Kacung alias Jongos! Di kesatuan polisi AS ada motto ”protect - TopicsExpress



          

Kacung alias Jongos! Di kesatuan polisi AS ada motto ”protect and serve.” Motto itu tersemat lekat di badan mobil patroli polisi, atau tertempel di dinding kantor sheriff. Saya juga punya motto yang mirip-mirip dengan itu, yaitu “serve and smile!” Semangat yang ingin dikobarkan di dalam dada adalah melayani dengan senyum. Motto itu terdengar mudah, namun susah untuk menjalaninya. Betapa tidak, bekerja di bawah tekanan yang maha dahsyat seperti di kapal pesiar itu, senyum menjadi barang langka yang sulit dicari. Kalaupun ketemu, dapat dipastikan bahwa itu semua pasti keluar dari sebuah latihan mental yang harus dilatih setiap hari. Persis seperti pidato Bung Karno yang berapi-api ketika membakar semangat pemuda Indonesia untuk tidak mudah patah semangat, ”Hampir hancur lebur, bangkit kembali. Hampir hancur lebur, bangkit kembali…!” Di antara 3 waktu kerja di dinning room, yang meliputi breakfast-lunch-dinner, bagi saya dinner adalah yang paling membanggakan. Dinner memerlukan layanan dan waktu yang spesial dan berlangsung dalam waktu yang lebih lama. Para tamu juga tampil istimewa. Apabila pada saat breakfast dan lunch mereka tampil ala kadarnya, bahkan ada yang bercelana pendek, berkaos oblong dan bersandal jepit, maka pada saat dinner mereka tampil istimewa. Tamu laki-laki mengenakan tuxedo atau jas lengkap. Sementara tamu perempuan mengenakan gaun malam yang tentunya keluaran butik ternama. Saya juga harus tampil prima, mengenakan seragam jas warna biru dengan dasi kupu-kupu merah, celana panjang hitam, sepatu mengkilap dan rambut tersisir rapi. Tak lupa untuk menyemprotkan minyak wangi agar terkesan segar. Prosedur baku yang harus dilalui pada saat service dinner adalah menyambut para penumpang dan segera mempersilahkan mereka duduk di kursi dengan cara menarikkan kursi dan mendorongnya kembali. Langkah berikutnya adalah membagikan menu kepada mereka satu-persatu, dan memberikan waktu kepada mereka untuk membaca menu. Sambil menunggu, saya bantu mereka membuka napkin, menaruhnya di atas pangkuan dan menuang air putih di gelas goblet. Jika dirasa sudah cukup membaca menu, saya biasanya langsung taking order, sambil bertanya, ”Are you ready to order?” Dengan buku kecil yang telah ditulisi deretan menu, mulai dari appetizer, soup, salad, dan main course, saya langsung memulai taking order dengan cara menomori mereka sesuai urutan tempat duduk mereka secara imajiner. Nomor satu adalah perempuan yang paling cantik malam itu. Lady first adalah aturan baku dalam setiap service. Dengan trik penomoran kursi secara sederhana ini, tidak ada cerita lagi pesanan makanan tertukar ke orang lain. Tabu bagi seorang waiter menanyakan kembali, dengan wajah tak yakin, kepada tamu tentang makanan yang mereka pesan sebelumnya. Selesai taking order, saya harus segera kabur ke kitchen untuk antri menu yang telah dipesan. Soal antri di kitchen inilah yang tak jarang menimbulkan masalah. Namun demikian ada trik untuk memotong antrian panjang di kicthen. Untuk menyiasatinya saya biasanya bekerja sama dengan teman waiter lain yang punya pesanan sama agar tidak terlalu lama ngantrinya. Dengan cara seperti itu, maka saya bisa mengambil beberapa makanan sekaligus tanpa harus bolak-balik ke kitchen. Tapi aturannya adalah: hot and hot, cold and cold. Panas dengan panas, dingin dengan dingin, keduanya tidak boleh dicampur. Makanan panas juga tidak boleh disimpan terlalu lama di commote, karena bisa dingin atau kering. Demikian sebaliknya, makanan dingin harus segera disajikan, jika tidak, taruhlah misalnya ice cream, bisa-bisa meleleh sebelum dihidangkan. Setelah semua menu tersaji di meja, dan selesai disantap, tugas saya selanjutnya adalah crumbling down, yakni membersihkan kotoran di atas meja, sambil menawarkan menu untuk dessert lengkap dengan tea atau coffee sebagai penutupnya. Saat