Dalam filsafat kriminal (criminal philosophy),apa yang disebut - TopicsExpress



          

Dalam filsafat kriminal (criminal philosophy),apa yang disebut dengan politik kriminal (kriminologi politik) adalah sebuah usaha politik (political action) dengan menggunakan cara apapun sekalipun hal tersebut adalah sebuah kejahatan (kriminalitas) yang tak hanya melanggar hukum Tuhan (civitas terrena),namun juga hukum alam (lex natura) dan hukum manusia (lex humana),termasuk apa yang utama (sanksi) dan pantas (akibat) dalam ruang lintang moralitas,etika dan nurani sebagai suatu,sebagaimana yang dikatakan Pierre Bourdieu adalah suatu habitus (sittlicheit),menyangkut kebaikan yang benar,kebaikan salah,keburukan yang salah,keburukan yang benar,kesalahan yang buruk serta kesalahan yang baik sebagai lahan untuk melihat sebuah pemikiran,ataupun sebuah tindakan politik sebagai kontruksi pelanggaran,bukan pelanggaran,kejahatan ataupun bukan kejahatan,dan dapat saja keduanya atau bukan sama sekali. Namun demikian mesti kembali direka-ulang (rekontruksi),bahwa hal ini tentu saja bukan hanya menyangkut sebatas hukum pemerintahan (law) semata atau hukum masyarakat (norm) belaka yang menjadikan adanya sebuah negara politik (political state) di atas negara hukum (recht staat),ataupun sebaliknya,meski tak lepas dari strukturasi ataupun juga sejarah,selain sebuah masyarakat tanpa sebuah pemerintahan (goverment) yang dapat saja adalah bukan sebuah negara (state),selain kedaulatan (souvereignity) dari sebuah masyarakat itu sendiri.,dan hal ini dikatakan oleh Thomas Hobbes dalam “Leviathan”bahwa kemudian akan menjadi suatu negara alamiah (natural state) ada karena berlakunya hukum alamiah (lex naturalia) atas manusia serta menjadikan hal awali bagi adanya,tak hanya sebatas naluri politik belaka,namun adalah juga adanya kebudayaan (pengetahuan) serta peradaban (ilmu) pada perkembangan dinamika sejarah (historical dinamics) aras manusia dan segala apapun yang terkait padaNya pada sebuah sistem nan kian naratif. Adanya hukum alam (natural law) diacu untuk hukum budaya (cultural law) ataupun hukum peradaban (civilization law) untuk tetap berada pada hukum ke-Tuhanan (lex suprema dei),termasuk salah satunya adalah hukum agama (religusitas),yang dapat saja bukan berarti dapat dikatakan hukum manusia (human law),hukum alam dan bahkan bukan hukum Tuhan itu sendiri karena adanya suatu hukum tak berarti bahwa hukum tersebut sepenuhnya mengacu pada hukum Tuhan sebagai sebuah kebebasan dari kehendak diriNya,dalam dinamika perkembangan masyarakat,secara definitif (in definitum) apa yang disebut dengan kejahatan (kriminalitas) dalam perspektif filsafat kriminal (criminal philosophy) adalah sebuah kehendak (niat) baik disadari ataupun tidak disadari ada pada sebuah motif (motive) ataupun tindakan (n’ach) yang dapat dianggap oleh eksistensi yang lain (alter ego) ataupun dirinya sendiri (selbs) sebagai sebuah negativitas dengan segala kenisbian (relativitas) dari sebuah kontrak sosial (social contract) yang dapat memberikan anggapan awali (presumsi) adanya sebuah penyimpangan (perverse) yang mengganggu hubungan harmoni antara manusia,alam dan Tuhan sebagai suatu lahan negativitas atas sebuah keberadaan apapun. Adapun apa yang dimaksud dengan negativitas (kisi negatif) adalah tak hanya menyangkut nilai (value) yang ada pada hukum manapun semata,namun juga makna dari adanya niat (kehendak) dari subjek yang tak hanya menyangkut sebuah perilaku atau tindakan (handeling) namun seluruh kegiatan indrawiah fungsionalitas manusia pada umumnya yang menyangkut aspek kebenaran (bonum) )atau kesalahan (malum) dalam nilai keutamaan (hukum) serta menyangkut keburukan (evil) serta kebaikan (good) dalam makna kepantasan (norma),keduanya yaitu kepantasan dan keutamaan diacu tak hanya oleh hukum pemerintahan (govermental law) ataupun hukum masyarakat (social law),namun juga adalah hukum yang ada pada sebuah negara (state law) yang tak lepas dari nilai serta makna (meaning) dari alam dan manusia bagi suatu fungsionalitas ke-Tuhananan (religiusitas). Bahwa setiap segala sesuatu tak lepas dari hukum Tuhan (kehendak),hukum alam (kodrat) dan juga hukum manusia (takdir),dan bahwa sesuatu dianggap kejahatan (kriminalitas) ketika suatu naturalitas,kebudayaan dan struktur yang ada memberikan legitimasi (legitimate) atas adanya penyebab (causa) ataupun akibat dari sebuah aktivitas disharmoni antara hubungan atas ketiganya,terutama karena adanya subjek eksistensial yang melakukan penyimpangan (subverse) atas salah satu hukum (law) yang menyangkut ketiganya,keduanya ataupun salah satu diantaranya sehingga hal tersebut tak hanya memberikan dampak (sanksi) bagi manusia semata,namun juga alam serta Tuhan (prima esse) sebagai Pencipta adanya hukum awal dari kebebasan diriNya dalam berkehendak untuk memberikan kebebasan yang sama (equal freedom) pada manusia untuk memaknai dan menilai setiap apa yang pantas (kepantasan) ataupun utama (keutamaan) dalam menciptakan,memelihara ataupun menghancurkan hubungan Tuhan dengan alam serta hubungan antar manusia itu sendiri,terutama sebagai subjek yang mengantarai hubungan alam serta Tuhan pada sebuah negara (state) ataupun suatu masyarakat (society) dan hukum (law) ataupun norma (mores) sebagai representasi hukum Tuhan pada alam dan hukum manusia pada aras keduniaan (l’monde). Dalam sudut pandang filsafat kriminal (criminal philosophy),apa yang disebut sebuah kejahatan (criminality) adalah bahwa apabila kebebasan apapun (freedom) bersinggungan dengan moralitas dan nurani serta etika yang menjadi titik temu (intermediasi) atas berbagai kategorisasi berbagai ragam hukum yang ada dimana hukum manapun mestinya tetap senantiasa mengacu pada ketiganya sebagai sebuah landasan struktural (berjenjang) dalam memahami kepatutan (kepantasan) dan kepatuhan (keutamaan) manusia dalam menyadari dirinya