MENGAPA INDONESIA TERPURUK SETELAH 54 TAHUN MERDEKA. Sebagaimana - TopicsExpress



          

MENGAPA INDONESIA TERPURUK SETELAH 54 TAHUN MERDEKA. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa sejak 1997 beberapa negara Asia Timur dan Asia Tenggara seperti Korea Selatan, Jepang, Thailand, Malaysia Singapura dan Phillipine terguncang karena terhempas dihantam krisis ekonomi yang serius. Mulai awal 1999 sebahagian besar dari negara-negara tersebut di atas telah mulai memasuki tahap recovery, kecuali Indonesia, yang hingga kini belum menemukan cara yang tepat untuk memulihkan krisis yang menimpa negara Indonesia - malahan keadaan keterpurukan tersebut tambah memburuk karena selain krisis ekonomi, Indonesia kini telah berada di ambang kehancuran dengan munculnya problem baru yaitu "Dis-integrasi". Mengapa hal ini bisa terjadi? Dari paparan berikut ini kiranya kita bisa mendapat jawaban yang bersifat substantive yang berasal dari pola budaya: Indonesia dalam perspektif Demografi. Secara demografi, bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa diantara berbagai suku bangsa tersebut yang paling dominan adalah suku bangsa Jawa, yang menwakili 65% dari seluruh bangsa Indonesia.Dari 210,000.000 penduduk Indonesia, berarti secara nominal suku bangsa Jawa mencapai 136,500.000 juta. Dari aspek jumlah penduduk Indonesia dimana secara significant didominin oleh orang suku Jawa, secara definity dapat dipastikan bahwa pola pemerintahan Indonesia yang konon "diklain" sebagai negara berbentuk "Republik" akan terbawa secara tidak sedar ke dalam bentuk negara yang bernuansa "Kerajaan yang bersifat Monarki Absolute" dan hal ini telah terbukti secara nyata selama dua rejim yang berkuasa di Indonesia dalam kurun waktu yang cukup lama. Sukarno berkuasa selama 22 tahun (1945-1966) dan Suharto berkuasa selama 32 tahun (1966-1998) kedua-duanya memberi kesan yang sama yaitu sama-sama mempergunakan undang-undang yang mandul serta menciptakan instit! usi yudikatif dan legislatif yang impoten. Pengertian yang jelas dari undang-undang mandul adalah: dalam setiap undang-undang yang dibuat, seluruhnya mengandung peraturan-peraturan yang sangat baik tetapi sayangnya embrio peraturan yang sangat baik itu tidak pernah lahir ke alam nyata, karena peraturan tersebut tidak pernah mampu diapplikasikan dalam kehidupan sehari-hari ditengah kehidupan masyarakat secara nyata sehingga semua embrio yang pernah terdapat di dalam kandungan undang-undang membusuk di dalam kandungan. Pada akhirnya masyarakat/baik masyarakat Indonesia ataupun masyarakat Internasional belum pernah melihat bahwa Indonesia pernah menegakkan hukum sebagaimana mestinya. Di lain pihak, institusi yudikatif tidak lebih dari sebuah kepompong yang dihuni oleh orang-orang yang ditunjuk dan dikontrol oleh Pemerintah yang nota bene didominin oleh orang Jawa yang mempunyai pola sosio kultural patermalistik. Sementara itu didalam institusi-legislatif yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa di Indonesia sudah pasti ada kelompok yang dikenal sebagai "orang seberang" yang juga dipengaruhi oleh watak pesisir yang egaliter dan bukan patermalistik seperti orang Jawa. Namun apa yang dapat dilakukan oleh lembaga legislatif tersebut? Sementara komposisi Jawa dan non Jawa atau orang seberang berbanding 65%/35% itu. Banyak diantara anggota Parlemen yang ingin dan mempunyai hasrat untuk menegakkan hukum di Indonesia, namun hasrat tetap tinggal hasrat untuk melaksanakan hasrat itu, mereka tidak mampu. Dengan demikian kiranya tidaklah berlebihan