Daya saing Indonesia rendah dan cenderung menurun. Hal ini - TopicsExpress



          

Daya saing Indonesia rendah dan cenderung menurun. Hal ini disebabkan sistem sosial ekonomi, sistem kapitalisme, yang digunakan dalam pemanfaatan sdm Indonesia yang besar jumlahnya berlawanan dengan hukum alam, hukum konsistensi dalam pembangunan sosial ekonomi bangsa-bangsa. Akibatnya adalah bukan hanya daya saing rendah tetapi juga dampak-dampak negatif lainnya seperti korupsi, kesenjangan sosial ekonomi tetapi juga, yang amat mendasar, tergerusnya faham Pancasila sebagai keyakinan operasional kebangsaan yang mengancam eksistensi Indonesia sebagai bangsa merdeka. Sistem demikian didukung oleh para sarjana yang merupakan bagian penting dalam tekno-struktur pengelolaan masyarakat. Para sarjana dididik dengan menggunakan filsafat posistivisme ilmu pengetahuan yang berbasiskan faham empirisme alam nyata semata. Terjadi hubungan yang saling menguatkan antara sistem sosial ekonomi dengan sistem pendidikan tinggi sarjana Indonesia. Untuk mengubah jalannya proses pembangunan kearah perwujudan misi bangsa, Pancasila, maka perlu ditempuh langkah-langkah bagi perubahan makro proses itu. Ini dilakukan dengan menjadikan daya saing bangsa sebagai sararan utama pembangunan bangsa atas dasar keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, musyawarah dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Secara bersamaan sistem pendidikan tinggi perlu diubah dengan menggunakan epistemologi tauhid dalam mengembangkannya, khususnya dalam pelaksanaan tridarma perguruan tinggi. Buku teks perlu diubah dan riset perlu dijadikan ujung tombak pelaksanaan tridarma. Penulisan skripsi dan disertasi perlu diarahkan bagi peningkatan daya saing bangsa. Masyarakat perlu dilibatkan dalam manajemen universitas. Kata-kata kunci: Daya saing, kapitalisme, Pancasila, pendidikan tinggi, epistemologi tauhid 1. Pengantar Bilamana diperhatikan berbagai statistik yang menyangkut perkembaganan sosial-ekonomi Indonesia, maka tidaklah dapat dihindarkan suatu kesimpulan bahwa perkembangan ini masih jauh dari optimal. Sebagai contoh adalah posisi Indonesia dalam indeks daya saing global. Menurut data-data World Competitiveness Index yang dihimpun oleh World Economic Forum, Davos, Swiss, daya saing Indonesia adalah no. 50 dari 144 negara pada tahun 2012-2013. Indeks ini turun dari no.46 pada tahun 2011-2012 (dari 142 negara) dan no. 44 (dari 139 negara) pada tahun 2010-2011(World Economic Forum, Global Competitiveness Report 2012-2013, hal. 200). Daya saing Indonesia bukan hanya lebih rendah bilamana dibandingkan dengan beberapa negara disekitar Indonesia seperti Singapura, Malaysia dan Thailand tetapi daya saing ini cenderung menurun. Penurunan kemampuan Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain juga dapat dilihat dalam laporan-laporan yang disampaikan oleh UNDP, sebuah organisasi dibawah naungan PBB, mengenai kinerja manusia dibidang kesehatan, pendidikan dan kemampuan ekonomi. Dalam penerbitan terakhir Human Development Report 2013, Indonesia berada dalam posisi 121 dari 185 negara. Ini menurun dibandingkan posisi tahun 2010 dimana Indonesia berada posisi 108, tahun 2009 dengan posisi 111 dan tahun 2011 dengan posisi 124. Walaupun sedikit berfluktuasi, namun kecenderunagan penurunan jelas terlihat. Penurunan ini utamanya disebabkan oleh distribusi pendapatan di Indonesia yang relatif jelek dibangkan distribusi pendapatan di banyak negara lain (UNDP, Human Development Report, New York, 2009, 2010, 2011 dan 2013). Penurunan ini terjadi oleh karena persyaratan-persyaratan pokok bagi suatu daya saing tinggi belum atau kurang terpenuhi. Kelembagaan perekonomian masih lemah termasuk masalah infrastructure, pendidikan dasar dan kesehatan dasar yang belum optimal walaupun keadaan ekonomi makro yang relatif baik. Disamping itu perekonomian Indonesia masih menghadapai masalah efisiensi dibidang pendidikan tingi, pasar barang dan pasar tenaga kerja, kesiapan teknologi dan pengembangan pasar uang, dan kemampuan inovasi yang lemah serta kecanggihan bisnis yang relatif rendah. Jadi walaupun pasar domestik Indonesia cukup besar, tetapi ini belum dapat dimanfaatkan untuk mendukung daya saing yang terus naik. Kenapa unsur-unsur pokok untuk mendukung daya saing tinggi juga mengalami berbagai kekurangan? Ini disebabkan keadaan sdm Indonesia yang masih lemah. Dalam studi yang saya lakukan mengenai agenda pembangunan Indonesia, khususnya pelaksanaaan rencana pembangunan untuk periode 2004-2009, saya telah menyampaikan mengenai berbagai kekurangan sdm Indonesia dan menyampaikan sebuah hipotesa sebagai berikut. “In any case one can say that the better a society utilizes its human resources, the greater will be the probability that human-based capital will form the greater part of inputs to production processes and the higher will be total factor productivity” (Hasibuan, S., Muslim-Managed Organizations: A Case Study of the Indonesian Development Agenda dalam Review of Islamic Economics, Journal Of The International Association For Economics and The Islamic Foundation, Leicetershire, U.K., Vol. 12. No.2, 2008, hal. 137-156). Terjemahan: Bagaimanapun seseorang dapat mengatakan bahwa semakin baik sebuah masyarakat memanfaatkan sumber daya manusianya, semakin tinggi kemungkinan modal berbasis manusia akan merupakan sebagian besar dari input yang digunakan dalam proses-proses produksi dan semakin tinggi adanya daya saing atau TFP. Tetapi ini adalah suatu hipotesa umum dan luas yang mengundang pertanyaan selanjutnya yaitu bagimana secara operasional sebuah masyarakat dapat menggunakan sumber daya manusia yang tersedia dengan lebih