DIREKTOER SILIWANGI GROENO dan beberapa stafnya diinterogasi di - TopicsExpress



          

DIREKTOER SILIWANGI GROENO dan beberapa stafnya diinterogasi di markas besar kepolisian. SAJANG, percetakan itu kini telah selesai napasnya. DAN ORANG2 JANG DI INTEROGASI KALA ITOE TAK TERLATJAK KEBERADAANNJA, ???? hehe he bukan hanya rangkaian buku laporan MPRS yang digotong keluar, Tapi juga arsip setinggi satu setengah meter JANG TAK ADA HOEBOENGANNJA. Mereka yang Diinterogasi MIDUN-sebut saja begitu-hanyalah tukang loak biasa. Sehari-hari dia memburu barang bekas dari rumah ke rumah. Di pelupuk matanya, segala barang yang tak terpakai bisa menjadi uang. Tapi dia berada di tempat yang salah pada waktu yang keliru. Pada awal 1970-an, Midun beroperasi di Perumahan MPR, Cilandak, Jakarta Selatan. Dia lama mengincar tumpukan buku yang teronggok begitu saja di sebuah rumah di pojok Jalan Seroja di kompleks itu. Ketika suatu hari dia berhasil menyelinap dan memboyong sebagian buku ke gerobaknya, lembar-lembar rupiah pun menari di benaknya. Siapa sangka dunianya berubah hanya dalam beberapa jam. Di kawasan sekitar Pasar Blok A, polisi membekuk Midun dengan tuduhan seram: membocorkan rahasia negara. Buku yang disangkanya tak berguna dan siap dilego itu ternyata adalah bagian dari Laporan Pimpinan MPRS 1966-1972 yang tengah diburu oleh Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban alias Kopkamtib. Midun bukan satu-satunya korban dari buku yang membeberkan kritik terhadap kinerja Soeharto pada awal Orde Baru itu. Tak cuma pemimpin MPRS, para staf dan orang percetakan yang sekadar menjalankan tugas pun mendadak memperoleh cap sebagai orang yang membahayakan negara atau subversif. Mereka diinterogasi habis-habisan. Sekretaris Jenderal MPRS Abdul Kadir Besar, misalnya, diperiksa satu bulan penuh di Kantor Kopkamtib, Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Staf yang lain mesti tabah menjawab aneka pertanyaan dari polisi di Markas Besar Angkatan Kepolisian, yang kini disebut Markas Besar Kepolisian RI. Perjalanan buku-buku ini memang sungguh berkelok-kelok. Sehari sesudah peringatan proklamasi 1972, pemimpin Majelis mengirim naskah ke Percetakan Siliwangi Gruno NV di Jalan Sukarjo Wiryopranoto, Jakarta Pusat. Menerima pembayaran Rp 27 juta, percetakan menuntaskan 3.000 eksemplar buku dalam satu bulan. Begitu kelar, 500 buah langsung disebar ke pemimpin Majelis dan beberapa perguruan tinggi. Sisanya, 2.500 biji, disimpan sementara di rumah Jalan Seroja, Kompleks MPR itu Maklum, kami belum punya gedung, terpaksa darurat, kata Abdul Kadir. Siapa sangka, buku-buku itu cuma sebentar menghirup udara bebas. Di pengujung November, buku itu sekonyong-konyong diberi label mengandung hal-hal yang mendiskreditkan Presiden Soeharto selaku mandataris MPR. Itulah yang tertera dalam surat perintah penggeledahan dan penyitaan yang diterbitkan markas besar kepolisian. Berdasarkan selembar surat sakti itulah kejadian demi kejadian menjadi halal di mata hukum. Dengarlah cerita Syamsuddin Madung, 65 tahun, mantan kepala biro Majelis. Seperti rumah-rumah lain di Kompleks MPRS, kediamannya dikunjungi polisi pembawa surat geledah. Syamsuddin bertutur kepada TEMPO, bukan hanya rangkaian buku laporan MPRS yang digotong keluar, Tapi juga arsip setinggi satu setengah meter yang tak ada hubungannya. Para kepala biro serta staf sekretariat jenderal yang diduga menyimpan buku itu mengalami nasib serupa. Para penghuni kompleks hanya bisa menonton ketika polisi menyapu bersih isi gudang penyimpanan sementara itu. Dengan truk, buku-buku tersebut diangkut entah ke mana. Soetardjo, 70 tahun, lebih suka memendam kisah untuk dirinya sendiri. Anggota kepolisian yang saat itu menjabat Kepala Keamanan MPRS ini bolak-balik dipanggil ke markas besar polisi. Maklum, dialah yang selama ini mengamankan segala proses persidangan