bila kita menamakan parlemen yang semacam itu adalah parlemen yang impoten. Saya merasa yakin bahawa sekiranya John Lock dan Moutesque mengetahui betapa azaz Treas Politica yang pernah diciptakan mereka dalam menjalankan administrasi sebuah negara telah diporak-porandakan oleh orang Jawa dalam memerintah negara Indonesia, kedua mereka akan menangis sejadi-jadinya di alam kuburnya masing-masing dan kedua mereka menyesal karena pernah ke dunia ini. "What’s wrong" dengan orang Jawa? Pada dasarnya semua orang yang diciptakan Allah SWT itu sama. Namun di dalam Al-Quran Allah telah berfirman bahawa "Kuciptakan manusia itu berkaum-kaum dan bepuak-puak, agar kamu saling mengenal sesamanya." Untuk itu kita perlu mengenal apa dan bagaimana orang Jawa itu. Sesuai dengan teori antropologi pulau Jawa telah dihuni oleh manusia purba dan menurut kita yang hidup di abad ini kelompok manusia purba di pulai Jawa itu adalah manusia yang belum berbudaya. Adanya manusia purba di Pulau Jawa dapat dibuktikan dengan adanya penemuan-penemuan fosil manusia di daerah Sangiran. Beberapa puluh abad kemudian baru datang orang dari daratan Asia ke Pulai Jawa yang disebut sebagai kelompok Proto Melayu Tua yang hidup di Zaman Batu. Kelompok Proto Melayu Tua ini dipercayai mempunyai akar budayanya yang sangat kuat dan mereka sangat teguh mempertahankan budayanya seperti orang Beduy di daerah Bantem (ujung Kulon) dan orang Tengger di sekitar Gunung Bromo di Jawa Timur. Beberapa abad kemudian, berdatangan kelompok yang dikenal dengan Proto Melayu Muda dan komogen sehingga typical postur orang Jawa asli secara umum sama, berkulit sawo matang gelap, rambut lurus, muka b! ulat agak bersegi dan ukuran tubuhnya pendek. Kelompok ini juga sangat teguh berpegang pada akar budayanya. Hal ini dapat dibuktikan dengan mengambil kontrol suku Jawa yang hidup dan lahir di Suriname masih tetap memakai bahasa dan budaya Jawa sampai dengan hari ini. Kultur Budaya Jawa Dalam Perspektif Sejarah. Secara teori antropology, orang Jawa disebut sebagai orang pedalaman dari berorientasi agreris. Secara historis, kerajaan di Pulau Jawa pra-Islam ini selalu hidup di dalam sesama yang penuh dengan intriek, perselingkuhan dan pengkhianatan. Bila kita membaca Babad Tanah Jawa disana dengan jelas diceritakan secara umum dapat disimpulkan bahawa kehidupan di semua kerajaan di Pulai Jawa seperti Singosari, Daha, Kediri, dlsb tidak pernah sepi dari perselingkuhan, persekongkolar jahat (konspirasi) intrik dan pengkhianatan. Yang oleh orang Jawa dianggap sebagai "tokoh" yang dibanggakan dan dipaksakan kepada bangsa Indonesia dari suku lain untuk diajarkan dalam sejarah Indonesia. Bagi suku lain di Indoensia tokoh-tokoh "pahlawan" sejarah Jawa seperti: Ken-Arok, Ken Umang, Tunggul Ametung, Ronggo Lawe, bahkan Mahapatih Gadjah Madha itupun tidak jelas siapa ayahnya dlsb. Mereka itu tidak lebih dari Begundal-begundal tengik yang tidak mempunyai akhlak dari budi pek! erti yang mulia untuk dijadikan tokoh sejarah bagi anak-cucu dan jenerasi penerus bangsa, apalagi untuk sebuah bangsa bernama Indonesia. Era berikutnya, setelah Islam datang ke Pulau Jawa dengan terbentuk kerajaan Demak, dan Mataram pun nuansa kehidupan masyarakat Jawa tidak mengalami perubahan yang berarti, karena para Wali yang berjumlah 9 orang atau lebih dikenal dengan sebutan "Wali Songo" sudah keburu wafat (dan tidak ada kada penerus) sebelum Islam berkembang secara "Kaffah" di tanah Jawa. Islam di Jawa hanya berkembang di kawasan pesisir Pulau Jawa seperti di Bantem, Pekalongan dan Demak. Dengan