KATA PENGANTAR Meskipun dalam penulisan ini mungkin terdapat - TopicsExpress



          

KATA PENGANTAR Meskipun dalam penulisan ini mungkin terdapat pandangan yang menentang dengan pandangan pembaca, penulis sama sekali tidak bermaksud mendorong pemakaian obat-obatan. Malah sebaliknya penulis berharap bahwa masyarakat bisa sadar dan menunjukkan semangat yang sama ketika teriak "anti-narkoba" terhadap jenis obat-obatan lain, termasuk obat sehari-hari. Semua jenis obat mempunyai potensi berbahaya, bukan hanya yang dilarang pemerintah. Penulis ingin membantu dalam menciptakan diskusi yang lebih terbuka untuk mencari cara terbaik untuk menangani masalah ini. Penulis menyadari bahwa terwujudnya laporan ini tak lepas dari bantuan dan kerjasama berbagai pihak. ABSTRAKSI Akhir-akhir ini "masalah narkoba" semakin ramai dibicarakan, dan semakin banyak munculnya gerakan anti-narkoba. HOPE, GP Ansor, Granat dan Yayasan Pengembangan Pemuda Mandiri merupakan bagian dari gerakan anti-narkoba itu, meskipun mereka teriak "Anti Narkoba", belum muncul suatu solusi dari mereka untuk masalah ini. Bahkan ada kabar angin bahwa di antara LSM tersebut, ada yang menerima dana dari pengusaha rokok dan alkohol. Dalam media massa hampir setiap hari terdapat laporan tentang "narkoba". Tetapi apakah artikel-artikel tersebut ini betul-betul menggambarkan kenyataan masalah narkoba? Apakah memang sudah sedemikian gawatnya masalah ini di Indonesia? Menurut Jawa Pos (30 Agustus 1999) pengguna narkoba sudah mencapai satu sampai dua persen dari penduduk Indonesia. Di Malang saja, dalam tiga tahun terakhir ini ada 82 kasus narkoba yang ditangani Polresta Malang (Data Hasil Ungkap Kasus Narkoba - Polresta Malang). Bagaimana sebenarnya masalah ini ditangani pemerintah Indonesia? Apakah sebenarnya yang namanya "narkoba" itu? Dan apakah mungkin akan merusak suatu generasi? Masalah narkoba ini bukan masalah hitam-putih seperti digambarkan media massa dan gerakan anti-narkoba, tetapi merupakan masalah rumit yang berkaitan dengan beberapa masalah lain. Yang diharapkan dari penelitian ini adalah bahwa penelitian ini bisa menyadarkan masyarakat luas tentang kenyataan masalah narkoba, yaitu bahwa kenyataan bukan yang digambarkan dalam media massa, serta membantu dalam menciptakan diskusi yang lebih terbuka untuk mencari cara terbaik untuk menangani masalah ini. Sanksi hukum tentang narkoba di Indonesia sebenarnya cukup berat. Yang memproduksi, mengolah atau menyediakan narkotika golongan satu bisa dihukum mati atau dengan pidana penjara seumur hidup, tetapi belum sampai ke keputusan hakim yang begitu berat. Sanksi hukum tentang narkoba memang begitu berat diciptakan dengan tujuan mencegah perbuatan-perbuatan tindak pidana narkoba, tetapi hanya sebagai ancaman. Pemerintah Indonesia menggunakan "pendekatan wajib" dalam menghadapi masalah narkoba. Artinya, seorang pemakai narkoba dimasukkan ke dalam Lembaga Permasyarakatan (kata lembut untuk penjara) di mana mereka terpisah dari obat-obatan. Dalam teori, pendekatan semacam ini mungkin kelihatan bagus, tetapi sayangnya kenyataan di Indonesia bukan begitu. Ada banyak masalah dengan pelaksanaan pendekatan ini. Yang pertama diakui oleh seorang jaksa sendiri, yaitu di dalam Lembaga Permasyarakatan tersebut, "berbau kategori beberapa kejahatan lain, bukan hanya narkotik" dan dengan memasukkan seorang