MEMAKNAI PERGANTIAN TAHUN Oleh: A.Rifai Abun Saat ini kita - TopicsExpress



          

MEMAKNAI PERGANTIAN TAHUN Oleh: A.Rifai Abun Saat ini kita berada di jum’at terakhir bulan Dzul Hijjah 1434 H. Artinya tidak lama lagi kita akan memasuki tahun baru Islam 1435 H. Perubahan dari bulan ke bulan dan tahun ke tahun itu, sangat berkaitan dengan namanya “waktu”. Tentu saja pergantian waktu itu adalah sebuah keniscayaan dan terasa begitu cepat - apalagi di tengah-tengah kehidupan dunia yang sudah mengglobal dan kontemprer ini. Karena perubahan itu adalah sebuah keniscayaan. Karena dunia ini pada hakekatnya memang selalu bergerak dan berubah. Herakleitos seorang filsuf Yunani yang hidup disekitar (tahun 540-480 SM), seperti yang ditulis oleh Ayer dalam A Dictionary of Philosophical Quotation: mengatakan bahwa kita tidak akan pernah menginjak air sungai yang sama untuk kedua kalinya. Ungkapan itu seiring dengan pernyataan Rumi dimana gerak kehidupan selalu cenderung kea rah yang lebih baik dan maju. Segala sesuatu cinta pada kesempurnaan, maka ia pun meronta ke atas bagaikan tunas. Dengan terjadinya perubahan waktu dan pergantian tahun tersebut , dan ketika seseorang tidak dapat memenfaatkan waktu itu secara tepat guna, maka ia akan mengalami kerugian yang berkepanjangan. Sebab, Allah swt berkali-kali bersumpah dengan menggunakan berbagai ungkapan kata yang menunjuk pada waktu-waktu tertentu, seperti wa al-Lail (demi Malam), wa an-Nahar (demi Siang), wa al-Fajr (demi waktu Fajar), wa as-Subhi (demi waktu Subuh), wa al-‘Ashr (demi waktu menjelang terbenamnya matahari) dan lain-lain. Salah satu bentuk dari kerugian itu jika kita tidak dapat meminitnya dengan baik di antaranya di katakan oleh Allah dalam firmanNya: • Artinya: Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan saling nasehat menasehati untuk mentaati kebenaran – yang diliputi dengan penuh kesabaran. Dalam Islam pemanfaatan waktu secara efisien dan efektif itu merupakan hal yang sangat ditekankan. Nilai hidup sesorang dalam perspektif Islam bukan dihitung dan dilihat berdasarkan kecantikan, kekayaan, pangkat, jabatan atau kedudukannya. Akan tetapi hidup dalam Islam merupakan perjuangan, dan kerja keras dengan memanfaatkan waktu secara maksimal dan optimal dalam rangka mencapai ridha Allah SWT. Lewat perjalanan sejarah, tidak ada para Nabi dan Rasul yang hidup bersantai-santai atau berlomba menumpuk harta kekayaan serta mencari popularitas sesaat. Semua mereka bekerja keras dengan memanfaatkan waktu demi tegaknya syi’ar agama Allah dan ibadah. Karena ini merupakan investasi amal kita untuk menghadapi Allah di akhirat kelak. Melalui pergantian tahun beberapa bulan yang lalu, mungkin kesadaran akan betapa pentingnya masalah waktu perlu kita tumbuh kembangkan dalam setiap sanubari Muslim. Oleh karena itu, semboyan bahwa abad ke-15 Hijriyah sebagai abad kebangkitan umat Islam (seperti yang pernah didengungkan oleh cendikiawan Muslim dan prediksi para futurolog Barat), beberapa tahun yang silam – sebaiknya dirubah menjadi abad kesadaran umat Islam. Penyadaran terhadap umat ini berarti kita harus melakukan perubahan atau hijrah. Sebab Al Qur’an dan hadist menginformasikan akan hakikat dari hijrah itu, yaitu: menyingkir dari perbuatan maksiat dan hal-hal yang menimbulkan kerusakan. Dan ini tidak berarti harus menyingkirkan fisik kita dari lingkungan di mana terjadinya maksiat, akan