Hikmah Mobil Mewah, Antara Harta dan Keimanan SAHABAT, apa kalian - TopicsExpress



          

Hikmah Mobil Mewah, Antara Harta dan Keimanan SAHABAT, apa kalian punya mobil mewah seharga miliaran? Atau mungkin kenal dekat dengan orang yang memilikinya? Cobalah kalian numpang naik mobil mewahnya kemana saja. Lihatlah bagaimana dia membanggakan mobil mewahnya. Lihat juga bagaimana dia memperlakukan mobil mewahnya itu. Saya yakin, di matanya hanya mobil mewah itu yang berharga, meskipun sikap ini tidak dimiliki semua pemilik mobil mewah. Saat mobil mewah itu menyerempet seorang pengendara sepeda hingga terjatuh, mungkin yang pertama kali dilihat oleh teman anda adalah bagaimana kondisi mobil mewahnya. Dengan khawatir dia bertanya dalam hati, apakah ada kerusakan yang parah? Apakah ada yang lecet sedikit saja? Dia tidak peduli dengan pengendara sepeda yang terjatuh akibat ulahnya. Baginya, sesuatu itu disebut berharga jika memang harganya mahal. Ironisnya, bagi dia, mobil mewah itu lebih berharga daripada fisik pengendara sepeda, apalagi sepedanya. *** Sahabat, inilah sikap salah kaprah dari sebagian besar manusia di zaman sekarang. Mereka lebih mementingkan dan mengagungkan harta kekayaan daripada keimanan. Padagal keimanan adalah harta paling berharga yang akan selalu mereka bawa dari kuburan hingga padang masyhar nanti. Bandingkanlah sikap pemilik mobil mewah tadi dengan para nabi dan para sahabat Nabi Muhammad saw. di masa lalu. Pada masa lalu para nabi begitu cemas dengan keimanan keturunannya daripada warisan harta. Tidak heran jika para nabi sampai mendoakan keimanan bagi keturunannya kelak. Allah swt. berfirman, “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan pondasi Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa), ‘Ya Tuhan kami, terimalah (amal) dari kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui. Ya Tuhan kami, jadikanlah kami orang yang berserah diri kepada-Mu, dan anak cucu kami (juga) umat yang berserah diri kepada-Mu dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara melakukan (ibadah) haji kami, dan terimalah tobat kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.’” (al-Baqarah: 127-128) Keimanan pulalah yang mendorong seorang buta untuk ikut berjihad bersama Rasulullah saw.. Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Zaid bin Tsabit, katanya, “Dahulu aku menjadi juru tulis Rasulullah. Pada waktu menuliskan surah Baraa`ah, aku sedang menaruh pena di telingaku ketika kami diperintahkan berperang. Rasulullah memperhatikan apa yang diturunkan kepadanya ketika tiba-tiba datang seorang buta, yang lalu bertanya, ‘Bagaimana dengan saya yang buta ini, wahai Rasulullah?’ Maka turunlah ayat, ‘Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah,...’” Keimanan pula yang mendorong Rasulullah saw. untuk selalu mendirikan shalat tahajud di malam hari. ‘Aisyah bercerita, “Suatu malam, ketika beliau tidur ber­sa­maku dan kulitnya sudah bersentuhan dengan kulitku, beliau berkata, ‘Ya ‘Aisyah, izinkan aku beribadah kepada Tuhanku.’ Aku berkata, ‘Sesungguhnya aku senang mera­pat denganmu, tetapi aku juga senang melihatmu beribadah kepada Tuhanmu.’ Beliau bangkit mengambil gharaba air, lalu ber­wudhu. Ketika berdiri shalat, kudengar beliau terisak-isak menangis hingga airmatanya mem­basahi janggut. Kemudian dia bersujud dan menangis hingga lantai pun basah oleh air ma­ta. Lalu dia berbaring dan menangis hingga datanglah Bilal untuk memberitahukan datang­nya waktu subuh. Bilal berkata, ‘Ya Rasulullah, kenapa engkau menangis pa­dahal Allah telah ampuni dosa-dosamu baik yang terdahulu maupun yang akan datang?’ Beliau menjawab, ‘Aku ingin menjadi hamba yang pandai bersyukur. Aku menangis karena malam tadi Allah telah turunkan ayat (Ali Imran: 190) kepadaku, ‘Sesung­guhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.’’ Kemudian Nabi ber­sabda, ‘Celakalah orang yang membaca ayat ini namun tidak merenungkannya.’” Keimanan pula yang sangat berharga di hati Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Diriwayatkan bahwa Khalifah Umar bin Abdul Aziz wafat dengan meninggalkan delapan anak. Menjelang wafatnya, orang-orang di dekatnya bertanya, “Wahai Umar, apa yang kamu tinggalkan untuk anak-anakmu?” Umar menjawab, “Saya meninggalkan jaminan agar mereka senantiasa bertakwa kepada Allah. Jika mereka termasuk orang-orang yang saleh, maka Allah akan menangani orang-orang yang saleh. Tetapi, jika mereka tidak termasuk orang-orang yang saleh, maka ketahuilah bahwa saya tidak pernah memberikan pelajaran kepada mereka untuk berbuat maksiar kepada Allah.” Kemudian Umar hanya memberikan bekal 12 dirham perak kepada masing-masing anaknya. Sementara itu, Khalifah Hisyam bin Abdul Malik memberikan bekal 100.000 dinar emas kepada masing-masing anaknya. 12 tahun kemudian anak-anak Khalifah Umar bin Abdul Aziz menjadi pelopor untuk senantiasa istiqamah berjuang di jalan Allah, suka berinfak, dan suka bersedekah karena harta benda mereka yang melimpah ruah. Sementara itu, anak-anak Khalifah Hisyam bin Abdul Malik berdiri di depan pintu masuk Masjid Darussalam pada masa pemerintahan Khalifah Abu Ja’far al-Manshur untuk mengemis belas kasihan kepada hamba-hamba Allah. Demikian perbedaan generasi kita dengan generasi para sahabat dan tabiin yang saleh. Kita sibuk mencari harta, mereka sibuk beramal saleh. Kita sibuk mengumpulkan harta, mereka sibuk bersedekah. Kita mengkhawatirkan kehidupan saat ini, mereka sibuk mempersiapkan bekal untuk kehidupan sesudah mati. Apakah kita tidak mau menjadi lebih baik seperti mereka?
Posted on: Sat, 06 Jul 2013 23:38:11 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015