penyalahguna obat ke dalam LP itu, "mungkin lebih rusak mentalnya". Meskipun diberikan alasan bahwa belum mempunyai fasilitas perawatan yang canggih, ongkos memenjarakan seseorang selama lima tahun, misalnya, pasti lebih mahal daripada ongkos perawatan, selama misalnya satu bulan. Tetapi mungkin masalah yang paling berat adalah bahwa di dalam penjara Indonesia sebenarnya seorang penyalahguna obat itu masih berhubungan dengan obat itu. Di dalam Rumah Tahanan Medaeng, Surabaya, sabu sabu dengan mudah diedarkan, asal petugas diberi upeti. (Gugat : 19 - 25 April 2000) Seorang jaksa pernah mengatakan bahwa kejaksaan biasa menuntut hukuman lebih berat untuk kasus narkoba daripada kasus pencuri, misalnya, karena itu yang dituntut oleh masyarakat luas. Jadi pertanyaan berikutnya adalah bagaimana pendapat masyarakat tentang kasus narkoba, pemakai narkoba, dan sanksi hukum yang berlaku? Di antara para responden mayoritas berpendapat bahwa hukum yang berlaku sekarang terlalu ringan dan perlu diberatkan dan ada yang menyebut Malaysia sebagai contoh tempat yang ada hukuman mati. Kebanyakan warga masyarakat juga berpendapat bahwa pemakai narkoba adalah anak muda yang malas, dan bahwa narkoba akan merusak masa depannya. Hasil penelitan menunjukkan bahwa sumber informasi utama tentang masalah narkoba adalah media massa. Walaupun banyak warga masyarakat ikut menyalahkan pemerintah, pihak polisi, si pemakai sendiri, atau bahkan negara lain dalam masalah narkoba, kenyataan adalah bahwa masyarakat pada umumnya juga ikut bertanggung jawab. Para ahli semakin yakin bahwa keadaan masyarakat ikut meningkatkan kecenderungan pemakaian obat-obatan. Misalnya kesempatan kerja, dan tuntutan akan prestasi merupakan tekanan yang amat berat bagi tiap-tiap anggota masyarakat (Irwanto : 1991 : hal 38). Menurut seorang wartawan dari Malang Pos, peranan media dalam masalah narkoba adalah sebagai sumber informasi serta pembentuk pendapat umum. Tetapi media massa tidak selalu menggambarkan kenyataan masalah narkoba. Banyak bentuk media berorientasi pasar, dengan membuat berita yang mengharukan dan sensasionalis. Tidak jarang pemilik media lebih mementingkan nilai bisnis bila dibandingkan dengan segi moralitas. Narkoba diungkap karena kekiniannya dan terlanjur menjadi wacana yang amat menarik. Jauh dari itu ada banyak berita yang lebih dahsyat namun sudah membosankan seperti dekadensi moral para elit birokrasi. Media cenderung memproduksi mereproduksi wacana yang diminati masyarakat dan pada akhirnya mampu membentuk opini massa. Sebagai contoh, sekarang kasus-kasus narkoba dalam sepak bola baru-baru ini. Hampir setiap hari ada artikel yang mengaitkan sepak bola dengan narkoba, namun di antara artikel-artikel tersebut, jarang ada berita baru. Kemungkinan besar tujuan menjual koran menjadi sebab penerbitan artikel yang menyuarakan teori konspirasi Prof Dr dr Dadang Hawari, guru besar dalam bidang psikiatri dan narkotika (Rusli : Amanah : 7 Oktober - 7 November 1999 : hal 6 - 9). Menurut dia, karena ketakutan dari Australia tentang kekuatan Indonesia dengan masyarakat mayoritas Muslim, dan karena kalau perang jelas siapa bisa menang, Australia memakai strategi perang lain, yaitu melalui narkoba. Penerbitan artikel tersebut memanfaatkan minat masyarakat pada saat itu pada "Berita" tentang "Narkoba" dan sekaligus "Anti-Australia". Mungkin