baik? Dalam kaitan ini saya telah mengemukakan sebuah hukum alam dalam pembangunan sosial-ekonomi bangsa-bangsa. Dalam teks aslinya hukum ini berbunyi “.The law says that the social behavior of a group of people such as a nation must be consistent with the nation’s objectives; otherwise the objectives will not be realized“ (Hasibuan,S., The Law of Consistency and Socio-Economic Development, Journal of Economic Cooperation and Development, Statistical Economic and Social Research and Training Centre for Islamic Countries, Ankara, Turkey, 2010, hal. 1-25). Terjemahan: Hukum ini mengatakan bahwa akhlak sosial sekelompok manusia seperti sebuah bangsa mestilah konsisten dengan tujuan-tujuan bangsa tersebut; kalau tidak tujuan-tujuan tidak akan tercapai. Ini berarti bahwa bangsa Indonesia perlu berakhlak sosial sesuai petunjuk Pancasila bilamana ingin meraih kemajuan dan daya saing tinggi. Sudah dikemukakan dalam berbagai kesempatan, secara operasional akhlak sosial demikian belum terlaksana (Hasibuan,S., 2011, Kapitalisme, Pancasila dan Visi/Misi Bangsa, uai.ac.id). Unit analisa yang tercakup dalam hukum konsistensi adalah negara bangsa. Apakah hukum ini juga berlaku bagi unit-unit kesatuan manusia yang lebih kecil? Jawabnya adalah ya. Salah satu unsur yang paling terkebelakang yang menyumbang kepada daya saing Indonesia yang rendah dan menurun, menurut data-data Global Comptetiveness Index adalah “Labor market eficiency” atau efisensi pasar kerja. Indonesia menduduki posisi yang amat rendah yaitu no.120 dari 144 negara. Apakah rendahnya efisensi ini berkaitan dengan tidak konsistennya pengelolaan lembaga-lembaga pasar kerja dengan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa? Jawabnya ialah memang demikian adanya. Ini merupakan kesimpulan penelitian mengenai Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang dilaksanakan oleh Hasibuan dan Jumansyah. Salah satu kesimpulan pokok dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. “ Walaupun dalam “Menimbang” dikemukakan Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar, nilai-nilai yang terkandung tidak diterjemahkan dengan baik. Dalam menerjemahkan Pancasila dan UUD 1945 menjadi tools, alat yang digunakan adalah paradigma kapitalisme khususnya filsafat keilmuan empirisme. Konforontasi yang terjadi antara pengusaha dan pekerja merupakan akibat penggunaan paradigma kapitalisme. Pengusaha berusaha mencari keuntungan sebesar-besarnya sementara pekerja menuntut kesejahteraan tanpa memikirkan satu sama lain. Idiologi hubungan industrial perlu diubah dari yang berbasis konfrontasi ke yang berbasis kerjasama dan sinergi, kepada prinsip pertama dari Pancasila. Hubungan ini bertujuan bagi peningkatan daya saing perusahaan dan daya saing perekonomian Indonesia “ (Hasibuan, S.,dan Jumansyah, Meraih Kemenangan Paradigma: Kajian Atas Undang-Undang Ketenagakerjaan, Fakultas Ekonomi Universitas Al Azhar Indonesia, 2013, hal. 35-36) Jadi terdapat inkonsistensi yang nyata antara nilai-nilai yang ingin dilaksanakan dengan nilai-nilai yang sesungguhnya dilaksanakan. Maka terjadilah inefisiensi besar dalam pengelolaan pasar kerja. Sebagai kesimpulan dapatlah disampaikan bahwa hukum konsistensi sepenuhnya berlaku bagi sekelompok manusia yang tergabung dalam uni-unit lebih kecil seperi lembaga-lembaga yang terkait dengan pengelolaan pasar kerja. 2. Universitas dan daya saing bangsa. Adalah atas dasar berlakunya hukum konsistensi ini pada unit-unit lebih kecil maka disini diteliti peran universitas dalam meningkatkan daya saing bangsa. Dapat dikemukakan bahwa pengelolaan pendidikan di perguruan tinggi belum sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Tidaklah dapat disangkal bahwa lulusan universitas menduduki peran yang amat strategis dalam tekno-sturuktur suatu bangsa. Di pemerintahan, jumlah sarjana S-1,S-2 dan Doktor adalah 1,3 juta atau 31% dari 4,1 juta pegawai negeri sipil pada tahun 2008 (Badan Pusat Statistik Republik Indonesia, Statistik Indonesia, 2009, Jakarta, hal. 51). Jumlah PNS meningkat menjadi 4,5 juta (dibulatkan) pada 1 Januari 2013 dengan yang berpendidikan S-1, S-2 dan S-3 40,0% (Badan Kepegaian Negara, bkn.go.id, dikases 20 April, 2013) Jumlah pegawai negeri sipil yang berpendidikan tinggi lebih besar lagi kalau dihitung yang bergelar sarjana muda dan setingkatnya. Jumlah yang berpendidikan tinggi cenderung meningkat setiap tahun. Mereka menduduki peranan sebagai pimpinan admistratif dalam birokrasi pemerintahan. Sebagai unsur pimpinan mereka mengarahkan alokasi sumber-sumber ekonomi terbatas dalam mendukung kegiatan pembangunan. Sebagai contoh adalah jumlah sarjana di salah satu propinsi di Indonesia, Sumatra Selatan. Dari seluruh pegawai Eselon IV, Eselon III, Eselon II dan Eselon I yang berjumlah 1144 orang pada 1 Juni 2012, 661 orang adalah Sarjana S-1, 475 orang Sarjana S- 2, dan 8 orang Sarjana S-3 (doktor) (bkd.sumbelprov.go.id/? modul=tabelpengolojab&woblokan, diakses 20 April, 2013). Para sarjana kelihatannya sudah begitu dominan dalam struktur kepegawaian di daerah. Bahkan sebuah kabupaten di kaki gunung Bukit Barisan, Kabupaten Karo, dari seluruh PNS yang ada pada tahun 2010 yang berjumlah 7716 orang, hampir 70 % adalah sarjana yaitu 4950 orang sarjana S-1 dan 117 orang adalah sarjana S-2 (karokab.go.id./13/index.php/data-statistik/33-pemerintahan/305-jumlah-pegawai-negeri-sipil-pemda-karo-menurut-tingk., diakses 19 April, 2013). Para lulusan universitas berkiprah bukan saja di pemerintahan tetapi juga di organisasi swasta, baik bisnis maupun sosial. Jumlah mereka akan terus bertambah seiring dengan kemajuan di bidang pendidikan tinggi dan pertumbuhan penduduk. Yang bergelar sarjana