Episode ke 2 Hari pernikahan itu datang. Aku datang seumpama - TopicsExpress



          

Episode ke 2 Hari pernikahan itu datang. Aku datang seumpama tawanan yang digiring ketiang gantungan. Lalu duduk di pelaminan bagai mayat hidup, hati hampa, tanpa cinta. Apa mau dikata, cinta adalah anugerah Tuhan yang tak bisa dipaksakan, pesta meriah dengan bunyi empat grup rebana terasa konyol. Lantunan shalawat nabi terasa menusuk-menusuk hati. Inna lillahi wa ilahi rajiun! Perasaan dan nuraniku benar-benar mati.Kulihat Raihana tersenyum manis, tapi hatiku terasa teriris-iris dan jiwku meronta-ronta. Aku benar-benar merana. Satu-satunya, harapanku hanyalah berkah dari Tuhan atas baktiku pada ibu yang amat kucintai. Rabbighfir li wa liwalidayya !Layaknya pengantin baru, tujuh hari pertama kupaksakan hatiku untuk memuliakan Raihana sebisanya. Kupaksakan untuk mesra, bukan karena cinta. Sungguh, bukan karena aku mencintainya. Hanya sekedar karena aku seorang manusia yang terbiasa membaca ayat-ayat nya, oh, alangkah dahsyatnya sambutan cinta Raihana atas kemesraan yang ku merintih menangisi kebohongan dan kepura-puraanku. Apakah aku telah menjadi orang munafik karena memdustai diri sendiri dan banyak orang?Duhai tuhan mohon ampunan. Aku yang terbiasa membaca ayat-ayat-Nya kenapa bisa itu menebas leher kemanusiaanku. Dan aku pasrah tanpa daya.Tepat dua bulan setelah pernikahan,kubawa Raihana kerumah kontrakan dipinggir kota Malang. Mulailah nyanyian hampa kehidupan mencekam. Aku tak menemukan adanya gairah. Hari-hari indah pengantin baru, mana? Mana hari-hari indah itu? tak pernah kurasakan! Yang kurasakan adalah siksaan-siksaan jiwa yang mendera-dera.Oh, bertapa susah hidup berkeluarga tanpa cinta. Sudah dua bulan aku hidup bersama seorang istri. Makan, minum, tidur dan shalat bersama mahluk yang bernama Raihana, istriku. Tapi, masya allah, bibit-bibit cintaku tak juga tumbuh. Senym manis Raihana tak juga menembus batinku. Suaranya yang lembut tetap saja terasa hambar. Wajahnya yang teduh tetap saja terasa asing bagiku. Sukmaku merana. “Duhai cintaa hadirlah, hadirlaaaah! Aku ingin merasakan seperti apa indahnya mencintai seorang isteri!” jerit batinku menggedor–gedor jiwa. Cinta yang kudamba bukannya mendekat, tapi malah lari semakin jauh dari dtik ke detik. Pepatah Jawa kuno bilang, Wiwiting tresno jalaran soko kulino! Artinya, hadirnya cinta sebab sering bersama. Tapi pepatah itu agaknya tidak berlaku untukku. Aku setiap hari bersama Raihana. Berada dalam satu rumah. Makan satu meja. Dan tidur satu kamar. Tapi cinta itu kenapa tak juga hadir-hadir juga? Kenapa!? Yang hadir justru perasaan tidak suka yang menyiksa. Aku kuatir, jangan-jangan aku bisa gila! Atau aku sebenarnya tlah gila? Tapi tidak! Tidak ada yang menyebutku gila. Aku masih bisa mengajar di kampus dengan baik. Masih bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan mahasiswa dengan baik. Tapi, dalam sejarah kehidupan manusia banyak orang gila yang kelihatannya normal-normal saja. Banyak juga yang kelihatannya aneh tapi sebenarnya dia tidak gila. Cinta yang salah kedaden memang sering menciptakan orang-orang gila. Begitu juga cinta yang tidak kesampaian. Apakah aku akan tecatat dalam daftar orang-orang gila karena salah kedaden dalam menghayati cinta? Embuh !Memasuki bulan keempat , rasa muak hidup bersama Raihan mulai kurasakan. Aku tak tahu dasar munculnya perasaan ini. Ia muncul begitu saja. Melekat begitu saja dalam dinding-dinding hati. Aku telah mencoba membuang jauh-jauh perasaan tidak baik ini. Aku tidak mau membenci atau muak pada siapa pun juga, apalagi pada isteri sendiri yang seharusnya kusayang dan kucinta. Tetapi entah kenapa, perasaan tidak baik itu tetap saja bercokol di dalam hati. Sama sekali tidak bisa diusir dan dienyahkan. Bahkan, dari detik ke detik