Edensor (41-42) by. Andrea Hirata MOZAIK 41: Tanah Yang Telah - TopicsExpress



          

Edensor (41-42) by. Andrea Hirata MOZAIK 41: Tanah Yang Telah Dijanjikan Mimpi-Mimpi O epintas saja melihatnya aku tahu kalau laki-laki ^ itu pastilah seorang brother muslim. Secara naluriah, aku kenal. Sejak kecil, aku dikelilingi laki-laki semacam itu: guru sekolahku, guru ngajiku, ayahku, khatib, atau juru sunatku. Ia menonton kami tampil di Ponte Vechio, Florence. Disampirkannya selembar uang sepuluh Euro, dengan kesan seakan uang itu bukan miliknya, tapi hak musafir seperti kami. Ia hanya dititipi Allah Yang Mahatinggi. Sejak lama kami ingin tampil di Jembatan Ponte Vechio karena kecantikannya tak dapat dilukiskan kata-kata. Lengan-lengan jembatan itu dilekati rumah-rumah penduduk berusia ratusan tahun, bertingkat-tingkat seperti kandang merpati. Usai tampil, aku termenung memandangi riak sungai di bawah jembatan purba itu. Aku tahu air sungai itu asin karena ia tak lain empasan ombak Tyrenian. Dari sinilah pa-da masa lampau pedagang gagah berani dari Zanzibar, Arab, Cina, dan India memasuki Italia. Jantungku berdetak. Telah kutempuh perjalanan yang amat jauh sampai ke Florence dan nun di situ, tak jauh dariku, bahkan tepat di depan hidungku, ombak Tyrenian terempas di pesisir yang telah lama kami impikan. Kawanku, tahukah dirimu? Lima belas derajat lintang selatan dari tempatku berdiri, tanpa ada lagi daratan menghalang, di situlah Afrika! Kami tak tahu bagaimana dan dengan cara apa dapat mencapai Afrika. Afrika adalah sesuatu yang amat berbeda. Tak ada Schengen visa di sana, tak ada budaya backpacking, dan tak dapat diramalkan respons penduduknya pada seni jalanan. Di sana orang kehausan, penyakitan, kelaparan, bunuh-bunuhan, dan dilahap singa. Tapi di lengan Jembatan Ponte Vechio kami mengukir: Jimbron, kami akan ke Afrika! Kaudengarkan itu, Bron? Afrika! Dari Florence, kami naik kereta ke ujung selatan Italia, Regio. Brother muslim itu melompat ke dalam gerbong. Kami masih belum saling menyapa. Setiap melihat kami, ia tersenyum. Makin ke selatan ternyata Italia semakin miskin. Kami naik kereta malam yang bobrok. Di dalamnya seperti barak dengan tempat tidur tingkat. Kami tertidur pulas berdesakan bersama nelayan-nelayan miskin. Tak pernah ada yang datang memeriksa tiket. Dini hari seseorang berteriak, Messina! Messina! Celaka! Kami ketiduran dan bablas. Kereta menyeberangi Selat Messina. Tiket kami hanya sampai Reggio tapi kami terangkut ke Messina, berarti kami terdampar di sarang gembong mafia: Pulau Sisilia. Kami senang bercampur panik. Di kafe kecil kami memesan kopi dan disuguhi dua gelas liliput. Pria-pria tua memakai rompi dan bertopi baret duduk mengelilingi meja-meja kecil. Dinding dengan tembok yang pecah-pecah, kapstok gantungan mantel dan topi, salib besar, patung Bunda Maria, kursi-kursi kayu berwarna hitam, lampu yang rendah dengan kap berenda-renda, persis film Godfather. Seorang wanita, yang berwajah sangat Italia, menuangkan kopi ke dalam gelas liliput tadi. Kopi itu sedikit sekali, hitam, pekat dan kental. Kami melihat orang-orang minum kopi itu sekali teguk. Aku meneguknya dan seumur hidupku tak pernah kurasa kopi seperti itu. Ketika meluncur melalui tenggorokan, mataku langsung terang benderang seperti lampu yang hampir putus, lalu di dalam kepalaku petir menyambar-nyambar. Itulah kopi kaum mafia. Kami bergegas menuju kota terbesar