sebagai mahluk hukum (subjek hukum) yang tak lepas dari keterkaitan (determinitas) dari sebuah sistem hukum pada suatu kondisi struktural yang terciptakan karena sebuah kehendak (niat) awali Tuhan,kehendak Tuhan adalah hukum Tuhan atas segala apa yang senantiasa diciptakan oleh kebebasan (nibbana) yang ada pada diriNya sebagai sebuah kekuasaan yang telak (absolude power) atas segala apapun yang terciptakan oleh kehendak diriNya,Tuhan dan hukum Tuhan (God laws) adalah sebuah kuasa otoritas (kompetensi) yang berkebebasan dalam keabadian (perenialitas) absoluditasNya yang agung dalam menciptakan berbagai hukum yang ada setelahnya dengan berbagai nilai,makna serta fungsi (function) yang ada pada hukum yang mengacu padaNya dan menjadi bagian dari sebuah struktur dari suatu bagian kuasa hukum ke-Tuhanan. Masyarakat adalah sub-materi dari kajian ilmu pengetahuan dalam sosiologi,kondisi masyarakat kekinian dan yang akan datang dibahas dalam sosiologi yang sama sekali berbeda dengan antropologi yang lebih menitikberatkan kajian materi pada masyarakat sebelum sekarang,masyarakat sebelum sekarang dipelajari melalui kebudayaan (arche) yang ada pada masyarakat tersebut dan juga masyarakat kekinian,sedangkan masyarakat yang akan datang dipelajari melalui peradaban (tecne) yang ada pada masyarakat kekinian yang tak lepas pada suatu ruang antara (distingsi) dari apa sebagaimana yang pernah diungkapkan Martin Heidegger,adalah ruang (sein) dan waktu (zeit) yang ada pada sejarah lampau,kini ataupun juga nanti yang juga akan menjadi sejarah dimana peradaban menjadi usang (lapuk) serta menjadi kebudayaan (culture) sementara dinamika masyarakat berjalan terus bersama peradaban (civillization),dan sekaligus sebagai sebuah kondisi dari sebuah masyarakat dan terlebih manusia yang juga adalah merupakan individu,mahluk budaya,mahluk peradaban serta mahluk sosial yang tak lepas dari filsafat (philosophia) dan kejahatan (criminalitas) dalam kehidupan dirinya dan dunianya (lebenswelt),maka adanya kajian mengenai sosiologi kejahatan (sociology of crime) lemudian menitikberatkan pada korespondensi (causaliteit) antara kejahatan (criminality) dengan masyarakat atau sebaliknya masyarakat (society) dengan kejahatan sebagai sebuah hubungan sebab-akibat. Bahwa dimana ada manusia disana ada kejahatan adalah sama dan sebangun kalimat dengan dimana ada masyarakat disana kejahatan (kriminalitas) ada karena manusia sebagai individu tak lepas dari sebuah masyarakat dengan segala kemungkinan negatif (negativa probabilia) dari sebuah perspektif penilaian (aksiologi) atau pemaknaan (hermenetika) dari masyarakat atas berbagai tindakan sosial (social behavior),yang salah satunya adalah kejahatan (evil) dimana hukum Tuhan ada bagi hukum yang lain yang ada di bawahnya sebagaimana juga sanksi sebagai suatu akibat dari sebuah kehendak (will) ataupun niat,dengan mengkaitkan apa yang diungkapkan oleh seorang pakar sosiologi Amerika,George Ritzer mengenai pandangan kontruksi sosial ganda (multiparadigmatik) dalam sosiologi menyangkut adanya kemungkinan seseorang (yang liyan) dalam melakukan sebuah kejahatan,maka kemudian dapat diacu dengan perspektif moralitas dari Adam Smith bahwa melihat kepantasan (kepatutan) sebagai sebuah realitas (das sein) tak lepas dari masyarakat dan individu,sedangkan keutamaan sebagai sebuah harapan (das sollen) yang ada pada diri individu (organisme) dan masyarakat (organ) adalah sebagai sebuah keseimbangan (harmonium). Dengan kata lain apa yang menjadi harapan individu (hope) adalah juga semestinya menjadi harapan dari sebuah masyarakat,namun hal ini cukup sulit untuk diraih dalam kondisi yang cenderung antinomi (anomial),dimana sebuah kondisi yang dapat juga dikatakan sebagai sebuah kondisi disaat individu dan masyarakat sama-sama mengalami sebuah krisis legitimasi (legitimation of crisis) dimana hukum masyarakat (norm) dan hukum pemerintahan (recht) diletakkan secara tiada berimbang (tak proporsional) dalam sebuah hukum negara (staatrecth),apa yang merupakan kenyataan masyarakat semestinya juga adalah kenyataan sosial (social reality) yang ada pada sebuah masyarakat bahwa hal yang pantas menjadi hal yang utama sebagaimana hal yang utama menjadi hal yang pantas (patut) sebagai sebuah equilibriasi (harmoni) dalam pemenuhan harapan (utopianitas) ataupun sebuah kenyataan (ideologial),yang mana dalam kontruksi Freudian hal ini kemudian terkait pada sebuah prinsip kenyataan (principe of reality) serta prinsip kenikmatan (pleasure principe) tak hanya bagi individu,namun juga bagi sebuah masyarakat dimana manusia distatuskan pada kondisi dirinya sebagai mahluk individual atau juga adalah sebagai mahluk sosial dalam sebuah kompromi sosial (kontrak sosial) yang melahirkan adanya kesesuaian (kelarasan) antara hukum pemerintahan (govermental state) dengan hukum masyarakat (social norm) dalam membentuk sebuah negara melalui hukum negara. (state law) Dan bahwa setiap apapun yang menyangkut ketidakseimbangan antara harapan dan kenyataan baik yang ada pada ranah individu ataupun ranah sosial,kerap akan berakibat kekecewaan yang kemudian menjadi cikal (ontos) dari adanya pelanggaran hukum (onrechtmatig),terutama adalah sebuah kejahatan (dad),kejaharan kemudian dapat dikatakan muncul dari adanya suasana (stimmung) atau kondisi yang disharmoni (anomia) dan karena adanya sebuah kondisi manusia (human condition) ketika kebanyakan manusia mengalami sebuah krisis legitimasi,terutama ketika dihadapkan pada konsep legitimasi dari kaum Weberian,yaitu legitimasi sosial (social legitimation),legitimasi politik (legitimation of politic) serta legitimasi hukum (legitimation of law) serta adanya sebuah kekuasaan (power) dari sebuah kharisma legitimatif (legitimasi kharismatik) baik dalam pemerintahan,masyarakat ataupun juga adalah sebuah negara (staat),kondisi anomi atau krisis legitimasi juga muncul