Kemarin Pius dan Ria dari Perkumpulan Inisiatif menemui saya untuk - TopicsExpress



          

Kemarin Pius dan Ria dari Perkumpulan Inisiatif menemui saya untuk sebuah wawancara. Mereka ingin menelusuri motivasi dibalik terjunnya sejumlah aktivis dalam pemilu, dan apa hubungannya dengan sejarahnya pergerakan mahasiswa. Saya jadi teringat dengan artikel yang pernah saya tulis untuk menjadi pengantar buku puisi sahabat saya Juandi Rewang. Judulnya "Ketetapan Hati dalam Pergerakan Mahasiswa Bandung". Saya sajikan kembali di sini, mungkin bermanfaat bagi para pemerhati. Salam perjuangan. KETETAPAN HATI DALAM PERGERAKAN MAHASISWA BANDUNG Oleh: Radhar Tri Baskoro “Every beatiful poem is an act of resistance.” (Mahmoud Darwish, 1941-2008) Seni dan politik telah berpiuh-berkelindan sejak lama. Keeratan hubungan keduanya, saya kira, tidak bisa dilepaskan dari naluri manusia untuk mengungkapkan rasa keindahan di dalam dirinya, baik sebagai pencipta maupun penikmatnya saja. Keindahan memberikan efek emosi bermacam-macam, bisa menenangkan dan menentramkan, bisa juga menggairahkan, menantang dan menggerakkan. Bagi penguasa yang gemar memanipulasi emosi rakyat, seniman sangatlah dibutuhkan. Nero misalnya, sangat memahami hal itu, ia mempersembahkan tontonan dan musik bagi rakyat Roma. Hitler memberikan seragam tentaranya demikian gagah, dengan bantuan Hugo Boss. Raja-raja Eropa menghiasi istana mereka dengan patung, lukisan dan arsitektur yang indah-indah. Pada semua itu, seniman tidak pernah jauh dari istana. Mereka bahkan tinggal di sana: Leonardo da Vinci, Dante Alighieri, Mozart, Bach, untuk menyebut beberapa. Puisi, yang disajikan Juandi di buku ini, adalah sebentuk seni yang lain. Orang banyak menyebutnya puisi perlawanan (resistance poems). Sudjoyono, pelukis di masa revolusi, menyarankan seni perlawanan ini. Seni yang relevan di masa revolusi, kata Sudjoyono, adalah seni yang mampu menterjemahkan perjuangan dan penderitaan rakyat di masa itu. Sudjoyono menyebut seni seperti itu sebagai seni Indonesia Baru. Ia membandingkannya dengan seni di masa kolonial, yang disebutnya Mooi Indie, Indonesia Indah. Seni Mooi Indie diasosiasikan dengan karya-karya Raden Saleh dan Basuki Abdullah yang banyak mengungkap keindahan dan kecantikan, lepas dari kondisi masyarakat yang sengsara. Dalam hemat saya, puisi Juandi termasuk puisi perlawanan yang berisikan olah batin penulis di penggal perjalanan hidupnya, 1992-1998, sebagai demonstran. Puisi-puisi banyak menceritakan perasaannya selepas melakukan pelatihan, aksi, selain hubungannya dengan orang-orang yang dekat dengannya. Karena karakteristiknya itu, buku puisi ini bukan hanya menarik dari segi estetika tetapi juga dari sejarah. Buku puisi tersebut merupakan dokumen penting untuk melihat apa yang terjadi di sisi psikologi dan kejiwaan mahasiswa demonstran di akhir masa Orde Baru. Juandi menulis puisi-puisinya semenjak ia bergabung di organisasi Keluarga Aktivis Universitas Padjadjaran, atau yang sering disingkat KAU. Organisasi tersebut berdiri tanggal 18 Agustus 1993 yang tujuan adalah mengkonsolidasikan aktivis mahasiswa di Unpad yang sejak Peristiwa 5 Agustus 1989 giat melancarkan aksi protes. KAU hanya terdiri dari beberapa puluh mahasiswa saja, namun sejak didirikan frekuensi aksi protes meningkat drastis. Aksi mereka mencapai puncaknya pada tahun 1998 ketika akhirnya Soeharto yang telah mendominasi panggung politik nasional selama 32 tahun mengundurkan diri. Setelah 1998, KAU seperti kehilangan tujuannya, ia mengalami kemerosotan drastis. Saya sendiri mengenal Juandi dkk sejak mereka menginjakan kaki di