MEMBATJA PEMIKIRAN BAPAK BANGSA, MELAWAN HISTORICAL - TopicsExpress



          

MEMBATJA PEMIKIRAN BAPAK BANGSA, MELAWAN HISTORICAL LOBOTOMY (Pointer-pointer yang pernah saya presentasikan di Museum Konferensi Asia Afrika) • Di zaman reformasi ini khalayak ramai makin meminati sejarah. Awalnya orang cuma ingin tahu soal G30S, karena tidak puas dengan versi Soeharto dan Orde Baru yang terus berjaya selama 32 tahun. Tapi sekarang perhatian pada sejarah menjalar pada periode-periode lain, terutama periode penjajahan. Di sinilah banyak orang, terutama generasi muda, menghadapi masalah besar. Mereka kesulitan membaca tulisan-tulisan lama yang kebanyakan tidak ditulis dalam EYD, dan banyak tulisan bermakna sejarah memang tidak ditulis dalam EYD. Di lain pihak, kini mulai bermunculan tulisan-tulisan lama tidak dalam EYD. Contohnya “Bakoel Koffie” atau “Boemboe Desa”. Timbul kesan seolah-olah kita kembali ke zaman Belanda, ketika ejaan Van Ophuysen masih berlaku. Tapi jelas tulisan macam begitu cuma judul. Membaca judul dalam ejaan zaman kolonial jelas lain dengan membaca buku dari zaman itu. Menurut Eka Kurniawan, penulis yang menggunakan Edjaan Van Ophuysen dalam cerpennya “Pengakoean Seorang Pemadat Indis”, edjaan djadoel (jaman dulu) itu dipakai untuk mengesankan bahwa penggunanya memang sudah tua, sehingga akan terbayang bahwa perusahaan ini sudah lama, sudah mapan sekali. Bagi Eka citra itulah yang ingin dibangkitkan. Dengan kata lain makin banyaknya dunia usaha memanfaatkan ejaan non EYD tidaklah berarti khalayak ramai sudah terbiasa dengan ejaan lain. Kesulitan terhadap ejaan non EYD tetap merongrong. Maka yang sebenarnya patut dicurigai adalah EYD sendiri, karena ejaan ini telah menghalangi generasi muda untuk membaca dan memahami sejarah mereka sendiri. • Dalam tulisannya yang berjudul “EYD dan Amnesia Nasional” dan dimuat di Majalah Basis Edisi Juli-Agustus 2010, Wahmuji menuliskan sebagai berikut: “Pada tanggal 11 Agustus 1966, bertempat di Jakarta, pemerintah Indonesia, yang diwakili oleh Menteri Utama Bidang Politik/Menteri Luar Negeri Indonesia Adam Malik, dan Malaysia, oleh Wakil PM/Menlu Malaysia Tun Abdul Rozak, menandatangani naskah pemulihan hubungan baik antara kedua negara. Pada bulan yang sama, Lembaga Bahasa dan Kesusatraan (LBK) telah menyelesaikan tugas yang diembannya atas perintah Ketua Gabungan V Komando Operasi Tertinggi untuk menyelesaikan konsep ejaan yang akan diajukan pada Malaysia. Konsep ejaan yang telah diselesaikan oleh LBK dengan ketua panitia Anton M. Moeliono ini kemudian diajukan pada Malaysia dalam sebuah pertemuan yang diadakan pada 21-23 Juni 1967, di Kuala Lumpur, Malaysia. Sebagian besar konsep LBK diterima oleh Malaysia, yang saat itu memiliki empat sistem eja (Ejaan Wilkinson, Ejaan Za’baa, Ejaan Fajar Asia, dan Ejaan Kongres). Pada tanggal 17 Agustus tahun yang sama, Ejaan Baru Bahasa Indonesia sedianya akan diresmikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan waktu itu, Sarino Mangunpranoto. Namun karena berbagai alasan, ejaan satu-simbol-satu-bunyi itu, dengan berbagai perbaikan, baru diresmikan pada masa Menteri P dan K Mashuri SH pada tahun 1972, dengan nama baru: Ejaan yang Disempurnakan. Pada tahun 1968, setahun setelah Ejaan Baru diperkenalkan, Harimurti Kridalaksana, salah satu ahli bahasa yang terlibat dalam perumusannya, menulis sebuah esai pembelaan atas pentingnya perubahan ejaan dalam bahasa Indonesia, berjudul