Karya : Asmaraman S Kho Ping Hoo Episode : 43 Apakah - TopicsExpress



          

Karya : Asmaraman S Kho Ping Hoo Episode : 43 Apakah sesungguhnya yang telah terjadi atas diri Souw Kwi Beng den Souw Kwi Eng? Mereka berdua pergi menghadap Ciang-tikoan, akan tetapi begitu mereka tiba, segera keduanya dikepung oleh sepasukan perajurit dan ditangkap dengan tuduhan telah membunuhi para nelayan di Pulau Hiu! Tentu saja Kwi Beng menjadi marah sekali dan hampir saja dia mengamuk kalau tidak dilarang oleh Kwi Eng. “Kita difitnah, Beng-ko den kita dapat membela diri di pengadilan. Kalau kita menentang, berarti kita memberontak terhadap penguasa setempat yang mewakili pemerintah.” Demikian kata Kwi Eng dan gadis ini lalu menyerahkan bungkusan uang emas kepada kepala pasukan agar disampaikan kepada Ciang-tikoan. Akan tetapi mereka tetap saja ditawan, dibelenggu dan dihadapkan kepada tikoan, sedangkan kantong terisi uang itu entah ke mana larinya! Dengan suara keren tikoan membentak kedua orang kakak beradik yang sudab dipaksa berlutut di depannya itu. “Kalian ini keturunan orang-orang asing berani membuat keonaran di daerah kami? Kalian telah mengandalkan kekuatan, membunuhi para nelayan di Pulau Hiu den merampok harta benda mereka.” Dua orang kakak beradik itu mengangkat muka dan memandang kepada tikoan itu dengan heran dan penasaran. Ciang-tikoan ini sudah mengenal baik orang tua mereka, sudah pernah datang ke gedung mereka dan sudah banyak memperoleh hadiah, akan tetapi sikapnya sekarang ini seolaholah seperti belum pernah kenal saja, seperti menghadapi dua orang penjahat! “Maaf, taijin (sebutan pembesar). Kami sama sekali tidak merasa membunuhi nelayan, apalagi merampok harta mereka,” jawab Kwi Beng. “Brakkk!” Tikoan menggebrak mejanya. “Kau masih berani membohong, Richardo de Gama? Beberapa orang nelayan dari Pulau Hiu berhasil lolos dan mereka menjadi saksi-saksi utama. Kau tidak mengaku bahwa malam tadi kalian berdua membawa anak buah, dan naik kapal Angin Timur menyerbu Pulau Hiu dan membunuhi banyak nelayan tak berdosa di sana?” “Tidak! Itu hanya fitnah semata!” Kwi Eng menjawab dengan suara lantang. “Sayalah yang membawa anak buah naik kapal Angin Timur menyerbu Pulau Hiu, akan tetapi sama sekali bukan untuk membunuhi nelayan, melainkan untuk menolong kakak saya ini yang diculik oleh gerombolan bajak laut yang dipimpin oleh Tokugawa.” “Ha, jadi kalian sudah mengaku telah menyerbu Pulau Hiu, bukan? Sudah ada bukti dan pengakuan, jadi sudah jelas dosa kalian! Jangan mencoba memutarbalikkan kenyataan, ya? Di Pulau Hiu tidak ada bajak, yang ada hanya beberapa orang petani dan nelayan Bangsa Jepang dan pribumi yang hidup tenteram.” “Taijin! Mereka itu benar-benar para bajak yang dipimpin oleh Tokugawa!” Kwi Beng berseru. Ciang-tikoan mengangkat tangannya. “Kau hendak membantah? Mana buktinya bahwa ada bajak laut di sana? Kalau ada bajak laut tentu sudah kusuruh basmi!” “Tapi benar-benar kakak saya diculik, taijin!” Kwi Eng membantah. “Diam! Tanpa bukti, kalian tidak boleh bicara seenaknya saja. Karena masih mengingat kebaikan orang tua kalian, aku tidak akan menyuruh hukum rangket kepada kalian, akan tetapi kalian telah melakukan pembunuhan besar-besaran ini harus diadili di kota raja sebagai pemberobtak-pemberontak!” “Taijin...!” Kwi