Universitas Padjadjaran, awal tahun 1990an. Ketika itu saya sudah menjadi mahasiswa Fakultas Ekonomi yang saya masuki sejak 1982, sambil menyelesaikan studi di Fisika ITB yang saya masuki tahun 1979. Posisi itu menjadikan saya cukup mengenal dinamika gerakan mahasiswa di kedua perguruan tinggi itu, ITB dan Unpad. Posisi tersebut juga menjadikan saya cukup memahami kemerosotan gerakan mahasiswa ITB pasca 5 Agustus 1989 dan pasang naik gerakan mahasiswa di Unpad setelahnya. Kedekatan saya dengan mahasiswa Unpad atau ITB terkait dengan peran saya yang kerap diminta menjadi fasilitator pelatihan kepemimpinan. Sebelum KAU sudah ada beberapa generasi aktivis di Unpad, yang berasal dari angkatan 1983-1990. Mereka adalah senior, inspirator dan fasilitator bagi KAU, yang kebanyakan berasal dari angkatan 1990 ke atas. Dalam kesempatan ini saya ingin mengelaborasi apa yang menurut saya characteristically significant pada aktivisme mahasiswa di KAU ini, yaitu ketetapan hati yang tak-tergoyahkan untuk meruntuhkan Orde Baru. Karakteristik tersebut dicetuskan Juandi di seantero puisinya ‘Kalau Ragu, Pulang Saja’, ‘Kami Ingin Presiden Baru’, ‘Tembang Demonstran’, ‘Mawar Perlawanan’, dsb. Saya juga melihat karakteristik itu dalam koleksi pentungan, perisai polisi, helm, topi bahkan tongkat komando. Mereka mengkoleksi semua item itu dari aneka bentrokan dengan aparat. Dalam hati saya berpikir, apakah mereka menjadikan semua aksi mereka sebagai game, tempat bermain-main? Sudah tidak ada rasa takut, keraguan, dan ambiguitas lagikah? Hal itu pula saya kira yang tercermin dari slogan mereka, “Berjuang dengan riang-gembira.” Karakteristik KAU tersebut unik, mengingat pada saat itu sudah tidak ada lagi gerakan mahasiswa di perguruan tinggi lain. Kebanyakan orang berpendapat bahwa gerakan mahasiswa mati setelah ITB memberangus aktivis-aktivisnya pasca Peristiwa 5 Agustus.Darimanakah energi kebangkitan itu berasal? Dalam tulisan di bawah ini saya mencoba mensketsakan perjalanan gerakan mahasiswa sejak awal 1980an. Kemana saja energi mahasiswa mengalir, bagaimana aliran itu membentuk mata air-mata air baru yang mempertahankan semangat perlawanan terhadap Orde Baru. ***** Memasuki ITB diakhir dekade ‘70an, saya menjumpai kampus yang terbelah. Pada satu sisi pimpinan perguruan tinggi telah diinstruksikan untuk meredam gerakan mahasiswa yang setahun sebelum saya masuki telah “tidak mempercayai dan menolak Soeharto kembali menjadi presiden.” Upaya tersebut dikenal dengan nama Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK), yang salah satu tugasnya adalah membentuk Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK) sebagai ganti Dewan Mahasiswa (DM) dan Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM). Aktivis mahasiswa tentu saja menolak rencana NKK/BKK itu. Namun tekanan begitu berat, sejumlah pimpinan mahasiswa masuk penjara, sementara yang lain diskors atau dipecat. Dalam tempo dua tahun banyak perguruan tinggi menyerah dan terlelap dalam NKK/BKK itu. ITB adalah kampus yang paling keras melawan upaya depolitisasi kampus ketika itu. Ketika semua perguruan tinggi telah tumbang, BKK tetap tidak bisa berdiri di ITB. DM-ITB memang sukar sekali bergerak, namun masih bertahan melalui serangkaian pejabat ad-hoc, sampai tahun 1982 ketika MPM ITB menyatakan membubarkan diri. Aktivis mahasiswa seperti Hendardi, Umar Juoro dan Harry Wibowo merespon langkah itu dengan membentuk Forum Komunikasi Himpunan Jurusan (FKHJ) yang berusaha menggantikan posisi Dewan Mahasiswa. Pramono Anung, Wakil Ketua DPR sekarang, pernah menjadi Koordinator FKHJ itu. Melalui FKHJ ini aktivis