapat dipertahankan terlalu lama karena pada akhir 2000 stamina rakyat Papua mulai menurun (?). Sebagian rakyat dan elitnya kembali kepada kehidupan sehari-hari. Untuk periode tertentu Papua tenteram dengan angka kekerasan relatif kecil. Lalu muncul berbagai kekerasan baik terhadap aparat keamanan dan masyarakat sipil yang menurut militer dimulai oleh OPM. Dengan ini militer dan polisi mempunyai alasan untuk melakukan operasi pembalasan maupun penangkapan. Arah dari skenario semacam ini adalah pertama penegasan kepada publik bahwa tanah Papua tidak aman dan terancam separatisme. Kedua, bahwa OPM terbukti telah melakukan kekerasan dan itu berarti bahwa OPM masih sangat berbahaya. Maka sejak 2000 di Papua terciptalah suatu lingkaran kekerasan baik yang dilakukan oleh aparat keamanan maupun kelompok masyarakat sendiri. Sejak Abdurrahman Wahid berkuasa polisi diberi ruang gerak yang lebih luas. Di Papua ini berarti bahwa sebagian besar dari wilayah dan kegiatan yang selama ini dikuasai oleh TNI Angkatan Darat (AD) diambilalih oleh polisi yang dalam hal ini adalah Brigade Mobil (Brimob). Di tingkat lapangan perubahan ini menimbulkan konflik terselubung antara pasukan Brimob dengan pasukan TNI AD. Perkelahian terbuka yang terjadi seperti pada kurun 1996-1997 tidak lagi terjadi setelah 1998, tetapi muncul lagi pada 2000 di Timika dan 2001 di Serui. Konflik mereka tampak ketika ada kekerasan yang melibatkan kelompok-kelompok di dalam masyarakat atau kasus pembunuhan yang diberi interpretasi politik. Pada sisi lain terdapat upaya untuk membuat masyarakat antipati terhadap polisi. Dalam hal kepentingan terhadap ketidakamanan terdapat kerjasama individu antarperwira polisi dan militer. Suasana kekerasan dirawat dengan bersikap pasif pada bentrokan fisik yang ditemui secara langsung di tengah-tengah masyarakat. Kritik terhadap sikap ini dijawab dengan “apologi HAM.” Alasan ini bukan sesungguhnya karena pada kasus lain aparat keamanan terlihat emosional dan brutal. Di sini aparat keamanan menjalankan kewajibannya secara diskriminatif dan personal. Jika kekerasan dialami oleh kelompok masyarakat yang bermasalah dengan aparat maka tidak akan ada penanganan. Sebaliknya aparat akan terlihat tegas dan cepat jika korbannya adalah kelompok yang mempunyai hubungan baik dengan atau memberikan keuntungan pada aparat. Kekerasan tentu identik dengan ketidakamanan dan itu berarti bahwa institusi bersenjata yang memiliki monopoli atas penggunaan kekerasan memiliki daya tawar yang tinggi dengan institusi-institusi sipil yang semakin rapuh. Dengan demikian pada satu sisi kelompok sipil tidak berdaya menghadapi gejolak sosial dan akibatnya membuka diri lagi bagi intervensi institusi keamanan. Tujuan praktis dari polisi adalah diperolehnya imbalan politik dan ekonomi. Dan pada sisi lain kehadiran pasukan nonorganik TNI tetap mendapat pembenaran. Hingga 2001 dengan suasana yang rawan kekerasan polisi dan militer menjadi semakin eksis dan memaksakan kembali legitimasinya, meskipun hanya dari pihak pusat. 1.8. Gereja Katolik dan Protestan: Pemihakan Pada masa Orde Baru Gereja Katolik adalah lembaga agama yang paling aktif mendukung gerakan Pro-Demokrasi. Oleh karena itu hubungannya dengan militer cukup tegang. LSM terkemuka Papua semacam Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa (YPMD) dan LBH Jayapura berdiri dengan dukungan Gereja Katolik. Keterlibatan Gereja Katolik pada penegakan HAM misalnya sebenarnya sudah ditunjukkan oleh para petugasnya yang aktif di berbagai tempat di Papua. Namun keterlibatan para pastor itu lebih bersifat individual. Pastor Nato