karena nilai bisnis itu, banyak artikel yang mengandung informasi salah, atau informasi tak berguna, juga sampai diterbitkan. Menurut sebuah artikel di Jawa Pos (30 Agustus 1999), pemakai ganja bisa mengalami halusinasi. Informasi yang salah seperti ini bisa berbahaya. Misalnya seorang yang hanya memakai ganja saja tahu bahwa yang dilaporkan tentang ganja itu salah, dan kalau salah di situ, untuk apa mau percaya laporan lain tentang bahayanya obat-obatan lain. Akhirnya seorang yang sudah pernah mencoba ganja tidak punya alasan untuk tidak mencoba obat-obatan yang betul-betul bahaya. Menurut seorang wartawan yang diwawancarai, efek samping kepedulian pers, atau mungkin dampak dari tujuan utama media massa, yaitu "asal jual", adalah bahwa ada warga masyarakat yang justru didorong media untuk mencoba narkoba. Misalnya terdapat artikel yang melaporkan jenis obat yang mana sedang popular di kalangan artis. Sengaja atau tidak, media massa bisa menciptakan sebuah "sub-budaya". Misalnya, ada tuntutan kuat bagi remaja pria untuk merokok karana gambaran laki-laki sejati. Rokok bahkan disebut "alat pergaulan". Merek rokok juga mengenal tingkatan sosial tertentu (Irwanto : 1991 : hal 39). Penciptaan sub-kultur terhadap narkoba jelas kalau melihat istilah-istilah yang dipakai dalam media : - Pesta sabu sabu, pesta ganja, nyabu, ngepil, mutauw, sakauw - (Ekstasi) happy 5, jenis motorolla kuning, warna putih, jenis M putih, jenis James Bond - (Marijuana) ganja, gras, hash, cimeng, gele Pemakai narkoba tidak bisa digolongkan dan diberi ciri-ciri tertentu. Pemakai narkoba termasuk pemain sepak bola yang sehat, tukang becak (Jawa Pos : 14 April 2000), anggota TNI (Jawa Pos : 23 Oktober 1999), kakek-kakek (Jawa Pos : 30 Agustus 1999), karyawan (Jawa Pos : 30 Agustus 1999) dan seorang anak Jenderal (Top : Agustus 1999). Menurut data dari Polresta Malang, selama tiga tahun terakhir, di antara orang tersangka kasus narkoba, ada 43 orang yang berumur 15 samapai 25 tahun, dan 34 orang mahasiswa, tetapi juga ada 35 orang yang berumur 25 sampai 40 tahun, empat orang berumur 40 ke atas, 46 orang yang bekerja swasta, dan dua orang yang sudah pensiun. Orang mau satu jawaban terhadap mengapa seseorang mulai menggunakan narkoba, seperti "karena salah bergaul". Tetapi tidak mungkin bisa menjawab apa yang menjadi satu-satunya penyebab. Menurut Danny I Yatim (1991 : hal alasan untuk memakai narkoba termasuk; a) tersedianya obat itu; b) kenikmatan; c) tekanan kelompok pergaulan; d) rasa ingin tahu; e) adat/kebiasaan masyarakat; f) pemberontakan; g) jenuh/bosan; h) untuk mengatasi masalah tertentu; i) paksaan; j) ikut mode; k) prestise/gengsi; l) agama/mistik dan; m) kesenian/inspirasi. REKOMENDASI Dalam usaha mengatasi masalah penyalahgunaan obat, pertama perlu pendidikan dalam usah mencegah. Kedua perlu tempat pengobatan dan rehabilitasi yang diakreditasi dan di bawah pengawasan pemerintah untuk membantu para korban daripada memenjarakannya. Terakhir kalau mau melarang dengan hukum, hukum itu harus disosialisasikan supaya masyarakat tahu secara jelas apa hukum itu. KESIMPULAN Pemerintah Indonesia memakai "pendekatan wajib" terhadap masalah narkoba, yaitu baik pengedar maupun pemakai dipenjarakan. Baik pengedaran narkoba maupun pemakaiannya dianggap sebagai tindak kejahatan. Ancaman sanksi hukum di Indonesia sebenarnya sudah sangat