Latar Belakang Penyusunan Ejaan Baru.” • Joss Wibisono dari Radio Nederland Seksi Indonesia menjelaskan tentang “Edjaan Suwandi” yang menurutnya lebih nasionalis karena merupakan “Edjaan Van Ophuijsen”, dan ingin menjauh dari hal-hal jang kebelanda-belandaan meski juga disadari bahwa tidak bisa sepenuhnya lepas dari pengaruh asing, sehingga yang ditempuh adalah mencari keseimbangan antara yang asing dan yang Indonesia (tidak sepenuhnya anti asing dan tidak sepenuhnya fanatik pada yang Indonesia). Inilah nasionalisme yang menarik, bukan nasionalisme picik, karena anti asing dan mengunggul-unggulkan Indonesia; nasionalisme yang juga menghargai pentingnya pengaruh asing. Sementara EYD tidaklah demikian. EYD, sejalan dengan Malaysia sebagai mitranya, memihak bahasa Inggris. Ini berbahaya, karena dengan begitu Indonesia akan melupakan asal-usul ejaan bahasanya yang adalah ejaan Belanda. Dan begitu EYD diberlakukan, kawula muda tidak tertarik lagi pada bacaan-bacaan zaman dulu, bacaan-bacaan yang bernilai sejarah. Di sinilah makna EYD yang sebenarnja: menutup gerbang sejarah dari pemilik sejarah itu sendiri, apalagi kawula mudanya. Dan itu, menurutnya, sengaja dilakukan oleh Orde Baru Soeharto. Sebagai penguasa totaliter dan sewenang-wenang, Soeharto dan antek-anteknya merasa harus menguasai pikiran orang. Dan tidak ada cara lain dalam menguasai pikiran itu kecuali menguasai bahasa. Kenapa? Karena orang berpikir dalam bahasa. Begitu bahasa dikuasai maka pikiran orang pun juga akan terkuasai. Menguasai bahasa bukan hanya mengeluarkan kosa kata yang diharuskan oleh penguasa (Orde Baru sangat gemar mengeluarkan kosa kata semacam ini), tetapi juga melalui ejaan yang diwajibkannya. • Salah seorang tokoh yang sudah lama mencurigai EYD adalah Indonesianis senior Profesor Benedict Anderson, pensiunan Cornell University di Amerika melalui esai panjangnya yang berjudul “Exit Soeharto: Obituary for a Mediocre Tyrant” dan diterbitkan oleh New Left Review. Sudah sejak tahun 2001, Ben Anderson, begitu panggilannya, menulis EYD sebaiknya dilupakan saja. Alasannya ejaan itu menyebabkan angkatan muda menganggap buku-buku dalam ejaan “lama”, bikin mumet, aneh, dan tak terbaca. Di sini Anderson datang dengan istilah “historical lobotomy”, maksudnya pikiran buntet sejarah yang diidap oleh generasi muda, antara lain, karena tidak suka baca tulisan atau buku dalam ejaan lama. Baginya ini adalah akibat politik jahat Orde Baru. Kini, dengan EYD, generasi muda semakin dibuat buta sejarah, generasi muda Indonesia (produk Orde Baru) menderita apa yang disebut kehampaan sejarah. Itu antara lain disebabkan oleh bahasa dan ejaan tadi. Menurut Benedict Anderson, Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) adalah sebuah teknik jitu yang dilakukan pemerintahan Orde Baru untuk memenggal sejarah bangsa Indonesia, yaitu dengan menandai segala yang ditulis di zaman Soeharto dan sebelumnya. Segala tulisan dengan ejaan lama dicurigai sebagai sisa-sisa Soekarnoisme, konstituonalisme, revolusi, atau periode kolonial. Perubahan itu cukup besar dan sistematis hingga kaum muda begitu mudah dipengaruhi untuk menganggap tulisan-tulisan lama sebagai terlalu berat untuk dicerna dan kaum muda tidak perlu diganggui kesulitan-kesulitan itu. Makanya, bacalah tulisan yang ditulis dengan EYD! Konon, kata seorang dosen yang pernah menjadi salah satu rekan sekamar Ben Anderson, ketika Indonesia menyetujui penggunaan