JURNAL FB IMPULSE: SERI DEMOKRASI WC SANCAKA DAN POLITIKUS NIR - TopicsExpress



          

JURNAL FB IMPULSE: SERI DEMOKRASI WC SANCAKA DAN POLITIKUS NIR SISTEM: DEMOKRASI ITU BUDAYA! Gutomo Priyatmono Direktur IMPULSE WC Kereta Api Sancaka: Anak dari Sistem Bila ditanya seribu orang atau mungkin satu juta orang pernah masuk WC atau toilet-lah biar lebih halus, atau dapat juga kakus kereta Sancaka dengan tujuan Surabaya. Kereta ini populer namun juga sangat terkenal dengan lomba “ngempet” para penumpangnya untuk betah-betahan tidak buang hajat, kecil ataupun besar. Sudah merupakan rahasia umum bahwa ruang-ruang publik khususnya untuk kepentingan yang sangat privat seperti disebutkan di atas tidak pernah sesuai harapan ke-publik-an. Kotor, bau, jorok, tidak ada sabun pembersih, tidak nyaman, tidak ada pengharum dan banyak lagi umpatan tentang hal tersebut. Kereta api sebagai transport publik muncul sebagai proses pemahaman masyarakat atas kebutuhan mereka untuk memudahkan bergerak dari satu titik ke titik lainnya dengan beragam kepentingan. Setiap anggota masyarakat mempunyai kepentingan, termasuk untuk menjaga agar moda transportasi publik tersebut efektif dan efisien yang mencirikan masyarakat yang memahami kebutuhan transpotasi yang lebih cepat dari kereta kuda, sekaligus ciri dari masyarakat modern. Modernitas adalah rasionalitas yang mulai tumbuh pesat abad ke-20, dimana industrialisasi menemukan tempat untuk mengkokohkan dirinya sebagai “diligent activity directed to some purpose” bahwa industri dan masyarakatnya memahami hal ini bukan sebagai pabrik, dasi, jas, sepatu mengkilap dan sebagainya yang berbentuk fisik tetapi sistem ide atau budaya. Masyarakat Eropa paham benar tentang hal ini bahwa kereta api adalah hal yang diadakan karena tuntutan sehingga kepentingan atas kereta api harus sistemik, kepentingan yang bermacam-macam atas kereta api dari berbagai lapisan masyarat harus pula mengikuti sistem agar kereta api berfungsi untuk melayani masyarakat umum atau publik. Publik sadar bahwa tanpa sarana yang tersistematisasi dengan benar, ego masing-masing anggota masyarakat tidak akan terpenuhi, oleh karena itu mutlak harus mengalahkan ego masing-masing tersebut untuk disistematisasi. Sistem akan mengakibatkan pengguna kereta api mengikuti aturan yang ada dalam sistem, reward dan punishment sangat jelas, sehingga menjagi kepentingan publik. Salah satunya menjaga toilet atau kakus tetap wangi dan nyaman dan nyaman juga berkereta yang berujung pada kenyamanan bersama. Ternyata “sekecil” kakus kereta api dibutuhkan sistem yang merupakan bagian dari anak sistem yang besar yaitu sistem perkeretaapian secara nasional, lalu untuk Sancaka yang harus dibenahi adalah sistem, dimana sistem yang merupakan hasil hubungan sosial dapat menentukan basgaimana menjaga kepentingan publik, kepentingan bersama, tidak seperti saat ini, siapapun harus “ngempet” untuk buang hajat kecil atau besar selama 5-6 jam perjalanan ke Surabaya sama sekali sebuah pengamanan buruk. Hal ini serupa dengan perpolitikan kita saat ini yang tidak lain dan tidak bukan berwajah WC Kereta Api Sancaka jurusan Surabaya, kotor, jorok, dan bau karena tidak ada sistem yang menjaga kepentingan bersama, agar “kereta api” partai berjalan sesuai harapan publik, yang terjadi justru partai politik memanfaatkan publik yang juga apatis dengan cara dapat disuap lewat “amplop” dalam serangan fajar. Beberapa hal yang patut dicatat adalah bahwa masyarakat memerlukan aturan yang membuat keteraturan kemasyarakatan apabila tidak akan terjadi pertarungan manusia melawan manusia lain atau bellum omnium contra omnes (lihat Hobbes, dalam MaGee, 2007). Ketakutan pada ketidakaturan