MATERI TEATER 04-12-2012 02:10:45, pada bahan belajar MATERI - TopicsExpress



          

MATERI TEATER 04-12-2012 02:10:45, pada bahan belajar MATERI EKSTRA KURIKULER TEATER SMAN 1 DEPOK SLEMAN MENGENAL DRAMA DAN TEATER 1. Pengertian Drama dan Teater Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia atau KUBI yang disusun oleh W. J. S. Poerwadarminta (Balai Pustaka, 1976:258), istilah drama berasal dari Eropa dan diartikan dalam dua pengertian, yakni: a) Cerita sandiwara yang mengharukan; lakon sedih b) Merupakan kiasan peristiwa yang ngeri atau menyedihkan. (Ingatlah setiap peristiwa yang sering dianggap didramatisir tidak jarang karena situasinya yang menyedihkan). Seni drama sebagai turunan istilah itu merupakan seni mengenai sandiwara atau cara menjalankan dan menulis lakon. Jika mengikuti pengertian itu drama dapat disimpulkan sebagai cerita lakon dan lakon cerita yang menggambarkan suatu peristiwa yang menyedihkan atau mengerikan. Kemudian untuk memahami lebih jauh, drama bertolak dari sebuah bentuk cerita yang dituliskan sebelum dilakonkan. Jadi ada drama yang disebut sebagai naskah dan ada juga yang dianggap sebagai lakon itu sendiri berdasarkan naskah. Pengertian drama dari versi lain adalah perbuatan di atas panggung (to do, to dran) dan bentuknya (draomai). Tentu yang berbuat di atas panggung untuk mewujudkan bentuk itu adalah pemain drama. Tuntutan bagi seorang pemain drama sesuai dengan perkataan William Shakespeare (pengarang drama klasik Inggris) dengan kalimat: Sesuaikan perbuatan dengan kata, dan kata dengan perbuatan. Para pemain drama dapat dianggap melebihi seorang pahlawan karena mewujudkan sebuah cerita lakon di atas panggung. Seorang Maxim Gorki (pengarang Rusia) kelihatan sinis kepada para pahlawan dengan kalimatnya: Memang, ia seorang pahlawan, tetapi ia tidak dapat bercerita (Luxemburg dkk, 1986:158). Dalam kaitan drama sebagai cerita lakon atau naskah kategorinya masuk dalam sastra drama. Namun dalam kaitannya dengan lakon cerita dapat menjadi pintu masuk ke dalam teater. Lalu bagaimana dengan teater? Awalnya teater diartikan dari kata teatron (bahasa Yunani) dengan pemahaman atas sebuah tempat pertunjukan yang kadang bisa memuat sekitar 100.000 penonton (N. Riantiarno, 2003:7). Tempat pertunjukan itu mungkin berupa lapangan terbuka (out-door) atau stadion. Namun akhirnya dapat mencakup sebuah gedung (in-door) seperti bioskop atau gedung khusus yang dirancang untuk tempat pertunjukan. 2. Drama sebagai Teater Drama dan teater bisa sulit dibedakan dalam praktik. Namun secara teoritis dan sejarah keduanya harus dibedakan. Mungkin drama dipentaskan di sebuah teater. Sehingga teater itu merupakan bagian yang dibutuhkan oleh drama. Lalu apakah drama itu merupakan teater atau teater merupakan drama? Pertanyaan yang mungkin sering dilontarkan. Jawabannya dapat dihantarkan dengan sederhana dengan menjelaskan drama sebagai teater. Drama sebagai teater tentu saja maksudnya adalah peristiwa yang mencakup isi yang ditampilkan (dengan naskah atau tanpa naskah), pemain yang tersedia (aktor/aktris), tempat yang dikondisikan serta dengan dukungan artistik secara fisik dan melekat untuk kebutuhan panggung (gedung atau luar gedung). Dukungan artistik itu berupa tata rias (make-up), tata lampu (lighting), tata