tidaklah terbatas hanya kepada pegawai negeri sipil saja tetapi juga para pejabat termasuk anggota-anggota legislatif di daerah maupun di pusat. Tidaklah berlebihan bilamana dikatakan bahwa daya saing bangsa akan banyak ditentukan oleh kinerja para lulusan perguruan tinggi yang berkiprah dalam tekno-struktur bangsa. Dilain pihak terdapat bukti-bukti nyata bahwa pengembangan tenaga-tenaga terdidik diperguruan tinggi belumlah optimal. Banyak hasil penelitian perguruan tinggi belum termanfaatkan dengan baik. Skripsi-skripsi mahasiswa pada tingkat S-1, menurut pengalaman penulis, amatlah berkekurangan dari segi upaya peningkatan daya saing bangsa. Hasil-hasil penelitian ini ternyata, pada umumnya, berorientasi pada mengemukakan fakta-fakta sebagaimana adanya dan belum berorientasi dengan tegas dan tajam bagi peneyelesaian masalah-masalah yang dihadapi bangsa. Khusus mengenai perguruan tinggi Islam, maka apa yang disampaikan Menteri Agama Republik Indonesia dalam orasi ilmiahnya di hadapan Senat Universitas Negeri Maulana Malik Ibrahim (UIN Maliki), Malang Sabtu, 23 Februai 2913, sebagaimana yang disiarkan kantor berita Antara, dapat memberi petunjuk. “ Kita belum menyaksikan keterlibatan PT, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dalam sebuah upaya untuk dapat memberikan rekomendasi yang didasari atas studi multisiplin yang mendalam secara akademik dapat dipertanggungjawabkan untuk memecahkan masalah-masalah tersebut.” Masalah yang disebut sebelumnya oleh menteri adalah masalah korupsi, kekerasan atas nama agama, narkoba dan garis keras Islam transnasional. Menteri Agama melanjutkan pengamatannya dengan mengatakan “ Terlebih dalam bentuk desain besar (grand design) kebangsaan yang bersifat komprehesif secara sistematis, terukur dan terevaluasi secara periodik. Itulah sebabnya barangkali salah satu argumen perlunya kita melakukan reorientasi studi keislaman dilingkungan perguruan tinggi Islam.” Apa yang dikemukakan oleh Menteri Agama mengenai perguruan tinggi Islam juga berlaku bagi perguruan tinggi lainnya, yaitu perguruan tinggi yang pengaturan kebijakan adminstratifnya diatur oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Perguruan tinggi-perguruan tinggi ini, yang biasa disebut sebagai perguruan tinggi umum (penyebutan mana sesungguhnya merupakan sebuah kekeliruan, penulis) memegang peran penting dalam mendukung dan mengembangkan idiologi pembangunan bangsa yang tidak sejalan, bahkan bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Saya katakan bertentangan sebab idiologi pembangunan yang diusung oleh pemerintahan negara selama ini adalah idiologi kapitalisme, sebuah faham yang ditentang habis-habisan oleh para pendiri bangsa. Namun kita tidak menyaksikan adanya penentangan dari kaum akademisi di perguruan tinggi-perguruan tinggi umum ini. Yang jelas tidak terlihat adalah gugatan terhadap faham-faham yang mendasari kapitalisme seperti individualisme dan materialisme. Universitas-universitas umum ini larut dengan faham-faham ini dalam sistem pembangunan berbasis kapitalisme. Bahkan banyak diantara mereka yang menjadi koruptor. Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, dalam acara Dies Natalis ke 51 Universitas Syiah Kuala pada 31 Agustus 2012 di Banda Aceh menyampaikan dalam orasi ilmiahnya “…95 % koruptor di Indonesia adalah lulusan perguruan tinggi. … Semakin tinggi pendidikannya, semakin canggih pula cara korupsinya… Pandai otaknya tetapi tidak bermoral”(CARIKABAR/politik/175-eksekutif/2897-95-persen-koruptor-adalah-sarjana, diakses 23/4/2013). Hal demikian menunjuk kepada keadaan bahwa pelaksanaan tridarma perguruan tinggi belumlah sejalan sepenuhnya dengan penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi bangsa. Secara lebih luas hal ini berarti apa yang disebut sebagai otonomi akademis perguruan tinggi ternyata belum menyumbang kepada penyelesaian masalah-masalah bangsa utamanya peningakatan daya saing. Hal ini tidaklah mengherankan sebab otonomi ini dilandasi dan dilaksanakan dalam kerangka nilai-nilai kapitalisme yang tidak sejalan bahkan bertentangan dengan prinsip operasional Ketuhanan Yang Maha Esa . Maka oleh karena itu terjadi keadaan tidak sambung, “disconnect”, antara paradigma operasional yang digunakan dalam pengembangan pendidikan mahasiswa dengan paradigma operasional yang ingin dikembangkan dalam kehidupan bersama. Ketidak menyambungan ini berdampak amat luas. Banyak sasaran yang berbasis kepada faham operasional Pancasila seperti perwujudan keadilan sosial bagi seluruh warganegara, peningkatan keimanan publik, peningkatan posisi bangsa dalam persaingan internasional dalam berbagai lapangan kehidupan kurang mendapat perhatian yang tepat dan oleh sebab itu kurang dapat dimajukan. Bahkan sebaliknya, keadaan-keadaan positif yang diinginkan ini semakin tidak didekati dengan berlalunya waktu. Memang dalam ukuran sempit peningkatannya pendapatan nasional Indonesia mengalami kemajuan dari waktu ke waktu. Tetapi kemajuan ini harus dibayar dengan biaya tinggi. Pertumbuhan ekonomi yang dicapai ternyata membawa dampak yang kurang menguntungkan bagi pelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup, kurang menjamin distribusi pendapatan yang lebih merata, dan kurang mendukung kehidupan berbasis Ketuhanan Yang Maha Esa. Kehidupan sosial-ekonomi bangsa secara meyakinkan mengarah kepada kehidupan sekuler dimana peran Ketuhanan Yang Maha Esa tidak perlu ada dan prinsip keuangan dan faham materialisme semakin dominan. Basis keyakinan kehidupan kebangsaan semakin tergerus. Ketergerusan keyakinan ini secara operasional sudah dan sedang terjadi.Tergerusnya basis keyakinan ini pada ujung-ujungnya akan berdampak kepada keadaan