Beng berteriak marah. “Kau akan memberontak pula di sini?” pembesar itu mengangkat tangan dan para perajurit pengawal sudah mengurung pemuda yang terbelenggu kedua tangannya di belakang tubuh itu. “Tidak, taijin, kami tidak akan memberontak dan kami tidak pernah memberontak,” Kwi Eng berkata dengan suara halus. “Jika perbuatan kami di Pulau Hiu itu tidak berkenan di hati taijin, harap Ciangtaijin sudi memaafkan dan suka memandang muka orang tua kami memberi ampun. Tentu saja atas budi kebaikan taijin ini kami tidak akan melupakan.” Dengan halus Kwi Eng membujuk dan menjanjikan “balas jasa” yang besar. Ciang-taijin mengurut kumisnya yang panjang melengkung ke bawah seperti kumis anjing laut jantan itu. “Ha-ha, kebaikan apa yang dapat dilakukan kalian ini, peranakanperanakan asing yang sudah berani memberontak? Seluruh rumah dan seisinya telah kami sita sebagai milik pemerintah dan kalian akan diadili di kota raja. Pengawal, kurung mereka sambil menanti saat mereka dikirim sebagai tawanan pemberontak ke kota raja.” “Penasaran! Tidak adil...!” Kwi Bang meloncat berdiri akan tetapi belasan orang pengawal sudah meringkusnya kembali. “Beng-ko, tenanglah dan jangan melawan,” kata Kwi Eng dan mereka lalu digusur keluar dari ruangan itu. “Tangkap semua anak buahnya yang menyerbu ke Pulau Hiu!” Ciang-taijin memerintah pasukannya. Mengapa pembesar she Ciang itu demikian keras dan menekan terhadap dua orang muda itu? Ada beberapa sebab yang mendorong pembesar itu berlaku sedemikian rupa terhadap Kwi Beng dan Kwi Eng. Pertama-tama, memang terdapat rasa tidak puas dan tidak senang di dalam hati pembesar itu terhadap keluarga Yuan de Gama, apalagi setelah Souw Li Hwa selalu menentang para penjahat dan bajak yang berkeliaran di Yen-tai. Lebih-lebih lagi setelah terjadi bentrok antara keluarga pendekar ini dengan Tokugawa, diam-diam Ciang-tikoan menjadi makin tidak senang. Tokugawa adalah “tangan kanannya” secara rahasia dan dari bajak laut inilah segala keinginan hati Ciang-tikoan dapat terlaksana. Mau kekayaan? Mau wanita-wanita muda yang cantik? Mau membunuh orang yang tidak disukainya? Hanya tinggal menyuruh para bajak itu, tanggung beres! Maka kemudian Souw Li Hwa dan suaminya yang menentang kejahatan, dianggap sebagai ancaman yang dapat menggoyahkan kedudukannya. Hanya dia tidak berani secara terang-terangan menentang karena Souw Li Hwa dan suaminya merupakan orang-orang gagah dan berpengaruh, pula tidak ada alasannya. Kini, suami isteri perkasa itu pergi, dan terjadi peristiwa pembasmian di Pulau Hiu, Ciang-tikoan mendapat kesempatan baik untuk membalas dan melampiaskan semua kebenciannya. Dia kehilangan Tokugawa, maka dia segera mebangkap Kwi Beng dan Kwi Eng dengan tuduhan pemberontak, dan tentu saja rumah gedung seisinya itulah yang merupakan dorongan besar pula untuk menangkap dua orang muda itu. Dia tidak khawatir kalau kelak orang tua dua muda-mudi kembar itu pulang, karena sudah ada bukti dan banyak saksi betapa dua orang kakak beradik membunuhi orang-orang yang disebutnya “nelayan-nelayan tak berdosa” di Pulau Hiu. Semenjak sejarah berkembang, tidak perduli di negara manapun di bagian dari dunia ini, terdapat banyak sekali pembesar-pembesar seperti Ciang-tikoan ini. Terutama sekali di waktu