di Pulau Sisilia, Palermo. Tak pernah kulihat sebuah kota di Eropa Barat yang sepi dikunjungi turis. Sisilia dan reputasi mafia membuat turis enggan berkunjung ke kota tua yang sesungguhnya indah itu. Kami tampil di Palermo dan anehnya, salah satu penonton kami adalah brother muslim itu! Assalamualaikum, sapanya ketika kami berkemas-kemas. Namanya Bilal. Ia seorang pedagang keliling. Ia berdagang keperluan ibadah seperti sajadah, kopiah, dan baju-baju muslim. Kami saling bercerita tujuan masing-masing. Sebenarnya kami ingin ke Afrika. Berkunjung saja ke Tunisia, saran Bilal santai. Bicara apa kau, Brother? Tak terbayangkan susahnya urusan visa, cetus Arai. Visa? Kaubilang kau orang sekolahan? Info dari Bilal membuat telinga kami berdiri. Sebagai sesama anggota OKI, organisasi negara Islam itu, ternyata muslim Indonesia bebas visa ke Tunisia. Tunisia adalah gerbang utara Afrika, batu loncatan untuk mengarungi Benua Hitam itu. *** Tak buang tempo, kami tergopoh-gopoh menuju kantor duane dan segera naik kapal dari Mazara ke Tunisia. Kapal meluncur menembus Kanal Sisilia, terapung-apung dalam rengkuhan daratan luas Italia, Pulau Sardinia, dan Pantai Malta. Kapal merapat di Dermaga Kelibia, Tunisia. Kami dilanda haru karena berhasil menginjak tanah yang belasan tahun telah dijanjikan mimpi-mimpi; Afrika. Laut Mediterania tak ubahnya tabir ajaib yang memisahkan dua tempat yang sama sekali berbeda. Baru beberapa saat yang lalu kami berada di Eropa yang dingin dan tak peduli, kini kami berdiri di tanah Afrika yang panas dan terang benderang. Hatiku senang melihat laki-laki dan kambing-kambing berkeliaran. Perempuan memakai kerudung kaftan dan berdebu. Hatiku gembira meluapluap mendengar azan sahut-menyahut. Aku berdiri di tengah padang rumput esparto. Sampai ke manakah padang rumput esparto itu? Aku tak tahu. Padang itu terhampar sampai jauh ke sana. Lalu, di sebelah sananya, rumput esparto lagi. Afrika kosong, gersang, kuning, dan luas tak terbayangkan. Di angkasa burung-burung yang tak dikenal berkaok-kaok dengan suara lebih keras dari burung-burung di wilayah lain. Barisan pohon citrus seakan pagar yang tak putus-putus, semakin kecil sampai tak kelihatan, tapi tetap tak habis-habis. Sebenarnya kami ingin melintasi Afrika dari titik paling utara, yakni Kalibia di Tunisia sampai ke titik paling selatan Pantai Gading. Setelah apa yang kami alami di Rusia, kami yakin mampu menaklukkan Afrika. Namun, kami tak punya waktu. Kami harus kembali ke Paris untuk menyelesaikan kuliah. Akhirnya, diputuskan ke titik tengah Afrika saja, yaitu Zaire. Itu pun karena ingin menemui Njoo Ling, seseorang yang seusia dengan A Ling, dan ia seorang perawat. Mungkinkah ia A Ling seperti dugaan Roxane Ling? Apa yang A Ling lakukan di tengah-tengah Afrika? Apakah ia telah menjadi relawan yang bekerja untuk Unicef? Sejujurnya aku ragu itu A Ling, namun semakin aku ragu, semakin kuat kemauanku untuk memastikan. Aku tak kan menawar sumpah pada diriku sendiri bahwa aku ingin menemukan A Ling, di mana pun ia berada, bagaimanapun keadaannya. *** Kami naik kereta api mengikuti jalur negara-negara OKI. Di perbatasan Nigeria dan Mali kami menjumpai serombongan kafilah pedagang yang akan melintasi Gurun Sahara menuju Burkuni. Rombongan itu beriringan dengan tenang. Wanita dan anak-anak dinaikkan ke punuk-punuk unta dan kambing-kambing ditarik dengan tali. Seseorang yang mengambil air di