Gobay, Pr. yang menjadi salah satu pendukung aktif kampanye HAM 1995, 1996, dan 1997 adalah pastor paroki Mimika-Akimuga. Tom Beanal dan Yopie Kilangin yang aktif di dalam LEMASA adalah juga seorang pastor (awam). Secara diam-diam dapat dikatakan bahwa Gereja mendukung gerakan Pro-Demokrasi yang mengagendakan penegakan HAM dan demokratisasi. Secara institusional formal Gereja Katolik sangat berhati-hati di dalam menjaga garis demarkasi antara kegiatan agama dan politik. Pada akhir Desember 1994 ketika permintaan aktivis LSM terhadap Gereja Katolik, dalam hal ini Keuskupan Jayapura, agar menjadi penanggungjawab laporan pelanggaran HAM yang dibuat oleh aktivis LEMASA, persetujuan diberikan dengan persyaratan yang ketat. Keuskupan dipilih karena lembaga ini dinilai cukup berwibawa dan terpercaya untuk menyampaikan pelanggaran HAM. Keuskupan pun kemudian mencoba mendorong agar laporan benar-benar akurat, valid dan dapat dipertanggungjawabkan. Hasilnya, laporan pelanggaran HAM 1995 oleh Keuskupan Jayapura kepada Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) menjadi pukulan politik yang sangat telak bagi militer Indonesia. Berbeda dengan Gereja Katolik, Gereja-gereja Kristen Protestan pada masa Orde Baru sebagian besar lebih memilih apolitis, bersikap moderat secara politik, atau menjadi bagian dari Orde Baru. Hanya beberapa intelektualnya yang bergerak di bidang pendidikan yang bersikap kritis secara akademis. Di tingkat akar rumput peran para pendeta dalam pembelaan hak-hak rakyat di pedalaman-pedalaman hampir tidak ditemui. Baru pada awal 1998, Ketua Klasis Gereja Kingmi Timika dan Ketua GKI Timika ikut menandatangani laporan HAM Bella dan Alama. Banyak sebab bisa dirunut. Pertama, jaringan dan kekuatan organisasinya tidak sekuat Katolik. Kedua, tingkat pendidikan para pastor jauh lebih tinggi daripada para pendeta umumnya. Rata-rata pendidikan pastor adalah sarjana S1 plus, sedangkan para pendeta seringkali terbatas pada sekolah alkitab, dan bahkan sebagian darinya tidak mengenyam pendidikan umum. Ketiga, wawasan pendeta terbatas acuannya pada teks agama sedangkan para pastor memperoleh pendidikan analisis atas teks dan konteks sosial di samping agama. Ketika gelombang reformasi tiba dan rakyat Papua terbuai oleh aspirasi kemerdekaan, Gereja Katolik di Papua justru tidak melibatkan diri secara langsung. Sebaliknya banyak pendeta melibatkan diri secara langsung dan bahkan menjadi pemimpin di berbagai lapisan, mulai di tingkat PDP hingga Panel Papua di kabupaten. Para pendeta terlibat lebih banyak dari para pastor, selain wawasan dan pendidikan, terutama karena mereka biasanya bertugas di kampung halamannya sendiri dan mobilitas sosialnya sangat terbatas dan dengan demikian perspektif sosial dan politiknya juga terbatas. Akibat dari itu juga beberapa pendeta secara tidak sadar dimanfaatkan oleh kalangan militer untuk mendorong sejumlah isu yang sudah dirancang oleh militer. Berangkat dari kenyataan ini maka dapat dimengerti jika secara politis militer lebih memperhitungkan kekuatan Gereja Katolik. Konflik antara militer dengan Gereja Katolik pun terlihat di permukaan pada saat petinggi militer Kodam Trikora menuduh Keuskupan Jayapura sebagai “GPK.” Perang pernyataan pun sempat terjadi di antara dua institusi ini. Komitmen Keuskupan Jayapura terhadap HAM dan keadilan semakin eksplisit ketika Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan semakin aktif dan secara mandiri membuat berbagai investigasi HAM, penulisan laporan, dan penerbitan sebagaimana layaknya sebuah LSM yang bergerak di bidang HAM dan demokratisasi. 