tetapi menjaga diri supaya tidak terlibat. Hal ini sejalan dengan Sabda Rasul: Artinya: “Yang dinamakan orang yang hijrah (muhajir) ialah menyingkir dari sesuatu yang dilarang oleh Allah”. (Al Hadist). Terhadap orang-orang yang melakukan hijrah (perubahan) dan kemudian meninggal dunia dalam perjalananya, Allah akan memberikan pahala. FirmanNya: • Artinya: Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi Ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, Kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), Maka sungguh Telah tetap pahalanya di sisi Allah. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S.An Nisa’: 100) Sementara bagi orang-orang yang berjihad di jalan Allah akan ditunjukkan kepadanya jalan yang menuju kemenangan, sesuai dengan firman-Nya: • • Artinya: Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) kami, benar- benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. (Q.S.Al Ankabut: 69) Jika kita mencoba mengkaitkan hijrah ini dengan peristiwa yang dialami Rasulullah beberapa abad yang silam, memang Hijrah Rasul itu dalam rangka merekonstruksi guna membangun masyarakat madani yang berkeadaban, familiar, kepatuhan kepada hukum serta penegakkan cita-cita. Dan hijrah Muhammad dalam kenyataannya bukan hanya hijrah fisik, tetapi lebih dari itu adalah sebuah mata rantai gerakan reformasi mental dan etika sosial. Jika di Makkah wacana ke-Islamam lebih fokus pada keimanan, maka di Madinah Rasul Allah membangun etika sosial. Itulah sebabnya begitu Muhammad saw, tiba di tempat yang baru bernama Yatsrib, Ia mengubah namanya Madinah. Apa yang dilakukan oleh Rasulullah tersebut dan dikaitkan dengan esensi dan eksistensi dari kehadiran beliau itu di tengah-tengah masyarakat sebagai pengusung nilai-nilai kebenaran dan contoh yang paling akurat dalam berbagai lini kehidupan dan mampu dan terbukti dengan kewibawaa yang dimilikinya – yang kata dan perbuatannya sudah menunjukkan bobot yang tak diragukan lagi sesungguhnya sudah memberikan strategi yang sangat jelas dan tepat bagi kita di tengah-tengah kehidupan yang modern global dan pluralis dan kontemporer ini, tentu saja prilaku dan pribadi Rasul Muhammad tersebut masih tetap relevan untuk kita implementatipkan dalam berbagai aspek kehidupan kita. “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasul itu teladan yang paling baik bagi kamu (yaitu) bagi orang-orang yang senantiasa mengharap rahmat Allah dan (kedatangan) hari akhirat dan dia banyak berzikir kepada Allah (Q.S. Al Ahzab: 21) “Sesungguhnya telah datang kepada kamu seorang Rasul dari kelompokmu sendiri, berat dirasa olehnya penderitaan kamu, sangat menginginkan keimanan dan keselamatan bagi kamu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. Maka sekiranya mereka berpaling, katakanlah: ‘Cukuplah Allah bagiku, tidak ada Tuhan selain Dia, kepada-Nyalah aku bertawakkal, dan Dia adalah Rabb yang memiliki Arsy yang Agung’ (Q.S. At-Taubah: 128-129) Hal ini dapat kita lihat dari struktur pemerintahan yang dibangun oleh Rasulullah tersebut, baik dalam bentuk jalan struktural maupun cultural. Mazhab strukturalisme ini didapati di Madinah, sedang mazahab kulturalisme ini ditemukan di Mekah. Keduanya harus disatukan dan diadobsi serta digerakkan sebagai bagian dari strategi pedang bermata dua. Saling melengkapi dan bekerjasama. Sebab, setiap tempat, zaman dan subjek mempunyai tantangan