panggung (set decoration), tata musik (composition). Tentu saja seperti lakon cerita dalam drama, teater kadang kala membutuhkan penyutradaran (direction) atau dramaturgi. Peristiwa teater dapat bersifat dramatis, mengharukan dan mengerikan seperti yang dihantar pada awal pemahaman tadi. Namun peristiwa teater tidak selalu terikat lagi dengan situasi dramatis demikian. Semua jenis tontonan, baik yang sedih, gembira, lucu, gila-gilaan, dan lain-lain dianggap bersifat teaterikal. Menurut perkembangannya secara umum sampai sekarang teater mengalami berbagai tahap kasar dalam bentuknya sebagai tontonan. Sampai sekarang teater dapat dilihat bentuk-bentuknya yang semakin berkembang atau berubah dari bentuk awal. Bentuk-bentuk drama atau teater dapat disampaikan sebagai berikut. a) Teater sebagai Upacara (primitif, agama, kenegaraan) b) Teater sebagai Permainan (meniru hewan-hewan tertentu, petak umpet, “jembatan tapanuli”, alip-alipan, dan lain-lain) c) Teater Sebagai Tontonan (opera, pertunjukan sendratari, sepak bola, garapan drama-modern) d) Teater dalam Peristiwa (televisi, sinetron, filem, dan media elektronik lainnya) e) Teater dalam Kenyataan Sosial (penipuan, intrik politik, bencana, dan lain-lain) Jenis atau bentuk drama, teater atau seni peran yakni: Tragedi : Kisah yang akhir ceritanya berujung dengan kesedihan. Komedi : Kisah yang penuh tawa dan kegembiraan. Tragikomedi : Gabungan antara tragedi dan komedi Melodrama : Kisah yang sepanjang cerita beurai air mata/sedih diiringidengan musik yang menyayat. Farce : Kisah yang pementasannya memilih gerak yang tidak biasa bahkan berlebihan dan tidak wajar seperti bentuk-bentuk gerak karikatural. Parodi : Kisah yang berdasarkan fakta tapi diputarbalikan dg maksud agar menjadi bahan tertawaan. Satir : Kisah yang berisi cemoohan atau ejekan atau disajikan banyak kegetiran. Musikal : Kisah yang seluruh ceritanya diiringi oelh musik dan nyanyian. Opera : seluruh lakon dinyanyikan oleh para pemerannya lengkap dg orkestra. Aliran dalam seni peran yakni: Klasik : Seni peran yang mengikuti aturan pemeranan yang ketat. Neoklasik : Seni peran yang lebih berdasarkan adanya hubungan sebab akibat. Romantisme : Seni peran yang berkisah tentang manusia dan seluruh persoalannya sehingga manusia dapat menentukan nasib dan masa depannya sendiri. Realisme : Seni perang yang menyajikpan kehidupan sehari-hari dalam menghadapi kehidupan di dunia. Simbolisme : Seni peran yang banyak menyajikan simbol-simbol yang ditafsirkan kembali dari kenyataan yang tampak dalam kehidupan sehari-hari. Ekspresionisme : Seni Peran yang menafsirkan ulang sebuah kenyataan atau realisme dengan penggalian karakter yang lebih detail. Epik : Seni Peran yang dikembalikan pada bentuk dan kekuatan teatrikalnya Absurd : Seni peran atau teater yang berupaya mencari terus menerus tentang kebenaran dan tidak ada kebenaran yang mutlak ditemuinya sehingga seolah-olah Manusia menjadi tuhan bagi dirinya sendiri. 