oasis Niamey mengatakan sesuatu yang membuatku melonjak. Mereka adalah pengembara Samia, katanya. Pengembara Samia! Aku dan Arai berlari mengejar kafilah itu. Dengan bahasa Arab seadanya, aku minta izin ikut rombongan mereka. Seorang anak yang kumal menunjuk pria di depan, pemimpin mereka. Aku berdebar melihat gerak-gerik pemimpin khalifah Samia itu. Gelar turun-temurun pria itu, Wadudh, dulu pernah dipakai Ayah untuk menamaiku. Aku menjabat tangan Wadudh dan memeluknya. Aku merasa senang karena seakan aku memeluk diriku sendiri. Berhari-hari aku dan Arai hidup bersama rombongan pengembara Samia. Kami telah mengelana Rusia yang dingin tak bersahabat, kini kami mengarungi bantaran Gurun Sahara yang panas membara, dekat dengan orang-orang yang hangat. Tak tampak apa pun seluas mata memandang selain pasir bergelombang-gelombang, hanya pasir. Kami menutup wajah dengan kafiyeh, berjalan berhari-hari dengan tongkat, dan tidur beralaskan pelepah korma. Setiap sore, kami mendapat suguhan yang sangat istimewa: susu kambing. *** Kami pun sampai ke Zaire dan menemui seorang wanita Skotlandia bernama Nadine Scott. Ia sudah tua dan sudah tidak cantik lagi. Tapi matanya bening seperti safir biru. Meski hanya ia sendiri perempuan berkulit putih di antara ratusan perempuan Kamina yang berkulit gelap, namun tampak jelas ia paling berkuasa. Aku tak lepas mengamatinya sejak tadi. Semua hal tentang perempuan yang sudah tidak cantik itu, membuatku terkesan. Terutama karena kuasanya atas perempuan Kamina yang bergaris wajah keras wajah mereka seperti topeng perunggu sama sekali bukan didapatnya dari otoritas atau mandat. Cinta kasih, hanya itu legitimasi Nadine. Setiap hari, wanita dari Mwanza, Bukama, bahkan dari Moba di bantaran Danau Tanganyika (pemisah antara Zaire dan Tanzania) datang ke Kamina sambil menggendong anak dengan berupa-rupa penyakit. Suster Nadine mengobati anak-anak itu secara cuma-cuma. Nadine adalah muara segala keluh kesah yang telah mengabdikan hidupnya selama puluhan tahun untuk Afrika. Kadang kala Suster Nadine dibantu relawan dari misi gereja. Dari sinilah terbetik informasi tentang perempuan serupa A Ling. Setahuku A Ling sendiri amat religius, bisa saja ia bekerja bersama Suster Nadine demi mengemban misi agama. Kuceritakan pada Suster Nadine bahwa aku ke Kamina bukan hanya untuk mengejar mimpi lamaku mengelana Afrika tapi juga untuk menemukan A Ling. Kenyataan yang kuhadapi pahit. A Ling tak ada di sini. Jejak menujunya buntu, ke mana pun buntu. Mengapa Roxane Ling di Milan begitu yakin aku akan menemukan A Ling di Afrika? Suster Nadine menyampaikan satu kalimat bijak untukku, Kamu telah mencari A Ling demikian jauh sampai ke Zaire, di tengah-tengah Afrika, dan tak kautemukan. Tidakkah kau berpikir kau telah menemukannya? Aku terhenyak. Tiba-tiba ucapan Roxane Ling dan Suster Nadine terangkai dalam kepalaku menjadi sebuah filosofi pencarian, pencarian akan hal-hal yang paling kita inginkan dalam hidup ini dan pencarian akan diri kita sendiri. Maksud Roxane Ling dan Suster Nadine sama sekali tak seharfiah kalimat mereka. Karena jika kita berupaya sekuat tenaga menemukan sesuatu, dan pada titik akhir upaya itu hasilnya masih nihil, maka sebenarnya kita telah menemukan apa yang kita cari dalam diri kita sendiri, yakni kenyataan, kenyataan yang harus dihadapi, sepahit apa pun keadaannya. Aku dan Arai kembali pulang ke Eropa tanpa dapat menemukan