Krisis 2013 Lebih Buruk Dari 1998 Pemerintahan SBY Bisa Bubar dan - TopicsExpress



          

Krisis 2013 Lebih Buruk Dari 1998 Pemerintahan SBY Bisa Bubar dan Negara Ditinggal Dalam Keadan Sekarat Oleh : Salamuddin Daeng (Indonesia for Global Justice / Presidium Nas MKRI) Kejatuhan nilai mata uang rupiah terhadap dolar dalam beberapa waktu terahir memunculkan banyak analisis bahwa krisis kali ini akan mengulang kejadian krisis 1998. Analisis ini dapat dibenarkan bahkan krisis kali dapat lebih dalam dari krisis 98 karena sumber kerusakannya yang lebih parah dan upaya pemulihannya membutuhkan waktu yang lebih lama. Jika kita amati dari asal muasal krisis, asal krisis 98 adalah faktor eksternal yakni krisis moneter/krisis mata uang, yang dimulai oleh kejatuhan mata uang bath Thailand yang kemudian menular ke mata uang negara lain di Asia, Philipina, Malaysia, Singapura dan selanjutnya menular ke Indonesia. Sektor keuangan sangat cair menyebabkan krisis cepat sekali menular secara mengejutkan. Sementara krisis 2013 adalah krisis yang berasal dari keadaan internal yang rapuh yakni defisit perdagangan dan transaksi berjalan yang menyebabkan pengeluaran luar negeri sangat besar untuk pembelian dolar dalam rangka membiayai impor. Pada saat krisis 98 perdangan indonesia baik-baik saja alias mengalami surplus baik dalam perdagangan pangan, migas, mupun hasil industri lainnya. Sebagaimana kita ketahui bahwa saat ini defisit perdagangan disumbangkan oleh 3 sektor utama, yakni (1) impor minyak yang besar yang angka defiisitnya mencapai Rp. 60 triliun. (2) impor pangan yang besar untuk menutup kebutuhan pangan dalam negeri. Indonesia saat ini adalah net importir pangan. (3) bahan baku industri yanh bersumber dari impor yang angkanya mencapai 70 persen dari kebutuhan bahan baku industri nasional. Ketiga hal tersebut tidak dapat ditunda, dibatasi karena menyangkut kebutuhan nasional. Jika impor dibatasi maka akan membawa konsekuensi pada kelangkaan minyak, kelangkaan pangan, kelangkaan faktor produksi industri yang akan memperparah inflasi dan kebangkrutan usaha-usahaa dalam negeri. Dengan demikian krisis yang berlangsung sekarang akan membawa dampak lebih sitematis, lebih panjang lagi dikarenakan defisit karena rapuhnya ekonomi nasional sulit diatasi dalam tempo singkat. Upaya memperbaiki kerapuhan ekonomi domestik tersebut membutuhkan waktu yang lama, misalnya meningkatkan produksi minyak hingga 1,3 juta barel/hari dari 850.000 barel perhari sat ini. Membenahi struktur industri dan meningkatkan kemampuan produksi pangan, membutuhkan waktu 4-5 tahun, itupun dengan syarat penerintah melakukan langkah serius. Selain itu yang membedakan krisis 98 dengan 2013 adalah faktor penyebab krisis. Krisis 98 disebabkan oleh faktor spekulasi. Kejatuhan mata uang Asia pada waktu itu mendorong spekulasi lebih luas. Para pemilik modal/pemilik uang memborong dolar untuk meraih keuntungan dari situsi krisis dan sekaligus menyelamatkan aset mereka dari defresiasi mata uang rupiah. Meski krisis 98 seharusnya bisa diatasi oleh Indonesia jantungnya krisis diamankan, yakni menstabilkan rupiah dengan menetapkan kurs tetap. Namun karena pemerintah mengikuti logika IMF menyebakan krisis berlangsung lama dan bahkan dampaknya masih terasa sampai hari ini. Sementara krisis 2013 tidak disebabkan oleh faktor spekulasi akan tetapi kebutuhan akan dolar yang memang meningkat untuk membiayai pengeluaran luar negeri swasta dan pemerintah akan barang-barang impor. Pemilik modal/pengusaha memerlukan sejumlah besar dolar untuk membiayai impor dalam rangka memenuhi kebutuhan bakan baku industri mereka. Demikian pula