3. Unsur-unsur Teater Prasyarat utama itu merupakan unsur-unsur teknis yang harus diperhatikan. Berikut adalah unsur-unsur teater secara umum. a) Seni Peran Seni peran sebagai unsur utama menjadi citra penting untuk menjaga keberlangsungan sebuah teater. Teater tanpa seni peran menjadi mustahil kalau mau bicara dan beraktivitas melalui teater. Tentu saja seni peran itu dilakukan oleh para personil seperti pemain, aktor, atau aktris. Teori seni peran bertujuan untuk kepentingan lakon yang diatur secara dramatis atau menarik. Pemain atau aktor dapat menggali seni peran itu melalui berbagai cara di luar arahan sutradara. Seni peran dijiwai dari suatu pemikiran, konsep, bahan peran (seperti cerita, teks, naskah), teknis, dan adaptasi ke tempat permainan. Teori seni peran juga memiliki macam-macam aliran, seperti realisme, karikaturis, gaya pantomim, absurd, dan lain-lain. Pemahaman atas aliran atau gaya itu sering menjadi bahan pembicaraan antara pemain atau aktor/aktris dengan sutradara. Elemen penyutradaraan tidak mungkin mengabaikan persoalan aliran dalam teater. b) Seni Panggung Seni panggung merupakan unsur penting kedua untuk sebuah peristiwa teater. Seni panggung mencakup tempat pertunjukan atau pentas, dekorasi atau setting panggung secara visual atau simbolik, kelengkapan artistik seperti lampu atau cahaya. Selama peristiwa teater berlangsung di atas panggung kostum dan rias secara visual menjadi bahagian dari seni panggung itu sendiri. Kostum dapat terdiri dari pakaian dan alat yang digunakan pemain selama permainan. Dalam upacara primitif kostum sering tidak ditonjolkan. Sebaliknya dalam upacara agama, kostum selalu diperhatikan secara simbolik sebagai tanda kebesaran. Dalam garapan teater sebagai tontonan kostum sering membedakan para pemain secara visual. Itu sudah terkondisi dan harus terjadi. Bayangkan kalau dua kubu dalam permainan sepak bola dengan kostum yang serupa, pasti berabe! c) Seni Gerak Seni gerak memperkaya seni peran dalam teater. Bahkan dapat menjadi satu kesatuan, seperti yang dilakukan dalam opera dengan musik dan sastra. Seni gerak menyangkut koreografi atau garapan tari yang dapat mendukung dan menajamkan permainan secara artistik. d) Seni Musik Seni musik di dalam teater dapat bersifat fleksibel dan kadangkala dianggap sebagai pengiring saja. Namun garapan musik dalam teater tidak boleh dikatakan terpisah dan dilakukan semaunya saja. Kalau hal itu terjadi, ia hanya semakin merusak pertunjukan teater itu sendiri. Pelaku musik dalam teater harus mengerti teater itu sendiri dan tidak harus ahli musik secara umum. e) Seni Sastra/Naskah Di tataran kecil, seni sastra dapat menjajah permainan teater karena ketergantungannya kepada naskah. Namun seni sastra tidak mungkin dilepaskan dari teater yang menampilkan seni perannya secara verbal atau menggunakan dialog dalam bentuk kalimat atau susunan kata-kata. Seni sastra dalam teater seperti partitur dalam konser musik klasik. Namun diwujudkan kembali melalui bentuk hafalan dan penghayatan isi naskah. Dialog-dialog yang dilontarkan pemain atau aktor/aktris selama penampilan mereka bahannya dapat dihafal dan diambil dari naskah. Namun ada juga dialog-dialog yang bersifat spontan atau tanpa mengandalkan naskah. Penampilan teater-teater rakyat seperti Opera Batak, Lenong, Ketoprak, dan lain-lain naskah tidak diperlukan lagi karena para pemainnya dapat secara spontan menciptakan dialog di atas panggung. f) Non-Artistik atau Pengorganisasian Produksi Pertunjukan Unsur–unsur seni dalam teater menjadi kategori yang diperhatikan secara intens dalam proses membentuk pertunjukan teater. Setelah proses menemukan bentuk pertunjukan selesai, non-artistik merupakan kategori pelengkap untuk membuat suatu pertunjukan teater berhasil. non-artistik menyangkut sistem produksi dan promosi untuk mengajak para penonton datang dan hadir melihat pertunjukan teater. Tentu non-artistik memerlukan personil yang mengetahui sistem-sistem itu, seperti personil yang dibutuhkan dalam penggarapan unsur-unsur seni tadi dalam teater. 