MANUSIA TAHU DIRI (Syahbandiah Esha) “Mungkin saya sadar - TopicsExpress



          

MANUSIA TAHU DIRI (Syahbandiah Esha) “Mungkin saya sadar ketika Messi berlari melewati saya,” tutur David Beckham, dalam bincang-bincang bernada canda, dengan Gary Neville, rekan setimnya saat di Manchester United, bertepatan ia mengumumkan pensiun dari sepakbola. PERISTIWA mengejutkan dan sangat penting datang dari dunia sepakbola. David Beckham, secara mengejutkan memutuskan pensiun dari dunia yang dicintai, ditekuni, yang mencatatkan namanya dalam sejarah sepakbola di negerinya dan dunia. Pemain 38 tahun tersebut, mengaku sadar fisiknya sudah tak mampu bersaing lantaran dilewati Lionel Messi saat timnya Paris Saint German (PSG) bertemu Barcelona, di Liga Champions, April lalu. Dibilang sangat penting, bukan semata menyangkut salah satu legenda di dunia sepakbola asal Inggris ini. Meskipun suatu saat pasti akan terjadi, tetap saja keputusan sang flamboyant ini menyentak para gibol se antero dunia. Panggung sepakbola, dengan agak cepat, bakal kehilangan kehadiran mantan kapten timnas Inggris ini. Tak akan ada lagi tendangan bebas khas yang nyaris selalu menggetarkan jala gawang lawan. Penggemar bola tak akan bisa melihat lagi selebrasi-selebrasi ala Beckham, setiap membuahkan gol. Tak kalah sangat penting, sebenarnya adalah semacam ‘penyadaran’ bagi siapapun dari bapak empat anak ini tentang manusia yang tahu diri. Sadar diri kapan saatnya berhenti. Menariknya, Beckham mundur dengan membawa catatan bagus. Saat namanya di puncak, bersama-sama PSG usai memenangkan Liga Perancis. Di panggung hiburan, sejarah bakal mencatat Oprah Gail Winfrey sebagai salah satu manusia sadar diri. Ratu talkshow televisi ini, turun dari singgasananya dengan sangat mulus. Oprah memutuskan mengakhiri karirnya –tepat selama 25 tahun memandu The Oprah Show—justru di saat-saat namanya sedang melambung. Kendati banyak yang menangisi, Oprah bergeming. Itulah saat bagus untuk menyudahi pekerjaan yang disebutnya luar biasa, karena membuatnya semakin kaya pengalaman dan wawasan. Pekan-pekan ini, Metro TV menayangkan pesta perpisahannya yang gempita oleh bintang-bintang papan atas dunia. Ya, sadar diri kapan saatnya berhenti. Semakin langka manusia yang memiliki ini. Seringkali, justru keterpaksaan yang memaksa mereka menjadi manusia tahu diri. Ada banyak contoh, tak jauh-jauh, kondisi di negeri ini. Kekuasaan, kursi jabatan, duit besar, adalah di antara sekian faktor yang membuat para kemaruk mabuk. Tak pernah sadar diri menjadi manusia yang tahu diri. Saya pernah sangat takzim dengan Pak Harto. Bagaimanapun, beliau pernah membuat bangsa Indonesia bangga setengah mati, di tengah gencarnya caci maki yang dialamatkan pada pria sepuh ini. Indonesia pernah menjadi negeri swasembada beras yang kemudian ‘memaksa’ Pak Harto untuk berpidato keberhasilan ini di markas besar FAO (Food and Agriculture Organization) di Roma, sekitar 1980-an. Sayang memang, Pak Harto tak pernah sadar diri kapan saatnya berhenti. Justru dengan jalan reformasi, sang Bapak Pembangunan ini berhasil dilengserkan dari segala kekuasaannya yang luar biasa itu. Intinya, siapapun memang wajib tahu diri. Apalagi yang berkait dengan kekuasaan. Musim pilkada di daerah-daerah maupun pileg yang sudah ‘dipanaskan’ dengan pendaftaran caleg masing-masing parpol, adalah sarana yang paling gampang untuk melihat seperti apa orang-orang itu. Apakah mereka orang-orang yang tahu diri atau sebaliknya. Sudah sangat biasa di negeri ini seorang kepala daerah menjelang lengser dari kursinya, berupaya keras meneruskan kepemimpinannya pada keluarganya. Pada istri, anak, adik, keponakan, ketika ia sendiri sudah tidak bisa melanjutkan demi aturan. Sebab itu, jangan kaget, kalau seseorang biasanya sebagai ibu rumah tangga, tiba-tiba bisa menjadi pemimpin daerah, sukses menggantikan posisi suaminya. Cara melanggengkan kekuasaan semacam ini –biasa disebut politik dinasti-- bahkan ‘usum’ di sejumlah wilayah di Jatim. Bahkan, ada daerah menerapkan model ‘turun’ jabatan’. Rela menjadi orang nomor dua –setelah dibatasi aturan karena sudah dua periode menjadi orang nomor satu—demi melanggengkan kekuasaan. Sebentar lagi, pileg dan pilpres juga menjadi panggung para rakus dan tak tahu diri. Rakyat disodori caleg-caleg yang sama sekali tak menarik secara intelektual dan kepekaan akan suatu permasalahan di daerah pemilihannya. Rekrutmen artis-artis bisa jadi contoh nyata. Coba, siapa yang bisa membuktikan bahwa selama ini warga di daerah pilihan Mojokerto dan sekitarnya benar-benar merasa diwakili Eko Patrio? Sederet kasus pendidikan di kota itu, rasanya juga tak pernah mendapat apresiasi dari wakil rakyat tersebut untuk diperjuangkan ke forum. Hanya bisa dihitung jari kiri, artis yang benar-benar cakap tanggap dan cerdas menggunakan tugas dan kewajibannya, sekaligus menyadari untuk apa dia berada di gedung dewan. Yakin pulalah, model-model manusia yang tak tahu diri, juga akan bisa kita temui di ajang pilpres. Mulai dari yang wajah-wajah gagal di pileg sebelum-sebelumnya, mungkin juga yang sekedar coba-coba, hingga sosok-sosok bermasalah yang masih diingat rakyat, begitu PeDe ingin meluaskan kekuasaannya : memimpin negeri ini dan terus mencoba meyakinkan kita, mereka mampu menjadi pemimpin rakyat. Semakin manusia rakus, semakin tampak rasa tidak tahu dirinya. Semakin tak sadar diri mestinya harus berhenti. Golongan seperti ini, justru baru bisa dihentikan, disadarkan dengan paksaan. Saya jadi ingat Presiden Ceko Vaclav Havel. Ia tampil karena “dipaksa” rakyat Ceko yang merindukan sosok teladan, santun dan sederhana. Vaclav Havel yang penyair ini pun menjadi lakon dalam Revolusi Beludru yang mengusungnya menuju Istana Praha. Tepat satu periode kepemimpinannya, Vaclav Havel mundur. Desakan rakyat yang memintanya kembali memimpin mereka, tak membuatnya silau, rakus. Ia berpendapat, cukup sudah kehadirannya sebagai periode transisi akibat pecahnya negara Ceko dan Slovakia. Pak Havel menyudahi kekuasaannya dengan sangat manis dan mengesankan. Ia kembali ke apartamen sederhananya dan melakukan pekerjaan yang amat disukainya : kembali menjadi penyair dan penulis. Menjadi manusia yang tahu diri kapan harus berhenti berarti berupaya mewujudkan akhir yang baik. Tanpa harus terpaksa/dipaksa dan dijungkalkan terlebih dulu. Itu hanya terjadi bagi orang-orang yang sangat sadar diri atau disadarkan orang-orang yang mengelilinginya. (***) dit_syahbandiah@yahoo
Posted on: Sat, 05 Oct 2013 11:18:36 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015