dengan perusahan yang bergerak di sektor minyak harus mengimpor minyak dalam rangka memenuhi kebutuhan nasional. Untuk membeli barang-barang impor yakni bahan baku dan minyak tersebut maka diperlukan sejumlah besar dolar untuk membiayai impor yang menyebabkan permintaan dolar meningkat. Hal yang sama dengan impor pangan yang memang terpaksa dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri yang memang kekurangan pasokan. Jika kelangkaan pangan dibiarkan maka tingkat inflasi akan berlangsung lebih parah. Sementara penerimaan dolar, mata uang asing semakin berkurang dikarenakan ekspor yang melemah. Selama ini ekonomi mengandalkan penerimaan dari ekspor komoditas, seperti minyak, gas, sawit, batubara, mineral lainnya yang harganya mengalami penurunan. Penurunan harga komoditas tersebut menekan penerimaan devisa negara. Pada sisi lain devisa negara atau mata uang asing yang dipegang oleh BI terus menerus digunakan untuk menginterpensi pasar yang yakni dengan membeli rupiah menggunakan mataa uang dolar (devisa) yang dimiliki BI. Akibatnya devisa tersebut terus berkurang, bahkan saat ini devisa kita hanya cukup untuk membiayai 5 bulan impor. Jika keadaan ini terus berlangsung, negara kehabisan devisa dan tidak lagi dapat melakukan perdagangan internasional. Kedaan tersebut menunjukkan negara sedang sekarat. Hal lainnya yang membedakan krisis 98 dengan 2013 adalah dampak yang diakibatkannya terhadap pemerintah dan swasta yang lebih berat. Krisis 98 menyebabkan utang swasta dan pemerintah meningkat tajam. Nilai rupiah yang terdepresiasi sangat tajam menyebabkan utang pemerintah swasta menjadi selangit, dikarenakan utang tersebut dalam bentuk mata uang asing, akibatnya sektor swasta terutama perbankkan menanggung tingkat utang yang selangit dan tidak masuk diakal. Sebenarnya nilai utang sebelum krisis masih cukup wajar meski perlu diantisipasi. Pemerintah saat itu melakukan langkah yang sala menyelamatkan utang-utang swasta yang sebenarnya tidak layak diselamatkan. Beberapa diantaranya seharusnya dibiarkan saja bangkrut karena tidak mempengaruhi keadaan ekonomi secara significant. Namun pemerintah menutup utang dengan memberikan BLBI dan KLBI, yang hingga saat ini membenani negara. Seharusnya masalah ini terselesaikan jika pemerintahan pasca reformasi bersikap tegas terhadap kreditor BLBI. Sementara krisis 2013 disebabkan karena utang pemerintah dan swasta yang memang besar dan menggunung. Kebijakan pemerintaah khususnya di era 9 tahun pemerintahan SBY yang membangun ekonomi dengan utang luar negeri, membiarkan swasta dan BUMN memburu penerimaan utang melalui pasar keuangan menyebabkan utang yang ditanggung perekonomian sangat besar. Sekarang utang-utang tersebut jatuh tempo pembayaranya. Kedaan ini menyebabkan kebutuhan dolar meningkat untuk membayar bunga, cicilan utang jatuh tempo baik pemerintah dan swasta. Sementara penerimaan luar negeri dari utang baru tidak mengimbangi pengeluaran luar negeri tersebut. Akibatnya terjadi defisit yang semakin melebar dalam neraca pembayaran sehingga rupiah semakin tergerus terhadap dolar. Lebih parah lagi rupiah yang semakin jatuh menyebabkan pembayaran luar negeri kian membengkak. Jilka rupiah terdepresiasi terus menerus maka dapat dipastikan swasta dan pemerintah tidak sanggup membayar kewajibannya. Jika krisis 98 pemerintah menolong swasta, namun krisis 2013 pemerintah bahkan tidak dapat menolong dirinya sendiri. Itu berarti krisis yang dialami saat ini dapat berakibat fatal yakni berhentinya perjalanan pemerintahan dan negara.""
Posted on: Sat, 07 Sep 2013 22:38:12 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015