KEMBALINYA KAL-EL, CLARK KENT, DAN SI MANUSIA BAJA Dia melesat ke - TopicsExpress



          

KEMBALINYA KAL-EL, CLARK KENT, DAN SI MANUSIA BAJA Dia melesat ke langit. Sekejap. Sekelebat. Dan dia menghilang begitu saja seolah-olah menyatu dengan planet lain, untuk kembali lagi ke bumi jika dibutuhkan. Itulah yang dijanjikan Kal-El (Henry Cavill) kepada Jenderal Swanwick (Harry Lennix), “Saya akan membantu bumi ini ketika saya dibutuhkan.” Setelah mengucapkan satu kalimat yang meyakinkan, tubuh tinggi besar yang hanya terdiri atas otot dan baja itu melesat kembali ke langit, meninggalkan debu yang menyembur ke wajah sang Jenderal. Superman adalah nama yang hanya diucapkan dua kali dalam film berdurasi lebih dari dua jam ini. Selebihnya kita hanya mengenal nama Clark Kent, nama Superman di kalangan ”manusia biasa”, atau Kal-El, nama asli Superman sebagai penduduk Krypton. Film Man of Steel memperkenalkan sejarah kedatangan Lelaki Bertubuh Baja itu ke dunia. Tepat pada saat planet Krypton di ambang kehancuran, terjadi kudeta terhadap para penguasa oleh Jenderal Zod (Michael Shannon). Zod memaksa Jor-El (Russell Crowe) memilih bergabung dengannya atau mati. Jor-El memilih tidak bergabung dengan seseorang yang dia anggap berkhianat pada perdamaian. Apalagi, mengingat putranya yang baru saja lahir, Jor-El akhirnya memilih mengirim sang putra ke bumi untuk dibesarkan manusia biasa, sementara dia dan istrinya menetap di Krypton menghadapi kehancuran planetnya. Sang bayi, yang ditemukan pasangan Martha dan Jonathan Kent (Diane Lane dan Kevin Costner), diberi nama Clark dan dibesarkan di area pertanian Smallville, Kansas. Martha dan Jonathan tentu saja menyadari kelebihan putra angkatnya yang begitu saja bisa mengangkat mobil atau mendorong sebuah bus sekolah ke tepi sungai. Sang ayah selalu menekankan betapa pentingnya Clark, yang bermata biru dan tajam, merahasiakan kekuatannya karena “dunia belum siap menghadapimu”. Bagi Jonathan, manusia lebih sering ketakutan menghadapi sesuatu yang ”berbeda”. Untuk waktu yang lama, Clark Kent timbul-tenggelam dalam emosi remaja. Dia mencoba menjadi anak yang patuh kepada orang tua, yang tidak melawan jika dihajar anak-anak sekolah--karena dia tahu, sekali tonjok, mereka akan lumat seperti bubur. Tapi, pada saat yang sama, Clark juga ”manusia” yang bisa marah dan galau. Untuk beberapa saat, adegan-adegan kilas balik masa kanak-kanak dan remaja Clark Kent yang diutarakan secara bertahap selalu menjadi bagian yang manusiawi dan mengharukan. Inilah bagian yang menjelaskan latar belakang hubungan Clark dengan ayah-ibu angkatnya (yang membuat dia merasa menjadi bagian umat manusia bumi) sekaligus rasa hormatnya kepada Jor-El, yang menandakan dia adalah warga Krypton. Insiden di masa kecil ketika Clark ”terpaksa” membantu seisi bus sekolah yang nyemplung ke sungai atau saat membantu seorang perempuan di warung kopi adalah beberapa adegan khas pola superhero ketika ada manusia biasa (yang sudah pasti belagu sekaligus dungu) berhadapan dengan si superhero yang hanya memperlihatkan sekelebat kekuatannya untuk membuat si dungu jera. Meski adegan-adegan ini hanya ”penunjang” dalam transisi hidup seorang superhero (menuju babak kehidupan dia yang akan menjadi superhero ”penuh” yang menyelamatkan dunia), justru itulah bagian yang disukai penonton. Sebab, di dalam kehidupan nyata, saat menghadapi si Belagu dan si Dungu, kita juga ingin melakukan apa yang dilakukan Clark Kent alias Superman. Pada babak transisi ini, sutradara Zack Snyder tampak tak bisa memutuskan apakah ingin membuat film laga atau drama yang gelap seperti yang dilakukan Abang Christopher Nolan, sang produser. Nolan adalah sutradara yang berhasil memberi definisi ulang tentang sosok Batman dalam triloginya, yang beberapa tahun terakhir meledak. Kini Nolan mengenakan topi produser film Man of Steel, dan sudah jelas Snyder ingin mengadopsi “Nolanisme” ke dalam film yang sudah