MENGAPA KOTA YOGYAKARTA MENJADI IBU KOTA REPUBLIK INDONESIA? Saya - TopicsExpress



          

MENGAPA KOTA YOGYAKARTA MENJADI IBU KOTA REPUBLIK INDONESIA? Saya pernah menjadi sopir Menteri Olah Raga Maladi dan Hamengku Buwono IX saat beliau-beliau menjabat officials dari Asian Games Federation selama diselenggarakan Asian Games IV di Jakarta tahun 1962. Sayapun pernah juga menjadi “sparring partner” Hamengku Buwono X dalam rapat-rapat tahun 1980-an mengenai Pabrik Gula Madukismo Yogyakarta yang merupakan usaha patungan antara Pemerintah RI (Departemen Keuangan) dan Kraton Yogyakarta Terdapat kesamaan antara kedua trah Hamengku Buwono tersebut yaitu rasa nasionalisme Indonesia yang tinggi. Penyerahan sebagian aset berupa tanah dan bangunan milik Kraton Yogyakarta kepada Pemerintah RI sebagai aset negara RI secara cuma-cuma pada tahun 1946 untuk digunakan sebagai alat kelengkapan ibu kota baru, pindahan dari Jakarta karena pertimbangan keamanan dan keselamatan, adalah bukti nyata betapa tingginya rasa nasionalisme itu. Suasana kebatinan itu kemudian diwariskan kepada putranya, Hamengku Buwono X, yang diterimanya dengan tulus hati. Itulah kesan yang saya peroleh dari dua orang “berdarah biru”. Saya dapat mengimbangi pembicaraan dengan Raja Jawa itu berkat membaca buku-buku sejarah dan ilmu bumi Eropa, termasuk negeri Belanda, tempat beliau kuliah ilmu “indologie” (kepamong prajaan) di kota Leiden. Pada tahun 1962 itu saya sudah duduk di tingkat doctoraal (semester ke-8) di FEUI (10 semester), namun belum pernah pergi ke luar negeri. Adapun Hamengku Buwono X adalah alumnus FH Universitas Gajah Mada. Kedua orang raja tersebut memiliki tingkat inteligensi yang tinggi dan bersikap demokratis terhadap semua anak buahnya. Namun para bawahannya tidak dapat melepaskan budaya “sendika dhawuh” dan “sendika gusti” (siap menjalankan perintah tanpa reserve) dengan gaya “abdi dalem”. Budaya inilah yang dapat mengurangi kelancaran dan kebebasan komunikasi kedua belah fihak karena ada perasaan “rikuh pakewuh” Secara psikologis, keadaan tersebut dapat membuat para bawahan merasa “gamang” untuk berkomunikasi secara bebas dengan atasannya. Bawahan cenderung bergantung pada pimpinan yang tercermin secara psikologis bahwa kalau akan menuliskan huruf Jawa secara rapi, hurufnya “dicantolin” pada garis di atas huruf. Berbeda dengan cara penulisan huruf Latin, hurufnya diletakkan di atas garis. Pelajaran cara penulisan itu saya peroleh pada saat bersekolah di sekolah rakyat Rembang pada tahun 1945-1949. Sifat ketergantungan pada atasannya itu diperlihatkan oleh Menteri Penerangan zaman Pak Hatro, Harmoko, dengan kalimat “Atas Petunjuk Presiden”. Pada saat masih aktif bekerja di Departemen Keuangan, saya berusaha berlaku “zakelijk” pada atasan dengan tidak melakukan budaya sowan, budaya oleh-oleh dan budaya mohon petunjuk. Setiap surat yang ditujukan kepada Menteri Keuangan, selalu didisposisikan ke Direktur Jenderal, Direktur dan ke Kepala Sub Direktorat dengan disposisi “Harap Pendapat” Apabila surat masuk tersebut berkaitan dengan Sub Direktorat yang saya pimpin, maka saya bersama staf bertindak sebagai “koki” untuk mengolah dan memasak sesuai pesanan/disposisi Menteri. Tanpa memohon petunjuk terlebih dahulu, langsung saya kerjakan dan kirimkan ke atasan langsung saya, yaitu Direktur. Motto kerja saya adalah “Datang ke atasan tidak membawa masalah, tetapi membawa alternatif solusi”. Pimpinan tidak perlu terlalu lama berfikir, karena tinggal memilih, alternative solusi mana yang paling baik menurut atasan. Dengan demikian, pekerjaan dapat diselesaikan relative lebih singkat. Tulisan selanjutnya yang segera akan tampil pada artikel ini adalah bersifat sangat spekulatif dan “debatable” karena mencoba menguak jalan fikiran Hamengku Buwono IX, mengapa dengan tulusnya, beliau menyediakan aset milik pribadinya untuk diserahkan secara cuma-cuma demi terselenggaranya “Ibu Kota RI di Yogyakarta”. Apabila kita menapak tilas sejarah raja-raja di pulau Jawa, kerapkali terjadi peperangan besar untuk memperebutkan tahta kerajaan. Untuk dapat memenangkan peperangan itu, tidak jarang satu pihak yang terlibat itu meminta bantuan VOC untuk dapat memenangkan peperangan itu dengan “upah” kepada VOC berupa bagian tanah wilayah kerajaan itu. Makin sering VOC memberikan bantuan kepada pemesannya, makin luas tanah wilayah kerajaan yang dimiliki VOC secara “sah” dan yang diperoleh dari hubungan bisnis. Dengan perkataan lain, kepemilikan Belanda atas tanah-tanah adalah karena “kesalahan” para raja-raja. Hamengku Buwono pasti mengetahui akan rentetan peristiwa-peristiwa itu yang dilakukan oleh para raja-raja pendahulunya yang seringkali masih ada hubungan keluarga. Mungkin karena itulah, Hamengku Buwono ingin menebus “dosa-dosa” para raja pendahulunya dengan mengibarkan panji-panji nasionalisme Indonesia. Kalau kita abaca biografi beliau, bagaimana Hamengku Buwono telah “pasang badan” untuk menyelamatkan Republik Indonesia. Kasus tidak diakuinya oleh Belanda akan kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 mungkin karena mereka merasa bahwa tanah yang mereka miliki telah diperolehnya karena hubungan bisnis sebagai cara pembayaran biaya perang yang telah dikeluarkan oleh Belanda.
Posted on: Sat, 03 Aug 2013 11:15:10 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015