demikian Islam belum dan atau tidak mampu mengubah way of life orang Jaya yang memang sangat kuat dan berpegang teguh pada akar budaya Jawa dengan segala asesori budaya yang tidak terpuji itu. Hal ini dapat dijelaskan sekilas sebagaimana yang tercermin dalam berbagai falsafah dan peribahasa yang dapat hidup dalam masyarakat Jawa. Adapun peribahasa-peribahawa tersebut jelas menumpukan refleksi sikap mental orang Jawa, sebagai contoh: "Ngono yo ngono, nanging ojo ngono" Secara linguistik dalam artian harfiah, peribahasa tersebut di atas yang kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia lebih kurang artinya, "Begitu ya begitu namun jangan begitu". Bila kita perhatikan peribahasa tersebut di atas, dari susunan katanya saja sudah rancu, apalagi maknanya, tentu lebih rancu lagi, bagaimana lagi kalau peribahasa itu diapplikasikan sebagai pandangan hidup bangsa tanpa diragukan lagi tentu hasilnya kehidupan bangsa Indonesia akan menjadi runyam - ternyata kini kehidupan bangsa Indonesia Jawa sudah babak belur karena menganut falsafah yang plintat-plintut. "Pejah gersang nderek pandito ratu" Artinya dalam bahasa Indonesia "Hidup atau mati tetap ikut Raja". Sebagai akibat falsafah hidup orang Jawa seperti itu, apapun yang dilakukan oleh sipemimpin, tidak peduli salah ataupun benar, orang Jawa itu tetap ikut pemimpin tersebut- sebagai konsekuen si logis dari pepatah itu adalah "Hukum tidak mungkin ditegakkan di kalangan orang Jawa" Bila hukum tidak ditegakkan, bagaimana mungkin negara dapat berdiri dengan solid. "Nikul nghuwur mendem njero" Bila peribahasa tersebut diatas masih dan terus dipegang teguh oleh orang Jawa yang menwakili 65% dari bangsa Indonesia, maka tidak perlu diragukan lagi bahawa negara Indonesia sedang terseret menuju ke jurang kehancuran; mengapa? Bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, pengertiannya adalah "sebagai rakyat berkewajiban untuk mempertahankan dan melindungi pemimpin", walaupun si rakyat itu mengetahui secara pasti bahawa si pemimpin itu nyata nyata bersalah; di samping itu si-rakyat kecil yang berada di bawah berkewajiban padanya untuk tidak memberitahukan kepada siapapun aib dan noda para pemimpin mereka. Secara ringkas peribahasa di atas dapat diartikan sebagai "Dilarang keras bagi rakyat untuk membeberkan kesalahan dan aib serta noda yang dilakukan para pemimpin dan rakyat berkewajiban melindungi serta mempertahankan pemimpin mereka." Bila falsafah hidup semacam ini dianut, menurut ilmu tata pemerintahan, jelas-jelas bangsa! Indonesia itu memelihara semacam virus yang sangat latest dan berbahaya bagi berlangsungnya kehidupan negara. "Sedoyo Agami Sami Mawon" Dalam pandangan hidup orang Jawa, yang paling penting adalah adanya harmoni antara makrokosmos dan mikrokosmos; sehingga dapat mencapai tingkat/nilai hidup yang mulia yaitu mampu mencapai "Mamunggaleing kawulo lan gusti" yaitu mampu mencapai tingkat "menyatunya hamba dengan Zat Maha Pencipta". Untuk mencapai tingkat tersebut hamba itu harus hidup dengan tatanan yang baik dan berkelakuan serta mempunyai budi pekerti yang baik. Menurut pengertian orang Jawa, sepanjang seseorang hamba mampu berkelakuan yang baik sehingga mampu mencapai tingkat "Mamunggaeing kawulo lan gusti" Maka manusia tersebut pasti nanti pada waktu matinya akan berada di "Suargo" atau syurga. Sejalan dengan pandangan hidup seperti itu, maka agama apapun yang datang kemudian ke Pulau Jawa, baik itu agama Hindu, Buddha, Islam ataupun Kristen adalaha merupakan supplement daripada agama/falsafah hidup orang Jawa seperti