1.9. Dunia Usaha: Dominasi Freeport Freeport adalah ikon dari suatu kolaborasi kekuatan kapitalisme, rejim otoritarian militeristik, dan birokrasi kleptomaniak dalam mengeruk kekayaan sumber daya alam di Papua. Ia juga ikon dari pelanggaran HAM dan kerusakan lingkungan. Sebaliknya ia juga ikon dari pengharapan terhadap kemakmuran dan kesejahteraan orang Papua. Siapa pun dapat berbicara tentang apa saja di Papua dan dengan mudah mengaitkannya dengan Freeport. Freeport adalah juga kasus yang layak dipersoalkan ketika kita mencoba membaca hubungan antara dunia usaha dengan masyarakat adat Papua. Pada 1967 Freeport adalah investor asing pertama yang menanamkan modal di Papua dan juga di Indonesia sejak pemerintahan Orde Baru. Untuk kegiatan pertambangannya Freeport menggunakan lahan suku Amungme. Protes pertama dari Amungme muncul sejak 1967. Sejumlah Amungme menanam patok kayu berbentuk salib di sekeliling peralatan dan kemah tim eksplorasi Freeport. Dengan bantuan pemimpin Amungme Moses Kilangin yang waktu itu Kepala Pos Pemerintahan di Akimuga konflik dapat diredam. Diyakinkan oleh Moses bahwa Freeport hanya mentes batu-batuan dan hasilnya akan pasti menguntungkan Amungme. Seusai pengeboran, ketika tim pergi, semua peralatan dirusak dan barang-barang dicuri oleh penduduk setempat. Protes dan keberatan Amungme terhadap Freeport kian mengeras pada 1973. Freeport dan pemerintah segera membuat perjanjian dengan Amungme dari Tsinga dan Waa di dalam January Agreement 1974. Untuk Freeport, perjanjian ini penting sebagai bukti ijin tertulis untuk kegiatan pertambangan dari Amungme (pasal 5) dan larangan bagi Amungme untuk memasuki lokasi-lokasi kegiatan pertambangan dan tempat tinggal karyawan (pasal 6 dan lampiran 4). Dengan demikian Freeport mendapatkan jaminan tertulis bahwa tidak akan ada lagi gangguan dari Amungme. Menurut teks perjanjian pada Pasal 3 dan lampiran 4, Amungme Waa dan Tsinga akan mendapatkan bangunan sekolah dasar untuk siswa-siswa hingga kelas 3 dan selanjutnya dikembangkan hingga kelas 6. Selain itu Amungme akan mendapatkan perumahan, klinik, pusat perbelanjaan, dan prioritas kesempatan bekerja di Freeport. Isi perjanjian ini tidak sepenuhnya dapat dipenuhi. Sebagian bangunan yang dijanjikan sempat dibangun di Waa dan kemudian di Kwamki Lama, Timika tetapi kemudian dihancurkan lagi oleh pasukan TNI menyusul perlawanan bersenjata OPM pada 1977. Sebagian Amungme memang kemudian diterima menjadi karyawan Freeport tetapi karena pendidikan dan ketrampilan yang rendah, mereka menjadi karyawan rendahan. Keadaan ini justru mempertajam kontradiksi. Pada gejolak sosial 1977 OPM melancarkan aksinya dengan menyerang pegawai pemerintah, anggota TNI, dan pendatang. Salah satu tindakan Amungme, bersamaan dengan gejolak itu, untuk melawan Freeport adalah pemotongan pipa konsentrat (slurry pipe) dan sejumlah serangan fisik ke Tembagapura. TNI segera menghentikan gangguan ini dengan operasi militer yang salah satunya adalah menghancurkan fasilitas-fasilitas umum untuk masyarakat setempat yang sudah dibangun oleh Freeport di Waa dan di Kwamki Lama. Setelah masalah OPM mereda, pemerintah melalui TNI melarang Freeport untuk membangun kembali fasilitas tersebut di Waa. Pasca Gejolak Sosial 1977 keadaan relatif tenang di areal pertambangan Freeport. Namun ketegangan hubungan antara Masyarakat Amungme dengan Freeport masih terasa dan bahkan semakin menguat di bawah permukaan. Tidak ada satu kerusuhan pun yang mencuat ke permukaan. Pada 1983 kembali ketegangan mencuat ketika tersebar isu bahwa kota Tembagapura akan dihancurkan oleh OPM dengan bantuan orang-orang Amungme