EYD, Ben Anderson kecewa dan marah besar serta berkata bahwa ia tidak mau lagi meneliti Indonesia. Pada abad 19 Amerika pernah juga berkeinginan untuk mengubah ejaan tetapi tidak berhasil karena pertimbangan sejarah. Jutaan buku tidak akan lagi berguna jika ejaan diubah! Dan itulah yang terjadi di Indonesia. Anderson menyatakan bahwa EYD adalah bagian dari sebuah rencana besar pemerintah rezim Orde Baru untuk menyebarkan virus “amnesia nasional”. Menurut Anderson, ada motif besar di balik alasan resmi kerjasama dengan Malaysia yang digaungkan oleh para ahli bahasa dan pemerintah Indonesia, yaitu: untuk membuat pemisahan yang tegas antara apa yang ditulis dalam era baru Soeharto dan apa yang ditulis di masa sebelumnya. Buku atau teks yang ditulis dalam era sebelumnya akan sangat mudah dikenali, bahkan saat orang membaca judulnya. Ketertarikan pada Ejaan Soewandi (atau yang lebih dikenal dengan Ejaan Lama) secara otomatis dicurigai sebagai sisa-sisa Sukarnoisme, konstitusionalisme, revolusi, atau periode kolonial. Hasilnya adalah penghapusan sejarah karena pengetahuan generasi muda atas negaranya terutama datang dari publikasi rezim yang sedang berkuasa, khususnya buku-buku paket sekolah. Sebagian besar kegiatan melawan penjajah hilang dalam buku sejarah. “Revolusi” diubah namanya menjadi “Perang Kemerdekaan”, dimana tentara dikisahkan memainkan peran yang sangat besar. Dan periode pasca-revolusi dari demokrasi konstitusional tiba-tiba dianggap bukan hasil kreasi politikus sipil. • Membaca buku tulisan linguis asal Norwegia Lars Vikør yang berjudul Perfecting Spelling (menyempurnakan ejaan) tentang sejarah lahirnya EYD, orang bisa meragukan peran Orde Baru dalam soal ganti ejaan ini. Perundingan Indonesia Malaysia soal harmonisasi ejaan sudah berlangsung sejak akhir 1950an. Bisa-bisa keseragaman ejaan Indonesia Malaysia itu akan tetap datang, tak peduli Orde Baru tampil atau tidak. Ternyata segala bentuk hubungan Indonesia Malaysia terhenti pada awal 1960an, ketika Bung Karno melancarkan konfrontasi dengan semboyan “Ganjang Malaysia”. Begitu pula perundingan soal ejaan, padahal sudah melahirkan kesepakatan Ejaan Melindo. Baru ketika Orde Baru tampil, atas keinginan dan titah orang kuatnya, pada tahun 1966 perundingan ejaan ini dilanjutkan dan bermuara pada tahun 1972 ketika Indonesia-Malaysia menyepakati serta memberlakukan EYD. Bahkan, supaya cepat dicapai persetujuan, Indonesia melunakkan pendirian. Dengan kata lain yang mengambil manfaat dan diuntungkan oleh EYD adalah Orde Baru. Ben Anderson jelas tidak salah tuding. EYD itu bisa saja akan diberlakukan tanpa perduli Soeharto memegang kekuasaan atau tidak karena saat itu memang sudah ada kerjasama di bidang bahasa antara Indonesia dan Malaysia. Tetapi, justru dengan keluarnya EYD inilah yang dimanfaatkan oleh Soeharto dan Orde Baru. EYD itu laksana buah yang turun dari sorgaloka untuk dipakai melanggengkan kekuasaan mereka. • Dr. Jérôme Samuel, pengajar INALCO, institut yang mengajarkan Bahasa dan Kebudayaan Timur di Paris, menulis sebuah buku yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul: “Kasus Ajaib Bahasa Indonesia: Pemodernan Kosa Kata dan Politik Peristilahan”. Dalam buku itu, sebagaimana diringkaskan dengan baik dalam resensi yang dibuat oleh Wahmuji, dia menjelaskan sejarah peristilahan dan penyerapan kosakata asing dari abad ke-8. Garis besar penyerapan itu ia klasifikasikan sebagai urutan proses, yaitu