telah diuraikan di atas atau lebih popular dik! enal sebagai agama "Kejawen" yang penuh dengan pernik-pernik dan asesoris budaya. Sebagai konsekwonsi logis dari pandangan hidup/falsafah yang sedemikian itu, maka secaa substantive dalam kehidupan orang Jawa tidak mengenal "Haram ataupun Halal", melainkan orang Jawa itu hanya mengenal "pantes opo ora pantes." Dengan hanya menganut petunjuk "Pantes opo ora pantes" maka bagi orang Jaya melakukan korupsi, kollusi, perselingkuhan dan lain-lain sebabagainya - sepanjang tidak menyakiti pihak ke tiga, tidak menjadi halangan bagi orang Jawa. Sebagai contoh: Seorang Jawa ditunjuk sebagai pemimpin sebuah proyek, jika para staf dan atasan setuju untuk di mark-up biaya proyek tersebut dan semua orang yang involve merasa perlu dan "dapat menikmati atau enjoy" dengan mark-up itu maka dengan perasaan yang "innocent" biaya proyek tersebut akan di mark-up secara "Pantes". Dengan berpegang pada falsafah hidup "Sedoyo agami sami mawon" itu, maka tidak menjadi pemandangan yang asing bagi kita bila menemui keluarga-keluarga orang Jaya yang hidup dalam satu rumah, anggota keluarganya masing-masing menganut agama yang berbeda. Keempat falsafah hidup Jawa tersebut di atas adalah merupakan bagian kecil dari sekian banyak panduan hidup orang Jawa yang hampir semuanya tidak pernah diketemukan dalam tatanan hidup masyarakat lain terutama bagi Bangsa Aceh yang religius dan egaliter. Sehingga dengan demikian, tidak perlu diragukan lagi bahawa selama Orang Jawa itu memdominin "kehidupan" di Indonesia maka RI akan menuju kepada kehancuran. Orang Jawa dalam Perspektif Sejarah Moderen. Sejak Koloniel Belanda mencengkamkan kukunya di Pulau Jawa dan terutama sekali semenjak diberlakukan sistem "Kultural Stelsel" di mana pemerintah kolonial Belanda merampas tanah rakyat untuk dijadikan lahan perkebunan untuk komoditi, maka terjadi dan berlangsunglah proses pemiskinan rakyat Jawa secara struktural dan sangat serius. Oleh Kolonial Belanda orang Jawa secara sistemik telah diubah menjadi kuli dengan upah yang diberikan 1 gobang sehari. Proses pemiskinan dan pembodohan suku bangsa Jawa ini terus menerus berlangsung selama 350 tahun; sehingga orang Jawa yang pada masa sekarang ini di Indonesia adalah menjalankan Dosa Pemerintahan. Merupakan turunan dari generasi ke generasi Jawa yang miskin dan bodoh. Sebagai akibat lanjut daripada orang-orang Jawa yang berasal dari turunan bodoh dan miskin yang mendominin pemerintahan negara Indonesia maka secara pasti bahawa kehancuran Indonesia hanyalah masalah waktu saja. Hal ini dapat saya jelaskan sebagai berikut: Watak dasar manusia Jawa Modesus: 1. Rakus Sebagai akibat daripada sistem "Kultur Stelsel" yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial Belanda selama ratusan tahun, sehingga kehidupan ekonomi orang Jawa jatuh dan berada pada posisi yang paling tersudut, dengan demikian orang Jawa itu berada pada posisi yang paling tersudut dan dengan demikian orang Jawa itu berada pada posisi yang paling miskin. Akibatnya secara sosio kultural mental orang Jawa itu telah menggalami transformasi yang mendasar menjadi orang yang sangat rakus, untuk me-reposisi dirinya ke titik tertentu yang "tidak miskin" lagi. Tegasnya; dalam pemikiran orang Jawa sekarang ini, mereka harus melakukan upaya "balas dendam sosial" atas kemiskinan yang telah dialami oleh nenek moyangnya secara terus menerus dari generasi ke generasi. Dengan ditopang oleh falsafah hidup yang di antaranya telah diuraikan di atas maka secara faktual kita menyaksikan sekarang ini bagaimana orang-oarang dalam pemerintahan Indonesia yang majoritas (65%) adala! h orang Jawa berlomba-lomba melakukan korupsi bahkan mega korupsi dan penjarahan atas harta negara. 