•{KASIH TAK SAMPAI}• "CerPen" Ini sad ending ya, kalo perlu - TopicsExpress



          

•{KASIH TAK SAMPAI}• "CerPen" Ini sad ending ya, kalo perlu siapin tissuenya wkwk :D Happy reading ya. --- Pertarungan basket itu berlangsung sangat meriah, ramai orang-orang meneriaki tim favoritnya. Tentu saja semua yang disitu menjerit dengan histeris ketika sebuah skor tinggi akan diraih tim favorit masing-masing, dan ketika sebuah bola memasuki ring pun teriakan-teriakan pun akan semakin mengeras. Belum lagi cheerleaders yang sedang mempersiapkan diri untuk ikut meramaikan suasana perlombaan basket antar sekolah tahun ini. Lapangan basket indoor telah dipadati orang. Aksi pertarungan antara SMA Jaya Bakti dan SMA Vancanity masih berlangsung ramai. Supporter SMA Vancanity berseru riuh rendah ketika skor jauh lebih tinggi daripada lawannya, pandangan para pemain pun tetap terfokus ke arah bola, sesekali mencoba bola dari tangan lawannya. Sesekali sebuah instruksi keluar dari sang kapten. Beberapa orang diantaranya telah bersimbah darah, lalu sebagian lagi mengelapnya dengan ujung kaus. Semuanya berlangsung ramai hingga bunyi peluit pertanda berakhirnya selesai itu berdecit, membuat mereka yang masih keasyikan bermain harus terpaksa berhenti. “Capek, Yo?” Ify cengengesan ketika sebuah pertanyaan berhasil terlontar ke arah laki-laki yang sedang mengelap keringatnya dengan sebuah tissue pemberian Ify. Aktivitasnya terhenti, lalu tissue itu terlempar dengan sembarang. “Tentu saja, loe pikir gue gak capek apa. Traktir dong, Fy?” Rio tersenyum jahil. Gigi-giginya menonjol dengan rapi ketika laki-laki itu menyerigai. Sementara itu di sampingnya masih ada seseorang yang juga ikut menertawakannya, ikut tersenyum dengan tatapan terfokus ke arah Rio. Dengan tangan kanan memegang sebuah bola basket dan tangan kirinya memegang pundak Rio, menyandarkannya karena merasa butuh tempat untuk menopang. Pertandingan kali ini begitu sulit untuk memasukkan skor tinggi dari lawan, apalagi mengingat lawannya yang badannya sangat kekar dan juga sangat tinggi. Tetapi semangat dan juga rasa percaya diri mampu menyaingi rasa kekhatiran itu. Ketakutan yang tadinya menjadi belenggu kini telah ditepis sudah, semuanya berakhir dengan keceriaan dan tanpa pernah ada dalam dugaan sebelumnya. Membuat bangga, tentu saja. Semua orang bersorak penuh kegirangan ketika peluit itu telah mendecit. Rio merasakan pundaknya telah ditepuk oleh seseorang di sampingnya, yang kini disadarinya bahwa orang itu sejak tadi hanya menjadi kacang kulit. Rio kira orang itu tidak mengikutinya. “Engg, Yo gue duluan ya,” Ucapnya mengajukan sebuah keputusan. Bukannya memberi izin atau tersenyum mempersilakan kepadanya, tetapi Rio malah menari tangannya. “Heh, gue gak izinin. Gue lupa kalo loe ngikutin gue, gue kira elo gak ngikutin gue, ya udah nih kenalin dulu. Dia sahabat gue namanya Alify Verrezy, dia blasteran Jerman-Indonesia, maklum aja namanya rada-rada mirip setan-setan di sinetron.” Ujar Rio dengan nada menggoda. Lalu beberapa detik selanjutnya Rio meringis kesakitan, Ify menginjak kakinya dengan tanpa perasaan dan sangat keras penuh penekanan. Sementara orang yang di sampingnya hanya tersenyum menatap kedua sahabat dari kecil yang masih membawa suasana happy untuk dirinya sendiri, kesannya benar-benar asyik untuk menghibur diri atau bahkan untuk dijadikan bahan tontonan pun sepertinya akan menghilangkan stressnya akibat rutinitas keseharian di rumahnya yang nyatanya seorang home broken. Tangannya mulai menyentuh betisnya yang mungil, mengangkatnya lalu menempatkannya jauh dari kakinya yang sepertinya mulai hilang rasa sakitnya. Rio mendongak lalu berkata, “Kenalin nih, Gabriel Lucato. Ayahnya