sendiri-sendiri. Dengan tantangan itu tentu saja Islam diharapkan mampu memecehkan berbagai persoalan tersebut. Islam harus dimaknai oleh para pemeluknya untuk mampu membaca tanda, membaca arah dan kecenderungan dan ikut memberikan solusi. Ia juga harus mampu memberikan advis yang melampaui mainstream zamannya. Kita tahu dan sadar, apa yang tengah dihadapi zaman sekarang adalah zaman dengan bermilyar kecepatan. Yang dengan kecepatan tersebut, sebuah bangsa dapat saja mempat dan menjadi status quo, kemudian berhenti lalu secara perlahan-lahan mulai membusuk. Kegagalan menyelesaikan berbagai persoalan yang mencuat akhir-akhir ini dan dari waktu ke waktu bertambahnya kasus serta menumpuknya persoalan-persoalan baru – tidak menutup kemungkinan bangsa ini pada suatu waktu akan meledak, membakar seluruh tabung kebaikan yang ada. Apa yang menyebabkan semua ini terjadi, karena saat ini bangsa kita tengah dikitari oleh musuh-musuh yang karakteristiknya tidak ubahnya seperti orang-orang munafik. Musuh itu banyak ragamnya, di antaranya secara personal: person baru bermental lama dan person lama berwajah baru. Secara institusional; berupa birokrasi yang tidak efesien dan feodalis. Sedangkan dari luar berupa idiologi neo-kolonialism, neo-liberalism dan orientalisme. Dan dari kalangan elit saat ini masih bermunculan kepemimpinan yang tidak kavabilitas, tidak memiliki integritas dan tidak bervisi sama sekali kedepan. Yang telah memunculkan tak ubahnya seperti karakteristik sikap-sikap orang munafiq. Di mana secara lahiriyah tampaknya Islami dan kental dengan agama, namun sesungguhnya semua itu hanyalah sebuah kemunafikan. Sebab yang terjadi secara nyata-nyata justru hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam. Hal ini terlihat dari hari-hari terakhir ini di mana sudah mulai bermunculan – memudarnya etika kepemimpinan, merosotnya nilai-nilai moral bangsa, munculnya kegalauan dalam berbagai bentuknya, serta terjebaknya kepada kehidupan sektoral, perasaan paling benar, sangat mudah mengumbar janji dan seringkalai bersumpah atas nama Allah (Tuhan) untuk melakukan kebajikan, namun tak pernah diwujudkan. Bagi mereka, sumpah tersebut hanyalah sebagai alat justifikasi untuk menduduki kekuasaan. • “Mereka itu telah menjadikan sumpah sebagai perisai lalu mereka menghalangi manusia dari jalan Allah. Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka kerjakan”. (Q.S. Al Mujadalah: 16) Dan juga mereka ini selalu menonjolkan ke permukaan berbagai konsep yang kelihatannya sangat menarik, meyakinkan dan bahkan menjanjikan, tak ubahnya mereka ini seperti orang alim dan pembela kebenaran – ternyata hal itu adalah dalam rangka menarik simpatik masyarakat. • • • Apabila kamu melihat mereka secara lahiriyah, mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata, kamu mendengarkan perkataan mereka. Mereka seakan-akan kayu yang tersandar. Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan keras ditujukan kepada mereka. Mereka itu adalah musuh yang sebenarnya, maka waspadalah terhadap mereka. Semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan dari kebenaran? (Q.S.Al Munafigun: 4) Dan juga yang perlu kita cermati karakteristik orang munafik itu adalah sikap mereka seringkali tidak pernah punya pendirian yang mantap dan jelas. Mereka ikut dan mendukung kelompok apa saja yang dianggap menguntungkan mereka secara material. Dan ini mulai terlihat di