2. Bodoh Diatas tadi telah saya uraikan bahawa oleh Pemerintah Kolonial Belanda, selama ratusan tahun mereka telah menjalankan proses pembodohan dan pemiskinan yang struktural dan sistemik terhadap orang Jawa. Kebodohan orang Jawa ini dengan kesat mata dapat kita lihat bagaimana orang Jawa yang bermental "Kuli" menjalankan roda pemerintahan negara Indonesia. Dalam sekto ekonomi orang Jawa bekerja di bawah kontrol "menear’ IMF dan mereka telah terjerat dalam hutang yang super besar pada "Menear"nya yang datang dari Barat. Dalam sektor administrasi dan keuangan hampir seluruh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mulai sektor perbankan, sektor pertamina, sektor perindustrian, jasa pengangkutan sampai dengan sektor pertambangan hampir seluruhnya mengalamgi rugi, belum pernah ada BUMN yang memperoleh keuntungan dan tumbuh menjadi besar dengan modal sendiri yang berasal dari "Retained Earning yang diplough back" ke dalam perusahaan. Dalam sektor tata pemerintahan setelah 54 tahun Indonesia merdeka, yang nota bene dipimpin oleh majoritas orang Jawa, jangankan mengatur masalah, subsidi untuk mereka yang tidak bekerja santunan untuk orang tua yang tidak terurus, anak yatim dlsb; hanya sekadar menata masalah, Katru Tanda Penduduk atau KTP saja, mereka belum mampu. Untuk menertipkan masalah KTOP mereka hanya sekadar melakukan "Operasi Yustisia", bukan memakai sistem yang solid dan terpada sebagaimana yang dilaksanakan di negara-negara lain. 3. Penipu. Sebagaimana yang ditulis oleh Emha Ainun Nahib dalam, bukannya yang berjudul "Surat untuk Kanjeng Nabi" pada dasarnya watak orang Jawa itu dapat dikategorikan sebagai berikut: Mereka yang tidak berpendidikan tinggi, mempunyai nyali dan tubuh yang kekar dan sehat cenderung untuk menjadi perampok biasa. Mereka yang berpendidikan, mempunyai jabatas yang baik dalam pemerintahan cenderung untuk menjadi koruptor dan menipu rakyat. Perempuan Jawa pula cenderung dan mudah berselingkuh dengan lelaki lain dan kalau sedikit kepepet hidupnya mudah sekali untuk terjun ke dunia pelacuran. Dari uraian-uraian ringkas tersebut di atas; dimulai dari aspek falsafah hidup yang mempunyai akar budaya Jawa yang sangat kuat, dari perspektif sejarah mulai dari keadaan dan pola pemerintahan dari kerajaan-kerajaan Jawa sebelum kedatangan Islam; kerajaan-kerajaan Jawa setelah kedatangan Islam dan lebih parah lagi setelah kedatangan kolonial Belanda yang meporak-perandakan tatanan hidup orang Jawa, maka dapat ditarik suatu kesimpulan awal mengapa sampai sekarang ini Indonesia masih belum mampu keluar dari krisis yang telah melilit dan menghancurkan dasar-dasar ekonomi mereka? Karena selama 54 tahun Indonesia merdeka dipimpin oleh orang orang Jawa dengan pola pemerintah kerajaan-kerajaan Jawa masa lalu, baik pada masa pra-Islam ataupun setelah kedatangan Islam dan kesemuanya pola pemerintahan itu berlandaskan pada budaya dengan falsafah hidup orang Jawa yang sangat tidak kondusif dan tidak mungkin untuk RI menuju ke arah negara dengan sistem yang egaliter ! dan demokratis sebagaimana tuntutan rakyat setelah tumbangnya Raja Jawa Moderen, Soeharto. Maka sebaik-baiknya, seperti yang pernah saya serukan beberapa bulan dulu BUBARKAN SAJA REPUBLIK INDONESIA groups.yahoo/group/Lantak/message/11740
Posted on: Sat, 13 Jul 2013 07:57:51 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015