rasa muak itu semakin menjadi-jadi, menggurita dan menjajah diri. Perasaan itu mencengkeram seluruh raga dan sukma. Aku tak berdaya apa-apa.Sikapku pada Raihana mulai terasa lain. Aku merasakanya tapi aku tiada bisa berbuat apa-apa. Aku lebih banyak diam,acuh tak acuh, agak sinis, dan tidur pun lebih banyak diruang kerja atau diruang tamu. Aku sendiri heran dengan keadaan diriku. Aku yang biasanya suka romantis kenapa bisa begini sadis. Aku. Inginku. Galuku. Resahku. Dukaku. Mengumpal jadi satu. Tak tahu aku, apa yang terjadi pada diriku. Pikiran dan hatiku pernah duka yang tidak mengalaminya. Duka yang bergejolak-gejolak tiada bias diredam dengan diam. Duka yang menganga menebarkan perasaan sia-sia. Aku mengutuk keadaan dan mengutuk diriku sendiri. Aku merasa hidupku adalah sia-sia. Belajarku lima tahun diluar negeri sia-sia. Pernikahanku sia-sia. Keberadaanku sia-sia. Dan usahaku untuk berbakti pada ibu adalah sia-sia. Aku merasa hanya menemui kesia-siaan. Sebab aku telah berusaha menemukan cahaya cinta itu namun tak kutemukan juga, yang datang justru rasa muak dan hampa yang menggelayut dalam relung jiwa. Bacaan Alquran Raihana tak menyentuh hati dan perasaan. Aku bingung sendiri pada diriku. Aku ini siapa? Apa yang sedang aku alami sehingga aku merasa sedemikian balau. Sehingga diriku tak ubahnya patung batu. KELIHATANNYA tidak hanya aku yang tersiksa dengan keadaan tidak sehat ini. Raihana mungkin merasakan hal yang sama. Tapi ia adalah perempuan Jawa sejati yang selalu berusaha menahan segala badai dengan kesabaran. Perempuan Jawa yang selalu mengalah dengan keadaan. Yang salalu menormorsatukan suami dan menomorduakan dirinya sediri. Karena ia seorang yang berpendidikan, maka dengan nada diberani-beranikan, ia mencoba bertanya ini-itu tentan perubahan sikapku. Ia mencari-cari kejelasan apa yang sebenarnya terjadi pada diriku. Tetapi selalu saja menjawab,”tidak ada apa-apa kok mbak, mungkin aku belum dewasa! Aku mungkin masih harus belajar berumah tangga, mbak!”Ada kekagetan yang kutangkap dalam wajah Raihana saat kupangil “mbak” ? . panggilan akrab untuk orang lain, tapi bukan untuk seorang istri.“kenapa mas memanggilku”mbak”? aku ‘kan istri mas. Apakah mas tidak mencintaiku?” tanyanya dengan gurat sedih tampak diwajahnya,.“Wallahu a’lam!” jawabku sekenanya.Dan dengan mata berkaca-kaca. Raihana diam, menunduk tak lama kemudian ia menangis terisak-isak sambil memeluk kedua kakiku.“kalau mas tidak mencintaiku, tidak menerimaku sebagai istri kenapa mas ucapkan akad nikah itu? Kalau dalam tingkahku melayani mas nikah ada yang tidak berkenan kenapa mas tidak bilang dan menegurnya. Kenapa mas diam saja? Aku harus bersikap bagaimana untuk membahagiakan mas? Aku sangat mencintaimu mas. Aku siap mengorbankan nyawa untuk kebahagian mas? Jelas buat rumah ini penuh bunga-bunga indah yang bermerahan? Apa yang harus aku lakukan agar mas tersenyum? katakanlah mas! Katakanlah! Asal jangan satu hal. Kuminta asal jangan satu hal: yaitu menceraikan aku! Itu adalah neraka bagiku. Lebih baik aku mati daripada mas menceraikanku. Dalam hidup ini aku ingin berumah tangga Cuma sekali. Mas kumohon bukalah hatimu untuk menjadi ruang bagi pengabdianku, bagi menyempurnakan ibadahku didunia ini.”Raihan mengiba penuh pasrah. Namun, oh sungguh celaka! Aku tak merasakan apa-apa. Aku tak bisa iba sama sekali padanya. Kata-katanya terasa bagaikan ocehan penjual jamu yang tidak kusuka. Aku heran pada diriku sendiri, aku ini manusia ataukah patung batu? Kalau pun aku menitikkan air mata itu bukan karena Raihana tapi karena menangis ke-patung- batu- an diriku.Hari terus berjalan dan komunikasi kami tidak berjalan. Kami hidup seperti orang asing yang tidak saling kenal. Raihana tidak menganggapku asing dia masih setia menyiapkan segala untukku. Tapi aku merasa dia seperti orang asing. Aku benar-benar meminta kepada tuhan agar otak,perasaan, dihati dan jiwa diganti saja dengan yang bisa mencintai Raihana.Suatu sore aku pulang dari mengajar dan kehujanan dijalan. Aku lupa tidak membawa jas hujan. Sampai dirumah habis magrib. Bibirku biru, mukaku pucat. Perutku belum kumasukkan apa-apa kecuali segelas kopi buatan Raihana tadi pagi, memang aku berangkat terlalu pagi karena ada janji dengan seorang teman. Jadi aku berangkat sebelum sarapan yang dibuat Raihana jadi. Raihana memandang diriku dengan waajah kuatir.