ditunggu-tunggu kehadirannya sejak kegagalan interpretasi Bryan Singer dalam Superman Returns (2006) itu. Keinginan untuk membuat Man of Steel menjadi sebuah film yang kompleks secara emosional adalah sesuatu yang baru dan menarik, tapi Snyder harus menyadari kekuatannya. Dia bukan Nolan yang tetap mampu membuat sebuah film superhero yang penuh laga sekaligus persoalan kecamuk hati sang protagonis. Ketika kita mulai diperkenalkan tokoh-tokoh militer dan wartawan Lois Lane (Amy Adams), yang bersama-sama tengah menganalisis masuknya ”pesawat/makhluk asing” yang mungkin adalah ”pesawat militer Soviet tua”, Snyder dan penulis skenario David Goyer berhasil menaikkan rasa ingin tahu penonton. Ketegangan naik. Kita ingin tahu bagaimana reaksi Lois Lane jika mengetahui ”jongos” yang mengangkat kopernya adalah seorang ”superman”; seseorang yang kelak merebut hatinya. Tapi di sepanjang film, meski akhirnya Lois Lane dan Clark Kent bersatu, jalan menuju asmara tak terbangun dengan rinci. Ada keinginan memberikan sosok Lois Lane yang kredibel sebagai wartawan dan ada keinginan memperlihatkan transisi Clark Kent, manusia yang bergonta-ganti pekerjaan yang akhirnya menjadi ”Superman” yang menyelamatkan dunia. Di antara kesibukan dua karakter penting itu, Snyder gelagapan membuat kisah asmara yang intens, yang sesungguhnya sangat mungkin terjadi di antara kekacauan. Ketika Superman akhirnya berhadapan dengan Jenderal Zod, yang bermaksud membangun planet Krypton dengan menghancurkan bumi, maka kita mulai menyaksikan problem terbesar Snyder. Dia memang sutradara film laga (300, Watchmen, Sucker, Sucker Punch), tapi tidak berarti babak ketiga film ini harus diisi adegan laga yang tak berkesudahan; yang hanya mengambil jeda sesaat setiap kali Jenderal Zod bergantian mengucapkan sekalimat ancaman bak film silat. Dengan kegilaan kemampuan CGI (Computer-generated imagery) dan 3D, babak tiga film ini tak hanya mencoba menghadirkan muncratan air laut atau lontaran puing gedung-gedung yang ditabrak Zod dan Superman, tapi kita merasa sesak oleh adegan perkelahian yang tak kian selesai. Persoalannya adalah Zod sama kuat (jika tak lebih sakti) daripada Superman. Sudah dibanting-banting seperti apa pun, Zod tak kunjung mati. Sungguh lelah melihat kedua jagoan itu berkelahi hingga seluruh kota hancur lebur. Michael Shannon, yang memerankan Zod, kelihatannya tidak bisa mengulang keajaibannya dalam serial Boardwalk Empire--dia sangat bersinar sebagai agen FBI yang keji--tampak seperti monster robotik yang kerjanya mengucapkan satu kalimat ancaman yang bernada sama. Russell Crowe memang bukan Marlon Brando. Tapi, untuk film Superman versi ini, Crowe memang aktor yang tepat karena Jor-El versi Snyder adalah ayah yang tak hanya berfilsafat, tapi juga berperang dengan otot melawan Zod. Yang terakhir, Henry Cavill memang sebuah pahatan yang nyaris sempurna. Agak cilaka memasang aktor yang terlalu ganteng ini. Di dalam serial The Tudors, kita melupakan sosok Raja Henry VIII (Jonathan Rhys Meyers) karena terpukau oleh kehadiran Charles Brandon, yang diperankan Cavill. Apalagi aktor Inggris ini dipasang sebagai pemeran utama. Ada saat Kal-El tampak seperti malaikat yang sedang turun dari langit, serangkaian adegan itu malah mengganggu karena Snyder terlalu memanfaatkan wajah Cavill untuk berlama-lama disorot dari segala arah. Akhir dari film ini ternyata disambut tepuk tangan riuh penonton karena--sebagai pengisi waktu jika dunia tak sedang kacau--Kal-El memilih menjadi Clark Kent, yang bekerja di Daily Planet sebagai wartawan, berdampingan dengan si manis Lois Lane. Keseharian ternyata sesuatu yang selalu didambakan penonton karena itu terasa realistis dan milik penonton. Meski ”keseharian” dalam kehidupan nyata tak mungkin menyajikan seseorang seperti Henry Cavill memperkenalkan diri sebagai wartawan.
Posted on: Sat, 22 Jun 2013 06:37:34 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics



#

© 2015