ketika sebuah masyarakat dihadapkan pada sebuah kekuatan hegemoni dari sebuah struktur pemerintahan ataupun sebuah struktur yang ada pada sebuah masyarakat,dimana kemudian negara (state) dihadapkan pada sebuah tugas keadilan yang distribusional tanpa melakukan hegemoni atas keduanya melalui penerapan (aplikasi) aturan hukum negara yang diadaptasikan dari hukum pemerintahan dan masyarakat pada sebuah strukturalitas sistemik yang ada pada ketiganya. Kejahatan dalam suatu masyarakat (kriminalitas sosial),secara sosiologis timbul karena sebuah kekecewaaan dari sebuah kondisi antinomi (anomi) yang menyebabkan adanya sebuah krisis legitimasi karena kepincangan (ressentiment) antara apa yang menjadi kenyataan (reality) dengan apa yang menjadi sebuah harapan (hope),terutama ketika individu dan masyarakat menjadi sebuah kesatuan yang integral (totalitas) dimana kenikmatan (pleasure) dan kenyataan (reality) adalah sebuah motif dan sekaligus tujuan yang menyatu dalam sebuah negara yang sarat dengan idelogi (sein) dan utopianitas (sollen) yang ada,hal ini tak hanya dalam sebuah pemerintahan semata,namun juga adalah pada sebuah masyarakat yang terkait pada keduanya dalam,seperti yang dikatakan Antonio Gramschi sebagai satu kesatuan,yaitu masyarakat (society),pemerintahan (goverment) dan negara (state),negara kemudian mesti memposisikan individu sederajat (equal) dengan warga negara (citizen),sebagaimana masyarakat adalah sebuah kesetaraan (kesederajatan) dengan pemerintahan,namun hal ini bukan sesuatu yang dapat ajeg (absolud) begitu saja bilamana mahluk sosial dan mahluk individu dalam sebuah kerangka pemerintahan dan masyarakat dalam sebuah negara dihadapkan pada perbedaan yang unik menyangkut hak individu serta warga negara sebagai sebuah kesamaan hak asasi. Kemudian kejahatan dan pelanggaran hukum mesti dihadapkan pada apa yang dinamakan sebagai sebuah hak mendasar yang asasi (human right),hingga kemudian hukum negara dihadapkan kembali pada krisis legitimasi berikut ketika pemerintahan dan masyarakat telah memberikan legitimasi atas negara dalam sebuah pembagian kekuasaan struktural (distribution of labour),negara dan hukum negara kemudian dihadapkan pada hukum internasional (international law) dan globalisasi (postmodernity) yang berkaitan dengan kepentingan politik dan ekonomi ketimbang harmoni sosial antar negara dengan pemerintahan yang ada,individu,warga negara,pemerintahan dan masyarakat serta negara dihadapkan pada sebuah narasi besar (grand narrative) yang berkaitan dengan hak asasi manusia dengan beragam keunikan (ideosinkretisitas) yang ada pada dirinya,sementara tak ada hukum atau norma manapun yang dapat mencapai keunikan manusia selain justru apa yang merupakan bukan hukum,namun menjadi sumber bagi adanya hukum yang berkaitan dengan moralitas manusia,hati nurani serta ruang etika yang ada sebelumnya pada sejarah dan kebudayaan (arche) dimana hukum alam (noumenalitas) mendominasi kehidupan manusia ketimbang segala fenomena yang ada pada peradaban kekinian dan nanti. Bahwa hukum senantiasa ada karena hukum sebelumnya demikian juga akibat dan sanksi atas hukum,namun naluri manusia (human instink) kemudian memungkinan manusia untuk mencari ruang lengah (horror vakui) dalam melakukan sebuah kejahatan yang ada di luar koridor dari yang ada pada sejarah dan hukum,manusia sebagai subjek hukum dan hukum lalu dihadapkan pada ketertinggalan dirinya atas sebuah perkembangan dinamika kejahatan (criminal dinamic) dimana krisis legitimasi dan anomi kembali terjadi lagi sebagai sebuah sirkulasi yang senantiasa bergulir maju,dengan demikian dapat dikatakan bahwa kejahatan dan juga pelanggaran hukum terjadi karena adanya ketidakseimbangan (anomi) yang diikuti oleh sebuah krisis legitimasi yang ada pada sebuah pemerintahan ataupun juga dalam sebuah masyarakat anomi (naif) yang diikuti anomi lain menimbulkan sebuah dialektika krisis legitimasi (legitimation of crisis) yang menumpuk yang memungkinkan kejahatan (dad) menjadi bukan sebuah pelanggaran hukum (onrecthmatig) apalagi ketika hukum dan sanksi tak ada sementara tingkat kejahatan semakin tinggi dan sekaligus semakin maju dalam puspa ragam yang dinamis dan semakin jauh dari hukum alam dan esensialitas manusiawi (culture) yang menyangkut kodrat,takdir serta nasib dari sebuah humanitas (kemanusiaan) dalam ranah manapun (medan),termasuk manusia dalam percepatan peradaban dan teknologi (techne) yang salah satunya adalah berbagai spasi kemayaan (virtual space) sebagai sebuah lahan bagi komoditi dan konsumerisme. Apa yang disebut sebagai pendekatan psikologi (psychological approach) dalam memahami sebab serta akibat (korespondensialitas) adanya suatu kejahatan (kriminalitas) adalah pendekatan yang paling induktif (kategoris) untuk memahami berbagai bentuk kejahatan yang ada pada kehidupan manusia yang tak lepas dari manusia lain (others),psikologi terutama psikologi kriminal (criminal psychology) lebih memandang kriminalitas dari perspektif manusia sebagai manusia individual (mahluk individu),manusia kemudian dipandang dari dirinya sebagai subjek pelaku (subject n’ach) yang juga adalah subjek hukum yang dapat memberikan kisi aksiologis (nilai) ataupun hermenetis (makna) terhadap sebuah tindakan,apa yang merupakan tindakan (behavior) adalah segala potensi yang dapat dilakukan oleh manusia atas keberadaan dirinya sebagai manusia yang tak hanya mencakup pemikiran (cognition) ataupun perasaan (afection),namun juga berkaitan dengan tubuh (matter) dan terutama adalah jiwa (psike). Psikologi kriminal (criminal psychology) lebih menitikberatkan pendekaran suatu tindakan kejahatan (criminal achievement) atau pelaku kejahatan (dader) dari sisi kejiwaan mereka,sehingga psikologi diacu untuk melihat manusia sebagai mahluk individu dari sisi kejiwaan yang memberikan pengaruh (dipengaruhi) atas adanya suatu kejahatan (criminality) yang