tersebut melahirkan sistem yang mengatur relasi antar individu dalam masyarakat, menjadi persolan adalah ketika tidak ada pemahaman terhadap hal ini, dan sayangnya dalam konteks Indonesia, partai politik tidak tumbuh secara generic melainkan sebuah imported knowledge, pengetahuan yang diimport dari barat bersama paham demokrasi. Akibat dari hal ini yang disuguhkan ditengah masyarakat adalah bagaimana memanipulasi partai dan demokrasi untuk kepentingan individu dan golongan. Akibat lanjutnya adalah kebingungan tentang bagaimana sistem peneguhan kekuasaan tercipta, partai ppolitik berlomba-lomba mengakali untuk kepentingan mereka bukan kepentingan bersama, kepentingan umum terabaikan. Hal ini dibuktikan dengan kerja KPU yang carut-marut akibat dari tidak adanya pemahaman tentang sistem. Sangkan Paran Demokrasi “Kekuasaan diperoleh bukan dari Tuhan, bukan juga dari otoritas leluhur atau otoritas yang lebih tinggi mana pun, melainkan dari rakyat sendiri (persemakmuran). (Thomas Hobbes, 1588-1679) Demokrasi lahir dalam sebuah permasalahan besar untuk mengatur kepentingan kelompok-kelompok masyarakat beserta sistem ide mereka dengan Negara. Demokrasi yang berarti rule by the people (Lihat Jary dan Jary, 1991) tumbuh dalam menghadapi persolan kontestasi kepentingan di Negara-negara kota di Yunani . Kontestasi kelompok masyarakat dengan puluhan kepentingan mereka yang tidak terlepas dari sistem ide yang merupakan identitas kelompok dan kemudian dapat dikatakan sebagai ideologii bila mengkristal sebagai sistem nilai dapat merugikan masyarakat umum. Demokrasi justru akan berbalik arah sebagai penghancur publik secara luas bila kontestasi kepentingan kelompok dibiarkan begitu saja, dan kemudian Negara tempat publik memiliki identitas politik akan menuju Negara gagal. Oleh karena itu pertama-tama harus diketahui benar apa itu Negara. Negara atau state atau stato dalam bahasa italia, etat dalam bahasa Perancis dan staat dalam bahasa German. Menurut salah satu politisi dari jaman ketika Romawi menjadi republik, state berhubungan dengan “status of reipublicae” atau “condition of public matter” . Pada era modern state mengacu pada pengertian “an organized political community under one government”. (lihat Giddens, 2001). Pertanyaanya mengapa organisasi ? karena dalam organisasi terdapat relasi antar individu-individu yang disebut ke-sosial-an. Relasi sosial menentukan bentuknya yang merupakan unsur-unsur yang berhebungan membentuk sistem, itulah organisasi. Thomas Hobbes menyatakan dengan jelas dalam bukunya Leviathan bahwa setiap individu mempunyai kebebasan, kebebasan yang tidak terbatas, akan menjadi terbatas bila ada individu yang lain, namun bagaimana batas kebebasan yang dapat dilakukan dan yang tidak dapat dilakukan dapat ditentukan? Tidak lain adalah kemauan dari ke-sosial-an yang terbentuk dari individu-individu tersebut untuk memberikan sebagain dari kebebasannya kepada ke-sosial-an bersama, ke-sosial-an bersama itulah bentuk yang disebut Hobbes sebagai Leviathan. Bentuk yang mengatur kebebasan seseorang agar tidak mempunyai ketakutan akan dirampasnya kebebasannya ketika bersanding dengan individu lain yang juga mempunyai kebebasan. Hal ini kemudian disempurnakan oleh John Locke pada abad ke 17 yang mengakui kebebasan individu yang diatur oleh sistem ke-sosial-an yang sekaligus merupakan awal dari liberalistic. Dimana ke-sosial-an menjamin kebebasan individu sekaligus juga membatasi, terlihat bahwa Negara ada karena segenap relasi antar individu yang menentukan sebuah sistem tentang bagaimana ke-sosial-an tersebut berlangsung dan akan terus berlangsung. Pemaparan di atas jelas menyatakan bahwa Negara adalah organisasi