mahasiswa ITB masih mampu merespon kondisi politik nasional. Kesadaran politik mahasiswa ITB tidak padam bahkan semakin kuat menentang rejim Orde Baru. Namun akhirnya aktivisme mahasiswa ITB dipatahkan paksa setelah Peristiwa 5 Agustus 1989, ketika mahasiswa menolak kedatangan Mendagri Rudini meresmikan asrama mahasiswa. Sejumlah pemimpin mahasiswa masuk penjara, puluhan lain dipecat dan diskors. Sejak saat itu aksi perlawanan mahasiswa ITB surut bahkan padam. Sekalipun pergerakan mahasiswa ITB pasca 5 Agustus 1989 mengalami kemerosotan drastis tidak berarti perlawanan mahasiswa lenyap. Jauh sebelum itu, gerakan mahasiswa telah melakukan diaspora, menanamkan akar-akar perlawanan di luar dinding kampus. Diaspora itu dimulai oleh pemikir-pemikir mahasiswa yang hijrah akibat pengapnya udara kampus. Mereka berkumpul di luar kampus, mengontrak rumah bersama, atau sekadar “ngerumpi” di kantin, sambil mendiskusikan aneka permasalahan sosial. Mereka bertukar buku, mengcopy buku asing, mengundang tokoh intelektual untuk mengasah pengetahuan. Idola pada waktu itu adalah jurnal keluaran LP3ES, Prisma. Inilah jurnal yang masih kritis dan rutin terbit ketika itu, memuat pemikiran-pemikiran sosial terbaru, dan progresif karena tidak terikat kepada pemikiran mainstream. Pemikir-pemikir muda berusaha keras memproduksi artikel seperti termuat di Prisma. Kebanggaan luar biasa bila bisa memasukkan artikel di sana, sekalipun hanya sebuah resensi buku. Sepanjang dekade 80an, merebaklah suatu generasi yang disebut Kelompok Diskusi. Kelompok diskusi mahasiswa sebetulnya bukan fenomena baru. Di masa kolonial Belanda mahasiswa dan pelajar mengasah wawasan mereka melalui kelompok seperti ini. Masa pergerakan mahasiswa 60-70an pun dipenuhi oleh kelompok-kelompok diskusi. Tetapi berbeda dengan era itu, kelompok diskusi era 80an mulai lebih tegas menarik diri, terpaksa atau tidak, dari kegiatan kampus. Bagi mahasiswa, kelompok diskusi bukan melengkapi tetapi berubah menjadi alternatif bagi gerakan mahasiswa. Tetapi waktu yang panjang di era 80an itu aktivis kelompok studi biasanya bukan aktivis di kampusnya. Inspirator dan organisator gerakan ini antara lain Harry Wibowo, Rocky Gerung, Noer Fauzi, Boy Fidro, Daniel Indrakesuma, Mahmud (Surabaya), dlsb. Pada era itu juga terjadi diaspora tipe kedua berupa terjunnya aktivis dan mantan aktivis mahasiswa ke dalam gerakan sosial. Tipe gerakan sosial ini berlangsung dalam 3 gelombang yang saling susul-menyusul. Pada gelombang pertama mantan aktivis mahasiswa 77/78 mendirikan Yayasan Mandiri, sebuah LSM yang ingin memperluas pemanfaatan teknologi di desa. Melalui Yayasan Mandiri ini mahasiswa berkenalan dengan masalah-masalah sosial dan mencoba mencari solusinya secara langsung. Mereka menerapkan berbagai teknologi tepat-guna untuk menolong penyediaan utilitas seperti air, listrik, gas dsb. Mereka juga membikin program pengembangan koperasi dan usaha kecil. Gerakan sosial yang dibangun oleh Yayasan Mandiri dan puluhan LSM lainnya bercirikan pendekatan community development (CD), yang mengutamakan peningkatan output ekonomi, donor-heavy dan bergaya project-based. Terlepas dari kegiatan pengembangan masyarakat itu mahasiswa memperoleh keuntungan lain, mereka pun berhasil membangun jejaring dengan aktivis sosial di seluruh negeri yang banyak diantaranya juga mantan aktivis mahasiswa. Bermodalkan jejaring itu para aktivis mengembangkan gerakan sosial yang lebih luas lagi. Yayasan Mandiri misalnya turut menginspirasi dan mengorganisasikan berdirinya organisasi payung seperti Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) dan