juga memberikan pengaruh atas adanya hukum (law) ataupun norma (mores) yang berkembang dan ada pada sebuah dinamika masyarakat (social dinamic),kriminalitas (kejahatan) adalah suatu tindakan (sikap) yang dianggap secara aksiologis (penilaian) ataupun secara hermenetis (pemaknaan) sebagai sebuah keburukan (evil) ataupun juga adalah suatu kesalahan (false) yang diacu dari sisi kepantasan (kebaikan) serta keutamaan (kebenaran) yang ada pada penilaian (aksiologis) atau pemaknaan manusia dari sebuah legitimasi bersama (konsensualiatas) dalam sebuah pandangan masyarakat (sistem sosial) ataupun juga sebuah negara (struktur pemerintahan). Sedangkan apa yang disebut dengan psikologi adalah sebuah disiplin ilmu pengetahuan sosial yang memandang manusia (individu) dari sebab dan akibat kejiwaan (psike) dimana keberadaan jiwa manusia (soul) menjadi penentu adanya keberadaan (l’existence) seorang individu untuk memiliki sebuah status ataupun kondisi tertentu,dengan kata lain psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari jiwa manusia (spirit) dengan berbagai faktor (aspect) yang terkait pada jiwa itu sendiri,termasuk pikiran,perasaan,tubuh serta potensi (elan vitalitas) indrawiah lain yang mendukung keberadaan jiwa manusia sebagai bagian utama dari eksistensi dirinya untuk dapat dikatakan hidup (leben) serta dapat dianggap berada pada standar-standar kejiwaan (psycho liminality) yang ada,tak hanya pada individu itu sendiri,namun juga terkait pada segala sistem (struktur) yang ada pada manusia itu sendiri (an sich) ataupun setiap struktur (sistem) yang ada di luar dirinya (en soi) sebagai sebuah kesatuan (integrality) yang memberikan pengaruh atas keberadaan jiwa (spiritu) seorang individu sebagai subjek bagi setiap tindakan yang dilakukan oleh dirinya melalui landas ukur (barometer) yang kerap senantiasa berbeda dan memiliki keunikan sendiri (ideosinkretal) pada suatu kelompok sosial (pranata sosial) ataupun pada setiap hubungan interaksional antar individu dalam setiap masyarakat yang salah satunya adalah norma (kepatutan) dan hukum (keutamaan). Manusia sebagai subjek berkebebasan (freedom objet) dihadapkan pada status dirinya sebagai subjek atas hukum ataupun norma yang ada pada dirinya sebagai mahluk individual serta manusia lain (mahluk social) dalam sebuah masyarakat dimana hal ini mempengaruhi (subject) dan dipengaruhi (object) keberadaan jiwa (geist) seorang individu (manusia) dalam sebuah hubungan interaksi antara dirinya (object) dengan yang liyan (other subject),berbagai pandangan terhadap nilai (value) ataupun makna (meaning) atas keberadaan dirinya ditentukan oleh sebuah pola perilaku tertentu (behaviot pattern) yang tak hanya ada pada sebuah otentisitas keaslian individual (independensi) dalam bersikap (berperilaku) ataupun bertindak (ach),namun juga segala hal yang terkait pada (dengan) dirinya sebagai sebuah determinasi manusia atas dirinya serta jiwa-jiwa liyan (others) dan segala kondisi (suasana) yang memberikan beraneka pengaruh atas dirinya sebagai mahluk yang pada dasarnya senantiasa memiliki jiwa pada dirinya sendiri (pour soi) sebagai manusia yang menjalani kehidupan dirinya sebagai manusia yang memiliki pribadi (self). Sigmund Freud adalah tak semata tokoh ataupun pakar dalam psikoanalisis,namun juga adalah nama yang tiada asing serta cukup disegani dalam ranah psikologi dan menjadi nama pertama sebelum Carl Gustav Jung yang juga adalah merupakan salah satu cabang (subtitute) dari ilmu pengetahuan sosial,yaitu psikologi,Sigmund Freud sangat dikenal dalam mengetengahkan berbagai pemikiran dirinya dan sangat banyak menyumbangkan pemikiran dirinya pada ranah (medan) tersebut hingga sejarah lalu memberikan status kepada Sigmund Freud sebagai bapak psikologi dunia,naluri (instink) yang dibagi oleh Sigmund Freud dalam eros (naluri kehidupan) dan thanatos (naluri kematian) dapat merupakan stimulus (katexis) ataupun respon (antiketexis) yang dapat saja bersifat memberi (sadoch) atau mendapatkan (masoch),hal ini setelahnya diacu tak hanya oleh Jean Paul Sartre perihal cinta (love) serta kebencian (hate),namun juga Eric Fromm dengan konsep memiliki (having) dan menjadi (being).,sebagaimana dualitas semacam ini kemudian juga identik dengan paradigma filsafat dari Gabriel Marcel mengenai tirani kepemilikan dan tirani kemenjadian sebagai sebuah otoritarian tak hanya bagi diri sendiri (ego) namun juga bagi yang lain (alter ego) serta ego majemuk (multi ego),yang kemudian menjadi suatu awal bagi Hannah Arendt dalam mendefiniskan apa yang disebut totalitarianisme. Diungkapkan kemudian kembali oleh Sigmund Freud bahwa naluri kehidupan (to being) ataupun naluri kematian (to having) adalah zona asketik (reality) dan juga zona orgiastik (pleasure),namun hal ini kembali pada manusia dalam memahami keberpihakan dominan dirinya atas Apollo (good) atau Dionysius (evil) demi kepentingan keakuan dirinya (ego) yang menjadi kunci utama bagi manusia dalam merumuskan moralitas dirinya,nurani (id) serta etika (superego) dalam mengatasi ataupun melampaui sisi kebinatangan (shadow) yang ada pada naluri dirinya sebagai manusia berjiwa melalui potensi keakuan dirinya (egoisitas) dalam memahami dan memberlakukan apa yang disebut sebagai sebuah “habitus”,kejahatan manusia diawali dari adanya naluri kematian (realitas) untuk sebuah naluri kehidupan (kenikmatan) pada hubungan Kain dan Habil (persaudaraan). Bahwa secara genealogis,kejahatan awali semacam ini kemudian mesti mau tak mau diacu oleh Sigmund Freud sebagai sebuah prinsip kenyataan (principe of reality) yang menjadi titik acuan kemudian bagi kontruksi paradigma Charles Darwin mengenai selektivitas alamiah (natural selectivity) ataupun juga kontruksi paradigmatik dari Thomas Hobbes mengenai ”homo homini lupus” atau adalah juga adalah Friedrich Nietzche perihal moralitas geneal (tractacus),yang lalu