kalangan elit partai. Ketika elit itu tidak dapat diakomudir dalam partainya ia mulai menyeberang ke partai lain - lalu menunding dan mencaci maki partai yang ditinggalkannya. Dan deretan orang-orang yang mempunyai karakteristik seperti orang-orang munafik itu kian memanjang – yang lahir dan muncul dari pansus Century. Kelompok ini dalam kacamata agama, tentu saja tidak bisa diberi kepercayaan (amanah) sama sekali. Dalam hubungan ini Allah berfirman: “Mereka itu dalam keadaan ragu-ragu antara yang demikian (iman atau kafir); tidak masuk kepada golongan ini (orang-orang beriman) dan tidak (pula) kepada golongan itu (orang-orang kafir). Barangsiapa yang disesatkan Allah, maka kamu sekali-kali tidak akan mendapat jalan (untuk memberi petunjuk) baginya” (Q.S.An-Nisa: 143) Kesadaran akan musuh bersama yang terpetakan mengharuskan bangsa ini dituntut untuk menjadi sebagai sebuah bangsa yang cepat menyadari kesalahan masa lalu dan meninggalkannya untuk membangun Sumber daya alam, sumber daya manusia dan social capital segera cepat dan berkelanjutan. Dan pergerakan itu tentu saja, diperlukan kecermatan, ketelitian dan kehati-hatian serta yang paling penting adanya sikap rasional. Sebab, bila dilakukan secara tergesa, ia akan terjatuh untuk kesekian kalinya dalam kegagalan yang sama. Bersikap ad-hoc, karikaturis, pongah, bervisi pendek, buram agenda dan gagap (reaktif).Tanpa kemauan untuk melakukan perubahan atau berhijrah, kita akan hidup dalam politik jahiliyah. Politik yang menghasilkan struktur dan kultur yang lemah sehingga tak bermanfaat sama sekali. Untuk semua itu dan sudah saatnya kita mengusung nilai-nilai fundamental yang terdapat dalam “masyarakat madani” yang dibangun oleh Rasulullah saw, yang berpedoman pada sebuah konstitusi yang disepakati, dan cerminan masyarakat yang sehat, berakar kokoh dalam proses kesejarahan, sekaligus berpenampilan kerahmatan di dalam suasana dan tata kehidupan masyarakat. Yaitu suatu masyarakat Islami dengan pendukung-pendukung yang secara terlebih dahulu berkeperibadian Islami pula. Kondisi kehidupan semacam ini, betul-betul memperlihatkan kristalisasinya sebagai sebuah keimanan dan sistem sosio politik. Karena consep Islam merupakan satu-satunya ajaran yang dapat menyelesaikan problematika umat manusia. Namun sayangnya umat Islam sendiri saat ini sedang menghadapi berbagai problema internal yang diakibatkan oleh perpecahan dan tersobeknya kesatuan umat. Keadaan seperti ini akan terus berlangsung selama umat Islam masih tetap dalam perpecahan dan tidak berkehendak mencari jalan keluarnya. Di penghujung khutbah ini, kita berharap banyak kepada pemimpin kita, baik pemimpin republik ini, maupun pemimpin yang ada pada tingkat eksekutif dan legislatif daerah kabupaten/kota dan provinsi yang telah dipercaya dan dipilih rakyat untuk mengemban amanah berupa penyelesaian negara dan bangsa ini dalam berbagai persoalannya, kiranya tidak hanya menjadi pemanis bibir dan hanya pelipur lara bagi kalangan rakyat, namun semua itu dapat diwujudkan, sehingga negara ini akan berlabuh ke pulau yang diharapkan oleh banyak orang yaitu “baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafur”.
Posted on: Fri, 25 Oct 2013 04:11:10 +0000

Trending Topics



t:30px;"> Bathroom Fixtures Kraus C-GV-100-12mm-15500BN Crystal Clear Glass
ONLAR,AİLEMİZİN ÇINARI..GÖLGESİNDE SOLUKLANDIĞIMIZ DEV

Recently Viewed Topics




© 2015