4. Lakon dan Pemeranan Yang dimaksud dengan lakon adalah seni peran itu sendiri. Seni peran (the art of acting) merupakan nyawa dalam teater. Jerry Grotowsky (teaterawan dari Polandia) melalui konsep Teater Miskin-nya pernah membuat adagium teater tanpa naskah, tanpa sutradara, tanpa kostum, tanpa lampu, tanpa dekorasi, dan tanpa musik masih dapat berlangsung; namun tanpa penonton? Setidaknya dibutuhkan satu orang penonton. Yang sangat tidak mungkin adalah tanpa pemain atau pelaku seni peran itu. Jadi lakon dan pemeranan itu menjadi sekaligus faktor utama dalam berteater. Membangun lakon dan pemeranan harus melihat syarat-syarat mendasar dari isi yang akan dilakonkan dan diperankan. Syarat-syarat tersebut dikaitkan dengan tubuh, suara, dan imajinasi pemerannya. Banyak pendekatan yang dilakukan untuk membangun lakon dan pemeranan. Namun mengikuti Eka D. Sitorus (2002:iii) ada dua pendekatan seni peran atau akting dirumuskan, yakni: Pendekatan Akting Representasi yang dicontohkan melalui cara-cara yang dilakukan oleh Benoit Constant Coquelin (1843–1909) dan Sarah Bernhardt (1844–1924) serta Pendekatan Akting Presentasi yang dicontohkan melalui cara-cara Konstantin S. Stanislavski (1863-1938) dan Eleonora Duse (1858-1924). Pendekatan Akting Representasi adalah proses di mana si aktor menentukan lebih dahulu tindakan-tindakan yang dilakukan karakter yang dimainkannya. Secara sengaja dia memperhatikan bentuk yang diciptakan sambil melakukannya di atas panggung. Sementara Pendekatan Akting Presentasi adalah pengutamaan identifikasi antara jiwa si aktor dengan jiwa si karakter, sambil memberi kesempatan kepada tingkah laku untuk berkembang. Tingkah laku yang berkembang ini berasal dari situasi-situasi yang diberikan si penulis naskah (idem, 22-29). Kedua pendekatan itu mungkin bisa divariasikan dengan cara memperdalam keduanya oleh seorang aktor melalui proses latihan dan transformasi yang dilakukan dalam penyutradaraan. Saya kira para sutradara terkenal seperti Brecht (teater realisme), Grotowsky (teater miskin), dan Peter Brook (teater interkultural) mengadopsi dua pendekatan itu untuk kepentingan sistem pelatihan lakon, perkembangan keaktoran, dan penyutradaran mereka lakukan. 5. Teknik Bermain Teater Lepas dari sistem penyutradaraan dan sutradara sistem pelatihan lakon dapat dibangun secara teori dan praktik melalui sejumlah teknik dan pendekatan tubuh pemain atau aktor/aktris. Pola umum dari teknik seni peran terdiri dari tiga (3) pola, yaitu: a) Melontarkan contoh kalimat atau dialog, baru bergerak b) Bergerak duluan, baru mengucapkan kalimat atau dialog c) Simultan keduanya Dalam memilih dan melaksanakan salah satu pola itu teknik bergerak diwarnai oleh gerakan tubuh melalui perpindahan (movement), diam (static) dan sambil memainkan alat tertentu dalam lakon yang dimainkan (business). Pola dan ketrampilan