pusat pemerintahan sedang kalut dan pengawasan dari atasan kurang ketat, maka para pembesar setempat lalu mempergunakan kekuasaannya untuk bertindak sewenangwenang terhadap rakyat jelata. Segala sesuatu kebutuhan rakyat yang harus terlebih dulu mendapatkan ijin dari pera pembesar, pasti dipersulit sedemikian rupa, sehingga rakyat yang membutuhkan ijin itu secara terpaksa harus mengeluarkan sebagian miliknya untuk “memberi hadiah” atau istilah umumnya sogokan atau suapan kalau dia menghendaki pekerjaannya dapat lancar dan ijin yang dibutuhkannya dapat diberi oleh pembesar yang berwenang. Tentu saja ada pembesar-pembesar yang betul-betul merupakan pemimpin rakyat, pelindung rakyat yang bijaksana dan menunaikan tugas kewajibannya dengan baik, yang berhati bersih dan tidak menyalahgunakan kekuasaan dan kedudukannya, akan tetapi sayang, pembesar seperti ini hanya dapat dihitung dengan jari tangan saja! Mengapa keadaan di Yen-tai dan di kota-kota lain di seluruh Tiongkok yang dikuasai Kerejaan Bengtiauw seperti itu, penuh dengan para pembesar yang menyalahgunakan kedudukannya untuk memenuhi kesenangan diri pribadi tanpa menghiraukan nasib rakyatnya? Hal ini adalah karena pengaruh dari keadaan di pemerintahan pusat, yaitu di Kota Raja Peking, di mana pusat pemerintahan di tangan kaisar, juga mengalami kekacauan dan kelemahan. Seperti tercatat dalam sejarah, Peking dibangun oleh Kaisar Yuang Lo yang gagah perkasa. Bukan saja kaisar ini membangun tembok besar, terutama di bagian timumya, akan tetapi juga membangun kota raja yang tadinya menjadi kota raja Bangsa Mongol itu, dibongkar dan dirobah secara hebat sehingga merupakan sebuah kota raja yang terbesar dan termegah di dunia. Kerajaan Beng-tiauw mengalami kejayaannya sewaktu Kaisar Yung Lo yang memegang kendali pemerintahan, yang dilakukannya dengan tangan besi dan dengan adil, tidak segan-segan menghukum para pejabat yang bersalah sehingga sebagian besar pejabat melakukan tugasnya dengan baik. Pada masa itu, rakyat dapat mengecap kenikmatan hidup di bawah pemerintahan yang adil. Dalam tahun 1425, di dalam perjalanan pulang dari penyerbuan musuh di Mongolia luar, Kaisar Yung Lo meninggal dunia. Kedudukan kaisar diwariskan kepada putera mahkota, yaitu Kaisar Hung Shi yang sudah sakit-sakitan dan kaisar inipun meninggal dunia setelah menjadi kaisar selama sepuluh bulan saja. Kembali kedudukan kaisar diwariskan kepada cucu Yung Lo yang bernama Hian Tek Ong, seorang kaisar yang mencoba mempertahankan kebesaran kakeknya. Akan tetapi Kaisar Hian Tek Ong inipun hanya memegang kekuasaan selama sebelas tahun saja. Kini singgasana diserahkan kepada seorang buyut dari Yung Lo, seorang pangeran yang baru berusia delapan tahun, yang menjadi Kaisar Cheng Tung. Penggantian kekuasaan yang berusia pendek ini melemahkan Kerajaan Beng-tiauw, karena dengan perobahan kaisar berarti terjadi pula perobahan politik den wibawa. Apalagi karena kaisar yang tetakhir ini, Cheng Tung, masih kanak-kanak sehingga pemerintah dipegang dalam kekuasaan ibu suri yang tentu saja sebagai seorang wanita kurang pandai mengatur pemerintahan dan seperti biasa, yang berkuasa di istana sesungguhnya adalah para thaikam yaitu para pembesar yang bertugas di dalam istana dan para petugas pria ini semua dikebiri agar