politik, karena dalam ke-sosial-an yang membentuk Negara terdapat sekian banyak kepentingan, namun kemudian kepentingan-kepentingan dari ke-sosial-an tersebut kadang mengkerucut pada suatu arah tertentu yang menentukan tipe negaranya, seperti sovereign state , federal state, union state dan lain sebagainya. Tipe organisasi Negara mengindikasikan bentuk pemerintahan yang mengatur Negara tersebut, seperti Negara teokrasi, Negara monarki, dan Negara demokrasi contohnya. Langsung kepada bahasan Negara demokrasi, bahwa di atas tadi disebutkan tentang demokrasi sebagai sebuah sistem ide yang menunjukan bahwa demokrasi adalah budaya. Hal ini tidak lepas dari realitas budaya yang pernah dan tengah ada dalam masyarakat. Eropa membutuhkan waktu lebih dari 700 tahun sejak dari Perang Salib untuk menemukan demokrasi. Justru demokrasi muncul ditanah kolonial, bagian dari perpanjangan wilayah Eropa, atau Inggris dan Perancis tetapatnya. Demokrasi muncul di Boston, meski cikal bakalnya mulai menyeruak sejak Magna Charta 1215 ketika Raja John dipaksa mengakui hak-hak dari orang bebas atau freeman. Dan terus berlanjut dengan terbgentuknya parlemen di Inggris yang terdiri dari dua kamar atau bi-kameral, House of Lord dan House of Common, di Boston, apa yang terjadi dengan bentuk parlemen ini diadopsi dengan melibatkan masyarakat koloni pada pertengahan abad ke-18 ketika Inggris memaksakan pajak pada masyarakat koloni yang mencetuskan resistensi dengan slogan “no taxation without representatives”, tidak ada pajak tanpa perwakilan, maka mulai saat itu perwakilan masyarakat koloni dapat menjadi anggota parlemen di daerah koloni. Pada tahun 1775 ketika Thomas Jefferson menuliskan Declaration of Independence sangat ditekankan dasar dari demokrasi sebagai budaya yang dituliskan sebagai berikut “all men created equal” siapaun berhak menjadi pemimpin tidak peduli siapapun individu itu. Inilah dasar dari budaya atau sistem ide dari demokrasi, yang merupakan perlawanan atas bentuk monopoli kekuasaan oleh kelompok yang dapat menentukan Negara, seperti dalam slogan Raja Louis ke-14, “etat cest moi” atau Negara adalah saya! Demokrasi menolak kekuasaan kelompok dengan kepentingan yang memonopoli dan memanipulasi rakyat dan sumber dayanya hal ini dibuktikan dengan terpilihnya George Washington sebagai presiden dari 13 negara bagian yang dipilih dan kemudian bergulir pada pemilihan Thomas Jefferson dan selanjutnya. Tradisi feodalistik masih kuat dengan terpilihnya pemimpin dari kelompok elit di Amerika Serikat ketika itu, namun hal itu juga mengawali daur ulang sistem ide feodalistik menjadi sistem ide berdasarkan all men created equal yang menjamin setiap orang mempunyai hak untuk dipilih dan menjadi pemimpin, tidak peduli kelompok asal, daerah asal, status sosial dan agamanya . Namun patut dicatat bahwa budaya atau sistem ide tidak terbentuk dalam satu hari, system ide adalah proses atau yang dikatakan Goodenough sebagai process of learning, atau proses belajar . Demokrasi pasca kemeredekaan Amerika Serikat adalah embrio demokrasi modern, banyak cacat, banyak kelemahan, banyak bau di sana-sini, jorok, dan menyingkirkan manusia non-berkulit putih. Namun harus juga dicatat bahwa dasar all men created equal tersebut membuahkan sistem demokrasi yang egaliter, kelompok-kelompok yang hendak berkontestasi harus mematuhi sistem tersebut, hingga Obama terpilih sebagai orang kulit hitam pertama yang menjadi presiden Amerika Serikat, demokrasi di sana terus menyempurnakan sistem. Sistem harus terus disempurnakan diakibatkan pemahaman bahwa ketika sistem tidak berjalan akan menghasilkan daur ulan tidak berlangsung dan menghasilkan bau busuk, bau busuk menghasilkan