menjadi cikal bakal (ontology) adanya kejahatan struktural (kriminalitas struktural) pada aras kemanusiaan (humanity),terutama demi sesuatu yang dinamakan oleh Sigmund Freud sebagai sebuah prinsip kenikmatan manusia (pleasure principe) yang mau tak mau mesti dikemukakan kembali (direvisi) sebagai sebuah realitas (sein) ketimbang sebuah prinsip waktu (prinsip kenikmatan),selain bahwa hal tersebut adalah sebuah penyimpangan (perverse) dari suatu perilaku (behavior) dari adanya otentisitas manusia (hakekat) atas moralitas kematian bagi yang lain (liyan),yang tak semata berarti naluri manusia belaka sebagai sebab, Adalah sebuah pernyataan bagi Friedrich Nietzche bahwa dalam sejarah adanya manusia,manusia telah memposisikan kejahatan (criminality) adalah juga merupakan salah satu dari sebuah kontruksi moralitas yang turun-temurun (komunal) semenjak adanya manusia yang diawali oleh adanya,sebagaimana disebutkan Dante Aliegheri,sebuah kedengkian (envy) dan dendam,bujuk rayu (seduction),sebagaimana disebutkan oleh Jean Baudrillard serta yang mengutama,adalah apa yang pernah diutarakan oleh Friedrich Nietzche sendiri,yaitu merupakan sebuah kehendak untuk berkuasa (moralitas kekuasaan)),atau mungkin kita mesti meninjau kembali pada apa yang pernah dikatakan oleh seorang Eric Fromm tentang kemenjadian manusia selain memiliki (to have) atas yang liyan (beingness),adalah untuk menjadi (to be),menjadi sebagaimana layaknya Tuhan menjadi manusia,atau sebaliknya,bahwa manusia kemudian menjadi pada Tuhan untuk memiliki dan bahkan menjadi Tuhan,hingga pada akhirnya kriminalitas (kejahatan) dihadapkan pada sisi narsisme dan anaklitisme pada manusia sebagai suatu iman yang buruk (bad faith) terhadap imanensi dan transendensi dirinya dengan yang liyan. Erich Fromm adalah seorang filsuf (filosof) yang juga adalah salah satu dari sekian banyak penganut Sigmund Freud (Freudian) yang menulis berbagai ragam pendekatan dirinya tak hanya sekedar pada diskursus (wacana) filsafat belaka,namun juga psikoanalisis,dalam pendekatan Erich Fromm yang lebih menekankan pendekatan psikoanalisis terhadap sebuah tindakan (dad) ataupun pelaku kejahatan (dader),Fromm kerap menampilkan sisi Freudian yang ada pada dirinya,termasuk berbagai pendekatan Marxis (Marxian) ataupun berbagai studi tentang manusia (man),dimana salah satunya adalah kecenderungan manusia dalam melakukan tindakan kekerasan (violence) serta pembunuhan (homicide),aspek libidinal manusia kerap digunakan Erich Fromm dalam melakukan analisis terhadap berbagai tindakan kekerasan (violence) serta pembunuhan (murder),apa yang disebut libido disini (lebenstraum) bukan berarti libido (passion) sebagaimana yang dipahami manusia kebanyakan (awam),namun adalah sebuah energi (desiree) ataupun daya hidup (elan) yang menjadi salah satu bagian dari kisi naluri manusia (human instink) dengan segala kelemahan dan kekurangan yang ada pada manusia serta kelebihan dan kekuatan yang ada pada diri manusia itu sendiri (self) yang menyangkut seberapa jauh manusia memahami dirinya diantara keberadaan lain yang bukan dirinya. Meninjau pendekatan Eric Fromm terhadap kejahatan manusia (criminality),Erich Fromm memandang bahwa sisi asketik (apollonian) ataupun sisi orgiastik (dionisian) yang ditentukan oleh kadar seorang individu,menentukan seberapa mampu seorang individu dapat melakukan penekanan (repression) atas suatu gairah hidup (appetite) yang kerap berlebihan dan menjadikan individu kehilangan identitasnya karena sebuah tuntutan yang datang bukan dari dirinya tapi dari sebuah landas ukur sebagai syarat (komposisi) bagi sebuah proses yang adaptasional atas sebuah keluarga (family),kelompok sosial (social group) ataupun sebuah masyarakat (society) yang kerap menjadi bukan suatu instink (naluri) individu,namun adalah naluri dari sebuah masyarakat (naluri sosial) yang kemudian menentukan tingkatan libidinal (aras daya hidup) yang ada pada dirinya sekaligus juga menentukan kesadaran dirinya (aware) untuk tetap dapat menjadi diri sendiri melalui pengenalan (introduction) serta pemahaman (verstehen) yang relatif dan cenderung untuk berubah pada kenisbian (fana) karena berbagai dinamika (fragmentarisasi),dimana seorang individu kemudian dihadapkan pada sebuah ketegasan bersikap (bertindak) melalui berbagai pertimbangan yang kembali menyangkut pada status atau fungsi sosial (social function) dirinya sebagai sebuah pribadi (self) dalam mengambil sebuah ketegasan (judgement) atau sebuah keputusan menyangkut otoritas dirinya. Mengenai sebab (causaliteit) dari adanya kejahatan (kriminalitas),Erich Fromm mengutip banyak dari pendekatan kaum Freudian,terutama ketika meninjau bahwa kekecewaan libidinal manusia (libidinal discontent) atas sebuah pemenuhan tujuan libidinal (zweck libido) baik yang orgiastik (sadoch) ataupun asketik (masoch) dalam batas-batas standar kewajaran manusia (normality) tanpa anomali kerap menimbulkan tindakan kejahatan (straafbaarfeit),terutama kekerasan (destruction) yang tidak ataupun bersanksi (berakibat),hingga kerap adanya pembunuhan yang tidak (disadari) ataupun disengaja disadari),sebab lain adalah adanya penekanan (represi) atau tekanan (depresi) yang berlebihan terhadap libidinalitas manusia yang pada dasarnya merupakan kebebasan (nibbana) dan keliaran (savage) karena sebuah aturan (rule) ataupun tabu (pamali) atau aspek lain (andere),yaitu suasana hati manusia (stimmung) dan pemikiran dirinya yang berdampak pada tubuh (matter) bahkan jiwanya,yang kemudian juga dapat merubah naluri hidup (eros) menjadi naluri kematian (thanatos) melalui perpindahan (peralihan) objek libidinal manusia (tranference),dimana tujuan atau motif asketik (apollonian) dan orgiastik (dionisian) senantiasa terdapat pada diri manusia yang tiada lepas dari “Russell Paradoks”,demikian juga yang pernah dikatakan Trakl,atau juga Jaqques Lacan yang menyebutkan