yang amat tidak menguntungkan bagi eksistensi bangsa dan kemerdekaannya sebagaimana yang diharapkan sewaktu Proklamasi Kemerdekaan ditahun 1945. Sejarah mengajarkan adanya dua kemungkinan pada ujung perkembangan penggerusan keyakinan kehidupan kebangsaan. Kemungkinan pertama adalah bangsa Indonesia akan semakin terjajah dalam kehidupannya secara paradigma. Hal ini sudah ternyata dengan diadopsinya kapitalisme dalam strategi dan kebijakan pembangunannya. Penjajahan paradigma ini cenderung diikuti oleh penjajahan politik dengan masuknya faham-faham asing dalam berbagai undang-undang yang mengatur kehidupan sosial ekonomi bangsa. Kemungkinan kedua adalah bangsa Indonesia akan terpecah-belah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil yang masing-masing akan mengikuti langkah-langkah berbasis keyakainan yang berbeda-beda. Sebelum ini terjadi berkembang berbagai jenis konflik yang mengarah kepada semakin retaknya Indonesia sebagai sebuah entitas kesatuan. Ditinjau dari perspektif Indonesia masa kini, kedua keadaan ini sama sekali tidak dikehendaki. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan berbagai langkah mitigasi kearah perkembangan yang tidak menguntungkan ini. Langkah-langkah ini berbasis kepada penguatan peran pendidikan tinggi dalam mendukung daya saing bangsa. 3. Sasaran dan tujuan penelitian Secara operasional penelitian ingin menunjukkan hal-hal-hal sebagai berikut: 3.1 Pengembangan pendidikan di perguruan tinggi saat ini dilaksanakan atas dasar paradigma materialisme dan faham-faham yang sejalan. Paradigma demikian menghasilkan proses pembelajaran mahasiswa yang berlawanan dengan upaya meningkatkan daya saing bangsa. 3.2 Pengembangan pendidikan di perguruan tinggi semestinya dilaksanakan atas dasar paradigma Ketuhanan Yang Maha Esa sehingga proses pembelajaran maupun hasilnya dapat mendukung peningkatan daya saing bangsa dalam berbagai bidang kehidupan. Dengan peningkatan daya saing ini maka dihindarkan terjadinya penggerusan keyakinan bangsa sebagai basis bertindak dalam bebagai bidang kehidupan kebangsaan atas dasar Pancasila. Dengan demikian maka tujuan penelitian ini adalah memperkokoh kehidupan kebangsaan secara organik dan dengan demikian menghindarkan bangsa dari keadaan perpecahan atau penjajahan sebagaimana dikemukakan terdahulu. 4. Tinjauan pustaka Berbagai konsep dasar kiranya memerlukan tinjauan pustaka untuk mencapai tujuan atau sasaran penelitian ini. Konsep-konsep dasar ini mencakup daya saing dan metodologi ilmu pengetahuan. Konsep dan metoda pengukuran daya saing berevolusi dengan waktu. Namun sebagaimana diperlihatkan dibawah ini dengan cara apapun daya saing diukur, daya saing Indonesia secara umum adalah rendah. Metodologi ilmu pengetahuan merupakan alat yang penting dalam uapaya peningkatan daya saing. Metodologi ilmu yang digunakan selama ini dalam sistem pendidikan tinggi di Indonesia adalah positivisme ilmu pengetahuan dan ini tidak mendukung peningkatan daya saing bangsa. 4.1. Daya saing bangsa sebagai residu Salah satu arti dari daya saing adalah sejauh mana produktivitas total faktor-faktor produksi (Total Factor Productivity, TFP) menyumbang kepada pertumbuhan ekonomi yang dicapai oleh sebuah bangsa dalam masa tertentu. Jadi, umpamanya, dalam sebuah perekonomian A, pertumbuhan yang dicapai pada periode tertentu adalah 6%, dan dari 6% ini sumbangan input tenaga kerja dan modal secara bersama-sama adalah adalah 5 %. Selebihnya sebesar 1% merupakan sumbangan produktivitas total. Dalam perekonomian B, pertumbuhan ekonomi yang dicapai juga 6%, tetapi sumbangan input total adalah 3 % dan selebihnya merupakan sumbangn produktivitas total. Maka dalam hal ini perekonomian B lebih berdaya saing dari perekonomian A. Perekonomian B disebut lebih berdaya saing dari perekonomian A sebab dalam perekonomian B hasil produksi barang dan jasa lebih besar peran otak dan ketrampilan anak bangsa B dari pada peran anak bangsa A dalam menghasilkan produksi barang dan jasa perekonomian A. Dalam kalkulasi yang dilakukan dalam contoh ini, produktivitas total merupakan residu, setelah dialokasikan sumbangan dari pertumbuhan input modal dan tenaga kerja kepada pertumbuhan ekonomi. Residu demikian biasa disebut sebagai “Solow residual”, sebagai penghormatan terhadap penulis yang mengemukakan masalah ini pertama kali (Todaro,M.P., Smith, S.C., Economic Development, Eleventh Edition, Pearson Education Limited, England, 2011, hal.150). Daya saing merupakan suatu besaran yang bersifat residu dan bukan sesuatu yang secara sadar diupayakan. Dalam pola pikir ini, yang diutamakan adalah pertumbuhan produksi barang dan jasa dan tidak penting dari mana asalnya pertumbuhan tersebut. Salah satu buku penting yang menyangkut daya saing bangsa sebagai residu ditulis oleh Simon Kuznets berjudul Economic Growth of Nations (Kuznets, S., Economic Growth of Nations, The Belknap Press of Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts, London, England, 1971). Dalam buku ini Kuznets meneliti pertumbuhan ekonomi jangka panjang dari negara-negara yang saat ini dianggap sebagai negara-negara yang maju perekonomiannya yaitu Inggris, Perancis, Belgia, Nederlan, Jerman, Swiss, Denmark, Norwegia, Swedia, Italia, Jepang, Kanada dan Amerika Serikat. Dalam jangka panjang setelah dimulai pertumbuhan ekonomi modern, negeri-negeri ini mengalami pertumbuhan output per kapita yang cukup besar. Di Inggeris, umpamanya antara tahun 1765/85-1963/67, produk per kapita meningkat dengan 3,5 kali, di Perancis antara tahun 1831/40-1963/66 produk per kapita meningkat dengan 5,3 kali, di Amerika Serikat antara tahun 1834/43-1967/67 produk per kapita meningkat dengan 5,0 kali. Demikian