menikmati hidangan dessert inilah saat yang paling tepat buat menemani tamu ngobrol. Apa saja. Asal bukan menyangkut isu politik, rasialis, agama dan topik gawat lainnya. Di sinilah kemampuan bahasa Inggris sangat diperlukan. Bahasa Inggris menjadi sebuah keharusan bagi siapapun yang hendak bekerja di kapal pesiar. Apalagi bagi seorang waiter yang setiap harinya dituntut berkomunikasi dengan para tamu dalam bahasa Inggris, memahami apa yang mereka pesan, menjelasakan menu yang ada di buku menu, mengajak mereka mengobrol pada saat bersantap. Untuk mereka yang telah sampai pada tahap mahir, bisa menyelipkan lelucon segar dalam bahasa Inggris. Ada sebuah tradisi yang berkembang di barat, saling melempar lelucon atau joke ketika bersantap. Tapi joke yang disampaikan tidak boleh terdengar jorok, kasar. Joke yang paling populer adalah soal mentertawakan diri sendiri, kekonyolan yang pernah dibuat diri sendiri. Lalu orang lain akan segera terpingkal-pingkal sambil bersorak, ”Shame on you!” Ini menjadi nilai lebih di hadapan para tamu. Kemampuan berkomunikasi ini juga akan berpengaruh kepada kepuasan tamu yang ujung-ujungnya diharapkan bakal meninggalkan tips lumayan. Kalau mau lebih serius dengan urusan entertaining ini, kita bisa mempertunjukkan atraksi sulap. Banyak trik sulap yang bisa dimainkan tanpa membutuhkan peralatan besar dan ribet. Cukup dengan alat bantu kartu, koin, tali temali, atau bahkan dengan memanfaatkan napkin yang tersedia di meja. Itulah tugas rutin saya sebagai waiter dengan mengusung semangat serve and smile! Motto serve and smile kadangkala menghadapi batu ujian. Saat paling berat adalah ketika saya harus mampu mengatur waktu yang sungguh mempet. Titik paling rawan adalah antri menu di kitchen itu. Antrian panjang di kitchen adalah pemandangan harian yang cukup menyita emosi dan kesabaran. Trik titip antrian yang sebelumnya saya ceritakan di atas menjadi kurang membantu. Di tengah tuntutan service kepada tamu dan antrian panjang di kitchen, siapa yang punya cadangan kesabaran? Kondisi ini diperparah dengan kebijakan baru yang dikeluarkan oleh Maitrd yakni dengan jurus pengiritan besar-besaran di kitchen. Chef tampaknya kompak dengan Maitre D’itu. Segala menu yang dihindangkan kalau bisa dibuat dalam ala minute, agar terhindari dari sisa makanan yang sia-sia. Ala minute adalah metode pesanan masakan yang dibuat berdasarkan pesanan terlebih dahulu, jadi tidak dipersiapkan sebelumnya. Akibatnya dapat diduga, apabila antrian datang dari ratusan orang yang memesan dapat dipastikan perlu waktu yang lama untuk mendapatkannya. Persedian cutleries semakin lama juga semakin menipis. Pada saat service berjalan, tak jarang kami saling curi cutleries dari sesama commote waiter. Di lain pihak, kami harus pandai-pandai menyembunyikannya di tempat yang aman agar tidak kecurian. Dalam soal service, jika mengikuti prosedur cara makan ala internasional, mulai dari appetizer, soup, salad, main course, dessert, hingga coffee atau tea, maka bisa dihitung sendiri berapa kali saya harus bolak-alik antara kitchen dan dinning room. Jarak antara keduanya kira-kira 200 meter pergi balik. Bisa jadi, dalam sehari saya bisa menghabiskan jarak kurang lebih 4 km. Itupun hanya antara kitchen dan dinning room, belum kalau ada acara lain yang membutuhkan kerja kaki. Dari antrian panjang dengan batas waktu yang ketat, tak jarang memunculkan watak-watak asli manusia. Saya sendiri pernah beradu urat dengan teman dinning room. Pasalnya, dia mencoba menyerobot antrian yang sudah saya tunggui cukup lama. Ketika panas darah sudah mendidih sampai ubun-ubun, saya teriaki dia yang menyerobot antrin. ”Hei, antri dong. Bisa lihat nggak sih, kita udah lama antri nih, main serobot aja!” Dia menoleh, dengan mata melotot menatap tajam ke arah saya. Tampak ada bara amarah di wajahnya karena telah saya teriaki di tengah barisan waiter yang lain. Jadilah kami perang mulut. Tapi