kotoran, kotoran menghasilkan penyakit dan penyakit membunuh masyarakat, dan masyarakat yang mati menuju pada kehancuran total Negara, paham kah ? Realitas Demokrasi Kita: Kok Bau Yaaa… Kasus Nazaruddin, kasus surat palsu Mahkamah Konstitusi, Kasus ratusan money politic, Kasus KPU yang gagal mengawal pemilu, dan banyak lagi kasus yang membuka borok demokrasi di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Negara perlu ditekankan kata tersebut, karena banyak kerancuan dalam memahami Negara, sehingga di Indonesia kalau boleh sedikit melebihkan yang terjadi saat ini tidak lebih dan tidak kurang adalah “etat cest moi” Negara adalah saya, tentu klaim ini diperoleh dengan jalur demokrasi, ironis memang, namun negeri ini penuh dengan ironi, kalau tidak begitu bukan Indonesia, benarkan ? Lalu dari manakah segala kekacauan ini dimulai ? Kekacauan demokrasi kita yang mengakibatkan bau busuk luar biasa ini, berlahan-lahan tengah menimbulkan penyakit dalam masyarakat, bila tidak sigap dan cepat maka akan membunuh masyarakat dan Negara akan gagal, oleh karena itu harus dicari ujung pangkalnya. Tidak lain dan tidak bukan adalah pada pemahaman atas demokrasi itu sendiri baik sebagai pengetahuan yang berujuang sebagai sebuah sistem dalam praktek kenegaraan. Secara singkat sejarah dan epistemology demokrasi secara singkat telah dipaparkan di atas, bahwa demokrasi lahir dari kebutuhan atas sistem untuk meneguhkan kekuasaan yang diberi mandat menjalankan Negara. Kebutuhan akan system tersebut membutuhkan serangkain pembelajaran yang panjang, sehingga di awal disebut sebagai sistem ide atau budaya, bahwa sistem ide atau budaya melahirkan pemikiran tentang cara meneguhkan kekuasaan yang merupakan representasi dari sebagain besar rakyat dan sebagain besar kepentingan rakyat dalam organisasi politik bernama Negara. Dua tahun lalu terlibat dalam salah satu penelitian permukaan (light research) tentang pemilihan kepala desa di Kecamatan Pakem, Sleman. Luar biasa! Itu kata yang mampu menggambarkan realitas di sana, dua tahun lalu kita sudah dalam milinea baru, abad ke-21, abad yang didahului serangkain perjalanan umat manusia, mulai dari pembelahan atom, penemuan bom atom, pembangunan reaktor nuklir, memetakan tata surya, kloning, penemuan sel puncak, inovasi mesin penghitung menjadi komputer, hingga perjalanan manusia mampu ber-chatting ria, teleconference, mengirim surat elektonik, bahkan arisan melalui facebook dan sebentar lagi akan mengeksplorasi Mars. Bayangkan dengan semua itu, pemilihan kepala desa di salah satu desa di Kecamatan Pakem, 17 kilo meter dari Yogya, memadukan unsur modernitas dengan unsur mistis, dimana telah disebutkan di atas bahwa demokrasi adalah alat masyarakat modern untuk menentukan kekuasaan melalui jalan yang efektif dan efisien yang tidak lain adalah langkah rasionalisasi ! Namun realitasnya Gedubraak…pecah ndase dab! Seorang calon kepala desa ,dengan gelas sarjana, mulai saat pertama mencalonkan diwajibkan oleh para pendukungnya untuk memakai kotang ontoseno, seperti rompi dengan tulisan arab yang berisikan doa dan mantra untuk kemenangan dan dijauhkan dari satet pihak lawan. Hal ini membuktikan bahwa demokrasi belum dapat dilihat sebagi sistem ide atas modernisasi dengan rasionalisasi sebagai pilarnya. Demokrasi pada aras ini disalahpahami sebagai sekedar alat untuk kontestasi kekuasaan. Kontestasi pelilihan kepala desa tersebut menjadi kontestasi dukun, mantra-mantra, ayat-ayat, sesajen, dicampur dengan serangkain doa yang dipadukan dengan ciri khas relasi manusia timur yaitu patron-client. Beradulah patron-patron tersebut melalui pengaruh kekayaan, perjamuan makan, pembagian sembako, pembagian