juga negara-negara maju lainnya dalam era pertumbuhan ekonomi modern mengalami peningkatan dalam output per kapita mereka beberapa kali yang cukup besar (Kuznets, op.cit., Table 1, hal. 11- 14). Persoalan pokok yang diteliti Kuznets seberapa jauhkah peranan kombinasi peningkatan tenaga kerja dan modal menyumbang kepada peningkatan output per kapita ini? Kesimpulan Kuznets adalah sebagai berikut: “In short, … combined inputs contribute a limited fraction, between a quarter and a fifth, of growth in per capita product. The balance can be atrributed to the growth of productivity. And, given the assumptions of the accepted national economic accounting framework, and the basic demographic and institutional processes that control labor supply, capital accumulation, and initial capital output ratios, this major conclusion — that the distinctive fature of of modern economic growth of per capita product, is for the most part attributable to a high rate of growth in productivity – is inevitable (Kuznets, 1971, hal. 73)”. Terjemahan: “Singkatnya,… kombinasi input memberikan kontribusi terbatas, antara seperempat dan seperlima, kepada peningkatan output per kapita. Selebihnya dapatlah dialokasikan kepada peningkatan produktivitas total. Dan dengan anggapan anggapan yang terdapat pada kerangka perhitungan pendapatan nasional, dan proses-proses dasar demografis dan kelembagaan yang menentukan pasokan tenaga kerja, akumulasi kapital, dan rasio kapital/output awal, konklusi utama – bahwa ciri pokok pertumbuhan ekonomi modern yaitu peningkatan output per kapita, untuk sebagian besar disebabkan pertumbuhan produktivitas –tidaklah dapat dielakkan“. Sebagai contoh, Kuznets mengemukakan dalam sebuah kalkulasi adanya “pertumbuhan input per kapita sebesar 0,55 % dibandingkan dengan pertumbuhan output per kapita sebesar 2,97% “ (Kuznets, 1971 , 72 ). Dalam contoh ini kombinasi input tenaga kerja dan kapital menyumbang hanya 18% kepada peningkatan output per kapita. Bagaimanapun produtivitas total atau daya saing merupakan suatu residu, setelah dialokasikan sumbangan tambahan input kepada peningkatan produk per kapita. Secara singkat dapatlah disampaikan bahwa negeri-negeri Barat memiliki daya saing tinggi dalam proses perkembangan sosial-ekonomi mereka. 4.2. Daya saing perekonomian Indonesia: pendekatan residu Dapatlah dilihat bahwa dalam hal perekonomian negara-negara maju kapitalis peranan produktivitas amatlah besar. Ini amatlah berbeda dengan daya saing perekonomian Indonesia. Dari tulisan-tulisan yang ada, dapatlah disimpulkan bahwa daya saing perekonomian Indonesia adalah rendah adanya dan jauh lebih rendah dari produktivitas total yang secara historis diperlihatkan oleh negara-negara maju sebagaimana yang didokumentasikan oleh Simon Kuznets. Salah satu tulisan awal mengenai daya saing perekonomian Indonesia adalah dari penulis sendiri sebagaimana yang termuat dalam buku “ Ekonomi Sumber Daya Manusia–Teori dan Kebijakan “. Disini dikemukakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang dialami selama Repelita I, Repelita II, Repelita III, Repelita IV dan Repelita V adalah masing-masing 10,3%, 7,2%, 8,0%, 5,2% dan 7,4%. Dari pertumbuhan ekonomi yang dicapai ini maka dalam Repelita I sumbangan produktivitas total adalah 0,5%, Repelita II -2,0%, Repelita III 0,2%, Repelita IV 0,1% dan Repelita V 0,1%. Secara keseluruhan untuk tahun 1972-1990, pertumbuhan ekonomi yang dialami adalah 7,4% dan dari jumlah ini sumbangan modal adalah 5,1%, sumbangan tenaga kerja adalah 2,1% dan sumbangan produktivitas total atau TFP adalah 0,0%. Kalau diambil tahun kalkulasi yang agak berbeda yaitu 1984-1990, maka hasilnya juga sedikit berbeda. Pertumbuhan ekonomi yang dialami adalah 5,8% dan dari jumlah ini modal menyumbang 4,4% dan tenaga kerja 1,6% sedangkan produktivitas total adalah -0,2% (Hasibuan, S., Ekonomi Sumber Daya Manusia, 1996, LP3ES, Jakarta, Tabel 2, hal. 175). Dalam sumber ini istilah yang digunakan bukan produktivitas total tetapi produktivitas masyarakat sebagai penerjemahan dari TFP. Pengertiannya sama yaitu daya saing masyakat. Dalam studi yang dilakukan mengenai TFP dalam Repelita I-V, data-data yang digunakan masih kasar dalam arti perhitungan stok modal adalah sebagaimana adanya sebagaimana yang disampaikan BPS. Juga data-data tenaga kerja belum dibuat penyesuaian dengan tingkat pendidikan. Selanjutnya jangka waktu yang digunakan hanyalah sekitar 20 tahun, suatu jangka relatif singkat untuk membuat kesimpulan mengenai maslah sturuktural yang menyangkut TFP atau daya saing. Timbul pertanyaan apakah rendahnya TFP juga akan demikian adanya bilamana diadakan penyempurnaan dalam data-data yang digunakan dan jangka waktunya lebih lama ? Jawaban terhadap pertanyaan ini adalah positif. Kesimpulan-kesimpulan pokok mengenai peran modal, tenaga kerja dan produktivitas total dalam perekonomian Indonesia kelihatannya tidak berubah secara signifikan. Inilah kesimpulan yang diperoleh dari studi yang dilakukan oleh Pierre van der Eng. Kesimpulan Pierre van der Eng dalam studinya yang meliputi periode 1880-2008 adalah bahwa TFP memegang peran negatif secara keseluruhan dalam periode tersebut. “The growth of capital stock, employment and educational attainment explained almost all of GDP growth during key periods of 1900-1929 and 1975-97. Total Factor Productivity growth was on balance negative” (Pierre dan der Eng, The sources of long term economi growth in Indonesia, 1880-2008, Explorations in Economic History 47 (2010), Elsevier, hal. 294). Terjemahan: ”Pertumbuhan stok modal, lapangan kerja dan pencapaian pendidikan menjelaskan hampir semua pertubuhan PDB dalam periode-periode kunci dalam