untung tidak sampai perang fisik. Kami memang harus hati-hati untuk tidak terjadi adu fisik. Peraturan kapal pesiar melarang tegas segala perkelahian fisik, apalagi sampai menggunakan senjata tajam, karena akibatnya bisa fatal: dipulangkan dan tak ada lagi kesempatan untuk balik kerja di kapal pesiar! Tantangan berat juga bisa berasal dari tamu yang terlalu rewel. Minta ini dan itu tanpa melihat betapa repotnya saya harus bolak balik ke kitchen untuk mengambil sesuatu yang semestinya tadi dipesan sekalian dengan yang lain. Memang benar, itu adalah hak para penumpang yang merasa telah membayar untuk dilayani secara memuaskan. Tapi siapa tahan dengan tekanan yang bertubi-tubi datang dari berbagai arah itu? Saya pernah kena complain dari tamu yang merasa mendapat pelayanan yang kurang memuaskan. Padahal pada dasarnya memang tamunya sendiri yang terlalu rewel. Ujung-ujungnya saya ditegur oleh supervisor saya yang orang portugal dengan satu sentilan yang menyengat dan tepat sasaran, ”Fnu, kamu boleh merasa jengkel karena disuruh-suruh oleh para tamu. Saya juga tidak peduli kamu adalah anak orang kaya atau berpendidikan tinggi. Tapi yang jelas, suka atau tidak suka, saat ini kamu sedang memainkan peran sebagai seorang kacung!” Sengatan itu tepat menusuk jantung, seperti ribuan tawon yang sedang marah dan mengejar kemanapun kita pergi. Kacung adalah sebutan untuk jongos, pelayan atau bahasa kerennya adalah waiter. Bagi sementara orang, sebutan ini mungkin terasa kasar dan merendahkan. Tapi memang sesungguhnya itulah realita dari peran yang sedang saya mainkan saat itu, seorang kacung! Saat itulah saya jadi ingat pesan ibu menjelang keberangkatan, ”Hati-hati, bekerjalah dengan penuh tanggung jawab.” Saya jadi malu pada diri sendiri, malu pada ibu yang sudah sekian tahun membesarkan saya, namun saya belum juga bisa tumbuh sebagai pribadi yang tangguh dan teguh memegang arti sebuah tanggung jawab. Tekanan fisik maupun mental semakin bertambah ketika saatnya membawa piring, gelas dan cutleries kotor ke dishwashing machine. Petugas di dishwasing machine yang orang jamaika itu kadang-kadang bikin ulah pada saat minta kenaikan uang lelah dari kami yang waiter ini, karena telah membantu mencuci kotoran. Mereka tahu, para waiter gampang cari dolar, karena dapat tips dari parta tamu. Jika sudah begitu, saya biasanya mengalah dan turun tangan sendiri, menata piring, gelas dan cutleries di rak, mendorongnya ke dishwashing machine dan mengambilnya setelah bersih. Jelas, pekerjaan mencuci kotoran itu bukan tanggung jawab saya, tapi mengharap mereka untuk bekerja cepat mengejar waktu tanpa ada uang pelicin rasanya sangat sulit. Semoga orang-orang tercinta yang ditinggalkan di Indonesia tidak melihat betapa saya harus bekerja keras dengan cara seperti ini. Jika sudah begini, malamnya saya hanya bisa melempar tubuh di tempat tidur sambil meringis merasakan jempol kaki yang kesakitan karena setiap hari menjadi tumpuan beban berat, yang rasanya tiada akhir… Masalah klasik lainnya yang belum juga ada obatnya adalah tidak sinkronnya antara jam lembur dengan gaji yang dibayarkan. Semboyan tepat waktu ternyata hanya digembar-gemborkan pada saat kami laporan masuk kerja, tapi tak pernah ditepati saat pulang kerja. Waktu kerja bisa seenaknya diperpanjang tanpa memperhitungkan waktu jatah lembur dengan akurat. Pada saat segala kesumpekan dan kejengkelan hampir meledak dan pecah di kepala, ada perasaan gamang. Pilihannya adalah: take it or leave it! Antara idealisme memperjuangkan nasib baik dan segera pergi dari sana, atau terus bekerja tanpa memperdulikan semua kondisi itu. Untuk keputusan pertama itu rasanya saya belum punya cukup keberanian untuk mengambilnya. Saya masih tetap mencoba bertahan hingga kontrak berakhir. Kondisi tertekan itu justru melatih saya untuk semakin bersikap dewasa.
Posted on: Sun, 17 Nov 2013 03:18:07 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015