FAQ: SSEPUTAR PILKADA . Supaya memudahkan, akan saya tulis - TopicsExpress



          

FAQ: SSEPUTAR PILKADA . Supaya memudahkan, akan saya tulis pengalaman di artikel ini berdasarkan format tanya jawab (FAQ). Meskipun tidak semuanya bisa tercakup di dalamya. Apakah strategi kampanye pemenangan di tempat lain bisa diadopsi ke lain daerah? Tidak bisa. Bahkan di tempat yang sama dalam waktu yang berbeda, misalnya terjadi dua putaran, tidak bisa menggunakan strategi dan taktik serupa. Namun, sering terjadi kandidat, konsultan dan tim malas berpikir dan mencoba menerapkan strategi dan taktik yang sama. Jikapun, kemudian menang lebih pada keberuntungan. Karena rival terlalu naif. Maksudnya Naif? Acapkali kandiat atau tim berpikir tentang dirinya sendiri. Menganggap remeh rivalnya. Seolah yang bertarung hanya dirinya sendiri. Tidak memperhitungkan taktik yang dipergunakan rival. Apakah sama Rival dengan kandidat lain sebagai Kontestan? Pertarungan yang sebaiknya adalah face to face. Walaupun di semua Pilkada hampir terdapat lebih dari dua kontestan. Tapi, tim haru memilih satu diantaranya sebagai rival. Sehingga persaingan akan lebih fokus, dan tidak memperluas “musuh” menjadi lebih banyak. Akan tetapi penentuan rival bisa berubah seiring perjalanan waktu. Apakah Partai Politik pengusung mempengaruhi Kemenangan? Secara umum Tidak. Hanya sebagian kecil wilayah (provinsi, kabupaten/kota) partai politik punya konstituens yang loyal dan mampu digerakan untuk mendukung calon atau kader yang diusung. Bisa diambil contoh Pilgub Jawa Tengah dan Pilgub Bali, yang sering dikatakan sebagai basis konstituens loyal dari PDIP. Jika begitu, tokoh atau figur yang menentukan kemenangan? Ya, tetapi tidak mutlak atau satu-satunya faktor. Sebagus apapun “barang” yang akan dijual, jika cara menjualnya asal-asalan, pasti akan tidak laku juga. Jadi strategi pemasaran yang turut menentukan. Apakah berarti calon yang dikenal baik, punya integritas dan kapabiltas belum tentu menang? Begitulah kenyataannya. Karena Pilkada bukan mau memilih nabi tapi memilih kepala daerah, atau kepemimpinan politik. Sudah banyak buktinya, calon menang yang terindikasi korupsi, dan preman bisa mengalahkan calon yang pintar dan jujur. Artinya masyarakat kita memang belum cerdas memilih pemimpin? Bukan masyarakat yang tidak cerdas, tapi konsultan atau tim yang tidak cerdas membaca tanda-tanda zaman. Pilihan masyarakat atas pemimpinnya selalu berubah dari waktu ke waktu. Bukan hanya di Indonesia, hal ini juga terjadi di seluruh dunia. Dahulu, orang2 Eropa mengejek bangsa Amerika, saat Ronald Reagen (bintang film cowboy) bisa terpilih jadi Presiden. Tapi itulah, kebutuhan masyarakat akan figur pemimpinnya saat itu. Bagaimana kita bisa mengetahui profil pemimpin yg dibutuhkan masyarakat? Survey bisa dijadikan tolok ukurnya. Tanpa harus menyebut nama-nama orang di dalamnya. Misalnya tentang ciri pemimpin yg diharapkan. Apakah seorang yang tegas, jujur, taat beragama, kaya raya dsb. Lalu apakah ciri itu ada dalam diri calon yang akan diusung. Termasuk juga masalah suku, agama dan gender. Satu contoh, di luar pulau jawa dimana budaya patriaki masih begitu kuat, sebaik apapun calon kepala daerah perempuan, sulit untuk memenangkan pertarungan. Atau suku jawa yang cukup mayoritas di Sumatera Utara dan Lampung, mempengaruhi ikatan primordialisme dengan calon yang akan diusung. Kalau begitu masyarakat kita memang belum “melek politik”? Kita bisa uji, ajukankanlah calon Presiden Amerika akan datang yang beragama Islam. Dia jujur, cerdas dan demokratis. Apakah bisa menang ? Itu bukan berarti masyarakat Amerika tidak melek politik. Begitupun dengan masyarakat kita. Sulit calon Presiden yang bukan orang Jawa ditengah mayoritas suku Jawa. Ikatan primordial masih jadi pilihan. Tidak ada yang salah atas preferensi itu. Seorang calon Bupati, yang punya rumpun keluarga yang besar bisa peluang menang besar. Begitu juga dengan urusan silsilah keluarga yang masih diyakini oleh masyarakat di pedesaan, keturunan raja A atau keurunan Wali B. Dalam