di Majelis, termasuk bertanggung jawab mengirimkan naskah ke percetakan. Saya cuma prajurit, melaksanakan tugas komandan, katanya kepada TEMPO, yang bertanya tentang pengalamannya masa itu. Trauma yang masih menyelimuti dan memori para saksi yang kian aus membuat mereka tak banyak bicara. Yang bisa mereka sampaikan adalah siapa penanggung jawab buku dan apa peran mereka di dalamnya. Ini keputusan rapat pimpinan. Kami cuma pelaksana, jawab Syamsuddin kala itu. Sepanjang masa pemeriksaan itu, kata Kadir, para staf sering mengadu kepadanya. Mereka menyatakan sangat tertekan. Bagaimana tidak stres diperiksa alat keamanan rezim totaliter begitu? ungkap Kadir. Ke mana buku-buku itu pergi juga masih tersaput misteri. Kadir hakulyakin ribuan buku tersebut dibakar di rumah yang menjadi gudang buku itu. Dia mengaku memperoleh laporan pembakaran dari Supolo, mantan Kepala Biro Humas MPR. Namun sumber-sumber yang tinggal di permukiman itu sejak awal mengatakan tak pernah ada pembakaran. Masuk akal juga. Ribuan buku tentu akan menghasilkan asap yang membubung. Saya tak pernah melihat itu, kenang Syamsuddin. Kalaupun sempat ada pembakaran, katanya, itu hanya menyangkut sebagian kecil buku yang sudah rusak sehingga tak dibawa polisi. Asapnya pun tak besar sangat. Kumbih, mantan pengemudi mobil sekretaris jenderal, tak ingat ada pembakaran di gudang yang berjarak sekitar 50 meter dari rumahnya itu. Dia hanya ingat buku itu dibawa, entah ke mana. Seingat saya, enggak pernah ada pembakaran di rumah itu, kenang Kumbih, kini 72 tahun. Namun dia tak mau mengungkap lebih jauh. Sulit menelusuri di mana persisnya lokasi pemusnahan buku, dan dengan cara apa. Peristiwanya sudah berumur 30 tahun. Banyak saksinya yang telah dipanggil Tuhan. Mereka yang masih diberi umur panjang-setidaknya telah berusia 70 tahun-sangat sulit menggerakkan memori mereka. Aduh, saya banyak lupa. Maklum, kakek-kakek, kata Soetardjo sang polisi. Percetakan Siliwangi tak luput menjadi sasaran. Polisi menggeledah setiap jengkal ruang dan menggondol naskah asli serta tiga karung lembar cetakan yang belum dijilid. Semuanya dibersihkan tanpa sisa. Direktur Siliwangi, ILI Sasmitaatmadja (kini 77 tahun) , dan beberapa stafnya diinterogasi di markas besar kepolisian. Sayang, percetakan itu kini telah selesai napasnya. Dan orang-orang yang diinterogasi kala itu tak terlacak keberadaannya. Padahal, selain diperiksa soal order mencetak itu, mereka dituduh membocorkan berita penyitaan buku ini ke Harian Kami, yang memuatnya sebagai berita pada 1 Desember. Maklum, seperti dikemukakan Abdul Kadir, operasi pemusnahan buku berlangsung tertutup. Tak banyak yang tahu selain mereka yang diperiksa. Pun sesudahnya, tak pernah diumumkan bahwa buku Pak Nas-begitu laporan MPRS ini kerap disebut-masuk kategori terlarang. Kadir yakin semua operasi pemusnahan dan interogasi berada di bawah komando Kopkamtib. Dia mengaku interogasi dilakukan oleh perwira polisi militer ABRI. Dia dicecar dari segala arah: mengapa membuat buku ini; apakah ada perintah tertulis; jika tidak ada perintah tertulis, mengapa menggebu-gebu melaksanakan keputusan itu. Buku telah dihabisi. Di gudang atau di mana pun. Dibakar atau dimusnahkan dengan cara apa pun. Baik-buruk sebuah sejarah, coreng hitam ini semoga tak terulang. Andari Karina Anom. TAKTIK STRATEGI KAOEM SENGKOENI, SI SRIGALA BERBOELOE DOMBA OENTOEK MENDJADJAH NEGERI PERTIWI.....: BIDANG 1. politik 2. ekonomi 3. boedaja 1.a. hasut b. fitnah c. adoe DOMBA 2.a. joedi b. narkoba c. prostitoesi d. konon pinjaman/ bantoean tapi boenga berboenga 3.a. pemoetar balikkan/ pemoesnahan/ penduplikasian sejarah jadi ber versi2 jang di sesat2kan b. di roebah2/beda2kannja tata bahasa jang sebeloemnja ada konon jadi baroe dr lama atoew jd modern
Posted on: Tue, 05 Nov 2013 07:51:06 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015