jangan sampai terjadi hal-hal yang melanggar susila antara para petugas ini dengan para wanita istana. Ketika Kaiser Cheng Tung sudah mulai dewasa, dia sudah terbiasa oleh pengaruh para thaikam ini, dan boleh dibilang dia berada dalam cengkeraman yang membius dari seorang thaikam yang paling dipercayanya, yaitu Thaikam Wang Cin, seorang yang berasal dari kota Huai Lai di utara, di daerah Mongol. Demikianlah, karena kaisarnya seperti boneka, hanya tahu menandatangani saja semua hal yang disetujui dan direncanakan oleh Wang Cin, maka pemerintahannya sangat lemah. Orang semacam Wang Cin mana memikirkan keadaan rakyat? Setiap gerak perbuatannya selalu bersumber kepada kepentingan pribadinya. Dengan adanya pemerintah pusat seperti ini, tentu saja para pejabat di daerah menjadi raja-raja kecil yang berdaulat penuh dan sewenang-wenang seperti yang dilakukan oleh Ciangtikoan di Yen-tai yang tentu saja cukup cerdik untuk “menempel” para pembeser di kota raja, terutama mencari muka terhadap yang dipertuan Wang Cin. Kedua saudara Kwi Eng dan Kwi Beng menjadi korban dari kesewenang-wenangan pembesar lalim ini dan beberapa hari kemudian, dua orang kakak beradik ini dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya, diberangkatkan menuju ke kota raja dalam sebuah kereta milik mereka sendiri yang dirampas dan dikawal ketat oleh tiga losin orang perajurit, dipimpin oleh seorang perwira yang membawa surat-surat laporan tentang “dosa-dosa” dua orang tawanan itu untuk disampaikan kepada pembesar atasan di kota raja yang berwenang mengadili perkara-perkara besar. Banyak rakyat memandang dengan mata merah bahkan ada yang mengucurkan air mata melihat dua orang muda yang dermawan dan budiman itu menjadi orang-orang pesakitan diseret ke dalam kereta dan dibawa pergi dari tempat tinggal mereka. Akan tetapi, seperti biasa, rakyat kecil hanya mampu menangis dan mengeluh, paling-paling hanya mampu mengepal tinju dengan diam-diam karena mereka tahu bahwa mereka itu tidak berkuasa atas kehidupan mereka sendiri! Dapat dibayangkan betapa marahnya hati Kwi Beng ketika dalam keadaan terbelenggu kuat dia bersama adiknya diseret ke dalam kereta itu. Mereka duduk berhadapan dan saling pandang. “Moi-moi, kalau saja kita memberontak sejak pertama kali dipanggil...” Kwi Beng menyatakan penyesalannya. “Tenanglah, koko. Belum tentu kita akan celaka, kita bersabar saja sambil melihat perkembangannya. Tentu akan terdapat kesempatan bagi kita, dan lagi... aku percaya bahwa Tio-twako tidak akan tinggal diam saja.” Seorang pengawal menghardik dan melarang mereka bicara. Kereta lalu diberangkatkan dan sebelum tirai kereta diturunkan oleh pengawal, Kwi Eng sempat melihat berkelebatnya bayangan seorang pemuda jangkung berpakaian kuning di antara rakyat yang menonton dan legalah hati gadis ini. Kwi Beng hanya memandang heran mengapa ada senyum di bibir adiknya itu dalam keadaan seperti itu! Beberapa hari kemudian pasukan yang mengawal kereta berisi dua oran tawanan itu tiba di kota Cinan. Di sini para pengawal berganti kuda dan membawa perlengkapan dan bekal makanan baru dari para pembesar di Cin-an. Setelah bermalam di kota Cin-an, pasukan melanjutkan perjalanan pada keesokan harinya menuju ke utara, ke kota raja. Sorenya, mereka sudah tiba di tepi