kerja di perusahaan ternama di Bali dan ibunya membuka usaha butik untuk menghidupi dirinya sendiri, tapi sayangnya sekarang terasa jauh ya, Yel?” Tanyanya dengan nada sedih, membuat seseorang yang ditanya menunjukkan wajah murungnya. Sakit itu memang terasa nyata, sakit itu belum pernah menghapus bekasnya saat ini. Rasa yang sangat mendesak dalam hari-hari yang tak seharusnya menjadi seruntuian peristiwa yang terlihat suram. Pedih sebab sakit yang terasa cepat mengiris hatinya tanpa melihat situasi, semuanya karena waktu yang tak pernah tepat berpihak kepadanya. Seandainya sakit itu memang harus dirasakannya, lalu mengapa sakit itu datang saat semuanya benar-benar kacau? Aegrotare. Suasana malam yang menciptakan hening pun bahkan mampu menenggelamkannya dan ikut terpekur di dalamnya. Hanya sebuah skema hidup yang selamanya akan menjadi kenyataan untuk dirinya sendiri, tidak dengan yang lainnya yang masih merasakan keutuhan. Gabriel melirik ke arah Rio dengan wajah pucat, senyumannya terlepas dari bibirnya dan tergantikan dengan wajahnya yang berkaca-kaca, siap meluncurkan air matanya yang masih menggenang di matanya. Sangat panas. “Yo, loe gak perlu buka-buka lagi buku kehidupan tentang masa lalu gue, buku kehidupan gue yang dulu selalu ngebuat gue sakit, Yo. Loe pikir dengan cara lo ngumbar-ngumbar gitu gue bisa dapat perhatian lebih dari orang-orang di sekeliling gue? Enggak, kan? Gue sakit kalau setiap hari harus bertahan diatas rasa sakit ini,” Gabriel berkata dengan lirih, menggambarkan kepedihannya yang teramat dalam. “Gabriel, kenapa nangis?” Tanya Ify dengan tiba-tiba, dengan segera tangannya mengobrak-abrik tasnya kemudian mengambil beberapa tissue dan menghapus air mata itu dengan penuh perhatian. Sementara itu, Gabriel hanya tertegun untuk sementara. Seorang perempuan yang baru saja dikenalnya kini telah memberikannya arti pengertian yang terlihat seperti tidak dimiliki oleh perempuan lainnya, benar-benar peka terhadap perasaannya. Tentu saja bukan perasaan yang dapat dimainkan, perasaannya sendiri yang terkubur dalam lubang kepedihan, hingga sampai saat ini belum ada yang mampu mengangkatnya dari kesedihan itu sebab keutuhan dan kebersamaan yang tak pernah didapatkannya diam-diam seperti sebuah titik bayangan hitam. Tidak jauh dari Gabriel, Rio memperhatikan Ify yang menghapus sisa-sisa air mata itu dengan lembut. Bahkan dirinya pun tidak pernah mendapatkan perhatian yang lebih dari sahabatnya yang telah bertahun-bertahun menghabiskan kebersamaan dengan dirinya sendiri. Membuat dadanya terasa sesak, entah rasa apa itu. Rasa itu muncul dengan tiba-tiba, membuat Rio ingin sekali meninggalkan Ify yang sifatnya sangat autis, apalagi jika sampai dirinya menjadi sebuah obat nyamuk. But no problem, cause they also is my friend. Dengan pelan tangan Gabriel menyentuh tangan Ify yang masih sibuk bergerak menghapus sisa-sisa air matanya. “Cukup, terima kasih ya.” Gabriel menatap Ify lama, kemudian menurunkan tangan itu dan melepasnya secara halus. Ify mengangguk sambil tersenyum ramah. Ada sesuatu yang berbeda dari perempuan itu, pikir Gabriel. Sebelumnya tak pernah ada yang bisa mampu mencairkan masalahnya ketika semua cerita-cerita kehidupannya harus mengalir begitu saja dari sahabatnya. Sebisa mungkin Rio menetralkan perasaannya dan juga keadaannya ketika aksi yang terlihat romantis itu menjadi sesuatu yang sangat menusuk untuknya, suatu kejadian yang diam-diam menjelma menjadi sebuah jarum kepedihan hingga tertancap di dasar hati dan menusuknya hingga dalam. “Berasa jadi obat nyamuk gue,” Lalu disusulnya dengan deheman yang sangat keras.
Posted on: Thu, 05 Sep 2013 05:54:18 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015