perekonomian Indonesia 1900-1929 dan 1975-97. Produktivitas total atau TFP adalah negatif”. Secara lebih rinci untuk tahun 1880-2008, pertumbuhan ekonomi rata-rata adalah 3,6 % dan TFP menyumbang antara 7-13%, modal 44-61%. Besarnya peran sumbangan modal termasuk modal manusia dalam bentuk pendidikan dan tenaga kerja dan kecilnya sumbangan produktivitas kepada pertumbuhan ekonomi tidaklah berarti tidak adanya peranan teknologi dalam pertumbuhan ekonomi. Peran pastilah ada namun dalam konsep TFP sebagai residu, peran ini tersimpan pada alat-alat modal yang dipergunakan dan pada tenaga kerja yang telah mengalami peningkatan pendidikan. Peranan kemajuan teknologi tidak terungkap dalam TFP sebagai sebuah besaran yang bersifat residu. Yang menyangkut pendidikan maka pastilah teknologi berperan disini melalui ketrampilan yang disampaikan kepada para siswa. Menurut studi yang dilakukan oleh Eng, antara tahun 1929-1967, pertumbuhan modal manusia yang tersimpan melalui pendidikan adalah 3,9% per tahun dan antara tahun 1967-2008 sebesar 3% per tahun. Setiap satu tahun tambahan pendidikan maka ini akan menambah pendapatan sebesar 11% bagi yang bersangkutan (Pierre van der Eng, op.cit., hal. 298). Melalui pendidikan tercipta dua jenis komptensi yaitu kompetensi diatas sadar dan kompetensi yang tercipta dibawah sadar. Kedua jenis komptensi ini berperan amat penting dalam menentukan hasil pendidikan kinerja manusia yang memiliki kompetensi. Bagaimanakah kompetensi bawah sadar yang terbangun melalui pendidikan formal di Indonesia? Kompetensi ini berbasis kepada nilai-nilai yang mendasari sistem kapitalisme yaitu materialisme, individualisme, kebebasan alamiah dan positivisme ilmu pengetahuan. Materialisme menekankan segala nilai-nilai yang bersifat fisik serta menafikan nilai-nilai yang bersifat spiritual. Faham individualisme mengutamakan kepentingan diri sendiri dan ini tidak konsisten dengan nilai keseimbangan antara kepentingan sendiri atau kelompok dengan kepentingan umum. Dalam sistem kapitalisme, kebebasan alamiah berarti segala sesuatu tindakan diperbolehkan selama memajukan kepentingan sendiri yang bersifat materi seperti hedonisme dalam konsumsi dan dan keuntungan maksimum dalam produksi dan kekuasaan politik yang maksimal. Memang kebebasan ini dibatasi oleh undang-undang yang menjaga, dalam teori, bahwa kebebasan tidak mengganggu kebebasan orang lain. Namun, sejarah memperlihatkan bahwa pembatasan-pembatasan yang ada tidak menghambat adanya penciptaan senjata-senjata pemusnah massal dan penjajahan atas suatu bangsa oleh bangsa lain dalam rangka memajukan kepentingan materi dan kekuasaan bangsa sendiri. Sejarah penguasaan minyak setelah perang dunia ke 2, oleh perusahaan-perusahaan minyak negara-negara Barat “The Seven Sisters” di Timur Tengah, merupakan contoh yang baik dalam sejarah kontemporer dunia. Hal ini didahului oleh karya-karya operasional politik oleh CIA menggulingkan pemerintahan Mossadeg yang nasionlis di Iran dan mengembalikan Shah Iran kepada kekuasaan, sebagaimana yang disampaikan di stasiun televisi Al Jazeera tnggal 6 Maret 2013. Di Indonesia, tegaknya sistem kapitalisme setelah Indonesia merdeka didukung para personel yang menduduki jabatan-jabatan kepemimpinan yang akrab dengan nilai-nilai kapitalisme yang diperoleh melalui pendidikan (Hasibuan, S., Hukum Konsistensi dan Pembangunan Indonesia: Suatu Tinjauan Sejarah, Bahan Kuliah di Fak. Ekonomi, UAI, 2012). Bagaimanapun dapatlah diperhatikan bahwa walaupun Indonesia telah mengalami kemajuan relatif pesat dalam pendidikan dan dengan itu peningkatan pendapatan anak-didik, namun hal ini belumlah berhasil meningkatkan daya saing bangsa sebagaimana sudah diperlihatkan dari pembahasan sebelumnya. Kenapa belum berhasil? Ini berkaitan dengan kompetensi bawah sadar yang tercipta dalam proses pendidikan yang tidak konsisten dengan kompetensi bawah sadar yang dibutuhkan bagai pelaksanaan misi bangsa. Kompetensi bawah sadar yang diciptakan melalui proses pendidikan adalah kompetensi berbasis nilai-nilai sistem kapitalisme. Kompetensi bawah sadar yang dibutuhkan bagi terwujudnya misi bangsa, Pancasila, ialah nilai-nilai yang berkaitan dengan prinsip-prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipipi oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pendidikan di Indonesia tergolong kepada sistem pendidikan yang mendukung secara operasional, keberlanjutan sistem sosial ekonomi yang, dalam istilah Ibnu Khaldun, dibangun atas dasar pemikiran manusia semata. Ini berbeda dengan sistem yang dibangun dengan pancaran cahaya dari Tuhan Yang Maha Esa. Sistem ekonomi Indonesia yang berdasarkan Pancasila sesungguhnya tergolong kedalam sistem yang menerima cahaya dari Tuhan Yang Maha Esa. Sistem yang dibangun dengan pemikiran manusia semata adalah sistem sosial ekonomi berbasis teori ekonomi neoklasik yang dibanguan awalnya oleh Adam Smith (Hasibuan, S., Sistem Ekonomi Rasional, Prinsip-prinsip Ekonomi Islam dan Pembangunan Indonesia, makalah intern Universitas Al Azhar Indonesia, 2011). Dapatlah disimpulkan bahwa atas dasar konsep TFP sebagai residu, daya saing Indonesia tetap rendah. 