Sekertariat Kerjasama Pelestarian Hutan Indonesia (SKEPHI). Aktivis-aktivis tersebut antara lain Jusman SD, Zukri Saad, Zulkarnaen, Agus Purnomo, Indro Tjahyono dsb. Gelombang kedua keterlibatan mahasiswa dalam gerakan sosial dilakukan oleh mahasiswa angkatan 1980an. Mereka mencurahkan perhatian lebih mendalam pada aspek community organization (CO). Berbeda dengan pendekatan CD, aktivis CO tertarik kepada pemberdayaan rakyat (people empowerment), mereka tidak ingin bergantung kepada donor dan membangun relasi dengan rakyat berdasar kepada komitmen (commitment-based). Relasi aktivis-rakyat dalam pendekatan CO terbukti lebih kokoh ketimbang CD. Setelah hampir 30 tahun, saya melihat relasi CO jauh lebih dinamis ketimbang CD. Kerangka teori, metodologi dan pendekatan yang berbeda menyebabkan aktivis pada gelombang kedua ini memasuki daerah-daerah yang diliputi konflik, misalnya konflik pertanahan dan perburuhan. Mereka melebur dalam komunitas tertindas, melakukan grounded research, memberikan pelatihan kepemimpinan dengan tujuan agar rakyat mampu membela dirinya sendiri. Sejak pertengahan dekade 1980an sampai akhir 2000an, mereka terlibat di hampir semua konflik pertanahan dan perburuhan di Jawa Barat. Noer Fauzi, ketika itu mahasiswa Psikologi Universitas Padjadjaran, menginisiasi dan menginspirasi banyak mahasiswa melibatkan diri dalam kasus-kasus pertanahan. Untuk mengkonsolidasikan penelitian dan advokasi masalah-masalah agraria, Noer Fauzi bersama Dianto Bachriadi (aktivis Antropologi Unpad, Boy Fidro (aktivis Fisika ITB) dan puluhan aktivis lainnya mendirikan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) pada tahun 1986. Di tingkat akar rumput mahasiswa juga membangun organisasi rakyat. Paskah Irianto (Sastra Unpad) dan Airiyanto Assa (Sastra Unpad) mendirikan Serikat Petani Jawa Barat (SPJB), organisasi tani pertama yang didirikan untuk memperkuat perlawanan rakyat tani. Beberapa tahun kemudian Agustiana (aktivis Universitas Garut) mendirikan Serikat Petani Pasundan (SPP). Tidak bisa dilupakan pada masa itu peran Bambang Hari , mahasiswa psikologi Universitas Padjadjaran, dalam menyisiri konflik-konflik perburuhan di Jawa Barat. Ia adalah guru bagi banyak aktivis buruh di Jawa Barat sekarang ini. Diaspora ketiga menceritakan pelibatan aktivis dan mantan aktivis mahasiswa secara intens dalam gerakan bantuan hukum dan hak-hak asasi manusia. Di awal 1980an itu YLBHI memperluas wilayah kerjanya ke Jawa Barat, karena itu ia bermaksud membentuk LBH Bandung. Turut serta dalam pembentukan LBH Bandung sejumlah aktivis dan mantan aktivis mahasiswa seperti Dindin S. Maolani (Fak. Hukum Unpad), Hendardi (Sipil ITB) dan Paskah Irianto (Sastra Unpad). Dindin menjadi Direktur LBH Bandung yang pertama sedangkan Hendardi dan Paskah memimpin Divisi Non-Litigasi. Melalui divisi non-litigasi terbentuk linkage yang kuat antara gerakan bantuan hukum dengan gerakan sosial. Linkage tersebut menjadikan LBH sebagai pusat sorotan media apabila terjadi konflik antara negara dengan rakyat. LBH pun secara otomatis menjadi payung pelindung dari gerakan sosial yang memiliki persoalan dengan negara. Hendardi dan Paskah kemudian pindah ke LBH Jakarta dan menempa divisi non-litigasi LBH sebagai lokomotif perubahan di Indonesia. Moving-out keempat sebetulnya tidak terlalu cocok bila disebut diaspora. Lebih cocok barangkali disebut sebuah concerns, atau aksi terkait kepada suatu perhatian, kepedulian atau kemasjgulan tertentu. Concern itu hanya melibatkan sedikit orang dan berlangsung secara terbatas karena memang dimaksudkan untuk mengisi kekosongan yang ada. Concern tersebut