Jangan Panggil Saya Agam (Kepingan Kisah Konflik Aceh) Oleh: - TopicsExpress



          

Jangan Panggil Saya Agam (Kepingan Kisah Konflik Aceh) Oleh: Rismanaceh | 14 January 2011 | 14:55 WIB Pak Man melihat ayahnya ditembak karena berusaha mencegah dan melindungi perempuan tempatan yang hendak diperkosa oleh prajurit….. _____ “Jangan lagi panggil saya Agam. Mulai saat ini panggil pakai nama lengkap saja. Muhammad Suragamanto. S-u-r-a-g-a-m-a-n-t-o. Kalian juga boleh panggil Sura saja. Man juga boleh. Atau Manto. Tolong, jangan lagi panggil saya, Agam.” Permintaan itu resmi disampaikan. Dihadapan orang ramai. Dirumahnya. Malam ini. Dan, orang-orangpun terdiam. Bingung. Aneh. Tapi tetap bisa memaklumi untuk akhirnya semakin menaruh hormat kepada sosok yang malam ini dipanggil Pak Man. Pak Man, atau yang dulu kerap dipanggil Teungku Agam Takengon memang salah satu anggota dari gerakan yang dulu oleh pemerintah pernah disebut Gerakan Pengacau Keamanan (GPK). Meski Pak Man hanya anggota biasa di dalam struktur sayap militer GAM ia sangat dihormati oleh rekan-rekannya. Pak Sur juga sosok yang disegani di kampungnya. Tidak semua orang kampung setuju dengan langkah Pak Man bergabung dalam gerakan perlawanan. Bahkan banyak diantara teman-temannya justru tidak setuju dengan GAM. Malah, banyak yang memilih bergabung dalam organisasi pembela tanah air dan bersama pasukan tentara melawan GAM. Anehnya, terhadap Pak Man tidak ada orang kampung yang berani memburunya. Dan Pak Man pun selalu selamat jika berada di kampungnya. Semua orang kampung tidak akan membuka rahasia keberadaan Pak Man kala sedang berada di kampung. Bahkan, sejumlah petinggi GAM yang pernah disembunyikan Pak Man dikampungnya juga selamat dan aman-aman saja. Kampungnya adalah tempat paling aman meski dikampungnya juga berada kantor pembela tanah air berada. Baru malam ini rahasia itu terungkap. Semuanya. Termasuk kenapa Pak Man menjadi anggota perlawanan dengan panggilan Teungku Agam. Rahasia juga tersibak lebih terang mengapa orang sekampung selalu melindunginya termasuk kala ia menyembunyikan beberapa petinggi GAM. Suasana betul-betul senyap kala ia berkisah tentang kakek neneknya yang dulu menjadi kepala rombongan bagi warga transmigrasi yang ditempatkan di wilayah yang kini menjadi kampung mereka. Kakek neneknyalah yang berhasil membangun jembatan silahturahmi dengan penduduk tempatan dan selalu menjadi penengah kala ada masalah. Suasana menjadi haru biru kala ia berkisah tentang riwayat ayahnya yang sempat ditentang oleh orang sekampung ibunya karena tidak setuju adanya perkawinan campuran. Bagi orang kampung ibunya, perempuan Aceh adalah “tanah marwah bangsa” tempat pahlawan Aceh bersemi. Tapi ikatan cinta ayah dan ibunyalah yang pada akhirnya meretas terjadinya pembauran antara pendatang dan orang tempatan. Kisah semakin menyedihkan persis kala Pak Man berkisah tentang tragedi yang dialami ayahnya. Kejadian yang terjadi di depan matanya itulah yang pada akhirnya membuat Pak Man memilih untuk menjadi anggota perlawanan. Pak Man melihat ayahnya ditembak karena berusaha mencegah dan melindungi perempuan tempatan yang hendak diperkosa oleh prajurit yang sedang mabuk. Perkosaan memang tidak terjadi tapi ayah Pak Man meregang nyawa di depan matanya dan akhirnya menghembuskan nafas terakhir dipangkuannya. Sebulan kemudian ibunya meninggal dunia akibat tak sanggup menanggung pilu atas kematian suami yang begitu dicintainya. Semua yang hadir menangis mendengar kisah itu. Kenangan pahit itu masih banyak diingat oleh orang kampung dari generasi tua. Dan itu pula yang membuat semua warga kampung bisa memaklumi pilihan perlawanan yang diambil Pak Man kala itu. Kali ini Pak Man berkisah tentang perlawanan-perlawanan yang dilakukannya. Semua perlawanan yang dilakukannya tidak pernah dilakukan di dalam kampungnya sendiri. Pak Man selalu melakukan gerilya di luar kampungnya. Pak Man juga berkisah kalau ia tidak pernah membunuh prajurit tentara. Ia sama sekali tidak kuasa untuk mencabut nyawa prajurit apalagi prajurit yang berasal dari Jawa meski kesempatan untuk itu selalu ada. Pak Man selalu tidak sanggup menarik pelatuk senjatanya. Ia merasa seperti akan menembak dirinya sendiri setiap kali ia siap menarik pelatuk senjata ditangannya. Akhirnya, ia lebih memilih menjadi prajurit GAM untuk tugas-tugas merusak konsentrasi serangan dan kepungan. Ia selalu berusaha membuat dua pasukan untuk tidak pernah bertemu agar tidak terjadi perang terbuka dan senantiasa mengecoh lawan untuk jauh dari kampung agar tidak timbul korban di pihak orang kampung. Satu-satunya “pertempuran” yang pernah ia lakukan adalah dengan orang yang dulu menembak ayahnya. Itupun “pertempuran” dengan tangan kosong. Meski ia bisa saja membunuh untuk balas dendam ia tidak tega. Ia teringat kalau ia bukan diri yang berhak untuk mencabut nyawa orang lain meskipun itu untuk kepentingan penegakan hukum nyawa di bayar nyawa. Jika tadi orang kampung yang menangis kala mendengar tragedi yang dialami oleh orangtua Pak Man maka kini justru Pak Mam yang menangis kala berkisah perlindungan yang diberikan oleh orang kampung kepadanya dan juga kepada orang- orang yang disembunyikan olehnya. “Andai saja saat itu kalian membocorkan keberadaan diriku dan teman seperjuanganku maka sungguh saat ini kita tidak bertemu lagi dan saya juga tidak bisa menikmati indahnya perdamaian ini. Terimakasih. Terimakasih. Terimakasih.” Suasana menjadi hening saat mereka menyaksikan Pak Mam menahan keharuan yang melanda ruang dadanya. “Sekarang, Aceh sudah damai. Jangan lagi panggil namaku Agam.” Diluar angin malam berhembus lembut seiring malam yang kian merangkak menuju kesunyian yang hening. Saleum
Posted on: Tue, 16 Jul 2013 18:40:56 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015