A Ling. Namun aneh, aku merasa tak pulang dengan tangan hampa. Suster Nadine telah memberikan jawaban untuk salah satu pertanyaanku atas diriku sendiri. Dan, ia telah mempertemu-kanku dengan salah satu pencarian terbesar dalam hidupku: cinta. Kami kembali ke Eropa melalui Maroko dan Casablanca. Sepanjang jalan aku membujuk diriku sendiri dengan perasaan gembira karena kami telah berjanji dengan MVRC Manooj, Gonzales, Ninoch, Stansfield, dan Townsend untuk berjumpa di Spanyol. Aku rindu sekaligus penasaran ingin tahu perjalanan mereka. Namun, aku juga waswas, jangan-jangan kami kalah dalam pertaruhan dan harus menerima hukuman yang memalukan di Paris. Dari Casablanca kami berlayar menuju Portugal dan langsung ke Barcelona, Spanyol. Di Spanyol aku ternganga-nganga di bawah kubah Sagrada Familia, aku merasa seperti berada di dalam kerajaan kaum lelembut. Katedral itu disanggah pilar-pilar aneh dengan cita rasa seni yang ganjil, menjulang, mengerucut, cokelat, tua, berukir-ukir, seakan tak mungkin dicapai imajinasi manusia. Tak dinyana arsiteknya adalah pria Catatan yang sempat dianggap sinting: Antoni Gaudi. Di Pare Guell, aku melihat karya agung Gaudi lainnya: replika reptil-reptil dengan kulit potongan-potongan mozaik. Dengan potongan-potongan mozaik itulah dulu Pak Balia mengibaratkan nasib manusia dan menginspirasi kami untuk berkelana. Di Barcelona aku mencapai puncak filosofi pengembaraanku. Pada titik ini, hatiku merunduk takzim pada pesan-pesan suci Al-Quran dan hipotesa Harun Yahya bahwa tak ada hal sekecil apa pun terjadi karena kebetulan. Aku dan Arai telah menunggu lebih dari setengah jam di Kafe Nou Camp, bersebelahan dengan officiat store Barcelona Football Club. Di tempat ini kami berjanji untuk rendezvous berkumpul. Nun jauh di seberang jalan, dua orang pria melenggang gontai. Wajah mereka tak jelas tapi kami mengenali gesture-nya. Mereka tak lain MVRC Manooj dan putra sang pandai besi Gonzales. Demi melihatku, langkah Gonzales semakin cepat. Wajahnya sembap, seperti orang yang ingin mencurahkan berjuta rasa. *** MOZAIK 42: Indonesia Raya Mamma mia, mamma mia. Dunia, Amigo jerit Gonzales lirih. Kejam sekali” MVRC Manooj, duduk mematung setelah mengisap tandas air mineral yang baru kusuguhkan. Kusuguhkan segelas lagi, diisapnya, tandas lagi. Ia haus dan kelaparan. Lehernya, modal tahan goyang kepalanya itu, dipenuhi tempelan koyo. Ia bahkan sudah tak bisa menoleh. Jika bicara pandangannya lurus, kuyu, dan putus asa. Baru sampai Swedia, kami sudah terlunta-lunta, keluhnya. Aku kasihan melihat pasangan unik itu. Amat berbeda dari ketika dulu mereka berangkat, sekarang mereka seperti gembel. Sekonyong-konyong .... Hi, Guysl Stansfield! Ceria sekali, bersih, rapi, dan cantik. Tak tampak trombonnya dan tak ada kesan sebagai pengamen. Ia bahkan lebih segar dari biasanya. Stansfield datang bersama seorang pria macho, tinggi besar, menggunung seperti Conan dari Simeria. Kenalkan, ini Antonio, Antonio Blender, pacarku yang baru. Kami tergelak, tapi pria itu, yang dari pandangan matanya bisa ditebak bahwa ia tidak terlalu pintar cuek saja. Ia sangat percaya diri. Ia menyalami kami dengan akrab. Ia tak paham benar bahasa Inggris namun selalu berusaha memancing obrolan. Ia pria yang ramah dan minta dipanggil dengan nama pendek Mr. Blender. Di tengah obrolan, Mr. Blender mohon diri ke kamar kecil. Belum jauh ia pergi, kami merubung Stansfield. Aku