4.2. Daya saing perekonomian Indonesia: pendekatan kelembagaan Terdapat kesepakatan bahwa perbedaan daya saing atau TFP antar-negara mengakibatkan perbedaan pendapatan. Tetapi apa yang menyebabkan perbedaan daya saing atau TFP antar negara ini? Dalam kaitan ini tulisan Edward C.Presscot secara meyakinkan mengemukakan bahwa perbedaan TFP antar- negara bukanlah disebabkan oleh perbedaan dalam pertumbuhan “stock of technical knowledge”. Perbedaan dalam tingkat tabungan antar negara tidaklah berperan penting dalam menjelaskan perbedaan TFP.” Saving rates differences are of minor importance…. TFPs differ across countries and time for reasons other than differences in the publicly available stock of technical knowledge. This theory must account for differences in TFP that arise for reasons other than growth in the stock of technical knowledge” (Presscott, E.C., Needed A Theory of Total Factor Productivity, in International Economic Review, Vol. 39, No.3, August 1998, hal. 525). Untuk Indonesia, sebagaimana sudah diperlihatkan sebelumnya, peningkatan pendidikan tidaklah membawa perbedaan besar dalam TFP Indonesia walaupun ini membawa peingkatan pendapatan bagi orang-orang yang bersangkutan. Jadi kalau bukan penguasaan teknologi sebagaimana yang ditunjukkan oleh peningkatan pendidikan apa yang dapat menjelaskan perbedaan TFP? Sebagaimana sudah disampaikan sebelumnya, perbedaan TFP antar bangsa adalah disebabkan perbedaan kemampun bangsa-bangsa melaksanakan nilai-nilai dasar mereka secara konsisten dalam berbagai kebijakan pembangunan mereka termasuk dalam pendidikan. Bangsa-bangsa Barat melaksanakan pembangunan mereka konsisten dengan nilai-nilai pokok dalam kapitalisme. Ini berarti sistem pendidikan di Barat menanamkan nilai-nilai bawah sadar sesuai dengan nilai-nilai kapitalisme. Indonesia melaksanakan pembangunannya khususnya pendidikan tidak konsisten dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Akibatnya walaupun pendidikan di Indonesia terus meningkat, peningkatan ini tidak membawa peningkatan dalam daya saing. Kalau perbedaan TFP adalah disebabkan perbedaan konsistensi melaksanakan nilai-nilai dasar, maka lembaga-lembaga pelaksanaan mencerminkan nilai-nilai dasar ini. Maka disinilah signifikansi pendekatan kelembagaan yang diusung oleh World Economic Forum di Davos, Swiss. “We define competitiveness as the set of institutions, policies, and factors that determine the level of productivity in a country” (World Economic Forum, The Global Competitiveness Report 2012-2013, WEF_ GlobalCompetitivenessReport- 2012-13pdf, hal.4 diakses 29 Desember, 2012 ). Terjemahan: Kami definisikan daya saing sebagai kumpulan lembaga-lembaga, kebijakan-kebijakan, dan faktor-faktor yang menentukan tingkat produktivitas suatu negara”. Jadi daya saing suatu negara ditentukan oleh berfungsinya lembaga-lembaga pelaksana berbagai kebijakan pembangunan disuatu negara. Menurut definisi ini posisi Indonesia terlihat terus menurun dari 44 tahun 2010-2011, 46 tahun 2011-2012 dan 50 tahun 2012-2013. Jumlah negara yang dicakup dalam penelitian adalah 139-144 negara (World Economic Forum, op.cit., hal. 200). Yang diartikan dengan lembaga-lembaga, kebijakan-kebijakan, dan faktor-faktor meliputi unsur-unsur utama dasar yang dibutuhkan bagi peningkatan produktivitas yaitu kualitas lembaga-lembaga itu sendiri, infrastruktur, lingkungan ekonomi makro, kesehatan dan pendidikan dasar; kebijakan-kebijakan yang meningkatkan efisiensi yaitu pendidikan tinggi dan pelatihan, efsiensi pasar barang, efisiensi pasar kerja, pengembangan pasar keuangan, kesiapan teknologi, dan besarnya pasar dalam negeri; faktor-faktor inovasi dan kecanggihan utamanya yang menyangkut dunia bisnis dan kegiatan inovasi. Semua hal-hal ini turut serta mempengaruhi pencapaian daya saing Indonesia. Tetapi efisiensi pasar kerja (120/144), kesiapan teknologi (85/144), ketersediaan infrastruktur (78/144) adalah beberapa unsur yang tercatat kuat mempengaruhi secara negatif pencapaian daya saing Indonesia. Dilain pihak besarnya pasar domestik Indonesia (16/144) dan kondusifnya kebijakan makro ekonomi (25/144) dan inovasi (39/144) adalah tiga unsur yang mendukung secara positif daya saing Indonesia. Pemanfaatan pasar domestik yang besar oleh para pengusaha Indonesia terhambat oleh besarnya inefisensi berbagai pasar khususnya pasar tenaga kerja. Bagaimanapun pada tataran dunia Indonesia menghadapi banyak tantangan sebelum ia bisa memiliki kinerja sesuai jumlah penduduk yang besar. Pada tahun 2011 yang lalu, jumlah penduduk Indonesia diperkirakan 244,2 juta atau no. 4 besar di dunia setelah Cina, India, dan Amerika Serikat. Tetapi GDP berjumlah US $ 845,7 milyar atau hanya 1,43 % dari GDP dunia! (World Economic Forum, op.cit., hal. 200 ). Cina, India, Amerika Serikat pada saat yang sama memiliki penduduk berjumlah masing-masing 1,367 miliar, 1,250.1 miliar dan 325.1 juta dengan dengan porsi 14.32 %, 5.65% dan 19.13% dari GDP dunia (World Economic Forum, op.cit., hal. 138, hal. 198, hal. 360). Pada tingkat ASEAN dari segi daya saing Indonesia kalah dari Singapura, Malaysia, Thailand dan Brunei; hanya Filipina dan Vietnam yang berada dibawah Indonesia. Bagi Indonesia masalah ketertinggalan ini merupakan masalah mendesak sehubungan dengan dimulainya Masyarakat Ekonomi Asean pada tahun 2015. “ Kehadiran MEA membuat kita bercermin diri, sejujurnya masih banyak yang perlu dibenahi, salah satunya kelemahan daya saing…. mampukah Merah Putih berkibar dalam pertempuran “MEA”? (Bank Indonesia, Djafaara, R.A., Kusmiarso, B., Hanoto, B., Pratomo, W, Masyarakat Ekonomi Asean 2015: Proses Harmonisasi di Tengah Persaingan, Jakarta 2013, hal.31). Dapatlah dikemukakan bahwa pendekatan kelembagaan yang diusung dalam World Competitiveness Report merupakan penyempurnaan yang berarti dari segi upaya peningkatan daya saing ketimbang pendekatan residu sebab pendekatan kelembagaan berbasiskan manusia. Namun pendekatan ini masih tetap memiliki filosofi dasar materi dengan tujuan utama peningkatan pertumbuhan ekonomi dengan segala kelemahan yang terkait dengan itu. 4.3. Pendidikan Tinggi dan Daya Saing Bangsa Dapatlah dikemukakan bahwa dengan berbagai ukuran, daya saing Indonesia termasuk rendah baik dalam