tubuh pemain atau aktor/aktris tentu saja harus dilengkapi dengan kekuatan dan kreativitas tubuh. Kekuatan dan kreativitas tubuh pemain atau aktor/aktris ditemukan melalui berbagai latihan tubuh secara internal dan eksternal. Tubuh secara internal tentu saja dikaitkan dengan kesehatan aktor secara fisik dan psiko-kognitif. Sedangkan tubuh secara eksternal adalah kemampuan beradaptasi di luar diri untuk kepentingan lakon. Ada banyak cara untuk melatih tubuh secara internal, yaitu dengan latihan fisik seperti olah tubuh, gymanstik, suara, pernafasan. Sedangkan latihan psiko-kognitif dapat dilakukan melalui latihan konsentrasi, meditasi, yoga, membaca. Ada banyak teknik-teknik dan contoh melakukan latihan-latihan tersebut yang bisa dilakukan pemain atau aktor/aktris sesuai dengan kemampuan dan kecocokannya. Namun tentu saja dicocokkan terhadap kesiapan kondisi tubuh itu sendiri dan kemauan bereksperimen atas tubuh keaktoran. Seorang pelatih untuk tubuh secara internal tidak selalu seorang sutradara, karena bagian sutradara adalah tubuh secara eksternal. Pelatih tubuh secara internal bagi seorang pemain atau aktor/aktris adalah diri sendiri setelah menyerap kemungkinan-kemungkinan dari suatu latihan dan pelatihan. Lalu kebiasaan berlatih akan menjadi pintu penemuan tradisi seorang pemain atau aktor/aktris dalam setiap memainkan lakon. Setelah itu dia dapat berlatih dan berlatih terus menerus dalam keliatan tubuhnya dan kemurahan untuk berbagi (sharing) kepada penonton dan generasi baru yang ingin memanfaatkan teater dalam perkembangan kemanusiaan. DASAR-DASAR SENI PERAN OLAH TUBUH, VOKAL, SUKMA, PEMBUATAN NASKAH 1. Praktik kesiapan dan ketahanan organ-organ pendukung tubuh sebagai media utama berteater dengan pemanasan atau stretching 2. Melatih pernafasan 3. Melatih vokal dan konsonan 4. Melatih teknik vokal dalam kaitan pola pernafasan 5. Latihan daya ucap (artikulasi) 6. Latihan suara artifisial 7. Melatih imajinasi 8. Melatih gerak tubuh dengan gestur status, dinamis, pantomim, menari, maupun yoga OLAH SUKMA Meditasi Manajemen Emosi : datar, naik, turun, campuran atau berkelok. Teknik Penggalian karakter tokoh/prep: Bentuknya (antagonis, protagonis, campuran, serius, karikatural, comedían dsb) Teknik memasuki peran karakter atau tokoh: mimesis/meniru, metamorfosis/melahirkan kembali, campuran. OLAH PERNAFASAN Teknik pernafasan dada Teknik pernafasan perut atau diafragma OLAH VOKAL mengenal posisi huruf vokal dan konsonan teknik pengucapan vokal dan konsonan teknik mengeluarkan huruf bersambung teknik mengucapkan dialog perkalimat OLAH PERAN mempelajari naskah/cerita Pengkarakteran Reading/membaca dengan karakter Olah gerak Olah dialog (intonasi, jeda, penggalan kata-kalimat, sahut-menyahut). PEMBUATAN NASKAH Pencarian ide (membaca buku, melihat fenomena sosbudpolhukam, acara tv dll) Membuat cerita/naskah (berlatih kata bersambung, deskripsi latar, tokoh dll, tangga dramatik , pendahuluan, pengantar, konflik, klimaks, antiklimaks, suolusi, penutup, menyusun dialog, menyusun alur/plot.) Menyusun kerangka cerita/naskah. (awal cerita/pendahuluan, deskripsi latar, setting, lampu teknik muncul, deskripsi tokoh, sebab-akibat/calon/bibit konflik, konflik, kilmaks konflik, anti klimaks, solusi penutup) Penulisan naskah. MANAJEMEN