berbisik keras, Stans, mengapa namanya sampai blender begitu?! Stansfield tersenyum puas. Ia tak bisa menyembunyikan perasaannya. Ia juga berbisik keras, Karena dia aktor film dewasa! Semua orang langsung mafhum. Tak lama kemudian Townsend datang. Ia digandeng mesra oleh seorang pria yang bertubuh seperti si Under Taker, pendekar smackdown itu. Nah, sampai di sini semuanya jelas. Stansfield dan Townsend, dan persaingan mereka yang telah berurat akar. Mulanya mereka keliling Eropa main trombon dan akordion sampai terdampar di Spanyol. Stansfield mendapatkan Blender, Townsend tak mau kalah. Setelah itu mereka tak pernah meninggalkan Barcelona karena fokus persaingan mereka telah bergeser. Akhirnya, Ninochka tiba. Seperti biasa, ia ceria. Tak jelas apakah ia sukses atau menderita. Ninoch tetaplah Ninoch. Kami ngobrol menceritakan pengalaman masing-masing. Tak satu pun dari mereka percaya bahwa aku dan Arai telah melintasi Rusia sampai ke Afrika, bahwa kami telah menjamah Gurun Sahara dan Zaire, bahwa kami pernah dirampok dan bertahan hidup dengan makan daun. Penjelajahan usai, Gonzales dan MVRC Manooj adalah tim yang kalah. Ketika kami ingatkan bahwa mereka harus menuntun sepeda mundur dari Le Louvre ke gerbang LArc de Triomphe melintasi LAvenue des Champs-Elysees dengan sepeda yang digantungi pakaian rombeng, Gonzales dan MVRC Manooj termangu-mangu. Mereka tampak benci pada diri sendiri. Pemenang perlombaan adalah aku dan Arai. Aku terharu, rasanya ingin kunyanyikan lagu Indonesia Raya. *** Kami pulang ke Paris naik kereta malam. Rasa takjub tak kunjung kasip dalam hatiku. Ekspedisiku telah membuka jalan rahasia yang tersembunyi di antara lipatan sekat-sekat dimensi ruang dan waktu, jalan rahasia yang menghubungkan apa yang kualami saat ini dengan peristiwa-peristiwa masa laluku. Ini adalah ekstase terbesar yang hanya mungkin dicapai mereka yang berani bermimpi, berani keluar dari cangkang siputnya, untuk menemukan jawaban pertanyaan atas dirinya. Inikah postulat hukum nasib? Inikah yang dimaksud Albert Einstein sebagai lingkaran alamiah filsafat manusia? Tapi aku tetap merasa kesepian karena A Ling masih tak jelas rimbanya. Tak tahu lagi ke mana mencarinya. Hanya dari novel kenangannya aku dapat menemukannya. Kubuka lagi novel lusuh itu, kubaca lagi keindahan desa khayalan Edensor, untuk melipur rinduku. Jalan-jalan desa menanjak berliku-liku dihiasi deretan pohon oak, berselang-seling di antara jerejak anggur yang ditelantarkan. Lebah madu berdengung mengerubuti petunia. Daffbdil dan astuaria tumbuh sepanjang pagar peternakan, berdesakan di celah-celah bangku batu. Di belakang rumah penduduk tumpah ruah dedaunan berwarna oranye, mendayu-dayu karena belaian angin. Lalu terbentang luas padang rumput, permukaannya ditebari awan-awan kapas.... Demikian nyata gambaran Edensor di kepalaku, seakan dapat kucium semerbak daffodil dan astuaria yang menjalar sepanjang pagar peternakan itu, seakan dapat kusentuh hangatnya bangku-bangku batu yang disiram sinar matahari musim panas. Edensor telah menjadi sebuah bingkai dalam kepalaku. Dalam bingkai itu, aku menggambar gerbang desa Edensor berukir ayam jantan yang berputar seirama belaian angin. Di sisi kiri gerbang kulukis rumah-rumah penduduk. Di sisi kanannya kugambar pohon-pohon willow yang tumbuh di pekarangan. ***
Posted on: Thu, 21 Nov 2013 04:28:01 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015