yang sudah bekerja pada Freeport. Penangkapan terhadap pegawai Amungme dilakukan, sejumlah orang yang ketakutan melarikan diri ke hutan. Lahan Amungme, untuk berkebun, untuk membuat kampung, dan untuk berburu, semakin sempit. Freeport sudah menambang dan membongkar gunung-gunung dan mengambilalih sebagian lahan tradisional mereka yang begitu luas. Yelsegel Ongopsegel atau Ertzberg sudah ditambang sejak 1967 dan mulai berproduksi sejak 1972. Amungme menyaksikan gunung keramatnya yang dulunya dipercaya sebagai tempat bersemayam terakhir bagi para roh pada sekitar 1996 sudah menjadi rata dan bahkan menjadi lobang raksasa. Sejak 1990-an Grasberg mulai ditambang bahkan skala produksi dan kerusakan pada lingkungan alam Amungme menjadi dua kali lipat. Kebutuhan tempat tinggal bagi pekerja tambang dan kegiatan penunjang tambang lainnya juga menyita banyak lahan Amungme. Kota Tembagapura, Hidden Valley, Kuala Kencana, dan pembangunan instalasi Freeport lainnya sejalan dengan perkembangan perusahaan semakin menyita lahan Amungme (dan juga Kamoro). Yang lebih merusak lagi adalah pasir sisa tambang yang dialirkan ke sungai-sungai yang selama ini menjadi sumber hidup dan secara kultural menjadi sumber identitas Amungme. Keberatan dan protes atas kerusakan lingkungan alam sudah disampaikan Amungme kepada Freeport tetapi belum ada dialog dan pemecahan yang diterima bersama. Langkah-langkah sepihak Freeport dan Pemerintah sudah dilakukan untuk mengurangi arus protes itu, namun persoalan dasarnya belum pernah dibicarakan atau dipecahkan secara terbuka. Pada 1991 Freeport mulai mengembangkan program-program sosialnya yang sejak 1995 dikelola dalam Sustainable Development Department. Pada tahun-tahun itulah dikembangkan berbagai kegiatan dengan payung Community Development untuk pengembangan masyarakat, Business Incubator untuk pengembangan pengusaha kecil, Malaria Control untuk pengendalian penyakit malaria, Freeport Irian Jaya Foundation untuk kegiatan derma dan sumbangan pendidikan. Selain itu dimulai juga secara lebih intensif pelatihan bagi tenaga kerja lokal agar lebih trampil dan siap bekerja dalam bidang industri. Sejak kerusuhan Maret 1996, secara struktural terjadi perombakan dalam organisasi. Semua program sosial Freeport di bawah kendali Community Affairs Department yang dipimpin oleh seorang Vice President putra Papua asal Biak. Sebaliknya pada tahun-tahun 1990-an itu Freeport juga memanen berbagai persoalan yang terpendam sejak 1967. Komitmen Freeport dalam mengembangkan masyarakat setempat dipertanyakan karena sebelum 1990 tidak terdapat program-program sosial yang secara signifikan membantu pengembangan masyarakat setempat. Masalah rekognisi tanah ulayat Amungme dan Kamoro, kesenjangan sosial ekonomi, rekrutmen tenaga lokal di dalam Freeport, dan kesediaan dialog Freeport dengan penduduk setempat, merupakan soal yang banyak mengemuka. Pada 1994-1995 terungkap serentetan pelanggaran HAM oleh aparat TNI AD yang sebelumnya hanya rumor di kalangan penduduk pegunungan. Freeport dituduh oleh banyak pihak terlibat dalam tindakan tersebut. Salah satu akibat internasionalnya, OPIC, perusahaan asuransi yang menanggung risiko politik, sempat membatalkan komitmennya. Kelahiran LEMASA membuka babak baru hubungan Freeport dengan Amungme. Freeport, sejak 1995, sejak terungkapnya pelanggaran HAM, berusaha memecahkan masalahnya dengan Amungme. Usaha itu kian intensif ketika Pemimpin LEMASA Tom Beanal dan Yosepha Alomang berusaha menggugatnya ke pengadilan New Orle.
Posted on: Wed, 19 Jun 2013 06:43:32 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015