proses Indianisasi, Islamisasi dan Arabisasi, dan Hindia Belanda. Setelahnya, Jérôme Samuel membagi masa peristilahan menurut beberapa tahap, yaitu Tahap Pertama (Masa Pendudukan Jepang dan periode Soekarno), Tahap Pematangan (1967-1975), dan Orde Baru Peristilahan (1975-1995). Ada lima bagian dalam buku ini dan setiap bagian dibagi dalam bab-bab. Kita langsung melihat ke Tahap Pematangan yaitu periode yang dimulai setelah jatuhnya Soekarno dan dimulainya rezim Orde Baru. Tahap ini dinamai Tahap Pematangan karena dari sinilah dimulai kerja evaluatif kinerja KI dan perencanaan yang lebih matang (sistematis) untuk politik bahasa nasional (bisa berarti: politik bahasa nasional [politik bahasa Indonesia] dan politik bahasa nasional [politik nasional dalam bidang bahasa]). Pada tahap ini pula pemikiran sosiolinguistik Amerika mulai bermain penting, yang indikator kuatnya adalah penelitian yang dilakukan oleh lembaga International Research Project on Languange Planning Processes (IRPLPP) atas pendanaan dari Ford Foundation. Peneliti-penelitinya adalah Joan Rubin dan Bjorn Jernudd, yang menggunakan fondasi “perencanaan bahasa” (sebuah sosiolinguistik terapan dengan perhatian utama pada pemecahan masalah-masalah bahasa di negara-negara berkembang, baik dari segi status maupun pembakuan bahasa) yang telah diletakkan oleh “grup Fishman”. Kelompok bahasawan yang dikenal dengan nama “Grup Fishman” ini (salah satu bahasawan senior dalam kelompok itu bernama Joshua A. Fishman), atas biaya Ford Foundation, bekerjasama untuk merancang “perencanaan bahasa” di negara-negara dunia ketiga. Alasannya, berbeda dengan negara-negara Eropa, khususnya Prancis dan Inggris yang memiliki negara dulu baru merancang nasionalismenya, di negara Dunia Ketiga rasa kebangsaan sudah terbentuk sebelum terbentuknya negara. Di negeri Prancis, melalui Akademi Prancis, dan Inggris, melalui Universitas Oxford, identitas kebangsaan melalui bahasa dirancang. Pemerintah tidak campur tangan secara langsung. Sedangkan, di negara Dunia Ketiga, sebagai bagian dari identitas negara yang baru terbentuk, negara dianggap perlu melaksanakan, atau memfasilitasi sebuah lembaga untuk melaksanakan, perencanaan bahasa. Orang-orang baru bermunculan di periode ini, dan yang paling menonjol adalah Amran Halim, Anton M. Moeliono, dan Harimurti Kridalaksana. Pada tahap ini pula, Ejaan Yang Disempurnakan disepakati, yaitu dengan SK Menteri P. dan K. no. 03/A.I/72 tanggal 20 Mei 1972. Di samping itu, struktur-struktur baru kelembagaan mulai terbentuk dan yang akan menjadi landasan bagi tahap berikutnya. Seperti dicatat Jerome Samuel, intelektual Indonesia pasca-Soekarno memang dekat dengan intelektual Amerika yang bertugas “membantu” mengatasi masalah-masalah negara-negara Dunia Ketiga, termasuk Indonesia. Asvi Warman Adam, sejarahwan LIPI, mengatakan bahwa ada perubahan sikap Indonesia masa Soekarno ke masa Soeharto, yaitu peralihan dari pembangkang menjadi murid yang baik. • Yang cukup mengejutkan dari buku ini, ketika membaca sejarah peristilahan di Indonesia, menurut Wahmuji, adalah fakta bahwa faktor luarlah yang paling banyak mempengaruhi perubahan kosakata dan politik peristilahan di Indonesia (dari Indianisasi hingga politik bahasa nasional). Juga, bahwa bahasa, khususnya sejak dibiayai oleh Ford Foundation, tidak lain dan tidak bukan merupakan ranah implementasi dari sebuah skema besar yang sistematis untuk mefondasikan