jangka panjang maupun bilamana dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain pada masa kini. Indonesia belum pernah mengalami daya saing tinggi sebagaimana dialami oleh bangsa-bangsa Eropah dalam awal pembanguan mereka di era pertumbuhan ekonomi modern. Apa peran pendidikan tinggi dalam penentuan daya saing? Sudah disampaikan bahwa ketertinggalan ini didukung oleh pendidikan tinggi yang dilaksanakan kurang sesuai dengan hukum konsistensi pembangunan sosial ekonomi bangsa-bangsa. Hukum ini mengatakan bahwa bilamana diinginkan tercapainya sasaran dalam sebuah usaha seperti usaha pendidikan tinggi, maka nilai-nilai yang digunakan dalam kebijakan dan strategi haruslah sesuai dengan nilai-nilai dalam tujuan yang mau dicapai dalam usaha tersebut. Maka dalam hal ini pendidikan tinggi diharapkan menghasilkan lulusan-lulusan sesuai nilai-nilai Pancasila. Tetapi langkah-langkah operasional yang selama ini ditempuh utamanya berbasiskan nilai-nilai kapitalisme sehingga kompetensi yang terbentuk, baik kompetensi bawah sadar maupun kompetensi atas sadar adalah kompetensi berbasis nilai-nilai kapitalisme yang berlawanan dengan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam kaitan ini yang menyangkut pendidikan tinggi nilai kapitalisme yang penting adalah positivisme ilmu pengetahuan. Positivime ilmu pengetahuan merupakan jalan secara filsafat operasional bagi penerjemahan nilai-nilai dari kapitalisme yaitu materialisme, individualisme dan kebebasan kedalam praktek. Singkatnya pendidikan tinggi menarik kebawah daya saing bangsa oleh karena ia menerapkan filsafat positivisme ilmu pengetahuan. Apakah yang dimaksud dengan positivisme ilmu pengetahuan? Apakah ada bukti bahwa pendidikan tinggi di Indonesia menganut filsafat yang demikian? Apakah ada bukti atau indikasi bahwa kompetensi yang tercipta tidak cocok dengan kebutuhan penyelesaian masalah-masalah suatu bangsa yang berbasiskan Ketuhanan Yang Maha Esa dari Pancasila? Pertanyaan-pertanyaan ini akan dijawab dibawah ini. 4.5. Positivisme ilmu pengetahuan dan peningkatan daya saing Indonesia Positivisme ilmu pengetahuan adalah filsafat ilmu berbasis faham materialisme. Menurut faham ini ilmu bersumber dari alam nyata semata dan diperoleh melalui pengamatan induktif atau eksperimen, kemudian kalau dalam pengamatan atau percobaan itu diperoleh hasil yang sama, maka dapatlah dirumuskan sebuah hukum alam atau teori yang sahih. Teori yang dianggap ilmiah mengenai sesuatu gejala adalah teori yang memenuhi persyaratan bahwa teori tersebut bisa secara empiris dites kebenarannya, bisa ditolak atau diterima kesesuaiannya dengan alam nyata. Seorang ahli filsafat ilmu pengetahuan, Karl Popper, menyampaikan “Only the falsity of the theory can be infered from empirical evidence, and this inference is a purely deductive one” (Klemke,E.D., et.al., Philosophy of Science, Promotheus Books, New York, 1998, hal. 46). Terjemahan: Hanyalah kesesuaian atau ketidak sesuaian dari teori yang dapat disimpulkan dari bukti-bukti empiris, dan pengambilan kesimpulan ini sepenuhnya bersifat deduktif. Selanjutnya Karl Popper mengatakan “… one can sum up all this by saying that the criterion of scientific status of a theory is its falsifiability, or refutabilty, or testability” (Idem, hal. 42 ). Terjemahan: … dapat disimpulkan semua ini dengan mengatakan ukuran status ilmiah sebuah teori adalah teori tersebut dapat dites kebenarannya secara empiris. Umpamanya ada sebuah hipotesa yang berbunyi “ Semua burung gagak berwarna hitam.” Hipotesa ini memenuhi persyaratan sebuah hipotesa ilmiah karena memenuhi persyaratan ilmiah tertentu, yaitu dapat dites secara empiris. Dia memiliki ciri dapat ditolak atau diterima (falsifiabilty) mengenai kebenarannya. Juga dapat diadakan eksperimen mengenai warna burung gagak, umpamaya melalui sampel. Kalau setelah melalui proses pengamatan yang luas memang diketahui bahwa burung gagak semuanya berwarna hitam maka dapatlah dikemukakan sebuah hukum alam yaitu bahwa semua burung gagak berwarna hitam. Atas dasar hukum alam ini maka saya dapat membuat deduksi bahwa kalau dikamar sebelah saya diberi tahu ada burung gagak maka saya katakan warnanya pastilah hitam. Atas dasar hukum alam bahwa semua burung gagak berwarna hitam, maka saya dapat membuat prediksi, kalau besok hari ada burung gagak bertengger didahan pohon didepan UAI, maka pastilah warnanya hitam. Penjelasan dan prediksi adalah fungsi-fungsi utama ilmu pengetahuan, menurut filsafat positivisme. Sebagaimana akan dijelaskan lebih lanjut, dalam epistemologi tauhid, fungsi ilmu pengetahuan adalah untuk mengagungkan-Nya dalam arti kata yang luas. Inilah namanya proses ilmu pengetahuan atau “scientific process” menurut faham positivisme ilmu pengetahuan. Selanjutnya menurut faham ini informasi yang diperoleh dari alam nyata dengan menggunakan pancaindera dan logika merupakan satu-satunya kebenaran. “Positivism is a philosophy of science based on the view that information derived from logical and mathematical treatments and reports of sensory experience is the exclusive source of all authoritative knowledge, that there is valid knowledge (truth) only in scientific knowledge“ (Wikipedia, Positivism, en.wikipedia.org/wiki/Positivism, diakses 9 April 2013). Terjemahan: Positivisme adalah sebuah filsafat ilmu atau ‘science’ berdasarkan pandangan bahwa informasi yang diperoleh secara logika dan matematika dan laporan dari pengalaman pancaindera merupakan satu-satunya sumber dari pengetahuan yang sahih, bahwa kebenaran terdapat hanya pada pengetahuan yang bersifat ilmiah atau‘scientific’.
Posted on: Tue, 13 Aug 2013 05:03:18 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015