Sungai Huang-ho di mana telah tersedia perahu-perahu besar untuk menyeberangkan mereka. Akan tetapi karena hari telah mulai gelap, mereka berhenti dan berkemah di dekat sungai sambil beristirahat. Seperti biasa, dua orang tawanan itu menerima makanan dan minuman dan mereka diperbolehkan makan minum dengan kedua pergelangan tangan dibelenggu di depan tubuh mereka dan dipasangi rantai baja yang panjang dan berat. Demikian pula kedua kaki mereka dibelenggu dengan rantai panjang. Biarpun kedua orang kakak beradik ini dijaga ketat sekali, namun di sepanjang perjalanan mereka diperlakukan dengan baik dan sopan. Hal ini adalah karena si perwira yang memimpin pasukan pengawal itu tahu siapa adanya mereka berdua ini, tahu pula bahwa ibu dua orang muda itu adalah seorang pendekar wanita yang amat lihai, demikian pula ayah mereka adalah seorang asing yang berpengaruh dan dermawan. Akan tetapi diapun maklum betapa penting dan beratnya perkara yang membuat mereka dikirim ke kota raja, yaitu tuduhan memberontak dan membunuhi banyak nelayan tidak berdosa! Tentu saja diapun tahu bahwa yang dimaksudkan dengan “nelayan-nelayan tidak berdosa” itu sesungguhnya adalah Tokugawa dan kawanan bajak laut. Akan tetapi sebagai seorang bawahan, dia tidak dapat berbuat apa-apa dan tidak berani menentang atasannya. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali rombongan itu melakukan penyeberangan, menggunakan perahu besar yang telah tersedia di pantai sungai yang amat luas itu. “Sekarang tiba kesempatan bagi kita, koko. Kau bersiaplah. Rantai tangan kaki kita ini cukup panjang, memudahkan kita bergerak di air.” “Akan tetapi juga cukup berat untuk membuat kita tenggelam,” bisik kembali Kwi Beng. “Kita harus berani mengambil resiko. Kesempatan ini yang terbaik dengan mengandalkan kepandaian kita di air,” bisik lagi Kwi Eng dan karena perwira pengawal mendekati mereka, keduanya menghentikan bisikan dan hanya saling pandang dan mereka telah bersepakat untuk mempergunakan kesempatan penyeberangan itu untuk melarikan diri. Ketika perahu besar yang menyeberang itu mulai meluncur ke tengah sungai, nampak sebuah perahu kecil juga meluncur cepat sekali seiring dengan perahu besar itu. Perahu ini ditumpangi dan didayung oleh seorang pemuda berpakaian kuning yang tidak mencurigakan. Para pengawal yang melihat pemuda ini mengira bahwa dia adalah seorang nelayan atau seorang pelancong saja. Akan tetapi Kwi Eng menyentuh lengan kakaknya ketika dia mengenal bahwa pemuda itu bukan lain adalah Tio Sun. Akan tetapi Tio Sun tidak segera turun tangan melainkan terus saja mengikuti perahu itu sampai tiba di dekat pantai sebelah utara. Di pantai selatan dia tidak berani turun tangan karena tempat itu ramai dan dekat dengan kota Cin-an, berbeda dengan pantai utara yang sunyi. Setelah perahu besar yang membawa dua orang sahabatnya sebagai tawanan itu berada kurang lebih tiga ratus meter lagi dari pantai, tibatiba Tio Sun meloncat ke atas perahu besar dan tanpa banyak suara lagi dia meloncat ke arah Kwi Eng dan Kwi Beng yang duduk di atas dek terjaga oleh lima orang pengawal. “Heii, siapa kau...?” Seorang pengawal membentak dan suasana menjadi geger. Para perajurit pengawal meloncat bangun dan mencabut senjata masing-masing. Akan tetapi pada saat itu, Kwi