berat, bahkan bisa dihukum mati atau seumur hidup, tetapi belum sampai keputusan hakim yang begitu berat. Pertama, karena segala sudut perbuatannya dipertimbangkan dan kedua karena masih terjadi banyak korupsi di sistem keadilan Indonesia. Hukum tentang narkotika dan psikotropika kurang jelas, dan diperlukan disosialisasikan. Yang aneh, ganja yang sebenarnya jauh lebih aman daripada aspirin dan khasiatnya pengobatan banyak termasuk golongan satu narkotika. Pendapat masyarakat pada umumnya dibentuk oleh media massa, dan oleh karena itu pengertian masyarakat tentang masalah narkoba masih terbatas. Kebanyakan percaya bahwa masalah narkoba sudah gawat di Indonesia, bahkan lebih gawat daripada korupsi. Meskipun mereka sibuk teriak "anti-narkoba" jarang ada yang mengemukakan suatu solusi yang realistis. Media massa berpengaruh besar dalam membentuk pendapat umum penduduk Indonesia, tetapi media tidak selalu menggambarkan kenyataan masalah ini. Pada umumnya tujuan media adalah pasar dan oleh karena itu berita yang menarik minat masyarakat dilaporkan berulang-ulang kali, bahkan teori konspirasi bisa sampai diterbitkan. Media juga berperanan mendorong pemakaian narkoba, khusus misalnya ketika diterbitkan artikel-artikel tentang pemakaian narkoba di kalangan selebritis. Ada banyak berita yang sebenarnya lebih penting tetapi tidak mempunyai potensi yang sama untuk dijual. Sebagai contoh, akhir-akhir ini masalah narkoba bahkan lebih sering dilaporkan dalam koran daripada masalah di Ambon. Kenyataan masalah narkoba adalah bahwa masalah ini sebenarnya jauh lebih rumit daripada disadari kebanyakan orang. Pemakaian istilah "narkoba" itu menyebabkan masalah ini kelihatan cukup sederhana. Ketika ditanya di sebuah seminar, psikolog Astrid Wiratna menjawab bahwa masalah penyalahgunaan obat sengaja dibesarkan dengan pemakaian istilah narkoba supaya orang menjauhi semua jenis, tetapi dia juga mengakui bahwa selalu akan ada yang ingin coba. Katanya, jenis obat-obatan sengaja disamakan karena menurut kultur Indonesia dianggap bahwa penduduk tidak mampu berpikir sendiri. Kalau orang mengerti perbedaan antara jenis obat-obatan, ketika ada yang ingin coba "narkoba" paling tidak bisa memilih yang lebih aman. Menurut penulis, kalau informasi lengkap disediakan dan masalah dibahas secara terbuka dan jujur, orang lebih cenderung mendengar dan memperhatikan. Pemakaian istilah narkoba itu saja bisa menarik minat masyarakat. Dengan pemakaian istilah "narkoba" itu, semua jenis obat-obatan terlarang tergolong menjadi satu, dan bahayanya juga tidak dibedakan. Sedangkan bahayanya obat-obatan lain yang tidak dilarang seperti alkohol, diabaikan. Istilah narkoba menggolangkan semua jenis narkoba menjadi satu, tetapi kenyataan bukan begitu. Misalnya ganja digolongkan dalam golongan satu narkotika sama dengan heroin. Sebenarnya ganja sama sekali bukan hal yang baru. Catatan sejarah paling dini tentang penggunaan ganja terjadi di Cina tahun 2737 SM. Waktu itu dipakai untuk mengobati rematik, malaria, beri-beri, sifat pelupa dan sakit perut (Yatim : 1991 : hal 53). Ganja bukan hanya salah satu jenis daun-daunan atau ramuan yang dipakai untuk pengobatan yang paling dini dikenal manusia, tetapi juga salah satu yang paling aman karena mustahil mengkonsumsi cukup banyak untuk mengakibatkan efek beracun dalam tubuh (Cures Not Wars: cures-not-wars.org/nybc.html). Ganja mengandung paling tidak enam puluh bahan pengobatan, termasuk THC (tetrahyahocannabinol). Efek menyembuhkannya telah dibuktikan dalam banyak kasus. Ada obat-obatan tertentu yang sudah diterima masyarakat Indonesia yang sebenarnya potensinya berbahaya lebih gawat daripada ganja, seperti alkohol, tembakau dan bahkan sirih. Di sebuah seminar narkoba, pembicara Astrid Wiratna mengakui bahwa aspirin sebenarnya lebih bahaya daripada ganja. Narkoba" itu bukan hal yang baru dan tidak akan merusak suatu generasi. Selama ribuan tahun narkoba dikenal manusia belum ada sebuah generasi yang betul-betul rusak. Untuk merusak suatu generasi, penyalahgunaan obat itu harus membudaya dan semua pemuda menjadi pemakai. Ini tidak akan terjadi di Indonesia. Dari responden penelitian ini, meskipun memilih mencoba obat-obatan terlarang, mereka akhirnya sadar sendiri bahayanya dan belajar dari pengalamannya. Akhirnya mereka berhenti memakai obat-obatan yang paling bahaya. Larangan obat-obatan sebenarnya mengakibatkan penambahan rasa ingin tahu, khusus kalau alasan larangan itu tidak dijelaskan. Larangan obat-obatan juga mengakibatkan masalah lain. Misalnya harga yang mahal sehingga susah untuk pecandu mencari uang secara sah untuk kebutuhan mereka. Akibat larangan lain adalah bahwa pemakai obat secara otomatis kenal dengan dunia kejahatan dan kriminal. Terakhir, dengan larangan obat yang relatif aman seperti ganja, kemungkinan pemakai obat itu juga kan nanti mencoba obat yang bahaya meningkat. Menurut Undang-Undang Dasar 1945, "Setiap warga negara sama kedudukannya di mata hukum", tetapi hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kenyataan bukan begitu. Warga negara yang mempunyai uang kedudukannya jauh lebih tinggi daripada orang biasa. Mereka bisa membeli pasal. Di penjara mereka bisa membeli obat-obatan serta banyak hal lain. Mereka bisa membayar pengacara untuk membela diri sendiri. Bahkan pengacara LBH yang diwawancarai mau dibayar dua juta untuk membela seorang mahasiswa yang kasus narkoba. Penyalahguna obat yang kaya mampu mencari bantuan untuk ketergantungan mereka di panti rehabilitasi yang biayanya jutaan. Banyak hal lain berkaitan dengan masalah narkoba berputar sekitar uang. Pengusahaan obat yang sah mendapat banyak uang dengan mengganti pemakaian narkoba dengan obat mereka di tempat rehabilitasi. Media massa melaporkan masalah narkoba setiap hari untuk kepentingan uang. Bahkan chatlines mendapat banyak uang dari pemakai obat-obatan yang mempunyai keinginan kuat untuk bicara dengan seseorang ketika sendirian. Menurut hukum, pemakaian narkoba adalah kejahatan. Tetapi siapa yang lebih jahat? Si korban penyalahgunaan obat? Media massa, pengusahaan obat yang sah, para pengacara dan tempat-tempat rehabilitasi yang memanfaatkan penyalahgunaannya untuk kepentingan uang? Ataukah para penegak hukum yang tidak membantu anak bangsa, malah minta jutaan sebelum kasusnya diajukan ke pengadilan? Tentu saja seorang jaksa tidak mementingkan hapusnya korupsi. Tetapi meskipun mau percaya bahwa suatu generasi bisa rusak, masalah narkoba tidak mungkin diatasi selama permainan uang dilanjutkan. Selama negara terlibat korupsi, dan rakyat dianggap tidak mampu berpikir sendiri, rakyat tidak akan percaya pada hukum negara.
Posted on: Sat, 07 Sep 2013 16:00:28 +0000

Recently Viewed Topics




© 2015