kajian-kajian linguistik kebahasaan di Indonesia pada penelitian-penelitian Amerika, yang efek jangka panjangnya sangat mengerikan. Meskipun Jérôme Samuel tidak secara rinci menjabarkan efek politis dari pendanaan Ford Foundation, ia tetap memberikan catatan kaki bahwa “perlu dilakukan penelitian mendalam tentang kegiatan dan pengaruh Ford Foundation yang sudah aktif sejak beberapa dasawarsa terakhir. Setelah pergantian rezim 1965-1966, melalui program penelitian dan kegiatan sosialnya, melalui beasiswa yang diberikannya, yayasan swasta Amerika ini tidak sedikit sumbangannya dalam membentuk kalangan elite cendikiawan Indonesia yang mengamerika dan mendukung prinsip-prinsip Orde Baru. Kegiatan yayasan ini dalam bidang politik bahasa merupakan salah satu aspeknya.” Nah, jangan-jangan, pilihan kita sekarang tinggal dua: “Pengamerikaan” atau “Amerikanisasi”? • Menurut Wahmuji, pada era pengenalan EYD, setelah diresmikan secara simbolik dalam Pidato Kenegaraan Presiden Republik Indonesia Djendral Soeharto, yang dibacakan “didepan (sic!) Sidang Dewan Perwakilan Rakjat 16 Agustus 1972,” generasi muda diberi pengertian bahwa bahan-bahan yang dicetak dalam Ejaan Lama susah dipahami, dan oleh karenanya, mereka tidak perlu bersusah-payah mempelajarinya. Cetak ulang buku-buku Ejaan Lama ke dalam EYD juga tidak banyak dilakukan, mungkin karena alasan biaya, atau mungkin, yang lebih masuk akal lagi, karena sensor penerbitan buku pada masa Soeharto sangat ketat. Tidak boleh ada versi sejarah “liar” yang berbeda dari versi resmi pemerintah. • Satu lagi kisah menarik yang Wahmuji ceritakan tentang peran Gabungan V Komando Operasi Tertinggi dalam perubahan ejaan, atau, lebih luas lagi, dalam pembaharuan bahasa di Indonesia adalah terlibatnya tentara dalam Kongres Bahasa Indonesia III, Jakarta 30 Oktober 1978. Dua dari 49 (empat puluh sembilan) prasaran yang dipresentasikan di kongres itu dibawakan oleh anggota ABRI, yaitu Letjen Sayidiman Suryohadiprojo (dengan prasaran berjudul “Bahasa Indonesia sebagai Sarana Pembinaan Ketahanan Nasional”) dan Letkol Hans Kawulusan (dengan prasaran berjudul “Pola-pola Pelaporan di Bidang Ilmu”)[xiv]. Fakta ini, yang juga dituliskan Harimurti dalam buku yang sama dengan esainya yang berjudul Latar Belakang Penyusunan Ejaan Baru, sekaligus menumbangkan tesisnya bahwa hanya ahli bahasalah yang “benar-benar tahu” seluk-beluk bahasa. Penguasa dalam rezim Orde Baru, lewat tentara, punya “kapasitas” yang jauh lebih tinggi dari para ahli bahasa itu dalam hal menentukan perubahan ejaan atau pembakuan bahasa Indonesia. Moncong senjata membuat mulut para linguis Indonesia bungkam! • Karena itu, menurut Wahmuji, usaha “membesar-besarkan masalah” ejaan dan “mencari-cari apa yang tidak ada” dalam narasi arus-utama tentang perubahan ejaan tidaklah di maksudkan sebagai sebuah romantisme Ejaan Lama, apalagi untuk mengganti EYD dengan Ejaan Lama, karena hal itu sama saja mengulangi ke-tunasejarah-an ahli bahasa Indonesia di bawah rezim Soeharto. Yang lebih penting adalah sikap kritis terhadap narasi rezim kekuasaan dalam bidang apa pun, termasuk bidang yang seakan-akan tidak politis sama sekali. Sikap kritis semacam inilah yang tidak dimiliki banyak ahli bahasa di Indonesia, dan karenanya, perencanaan bahasa dengan motif tersembunyi apa pun mudah dilaksanakan tanpa banyak protes.[]
Posted on: Fri, 21 Jun 2013 23:56:06 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015