kaos, pembagian jaket dan pembagian amplop. Para client berkelompok mendapat banyak seperti disebutkan tadi, tetapi sekaligus dibutakan terhadap realtas terhadap kapasitas intelektualitas patron yang didukungnya. Kata-kata yang keluar dari mulut mereka adalah “Nek ora iki mati wae” misalnya, yang menunjukkan kebutaan atas demokrasi yang menghendaki rasiuonalitas bukan fanatisme konyol semacam ini. Inilah kegagalan kita menghapus feodalistik, sekaligus kegagalan pembangunan manusia Indonesia sebagai sosok dengan kemampuan intelektualitas, semuanya serba baku dan beku. Inilah kesalahan terhadap demokrasi yang terus berujung pada reproduksi system feodalistik yang dibungkus dengan sistem demokrasi. Oleh karena itu kasus besar yang begitu berbau busuk soal skandal Nazaruddin sebagai salah pejabat struktural di Partai Demokrat, partai yang berkauasa adalah bukti dari kegagalan demokrasi sebagai sebuah sistem untuk peneguhan kekuasaan yang mewakili rakyat dan mewakili kepentingan rakyat. Dapat dilihat kasus tersebut tidak lain adalah menggambarkan masih kuatnya sistem ide feodalistik yang dibungkus dalam sistem ide demokrasi. Kekuasaan yang diteguhkan bukan saja mengkhianati pilihan rakyat tetapi sekaligus membunuh rakyat, mengapa demikian, karena sistem telah gagal meneguhkan kekuasaan yang diwakili oleh orang-orang yang layak secara intelektual sebagai wakil dari kepentingan rakyat. Inilah wujud dari sistem demokrasi yang dicangkokan ddalam masyarakat yang berbudaya feodalistik. Kalahnya Rakyat dalam Demokrasi: Sebuah Kesimpulan Menutup pemikiran ini teringat ucapan Messi ketika Barcelonan menjadi juara klub Eropa, “Bukan saya tetapi kita, kita adalah anak-anak dari sistem yang dilahirkan untuk bermain sistematis tidak bertumpu pada satu orang maupun sekelompok orang untuk memenangkan juara, karena juara adalah hal yang dapat diraih dari kecermaerlangan sistemis”. Ucapan brialian Messi harusnya menjadi perenungan pemerintah untuk menemukan formula sistem demokrasi yang sistematis mampu meneguhkan kekuasaan yang mendapat legitimasi rakyat dan bukan karena cara-cara represif, money politic, pemaksaan, pembodohon dan kebohongan. Hal ini harus diupayakan dengan oleh Negara apabila tidak ingin menjadi Negara gagal, karena saat ini yang menyeruak adalah partaiokrasi, padahal partai politik adalah organisasi politik yang dibentuk guna untuk mempengaruhi pemerintah dalam menjalankan Negara dengan cara perwakilan yang diwakili oleh wakil-wakil partai yang ada dalam parlemen. Partaiokrasi akan merusak arti partai di atas bila partai politik yang ada hanya dilihat sebagai cara menggapai kuasa dan kekayaan, partai akan menjadi tempat sampah, karena yang andil didalamnya adalah sampah yang terlempar dari sistem apapun yang ada, baik gagal menjadi PNS, gagal menjadi pengusaha, gagal sekolah, gagal menjadi agamawan, dan lain sebagainya. Partai menjadi seonggok “kereta yang bau dan jorok” karena orang salah memahami kereta, kereta hanya dilihat sebagai alat, nah sama kan ! Begitu juga partai disalahpahami menjadi alat, alat yang digunakan untuk memperbesar kuasa pribadi maupun kelompok, dan hal itu dilakukan dengan cara korupsi, manipulatif dan kadang penggunaan kekerasan. Seperti Messi di atas, sistem menjadi hal yang sangat penting, karena siapapun tidak dapat lepas dari sistem, meski sistem harus terus berubah untuk penyesuaian-penyesuaian, oleh karena itu sistem kepartaian harus dirubah untuk menghasilkan keanggotaan partai yang mempunyai kapasitas intelektual yang cukup ketika mewakili suara orang lain yang bersimpati pada ideologi partai tersebut.
Posted on: Fri, 18 Oct 2013 00:48:02 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015