Eng dan Kwi Beng sudah bangkit berdiri, dengan kaki tangan mereka yang terbelenggu itu mereka berhasil menampar den menendang roboh lima orang penjaganya. Tio Sun menggunakan pedangnya mematahkan belenggu kaki tangan mereka dengan cepat dan merobohkan setiap orang pengawal yang mencoba untuk menghalanginya. “Cepat menyingkir...!” Tio Sun berkata sambil menyerahkan dua batang pedang yang sengaja dibawanya kepada Kwi Eng dan Kwi Beng. Perwira pengawal berteriak mengumpulkan anak buahnya dan mulailah mereka itu maju mengepung dan mengeroyok. “Apakah kalian berani hendak memberontak?” Perwira muda itu berseru. “Harap ji-wi jangan menambah dosa ji-wi.” “Kalian mundurlah!” Kwi Beng yang maklum akan kebaikan perwira itu berseru. “Kalian tahu bahwa kami bukan pemberontak, melainkan Ciang-tikoan yang bersekutu dengan bajak-bajak laut! Mundurlah!” “Kami hanya menjalankan tugas, kalau sampai kalian lolos tentu kami dihukum!” sang perwira membantah dan terus mengepung ketat. Kwi Eng, Kwi Beng, danTio Sun mengamuk dengan pedang mereka. “Jangan membunuh orang, mereka hanya petugaspetugas biasa,” kata Kwi Eng dan tentu saja hal ini disetujui oleh Tio Sun yqng juga segan untuk memusuhi dan membunuh perajurit pemerintah. Maka mereka itu hanya menggunakan pedang mereka untuk menghalau semua serangan senjata lawan, dan hanya merobohkan para pengeroyok dengan tendangan kaki atau tamparan tangan kiri saja. Akan tetapi tiga losin orang perajurit pengawal itu yang tentu saja merasa takut kalau sampai tawanan itu lolos, dengan nekat mengeroyok terus tanpa memperdulikan keselamatan mereka sendiri dan hal ini membuat tiga orang muda itu merasa repot juga. Andaikata mereka bertiga itu mau membagi-bagi pukulan maut dan merobohkan para pengeroyoknya, agaknya mereka akan berhasil membasmi puluhan orang itu. Akan tetapi, tanpa membunuh para pengeroyok yang nekat itu, tentu saja amat sukar bagi mereka untuk meloloskan diri, bahkan kalau pertandingan itu dilanjutkan, tentu mereka akan terancam bahaya oleh hujan serangan itu. “Tio-twako, kau pergilah dulu dengan perahumu!” teriak Kwi Eng den mereka kini mulai bergerak ke pinggir perahu besar. “Tidak, aku tidak akan meninggalkan kalian!” jawab Tio Sun sambil mengelak dari sambaran dua batang golok dan menggerakkan kakinya menendang roboh seorang pembokong dari belakang. “Twako, pergilah dulu dengan perahumu, kami akan mengambil jalan dalam air,” kata Kwi Beng dan kini mengertilah Tio Sun. Teringat dia akan penuturan Kwi Eng betapa kedua orang saudara kembar itu pernah belajar ilmu di dalam air dari nelayan yang dahulu pernah menyelamatkan ayah ibu mereka, maka dia mengangguk dan mengamuk dengan pedangnya sampai semua pengeroyokdya dipaksa mundur. Setelah tiba di tepi perahu besar dan melihat perahu kecilnya masih berada di dekat perahu besar itu, dia berseru, “Berhati-hatilah kalian! Aku pergi dulu!” Sekali mengayun tubuhnya Tio Sun sudah meloncat keluar dari perahu besar, tepat di atas perahunya yang segera didayungnya menuju ke seberang sungai. Kwi Beng dan Kwi Eng juga mencontoh perbuatan Tio Sun tadi, mereka mengamuk dan makin mendekati pinggiran perahu, kemudian setelah merobohkan beberapa orang pengeroyok, merekapun cepat meloncat keluar dari perahu besar, langsung terjun ke dalam air dengan