PEMENTASAN LATIHAN LAKON CERITA 1. Memilah cerita yang dianggap lebih sulit atau lebih mudah untuk dipentaskan 2. Menampilkan sosok tokoh yang diperankan secara terpisah 3. Mempertemukan sosok tokoh itu dalam situasi non-cerita dan cerita yang diperankan LATIHAN PENGUASAAN PANGGUNG Teknik muncul Teknik Moving/bergerak Teknik blocking atau penemtapan posisi Teknik menggunakan aksesoris atau properti panggung Teknik mengenal setting/latar, audio/suara, ligthing/tata lampu Teknik penyelarasan musik dan gerak Adaptasi panggung LATIHAN MENGENAL SETTING/LATAR, DAN TATA LAMPU Membuat sett Membuat property Membuat aksesoris Mengenal semua bahan Mengenal kegunaan dan fungsi Mengenal warna, bentuk, bahan tata letak Mengenal tata lampu LATIHAN TATA RIAS DAN KOSTUM Mengenal bahan, bentuk, kegunaan dan fungsi kostum Mengenal teknik pembuatan dan pemakaian Mengenal bahan, jenis, kegunaan kosmetik Mengenal cara pemakaian kosmetik Mengenal bentuk tata rias karakter wajah dan tubuh MANAJEMEN PRODUKSI PEMENTASAN TEATER Pencarian ide pementasan dan naskah Pembentukan tim produksi (Pimpinan produksi, sekretaris, bendahara, direktur artistik, produser, bagian-bagian atau seksi) Persiapan produksi - Pimpro (menyiapkan proposal, perijinan, kerjasama dll). - Direktur artistik (penyutradaraan, casting pemain, koordinator pemain, koordinator latihan, penata musik, latihan, runtrue, harmonisasi musik, tata lampu, setting, runtrue, gladi kotor, gladi bersih, pentas, evaluasi) PEMENTASAN & EVALUASI Persiapan (tempat, ijin, kerjasama, promosi, iklan, undangan, acara) Artisik (stage manajer, kostum, tata rias, pemain, setting, lampu, perlengkapan). Acara pendukung kalau ada Pementasan dan evaluasi DAFTAR BACAAN Anirun, Suyatna., Menjadi SUTRADARA, STSI PRESS, Bandung: 2002. Brook, Peter., Percikan Pemikiran tentang Teater, Filem, dan Opera, Penerbit Arti, Yogyakarta: 2002. Grotowski, Jerzy., Menuju Teater Miskin, Penerbit Arti, Yogyakarta: 2002 Hadi, Y. Sumandiyo., Seni dalam Ritual Agama, Penerbit Pustaka, Yogyakarta: 2006. Hartoko, Dick., Pengantar Ilmu Sastra, Penerbit PT Gramedia, Jakarta: 1986. -----Menguak Tubuh, Jurnal Kalam edisi 15, Jakarta. Nagai, Haruka., Makko Ho – Latihan Kesegaran Jasmani Ala Jepang, Penerbit Pionir Jaya, Bandung: 1993. Peacock, James L., Ritus Modernisasi – Aspek Sosial dan Simbolik Teater Rakyat Indonesia, Penerbit Desantara, Jakarta: 2005. Sahid, Nur (ed)., Interkulturalisme dalam Teater, Penerbit Yayasan untuk Indonesia, Yogyakarta: 2000. Riantiarno, Nano. Menyentuh Teater, Tanya Jawab Seputar Teater Kita. 2003. Penerbit MU: 3 Books. Jakarta. Sani, Rachman,. Yoga untuk Kesehatan, Penerbit Dahara Prize, Semarang: 2003. Sitorus, Eka D., The Art of Acting – Seni Peran untuk Teater, Film & TV, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta: 2002. Stanislavski, Constantin,. Membangun Tokoh, Penerbit KPG dan Teater Garasi, Yogyakarta: 2008. Sumardjo, Jakob., Ikhtisar Sejarah Teater Barat, Penerbit Angkasa, Bandung: 1986. Mitter, Shomit., Stanislavski, Brecht, Grotowski, Brook, Sistem Pelatihan Lakon, Arti, Yogyakarta: 2002. Saptaria, Rikrik El., Panduan Praktis Akting untuk Film & Teater, Penerbit Rekayasa Sains, Bandung: 2006.
Posted on: Sun, 08 Sep 2013 15:15:39 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015