“mas tidak apa-apa kan?” tanyanya cemas sambil melepaskan jaketku yang basah kuyup.”mas mandi pakai air hangat saja ya. Aku sedang menggodog air. Lima menit lagi mendidih.” Lanjutnya.Aku melepaskan semua pakaian yang basah dan memakai sarung. Diluar hujan sedang lebat-lebatnya. Aku merasa perutku mulas sekali. Dan kepala agak pening. Aku yakin masuk angin.“mas air hangatnya sudah siap?” kata Raihana.Aku tak bicara sepatah kata pun. Aku langsung masuk kekamar mandi dan membersihkan badan dari ujung rambut sampai ujung kaki. Aku lupa tidak membawa handuk. Selesai mandi, raihana telah berdiri didepan pintu kamar mandi dan memberikan handuk. Dikamar ia juga telah menyiapkan pakaianku.“Mas aku buatkan wedang jahe panas. Biar segar.”Aku diam saja.“Tadi pagi mas belum sarapan. Apa mas sudah makan tadi siang?”Aku merasa rasa mulas dan mual dalam perutku tidak bisa kutahan. Dengan cepat aku berlari kekamar mandi. Dan aku muntah disana. Raihana mengejar dan memijitnya pundak dan tengkukku seperti yang dilakukan ibu.“Mas masuk angin. Biasanya kalau masuk angin diobati pakai apa mas, pakai balsam, minyak kayu putih atau pakiai jamu?”tanya Raihana sambil menuntunku kekamar.“Mas jangan diam saja dong. Aku kan tidak tahu apa yang harus aku lakukan untuk membantu mas.”“Baisanya dikerokin.” Lirihku“Kalau begitu kaos mas dilepas ya. Biar hana kerokin.” Sahut Raihana sambil tangannya melepaskan kaosku. Aku seperti anak kecil yang dimanja ibunya. Raihan dengan sabar mengerokin punggungku dengan sentuhan yang halus. Setelah selesai dikerokin, Raihana membawa satu mengkok bubur kacang hijau panas.“Biasanya dalam keadaan meriang makan nasi itu tidak selera. Kebetulan hana buat bubur kacang hijau. Makanlah mas untuk mengisi perut biar segara pulih.”Aku menyantap bubur kacang hijau itu dengan lahap. Lalu merebahkan diri ditempat ditidur, menelusup dibawah hangatnya selimut. Kenyamanan mulai menjalar keseluruh tubuhku. Raihana duduk dikursi tak jauh dariku. Ia khusuk mengulang hafalan alqurannya. Di luar hujan deras. Suara guntur menggelegar dan petir menyambar-nyambar. Aku memperhatikan wajah Raihana . aku jadi kembali sedih. Wajah yang cukup manis tapi tidak semanis dan seindah gadis-gadis lembah sungai Nil. Tak lama kemudian aku tertidur dengan sendirinya. Dalam tidur aku bertemu Ratu Cleopatra pada suatu pagi yang cerah di pantai Cleopatra, Alexandria. Ia mengundangku makan malam diistananya.” Aku punya keponakan cantik namanya mona zaki. Maukah kau berkenalan dengan?” kata Ratu Cleopatra yang membuat hatiku berbunga-bunga luar biasa.“Mona zaki, aktris belia yang sedang naik daun itu?”tanyaku.“Ya. Datanglah nanti malam pukul delapan tepat. Terlambat satu menit saja kau akan kehilangan kesempatan untuk menyuntingnya?”“Menyuntingnya?”“Ya. Dia meminta padaku untuk mencarikan pengeran yang cocok untukya. Aku melihatmu cocok. Tapi aku ingin tahu komitmen dan tangggung jawabmu. Jika aku datang terlambat maka kau bukan orang yang bisa bertanggung jawab. Apa kau tidak mau menyuntingnya?”“Mau, tapi..”“Tapi kenapa?”“Dia tidak pakai jilbab.”“Asal kau mau semua bisa diatur.”“Baiklah saya akan datang.”“Ingat jam delapan tepat!”“Jangan kuatir.” To be continue
Posted on: Mon, 29 Jul 2013 12:29:55 +0000

Recently Viewed Topics




© 2015