bahwa dunia manusia (mundan) tiada lepas dari suatu “oposisi biner”,sebuah kekecewaan yang gagal (discontent) atas pilihan dari salah satu dualitas juga kerap menjadi sebuah ketertekanan (asylum) yang dapat diawali dari sebuah keterkekangan (depresi) atau pengekangan (represi) atas kebebasan (”keliaran”) manusia. Hingga kerap kali hal ini lalu memunculkan suatu kondisi anomali (antitesis) dimana manusia lalu dihadapkan pada pilihan legitimasi bagi dirinya (legitimation of self) untuk mencari alternatif (alter-object) bagi pelampiasan (escapism) kebutuhan dirinya akan sebuah kenikmatan (pleasure) sebagai sebuah kenyataan perpindahan objek libidinal (crisis) yang kerap kali adalah suatu penyimpangan (perversi) dari tolok ukur (liminal) dari penyebab awal adanya penyimpangan (unde anomalia) atas perilaku tersebut,yaitu perpindahan objek libidinalitas manusia (transference),namun sebelum Erich Fromm kecenderungan (tendensial) penyimpangan manusia untuk berlaku jahat (evil) semacam ini telah disebutkan Sigmund Freud sebelumnya sebagai suatu “tranferensi” yang disebabkan oleh kekecewaan ataupun represi (kekangan) yang tak hanya menyangkut kekangan dari suatu aturan liminal hukum (keutamaan) ataupun norma (kepantasan),namun juga menyangkut potensi yang ada pada manusia sendiri,termasuk tubuh dan pikiran manusia (cognition) dimana perasaan dan jiwa (geist) kemudian menjadi suatu instrumen alternatif (masoch instrument) dari keterkekangan yang ada,atau sebaliknya bahwa keterkekangan perasaan (affection) atau jiwa (spirit) akan berakibat pada pikiran (cognition) serta tubuh manusia (sadoch instrument). Dimana kemudian pada akhirnya individu (manusia) kerap dihadapkan pada kecenderungan menyakiti diri sendiri,membunuh orang (manusia) lain,menyakiti orang lain (others) atau bahkan penyiksaan atau pembunuhan anak,istri atau suami serta ayah (paricide) atau ibu (matricide) hingga bunuh diri (suicide),atau melakukan suatu hal yang berlebihan dan tidak pada proporsi liminal standar (anti-climax) yang ada pada landas ukur normalitas manusia umumnya (subverse),namun hal ini kerap terjadi terlebih pada sebuah keluarga (domestic violence) pada suatu ranah privat (kepantasan) yang dapat kemudian beralih atau memberikan dampak pada sebuah ranah masyarakat (public sphere) pada aras hukum pemidanaan (azab) dimana hal tersebut lebih memiliki keutamaan (hukum) berupa suatu sanksi (nestapa),selain hal tersebut adalah peralihan libidinal (transferensi) yang kerap masih merupakan hak asasi belaka (consumerism) serta kerap bukan sebuah pelanggaran (putch) atas sebuah keutamaan hukum (law supremation),namun kerap tetap menjadi merupakan sebuah pelanggaran (matig) atas suatu kepantasan (kepatutan) normatif (sense of justice) dalam sebuah masyarakat berupa tabu (pamali) atau norma (adatrecth) pada sebuah ragam budaya tertentu (cultural pattern) pada sebuah bentuk masyarakat (social form) yang tertentu pula. Adalah Carl Gustav Jung yang merupakan tokoh psikologi kedua setelah Sigmund Freud yang kerap diacu dalam ilmu pengetahuan psikologi terutama psikoanalisis,Carl Gustav Jung terkenal dalam kontruksi psikoanalisis menyangkut apa yang kerap disebut dengan terminologi “ordo amoris”,sebuah kerangka acuan yang dianut juga oleh Schiller yang juga menyangkut pada apa yang dikatakan Sigmund Freud sebagai naluri kehidupan (eros),Carl Gustav Jung juga memperkenalkan istilah yang cukup dikenal dalam psikologi yaitu: psike (sisi terang),self (kesadaran),shadow (sisi gelap),anima (keperempuanan) serta juga animus (kelaki-lakian) diasumsikan senantiasa ada pada jiwa manusia pada umumnya,Carl Gustav Jung juga membagi apa yang disebut Sigmund Freud sebagai “id”(keputusan nurani) yang berkaitan kemudian dengan lebih pada naluri kehidupan (eros) ketimbang thanatos (shadow). Adanya ketidakseimbangan (disharmonialitas) antara sisi keperempuanan (anima) dengan sisi kelaki-lakian (animus) yang ada pada kesadaran manusia (self) kerap menimbulkan munculnya sisi gelap manusia (shadow) serta naluri kematian (thanatos) yang ada pada dirinya (ego),termasuk salah satunya adalah kebencian (hate) dan bilamana naluri kehidupan (eros) dihadapkan pada sisi lain (other side) yang bukan “self” tanpa adanya keseimbangan (equilibriasi) dengan “psike”,atau dapat juga dikatakan bahwa adanya dominasi antara naluri kematian (shadow) atas naluri kehidupan (psike) juga akan menjadikan adanya dominasi thanatos (evil) atas eros (good) yang kerap menimbulkan juga sebuah anatomi destruksi (desruction anatomy) yang kerap kali adalah merupakan sebuah pelanggaran atas kepatutan (kebaikan) dan keutamaan (kebenaran) yang ada pada norma (norm) serta hukum dalam sebuah pemerintah (government) ataupun masyarakat. Keduanya identik dengan nilai aksiologi (value meaning) dan makna hermenetis (meaning value) pada fungsi humanitas (manusia) dengan berbagai status dan kondisi pada dirinya sebagai mahluk psikologis yang senantiasa dihadapkan pada berbagai kemungkinan determinan (gestalt) dalam melakukan suatu pola kejahatan (criminal pattern),baik yang merupakan pelanggaran atas hukum (onrechtmatig) ataupun juga merupakan pelanggaran atas sebuah norma (onmoresmatig) tertentu yang ada pada sebuah bentuk kategori (sanksi sosial) dalam suatu masyarakat ataupun budaya (adatrecth) yang tertentu pula,dengan kata lain naluri kematian (thanatos) sebagaimana pada awalnya dikemukakan oleh Sigmund Freud ataupun juga sisi gelap manusia (shadow) seperti yang dikatakan melalui Carl Gustav Jung adalah menjadi penyebab utama (prima kausa) dari adanya suatu pelaku (dader) dan tindakan kejahatan (kriminalitas) yang dianggap melanggar ataupun tidak melanggar kepantasan (hermenetik) ataupun keutamaan (aksiologis) yang ada dan menjadi salah satu bagian dari sebuah pola kehidupan manusia (individu). Jaqques Lacan adalah merupakan seorang tokoh filsafat paska-strukturalis (post-strukturalis),yang adalah juga penganut beberapa teori utama (docrine) dari Sigmund Freud,namun bukan berarti dia (Lacan) adalah seorang Freudian sepenuhnya,dapat dikatakan bahwa Jaqques Lacan adalah seorang paska-Freudian (post-Freudian),selain juga adalah seorang filsuf post-strukturalis (post-Freudian),Jaqques Lacan juga adalah seorang tokoh dan pakar psikologi (psikoanalisis) yang terkenal dengan banyak teori psikoanalis dan memperbaharui berbagai pemikiran psikoanalisis dari Sigmund Freud,terutama mengenai perkembangan tahap-tahap identifikatif (identification stage) dari pendekatan dirinya atas psikologi dinamika pada manusia,tentang identifikasi (identification) dirinya atas keberadaan dari yang lain (liyan),apa yang menyangkut beberapa perkembangan (dinamika) dan menyangkut keunikan imaginasi manusia (mirror stage) pada tahap perkembangan simbolik (fort/da games) atau pada tahap (stage) perkembangan realitas (ideal tipe),yang mana hal tersebut adalah merupakan penyempurnaan kontruksi (rekontruksi) dari pemikiran (paradigm) psikoanalis terkenal sekaligus tokoh dan bapak psikoanalisis sebelumnya,yaitu Sigmund Freud. Mengenai tahap oralitas (oral stage),analitas (anal srage) ataupun juga genitalitas (genital stage) yang merupakan proses individuasi (kastrasi) manusia,dimana kemudian kontruksi paradigmatik Freudian (trilingualitas) tak hanya menjadi dasar pemikiran bagi Jaqques Lacan semata,namun juga menjadi kontruksi dari para tokoh psioanalisis post-strukturalis (post sikoanalisis) lain,termasuk diantaranya adalah juga Deleuze dan Guattary,yang kerap dikenal dengan kontruksi psikoanalisis “rhizomatik” ataupun adalah juga “schizoanalisis”,dimana keduanya tetap mengacu pada psikoanalisis dari Sigmund Freud (Freudian),terutama mengenai kompleks oedipalitas (oedipus complex),meskipun pada dasarnya kaum Freudian pada umumnya tak menyebutkan sama sekali adanya perlawanan tanding (counterpleasure) yang setara atasnya (equal principe),yaitu adalah kemungkinan (probabilitas) dari adanya “vagina electra” atas “penis oedipus” sebagai bagian dari suatu realitas yang paling prinsipil (principe of reality) melalui kedengkian atau sifat yang iri hati serta kecemburuan (envy) yang kemudian menjadi awal dari adanya suatu pelanggaran atas hukum (onrecthmatig)_serta kejahatan. Apa yang dikatakan oleh Jaqques Lyotard tentang post-modernitas (paska-modernitas) seolah mencoba menyelesaikan berbagai kegagalan kondisional (unfinished project) yang ada pada periode sebelumnya (modernity),post-modernitas (paska modernitas) dianggap,melalui Anthony Giddens sebagai salah satu kategori dari perkembangan modernitas (modernisme radikal) serta kemudian lebih dianggap merupakan sebuah proses penyusunan kembali (rekontruksi) ketimbang sebuah pembongkaran (dekontruksi) seperti ujaran dari Jaqques Derrida, yang sebenarnya senantiasa terjadi pada setiap periodisasi sejarah (historical period) dari setiap perkembangan ilmu pengetahuan (abau) ,terutama filsafat dan Heiddeggerian. Keberadaan Jaqques Lacan adalah penerus dari,sebagaimana disebutkan oleh kaum feminis sebagai “dosa-dosa Freud” yang lebih berpihak pada kontruksi disiplin ilmu (savoir) ketimbang pengetahuan yang lebih berpihak pada pola paradigma matriarki (anima) dimana hal ini diakibatkan,terutama adalah dari kesalahan Sigmund Freud dalam tak memberikan ruang penyeimbang bagi kehadiran (presentasi) dari kondisi psikologis (psike) yang ada pada perempuan (connaissance),tak disebutkanya “vagina envy” ataupun juga “electra complex” kerap kali digugat oleh para pemikir psikoanalisis feminis,termasuk salah satunya adalah filosof feminis paska-modernitas terkenal,Luce Irigaray ataupun juga Julia Kristeva yang mencoba menyeimbangkan berbagai pemikiran dan hasrat patriarki (patriarchy desiree) ataupun strukturalitas geneal kebapakan (geneal animus) dalam beragam disiplin ilmu,terutama pada paradigma Jaqques Lacan yang kerap disebut “phallosentrisme” pada suatu aras yang hanya dianggap berada semata pada pola teoretik (theoretical pattern). Kaum pemikir dan filsuf (filosof) feminis umumnya beranggapan bahwa Jaqques Lacan kurang menekankan pada aspek pengetahuan (praktis),sebagaimana apa yang sebenarnya pernah dikatakan juga oleh Jaqques Lacan sebelumnya dalam berbagai dominasi (hegemoni) paradigma dalam struktur patriarkinya,yaitu sebagai suatu “oposisi biner”,dimana hubungan patriarki (matricide) dan matriarki (patricide) semestinya adalah sebuah relasi kesetaraan (chamb) dalam sebuah konsep humanitas (humanity) yang memposisikan benturan genderial (ilmu dan pengetahuan) pada kesetaraan yang sebenarnya tetap kodratiah (monisitas) tanpa membedakan lagi berbagai pola politik identitatif (politik identitas),termasuk ras (race) dan gendeial (gespreech),selain bahasa (lange) yang justru kerap menjadi tabir halangan (aral) untuk penerapan kesamaan hak antar manusia yang asasi (equality of human right) dengan beraneka keunikan yang ada pada dirinya (liyan) sebagai manusia,baik dalam pengetahuan (connaissance) ataupun ilmu (savoir),Jaqques Lacan adalah juga tokoh filsafat yang memberikan kategorisasi (distibusi) atas berbagai jenis sawala (diskursus) yang dalam wacana Michael Foucoult diketengahkan hanya sebatas sebagai suatu “speech act”. Jaqques Lacan memberikan empat pola kategorial diskursif (discourse category) yang tak hanya melulu menyangkut aras akademial ataupun politik (kekuasaan) semata,namun juga menyangkut histeria manusia (histeria humana) serta juga posisi manusia (condition humana) sebagai penganalisis (hermenetikon),namun demikian Jaqques Lacan sendiri lebih menitikberatkan pada kategori diskusif yang terakhir,yaitu sebagai penganalisis (penanda),dimana manusia semestinya dapat tetap diletakkan secara asasi sebagai subjek (narsistik) yang setara (varian) dengan subjek lain (intersubjektivitas) ketimbang