berkaitan dengan upaya kaderisasi aktivis mahasiswa untuk mempertahankan semangat kemandirian dan aktivisme mahasiswa melalui pelatihan kepemimpinan. Concern tersebut dipicu oleh dilarangnya pelatihan kepemimpinan di kampus ITB. Pada waktu itu saya menimbang bahwa pelatihan kepemimpinan sangat esensial untuk memastikan kepedulian sosial tidak lenyap dari dunia kemahasiswaan. Saya mendapat dukungan dari Sugeng Setiyadi dan Puji Asmoro, dua orang tokoh mahasiswa ITB waktu itu, sehingga pada tahun 1980 saya bisa mengajak dua puluh orang mahasiswa dari ITB, Unpad dan IKIP menimba ilmu pelatihan kepemimpinan dari Utomo Dananjaya, Roem Topatimasang, Mansoer Fakih dan Jimly Ashshidiqie. Semenjak itu saya menyelenggarakan pelatihan kepemimpinan bagi mahasiswa di hampir semua perguruan tinggi di Bandung, Bogor, Cirebon, Garut dan Tasikmalaya. Yang paling intensif tentu di ITB dan Unpad, tempat saya berkuliah. Di kedua tempat itu saya telah memberikan pelatihan di hampir semua fakultas dan departemennya. Pelatihan kepemimpinan seperti itu tentu saja terlarang bagi rektor. Tetapi larangan itu tidak menyulitkan kami. Pelatihan yang saya lakukan sebagian besar berlangsung di luar kampus. Saya melakukannya, kadang hanya dengan 5 orang di kamar kos. Kalau jumlahnya lebih dari sepuluh orang saya mengajak mereka ke luar kampus. Beberapa tempat yang sering saya pergunakan misalnya Kinderdorf, kawasan pendidikan di Lembang, tempat pelatihan milik PMI di Dago, dan milik Departemen Koperasi di Setiabudi, Lembang. Tidak jarang saya mengajak berkemah, kami membawa tenda atau menginap di gubuk tengah ladang. Untuk logistik kami membawa kompor, beberapa kg beras, ikan asin dan mie instan. Kurikulumnya sederhana, beberapa teknik group dynamics, jurit malam, refleksi dan diskusi dan ceramah dari beberapa aktivis senior. Saya memusatkan perhatian pada tujuan membangun ketulusan hati, kepedulian sosial, dan keberanian bertindak. Pengetahuan dan kemampuan kepemimpinan justru saya nomor-duakan. Saya berharap hal-hal itu ditemukan dalam praktek. Jadi, saya mengatakan, pelatihan hanya membuka pintu saja. Kepemimpinan akan diperoleh dalam praktek kehidupan sehari-hari, bila kita berani menyikapi masalah-masalahnya dengan tepat. Concern ini kemudian dilanjutkan dan diperluas oleh Boy Fidro dan Reno Alamsyah, keduanya dari Fisika ITB, yang mendirikan Front Pemandu Latihan. Pada dekade 1990an sudah banyak kelompok mahasiswa yang juga mengkhususkan diri dalam penyelenggaraan pelatihan kepemimpinan bagi mahasiswa. ***** Melalui keempat diaspora itu energi gerakan mahasiswa tetap utuh bahkan semakin meluas dan mendalam dengan pengikatan kepada gerakan sosial maupun gerakan bantuan hukum/HAM. Maka bila terdapat anggapan bahwa gerakan mahasiswa telah mati pasca tumbangnya tembok perlawanan mahasiswa di Ganesha, anggapan tersebut keliru. Centrum gerakan mahasiswa telah tertanam kokoh di luar tembok kampus, dan semua masih berkontribusi kepada pertumbuhan kesadaran politik mahasiswa. Alih-alih mati, pergerakan mahasiswa telah semakin terdiferensiasi menurut fungsi, lapangan usaha dan pendekatan kerja. Dari luar tembok kampus, gerakan mahasiswa masih memperoleh support dalam bentuk isu, pemikiran, kajian, mentor dan sumberdaya lain. Support tersebut sangat membantu gerakan mahasiswa tetap berapi di tengah tekanan yang semakin berat dari rejim Orde Baru. Cakrawala wawasan mahasiswa juga menjadi semakin luas. Mereka semakin terlatih dalam mengaitkan teori dengan praktek. Cimahi, Jumat 18 Mei 2012
Posted on: Sat, 05 Oct 2013 03:23:56 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015