politik, disebut kampanye mitologisasi. Di daerah basis nahdiyin yang kuat, seorang profesor lulusan Inggris yang baik, masih kalah dengan seorang ulama yang baik dalam pencalonan Pilkada. Kenapa calon Independen selalu kalah dalam Pikada? Hampir mayoritas calon independen tidak punya keterkaitan dengan parpol sebelumnya. Sehingga ketika tidak mendapat partai, lalu mengubah haluan menjadi calon independen. Jadi pilihan menjadi independen, bukan pilihan sebelumnya. Kedua, calon independen tidak punya cukup uang untuk kampanye. Sementara figur ini sebelumnya tidak populer di mata masyarakat. Untuk menaikan popularitas itu butuh biaya yang tidak sedikit. Sering orang mengatakan, figur itu populer karena liputan media. Ya, itu namanya tokoh media. Bukan figur yang pernah bersentuhan langsung dengan masyarakat. Ketiga, strategi pemenangan yang sering keliru. Diantaranya, pengumpulan KTP dukungan, hanya berdasarkan pertimbangan kuantitatif. Terpenuhinya jumlah KTP saja. Tanpa memperhatikan, dukungan nyata dan kualitatif. Apakah Faktor Uang penentu Kemenangan? Tidak. Uang bukan penentu. Strategi yang menentukan kemenangan. Punya banyak uang, belum bisa dipastikan menang. Namun, tidak punya uang sudah bisa dipastikan akan kalah. Misalnya, salah satu pengeluarannya untuk membayar saksi di semua TPS. Saat ini, tidak ada saksi gratis. Dari pelatihan saksi, penyebaran saksi, pengumpulan C1 sampai rekapitulasi hasil suara, semua butuh ongkos. Dan itu bukan uang sedikit. Sebaliknya, calon yang hanya percaya dengan tindakan “money politic” tanpa menjalankan strategi kampanye dengan tepat, niscaya akan membuang garam di laut: Uang diambil, pilih calon yang lain. Tim seperti apa yang harus dibentuk? Hal pertama yang harus dirumuskan strateginya. Lalu diturunkan dalam sistem organisasi. Akan jelas siapa mengerjakan apa?. Kepala pangkalan tukang ojek, itu juga tim. Juru ketik di sekretariatan, itu juga tim. Pengacara, wartawan, saksi, politisi partai semua juga bisa masuk ke dalam tim. Untuk bagi-bagi brosur ke rumah2 warga, bisa menggunakan tim partai, bisa juga menggunakan SPG yang disewa harian. Tetapi, untuk menarik dukungan lebih tepat memilih imam mesjid, kepala pasar, ketua gang motor, sampai bidan desa. Apakah harus ada tenaga profesional masuk ke dalam tim? Sebaiknya begitu. Meskipun tenaga profesional tidak melulu berhubungan dengan uang. Jika punya adik yang memang pengacara, masa membantu kakaknya maju jadi Bupati, minta bayaran juga. Tugasnya ya meliputi urusan hukum. Dari proses pencalonan di KPU, pelaporan pelanggaran ke Panwas sampai membuat legal opinion di media massa. Termasuk briefing kepada saksi tentang hak-hak saksi menurut UU. Demikian juga bidang-bidang pendukung (supporting) lainnya yang membutuhkan tenaga profesional di dalam tim. Lalu dimana peran Tim partai? Biasanya perannya tim partai masuk pada masa kampanye untuk mobilisasi. Mendatangkan jurkam nasional, salah satu bentuk tugasnya. Membangun komunikasi politik dengan parpol lain sebagai kontestan. Bahkan menjadi juru bicara tim, diserahkan kepada orang partai. Yang sering bermasalah tugas mencari dukungan di satu wilayah yang sama (kecamatan, desa, RT/RW) yang bertabrakan dengan tim keluarga, tim ormas atau tim lain. Sama-sama mengklaim punya masa dukungan. Peleburan ke dalam satu tim tunggal untuk wilayah yang sama, bukan perkara yang mudah. Apakah ada Tim Tertutup? Hampir di semua Pilkada, selalu ada tim tertutup. Biasanya untuk calon incumbent. PNS harus netral, begitu seharusnya. Tetapi sudah jadi rahasia umum, tidak mungkin PNS bersikap netral terutama yang berambisi menjadi Kadis kalau calon dia menang. Para kordinator PNS itu akan bersifat tertutup. Artinya hanya kandidat atau beberapa orang yang mengetahuinya. Termasuk tim yang memang ditugaskan masuk ke tim lawan. Untuk mencari dan mengumpulkan informasi tim lawan. Juga bersifat tertutup. Ada juga tim yang bertugas mengumpulkan atau mencari dana, juga bersifat tertutup.
Posted on: Thu, 27 Jun 2013 10:01:39 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015