sebagai suatu objek (anaklitik) semata,dimana kontruksi Jean Paul Sartre tentang iman yang buruk (bad faith) atau sadomasokisitas (fort/da) dalam arena imanen (celestrialitas) ataupun transenden (terrestrialitas) kemudian memberi spasi pada eksistensi manusia “intermediare” untuk diidolakan (ideal tipe),manusia dianggap_ada diantaranya sebagai antropo-sentripetalitas (implosi) ataupun juga sekaligus adalah antropo-sentrifugalitas (explosi) pada setiap medan kosmik (mitsein axis),manusia (antropoid) adalah suatu eksistensi (l’existence) dimana Gabriel Marcel menyebutnya sebagai media alam nan simpatik (media simpatetik),baik sebagai petanda (signified),penanda (signifier),atau bukan keduaNya sama sekali (nothingless) pada aras manapun (omnijektivitas). Bilamana kontuksionalitas (paradigmatisasi) pemikiran Jaqques Lacan dikaitkan dengan apa yang disebutkan oleh Erich Fromm ataupun Gabriel Marcel sebagai pola kepemilikan (having) ataupun kemenjadian manusia (being) atas setiap apapun sebagai suatu subjek (self),selain sebuah kondisi yang sebenarnya setara antara inter-subjektivitas (inter-subjectivity) atau inter-objektivitas (inter-objectivity),dimana kemudian semiotika ataupun semiologi mengalami peniadaan penempatan (crisis) pada petandaan (signified) ataupun penandaan (signifier),terutama ketika subjek (Aku) ataupun objek (akU) memiliki hubungan yang setara (omnijektif) sehingga kemudian suatu pengorbanan (sacrifice) atas salah satu status (tirani) mesti diadakan atau ditiadakan (to be nothing) atas yang lain,yaitu subjek (narsis) ataupun objek (anaklitik) dimana wacana Ferdinand D’ Saussure ataupun Roland Barthes tentang “sign” kembali mesti ditinjau kembali tanpa melepaskan suatu kebenaran paradoksikalitas (paradoxical bonum) yang ada pada kehidupan manusia (lebenswelt),yang mana sebagaimana dikatakan Marleau Ponty atau bahkan Jaqques Lacan sendiri bahwa manusia adalah mahluk nan penuh dengan berbagai ambiguinitas (ambiguinal),termasuk hubungan diri manusia (en soi) dengan dirinya sendiri (an sich) sebagai manusia liyan (ideosinkretis) dengan yang liyan (other/others) sebagai dia (kau) sekaligus adalah juga bukan dia (aku),selain yang lain itu sendiri (kita),suatu yang mungkin,dikatakan oleh Ficthe adalah sebagai suatu “absolude ich”,bahwa aku yang adalah absolud ada-Nya,dan bahwa segala sesuatupun adalah mungkin adaNya sama sekali. Menjadi pelaku kejahatan (dader) untuk memiliki objek,suatu aktivitas yang identik dengan kepemilikan (sadoch),atau adalah melakukan suatu kejahatan (dad),yang dapat adalah juga untuk memiliki suatu materi (objek) tertentu,hal ini dapat dikaitkan dengan motif atau tujuan dari suatu bentuk kejahatan (criminal form) dengan kehendak (will),niat atau hasrat (desiree) untuk memiliki (to have) atas sebuah benda atau materi tertentu (termasuk manusia yang dianggap objek ketimbang subjek),namun tindakan tersebut dapat merupakan sebuah kejahatan (criminality) yang dapat ditinjau tak semata dari kepantasan (norma),melainkan juga dari sisi keutamaan (hukum),meskipun tindakan kejahatan (criminal achievement) tersebut dapat dikatakan melanggar salah satu diantara keduanya atau bahkan tidak sama sekali,namun setidaknya hal tersebut dapat tetap merupakan kejahatan terhadap hak asasi manusia,terutama ketika tindakan tersebut menyangkut adanya “sittlicheit”,bersangkutan dengan moralitas,nurani serta etika yang kerap kali tak mencakup wilayah keutamaan norma ataupun keutamaan hukum belaka. Namun pada dasarnya semestinya secara holistik (keseluruhan),baik hukum (law) ataupun norma (mores) ataupun juga “sittlicheit”mestinya tetap diacu sebagai tiga sumber dari suatu hukum positif (positive recht),terutama hukum pidana (straafreth) dan tak menutup kemungkinan adanya keterkaitan dengan hukum lain,termasuk perdata ataupun juga hukum adat (adatretch) termasuk beraneka pamali ataupun tabu (taboo),hal semacam ini adalah sebuah kecenderungan untuk mendapat suatu legitimasi atas subjektivitas dirinya dengan memposisikan yang lain (other/others) sebagai objek (materi) semata,Jean Paul Sartre lalu menyebutkan tendensi semacam ini sebagai “bad faith imanence”,dimana kriminalitas narsisme aktif *kerap merupakan sebuah tindakan kekejaman (sadoch) atas keberadaan orang lain (liyan) yang seringkali dianggapnya (oleh pelaku) hanya sekedar objek belaka (matter) dibandingkan dirinya yang pada dasarnya lebih didominasi kehendak (will),niat atau hasrat (desiree) untuk memiliki ketimbang menjadi (to be),selain subjektivitas yang ada pada dirinya sendiri (pour soi) sebagai otoritas yang kerap tirani (otoritarian) dan apatis atas yang lain (liyan) sebagai subjek lain (liyan) selain dirinya dan kerap kali mempunyai sikap keberanian (sadokisitas) berlebihan. Menjadi korban kejahatan (victim) untuk memiliki subjek,adalah sebuah kesengajaan dari seseorang (individu) dalam memposisikan dirinya sebagai suatu korban (kemenjadian) dari sebuah tindakan kejahatan (kriminalitas) untuk menanam suatu stimulus (pengorbanan),untuk mendapatkan simpati seseorang atau lebih demi sebuah tujuan (motif) tertentu yang lebih tinggi dari pengorbanan dirinya sebagai suatu korban (tumbal) dari sebuah tindakan kejahatan (criminal act),menjadi korban kejahatan (criminal victim) untuk memiliki subjek dapat juga merupakan kriminalitas masokistis (kepemilikan)),dimana kesakitan (duka) atau nestapa (azab) yang didapatkanya justru menjadikan semakin eratnya hubungan kepemilikan antara korban (signified) dengan pelaku (subjek),kriminalitas narsisme pasif kerap merupakan sebuah upaya dalam mencari sebuah afirmasi (ketegasan) ataupun sebuah legitimasi bagi objektivitas dirinya (respon) untuk memiliki subjek (pelaku). * ) Budi Sp.Indrajati adalah Pemerhati Masalah Filsafat Kebudayaan,tinggal di Bandung.
Posted on: Thu, 05 Dec 2013 02:04:54 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015