kedua tangan lebih dulu. “Cluppp! Cluppp!” Bagaikan dua ekor ikan lumba-lumba saja mereka terjun tanpa menimbulkan banyak suara dan airpun tidak muncrat banyak, tanda bahwa keduanya memang ahli bermain di air. Lenyaplah kedua orang muda itu dari permukaan air dan para pengawal yang bergegas menuju ke pinggir perehu sambil membawa anak panah, tidak melihat mereka lagi. Akan tetapi perwira pasukan pengawal itu bersikap tenangtenang saja. “Cepat jalankan kembali perahu ke seberang. Mereka tentu sudah ditangkap kembali di sana!” Semua anak buahnya merasa heran mendengar ucapan ini dan mereka bersicepat meluncurkan perahu besar di tepi sungai sebelah utara. Ketika tiba di tempat itu, benar saja mereka melihat tiga orang muda tadi sudah dikepung dan dikeroyok oleh kurang lebih lima puluh orang perajurit yang bersenjata lengkap! Tentu saja mereka menjadi girang dan serentak mereka berbondong-bondong mendarat dan bantu mengeroyok pula. Ternyata siasat dari tiga orang muda itu sia-sia belaka. Mereka tidak memperhitungkan kecerdikan Ciang-tikoan. Pembesar ini tentu saja mengerti akan kelihaian dua orang tawanannya, mendengar pula akan keahlian mereka bermain di air, maka diam-diam dia mengutus seorang pembantu secara rahasia menghubungi rekannya di Cin-an untuk menjaga di seberang sungai kalau-kalau dua orang tahanannya itu mencoba untuk meloloskan diri ketika diseberangkan, mengingat akan kelihaian mereka bermain di air. Dan memang dugaannya tepat sekali, maka pembesar di Cin-an telah mempersiapkan pasukan dari lima puluh orang yang bersembunyi di pantai sungai sebelah utara. Begitu Tio Sun yang telah mendarat lebih dulu dengan perahunya itu menyambut dua orang temannya yang muncul dari dalam air seperti dua ekor ikan itu, mereka langsung menyergap dan terjadilah pengeroyokan hebat di tepi sungai sebelah utara itu. Tentu saja mereka bertiga menjadi kaget sekali, dan mereka melawan mati-matian. Akan tetapi, setelah perahu besar pasukan pengawal mendarat pula dan pengeroyokan menjadi makin ketat, mereka benarbenar terdesak hebat dan keadaan mereka amat berbahaya, kalau tidak tertawan kembali tentu akan tewas, atau setidaknya terluka hebat di bawah pengeroyokan lebih dari lima puluh orang itu. Mereka tanpa dikomando telah membela diri secara saling melindungi, berdiri saling membelakangi dan dengan senjata pedang mereka, dibantu oleh joan-pian di tangan kiri Tio Sun, mereka menangkis semua senjata yang datang bagaikan hujan dan sekali ini terpaksa mereka menggunakan senjata untuk merobohkan pengeroyokan, sungguhpun pedang mereka itu hanya ditujukan kepada bagian-bagian tubuh yang tidak berbahaya. Belasan orang pengeroyok sudah roboh dengan pundak, lengan atau kaki terluka parah akan tetapi pengeroyokan masih cukup ketat dan tiga orang itu mulai menjadi lelah sekali, bahkan Kwi Beng telah terluka pahanya, dan Kwi Eng telah terluka pangkal lengan kirinya. Namun mereka tidak mau menyerah karena ketiganya maklum bahwa urusan telah menjadi semakin berat sehingga kalau mereka tertawan kembali, hukuman mereka tentu akan jauh lebih berat lagi, mungkin akan dihukum mati sebagai pemberontakpemberontak hina. (Bersambung...)
Posted on: Fri, 28 Jun 2013 17:18:37 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics



BOI

© 2015